• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Pengawasan Post-Market 1. Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan

TUJUAN PEMERIKSAAN: RUTIN/KASUS/TINDAK LANJUT/PROYEK

III. METODE PENELITIAN 3.1.Tempat dan Waktu

4.2. Implementasi Sistem Pengawasan Keamanan Pangan oleh Badan POM 1. Implementasi Pengawasan Pre-Market

4.2.2. Implementasi Pengawasan Post-Market 1. Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan

Pemeriksaan sarana produksi pangan dilakukan terhadap sarana produksi pangan MD, sarana produksi PIRT dan sarana produksi pangan tidak terdaftar (TTD).

a. Pemeriksaan sarana produksi MD

Berdasarkan hasil pemeriksaan sarana produksi pangan tahun 2006 s.d 2010 terhadap 2,421 sarana produk MD terdaftar (dari total produk terdaftar 22,967 produk), sarana produksi MD yang diperiksa sebesar 10.54%. Jumlah sarana produksi MD yang diperiksa masih rendah meskipun pengawasan produk MD merupakan wewenang dan tanggung jawab Badan POM. Hal ini berkaitan dengan anggaran dana yang tersedia. Dari 2,421 sarana produksi pangan, jumlah sarana yang memperoleh nilai B sebanyak 455 sarana, nilai C sebanyak 1,380 sarana dan nilai K sebanyak 586 sarana (Gambar 4). Pemeriksaan sarana produksi juga dilakukan terhadap 160 sarana produksi pangan tidak aktif, namun tidak dijumlahkan dalam total sarana produksi yang diperiksa dan tidak dilakukan penilaian MS dan TMS.

Sarana produksi yang memperoleh nilai B dikategorikan sebagai sarana produksi yang memenuhi syarat (MS) dan yang memperoleh nilai C dan K dikategorikan sebagai sarana produksi yang tidak memenuhi syarat. Jumlah sarana produksi yang memenuhi syarat (MS) kurun waktu 2006 s.d 2010 untuk sarana produksi produk MD yaitu 455 sarana produksi (18.79%) dan sarana produksi yang tidak memenuhi syarat (TMS) sebanyak 1,966 sarana produksi (81.21%). Berdasarkan hasil penilaian tersebut sarana produksi pangan yang tidak

memenuhi persyaratan cukup besar (81.21%) padahal untuk memperoleh nomor pendaftaran MD, salah satu persyaratan saat registrasi yaitu harus melampirkan hasil pemeriksaan sarana produksi dengan nilai minimal B (memenuhi syarat). Hal ini menunjukkan bahwa sarana produksi MD tersebut belum mampu memenuhi persyaratan CPMB dan seharusnya belum bisa memperoleh nomor pendaftaran MD karena persyaratannya CPMB-nya tidak terpenuhi.

Gambar 4. Jumlah sarana produksi produk pangan MD yang diperiksa tahun 2006-2010 dan hasil penilaian B =baik, C=cukup, K=kurang Berdasarkan kajian yang dilakukan Susanti (2010), dari 5 (lima) komponen utama CPMB (grup F: pabrik dan ruang pengolahan, grup J: pabrik/binatang perusak/serangga, grup K: peralatan, grup L: suplai air, dan grup M: higiene perorangan) komponen yang sering ditemukan tidak memenuhi syarat adalah grup F (pabrik-ruang pengolahan) dan grup M (sanitasi dan hygiene karyawan).

Penyimpangan pada pabrik-ruang pengolahan diantaranya adalah kebersihan lantai, dinding dan langit-langit, serta konstruksinya yang tidak sesuai dengan persyaratan sehingga sulit dibersihkan. Sedangkan penyimpangan terhadap hygiene perorangan diantaranya disebabkan tidak adanya petunjuk yang jelas tentang hygiene, tidak pernah diadakan pelatihan yang berkaitan dengan hygiene, tidak mencuci tangan sebelum melakukan kegiatan produksi, perilaku

karyawan (makan dan minum di ruang produksi) dan tidak memakai masker selama melakukan kegiatan produksi.

b. Pemeriksaan sarana produksi IRTP

Hasil pemeriksaan sarana produksi untuk produk dengan nomor pendaftaran PIRT terhadap 6,132 sarana produksi produk pangan terdaftar untuk periode tahun 2006 s.d 2010 adalah sebagai berikut: sarana produksi yang memperoleh nilai B sebanyak 330 sarana, nilai C 3,432 sarana, dan nilai K sebanyak 2,380 sarana (Gambar 5).

Kategori penilaian sarana produksi PIRT tidak sama dengan sarana produksi MD. Untuk sarana produksi PIRT, nilai B dan C dikategorikan sebagai sarana yang memenuhi syarat (MS) yaitu sebesar 61.35% dan nilai K sebagai sarana yang tidak memenuhi syarat (TMS) sebesar 38.81%. Terdapat 326 sarana yang tidak aktif sehingga tidak dilakukan penilaian.

Gambar 5. Jumlah sarana produksi produk PIRT yang diperiksa tahun 2006-2010 dan hasil penilaian B =baik, C=cukup, K=kurang

Masih banyaknya sarana dengan kategori K (tidak memenuhi syarat) untuk nomor pendaftaran PIRT, menunjukkan masih kurangnya pemenuhan persyaratan CPMB terhadap sarana produksi PIRT. Menurut Susanti (2010), terdapat (4) empat komponen CPMB yang termasuk dalam 5 grup utama yang sering tidak

dipenuhi oleh sarana produksi skala IRTP yaitu ruang pengolahan, hygiene perorangan, pencegahan binatang pengerat dan serangga, dan peralatan produksi.

c. Pemeriksaan sarana produksi tidak terdaftar (TTD)

Pemeriksaan sarana produksi dilakukan pula terhadap produk pangan tidak terdaftar (TTD) atau tanpa ijin edar (TIE) (Gambar 6). Pemeriksaan ini dimaksudkan sebagai bentuk pengawasan terhadap produk pangan yang tidak terdaftar/tanpa ijin edar sehingga dapat diketahui sejauh mana pemenuhan CPMB-nya. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 2,973 sarana produksi pangan yang tidak terdaftar, sebanyak 2,856 sarana produksi yang dilakukan penilaian dan sisanya sebanyak 117 sarana tidak dilakukan penilaian karena termasuk sarana produksi pangan tidak aktif.

Gambar 6. Jumlah sarana produksi pangan tidak terdaftar (TTD) yang diperiksa tahun 2006-2010 dan hasil penilaian B=baik, C=cukup, K=kurang

Sebagian besar sarana produksi yang diperiksa memperoleh nilai K yang berati tidak memenuhi syarat (TMS) dengan persentase 50.70%. Hal ini disebabkan karena tingkat pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi persyaratan CPMB masih sangat rendah, sehingga perlu adanya peningkatan upaya pembinaan tidak hanya terhadap produsen industri pangan tidak terdaftar

tetapi juga terhadap produsen industri rumah tangga pangan (IRTP) dan produsen produk MD.

Tindak lanjut terhadap pemeriksaan sarana produksi yang memperoleh nilai K (Kurang) dan termasuk sarana TMS, Balai Besar/Balai POM melakukan tindakan peringatan/teguran dan pembinaan dengan melibatkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

4.2.2.2. Pemeriksaan sarana distribusi pangan

Rekapitulasi hasil pemeriksaan sarana distribusi pangan tahun 2006-2010 dari 26 Balai Besar /Balai POM menunjukkan bahwa jumlah sarana distribusi yang diperiksa sebanyak 28,079 buah. Sebanyak 6,044 sarana distribusi memperoleh nilai B (21.52%), 14,224 sarana distribusi memperoleh nilai C (50.66%) dan sisanya sebanyak 7,811 sarana distribusi memperoleh nilai K (27.82%) (Gambar 7). Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sebagian besar sarana distribusi memenuhi ketentuan persyaratan CDPB dengan total nilai B dan C sejumlah 20,268 sarana (72.18%), sedangkan untuk sarana yang tidak memenuhi ketentuan persyaratan CDPB dengan nilai K sejumlah 7.811 sarana (27.82%).

Gambar 7. Jumlah sarana distribusi pangan yang diperiksa tahun 2006-2010 dan hasil penilaian B=baik, C=cukup, K=kurang

Berdasarkan parameter temuan/pelanggaran terhadap sarana distribusi yang dinilai Kurang (K) yang merupakan produk TMS tahun 2006-2010, sebanyak 2370 sarana distribusi menjual pangan kadaluarsa (Gambar 8). Pangan kadaluarsa yaitu pangan/makanan yang telah lewat tanggal kadaluarsa. Tanggal kadaluarsa merupakan batas akhir pangan/makanan yang dijamin mutunya sepanjang penyimpanan mengikuti petunjuk yang diberikan produsen (Depkes RI 1996). Tindak lanjut terhadap temuan meliputi pembinaan, pemusnahan, pengamanan produk tidak memenuhi syarat, peringatan dan peringatan keras.

Gambar 8. Hasil pengawasan sarana distribusi tahun 2006-2010 berdasar parameter temuan pada produk yang TMS

Selain sebagai kegiatan rutin, pemeriksaan sarana distribusi juga dilakukan untuk kasus tertentu. Dalam rangka intensifikasi pengamanan pasar menjelang Hari Raya Idul Fitri tahun 2010 misalnya, Badan POM melakukan pengawasan terhadap 1482 sarana distribusi pangan. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 1482 sarana distribusi pangan tersebut, 963 (64.98%) memenuhi ketentuan perundangan dan 519 (35.02%) sarana tidak memenuhi ketentuan (www.kominfonewscenter.com 2011).

Parameter temuan untuk produk yang tidak memenuhi syarat pada pengawasan sarana distribusi terdiri dari penggunaan bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan yaitu formalin dan borak, ditemukannya

pangan rusak, pangan kadaluarsa, label yang tidak sesuai dengan ketentuan, produk tanpa penandaan khusus, minuman keras tanpa ijin, pangan tanpa ijin edar (illegal) dan lain-lain (penggunaan pewarna bukan untuk pangan dan penggunaan BTP yang melebihi batas maksimum).

4.2.2.3. Sampling dan pengujian produk pangan yang beredar

Total sampel produk yang diuji tahun 2006 s.d 2010 sebanyak 88,077 sampel produk yang terdiri dari produk pangan MD (41,355 sampel), ML (1,665 sampel), PIRT (24,355 sampel) dan sampel TTD (20,702 sampel). Persentase MS dan TMS dari keseluruhan sampel MD, ML, PIRT dan TTD seperti pada Gambar 9 dan 10. Rata-rata persentase sampel produk yang MS tahun 2006-2010 yaitu sebesar 82.66% dan sampel produk yang TMS sebesar 17.34%.

Jumlah sampel produk yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) menurut nomor pendaftaran periode tahun 2006—2010 dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Gambar 9. Persentase hasil pengujian produk pangan yang beredar yang memenuhi syarat (MS) tahun 2006-2010

Gambar 10. Persentase hasil pengujian produk pangan yang beredar yang tidak memenuhi syarat (TMS) tahun 2006-2010

Gambar 11. Persentase jumlah sampel produk yang memenuhi syarat (MS) berdasarkan nomor pendaftaran tahun 2006-2010

Gambar 12.Persentase jumlah sampel produk yang tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan nomor pendaftaran tahun 2006-2010 Total hasil pengujian sampel produk MD tahun 2006-2010 yang memenuhi syarat (MS) sebanyak 38,184 sampel (92.33%) dan TMS 3,171 sampel (7.67%), sampel produk ML yang memenuhi syarat (MS) sebanyak 1,336 sampel (80.24%) dan TMS 329 sampel (19.76%), sampel produk SP-PIRT yang memenuhi syarat sebanyak 20,191 sampel (82.90%) dan TMS 4,164 sampel (17.10%), dan produk tidak terdaftar yang memenuhi syarat sebanyak 13,094 sampel (63.25%) dan TMS sebanyak 7,608 sampel (36.75%). Sebagian besar sampel produk yang diuji memenuhi syarat, baik untuk sampel produk MD, ML, SP-PIRT maupun produk tidak terdaftar.

Pada 15,272 sampel produk yang TMS dilakukan pengujian laboratorium terhadap parameter uji (Gambar 13). Berdasarkan hasil pengujian sampel produk tahun 2006-2010, sebesar 22.25% (4,022 sampel) menggunakan BTP pemanis sakarin dan siklamat melebihi batas maksimal yang diizinkan, 10.67% (1,928 sampel) menggunakan pengawet benzoat melebihi batas maksimal yang diijinkan, 7.98% (1,433 sampel) menggunakan bahan berbahaya formalin, 8.19% (1,480 sampel) menggunakan bahan berbahaya borak, 10.28% (1,858 sampel) menggunakan pewarna bukan makanan rhodamin B dan methanol yellow, 21.02%

(3,800 sampel) terindikasi cemaran mikroba, dan 19.60% (3,543 sampel) dikarenakan faktor lain-lain.

Gambar 13. Hasil pengujian produk yang tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan parameter uji tahun 2006-2010 Penggunaan pemanis buatan (sakarin dan siklamat) dan pengawet (benzoat) melebihi batas maksimal yang diijinkan. Hal ini berarti penggunaan pemanis buatan dan pengawet tidak dengan takaran yang benar. Penggunaan umumnya hanya berdasarkan rasa sensori saja. Berdasarkan hasil kajian Jarwati (2009), jenis pemanis buatan yang yang paling banyak digunakan secara tunggal pada produk pangan IRTP di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2004-2007 adalah aspartam, siklamat dan sorbitol.

Parameter uji untuk penggunaan BTP yang berlebih yaitu pemanis buatan (sakarin dan siklamat) dan pengawet (benzoat), bahan berbahaya yaitu formalin dan boraks, uji pewarna bukan untuk makanan yaitu rhodamin B dan methanil yellow, uji cemaran mikroba yaitu Angka Lempeng Total, MPN coliform dan Angka Kapang-Khamir, sedangkan parameter uji lain-lain terdiri dari kadar abu, kadar air, bobot tuntas, label dan BTP yang belum diijinkan. Pengujian cemaran mikroba terhadap produk yang sudah ada SNI-nya, maka parameter yang diuji mengacu pada SNI produk yang bersangkutan. Sedangkan produk yang belum

mempunyai SNI, parameter uji mengikuti tabel prioritas dalam petunjuk teknis sampling rutin produk pangan yang disusun oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan Badan POM.

Untuk melakukan pengujian sampel produk tentunya di dukung oleh kemampuan laboratorium dalam melakukan pengujian semua parameter uji. Laboratorium Badan POM diharapkan mampu mengawasi setiap produk yang beredar di Indonesia. Agar mampu melaksanakan perlindungan kepada masyarakat secara optimal diharapkan seluruh laboratorium Badan POM mempunyai kemampuan dasar minimal yang sama. Selain itu beberapa laboratorium dapat dirancang sebagai laboratorium rujukan dengan kemampuan spesifik. Pengembangan laboratorium Badan POM diarahkan untuk memenuhi standar minimal peralatan, bangunan, dan SDM laboratorium agar dapat menguji semua produk yang beredar. Sehubungan dengan hal tersebut, Badan POM telah mengeluarkan Standar Minimal Laboratorium sesuaidengan Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK. 00.05.21.4978 tentang Standar Minimum Laboratorium Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan POM.

4.3. Kajian Implementasi Sistem Pengawasan Keamanan Pangan oleh Badan