BAB III. IMPLEMENTASI PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA Bab ini akan membahas bagaimana implementasi Perjanjian Protokol
IMPLEMENTASI PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA
3.1 Implementasi CDM di Indonesia
3.1.1 Implementasi Proyek CDM di Indonesia 1 Pengesahan Perjanjian Protokol Kyoto
Untuk melaksanakan CDM di Indonesia diperlukan persiapan yang matang untuk mengimplementasikan proyek CDM, suatu negara atau pihak konvensi perubahan iklim yang akan mengimplementasikan kegiatan CDM harus menjadi Pihak Perjanjian Protokol Kyoto. Negara atau pihak tersebut harus mengesahkan Perjanjian Protokol Kyoto melalui ratifikasi. Jika pihak tersebut bukan pihak konvensi perubahan iklim, maka langkah yang harus diambil adalah melakukan penerimaan (Acceptance), pengesahan (approval) atau aksesi (accasion) atas Perjanjian Protokol Kyoto.62 Pengesahan atas sebuah perjanjian internasional melalui ratifikasi akan memiliki implikasi politik dan hukum yang sangat luas. Jika Indonesia meratifikasi Perjanjian Protokol Kyoto maka secara politis Indonesia mendukung diimplementasikannya seluruh ketentuan yang terdapat didalamnya. Ratifikasi juga merupakan langkah politik yang menyatakan solidaritas terhadap negara-negara lain yang sudah meratifikasinya
sekaligus juga mendapat kesempatan dan membuka diri untuk berdialog untuk tetap mempertahankan pandangan dan pendirian Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.
Implikasi hukumnya dengan meratifikasi sebuah perjanjian kita telah menyerap perjanjian tersebut sebagai bagian dari hukum nasional. Adapun mekanisme atau cara meratifikasinya sendiri sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Menurut ketentuan Undang-undang No.24 tahun 2000 ratifikasi sebuah perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup harus dilakukan dengan menggunakan Undang-undang. Maka jika Perjanjian Protokol Kyoto diratifikasi oleh Indonesia status hukumnya setinggi Undang-undang. Proses ratifikasi ini menjadi urusan pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, di Indonesia sebelum rancangan Undang-undang (RUU) tersebut diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah harus melakukan konsultasi dengan para stakeholder. Proses ini akan menghasilkan Naskah Akademik yang merupakan dokumen pendukung untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan. Naskah RUU biasanya terdiri dari 2 pasal yang intinya menimbang berbagai alasan yang relevan dan mengesahkan perjanjian tersebut.
3.1.1.2 Pengembangan Kelembagaan
Setelah meratifikasi Perjanjian Protokol Kyoto, agar dapat berpartisipasi dalam CDM suatu pihak diisyaratkan memiliki lembaga yang ditunjuk untuk melakukan implementasi CDM.Dengan Ratifikasi Protokol memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam penurunan emisi GRK melalui Mekanisme Pembangunan Bersih. Untuk pelaksanaan CDM ini, Indonesia telah membentuk Designated National Authority (DNA) yaitu Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih-KNMPB
berperan sebagai otoritas yang ditunjuk untuk memberikan persetujuan nasional bagi proyek-proyek CDM. Sejak pembentukannya, KN MPB (Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih) telah memberikan persetujuan nasionalnya kepada 6 proyek CDM, dua diantaranya dalam tahap registrasi di tingkat internasional oleh Executive Board dan sampai saat ini tercatat delapan aplikasi proyek yang masih dalam tahap evaluasi.63 Dengan lembaga ini pihak investor dan tuan rumah saling berurusan. Komite Nasional Perubahan iklim yang beranggotakan pejabat pemerintah berbagai sektor, kalangan akademisi, pelaku bisnis, dan organisasi non-pemerintah (NGO-Non Government Organization). Lembaga ini merupakan forum konsultasi lintas sektoral dan lintas stakeholder untuk memecahkan berbagai masalah yang terkait dengan tugas focal point nasional. Dengan demikian lembaga ini yang mempersiapkan terbentuknya otoritas nasional yang ditunjuk (Designated National Authority,DNA) untuk mewakiliki kepentingan nasional untuk mengimplementasikan CDM sesuai dengan Protokol.DNA yang profesional akan bekerjasama secara enfisien dengan entitas operasional yang ditunjuk oleh Badan Pelaksana CDM untuk melaksanakan tugas-tugas validasi, verifikasi, serta setifikasi yang akan menghasilkan CER yang diterbitkan oleh badan pelaksana , kepentingan nasional (pemerintah) akan terwakili. Efisiensi DNA akan diukur dari kemampuannya menyelesaikan tugasnya sesuai dengan siklus dan prosedur pelaksanaan CDM. Tugas sehari-hari DNA dibantu badan pelaksana harian yang memeriksa secara detail proyek dan hasil implementasinya. Oleh karena itu, pembentukan DNA juga harus memiliki status hukum yang jelas dilakukan secara
transparan dan dikenal masyarakat secara luas. Struktur kelembagaan CDM dapat dilhat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Posisi otoritas nasional (DNA) dalam implementasi CDM.
Sumber: Daniel murdiyarso, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Op Cit., hal 131.
3.1.1.3 Pengembangan Kapasitas
Setelah pembentukan DNA, selain memfasilitasi pengembangan dan implementasi proyek juga harus mengembangkan kapasitasnya sendiri, meliputi pengetahuan teknis, hukum nasional, dan internasional, serta aspek-aspek bisnis dan finansial. Untuk memahami maslah lingkungan secara efektif, harus memahami prosedur analisis mengenai dampak lingkungan. Kapasitas ini sangat diperlukan pada saat proyek sedang
COP/MOP
Badan Pelaksana CDM Sekretariat UNFCC Focal Point Nasional
UNFCC
Komite Nasional Perubahan Iklim
Otoritas Nasional
Pelaksana Harian
Investor Mitra/tuan runah
Entitas operasional
peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta kebijakan-kebijakan makro yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Pemahaman tentang perjanjian internasional, termasuk konvensi perubahan iklim. Dengan kapasitas itu, DNA dapat mengembangkan kapasitas pihak lain, khususnya pihak tuan rumah atau perantara yang mengatasnamakan kepentingan mereka. Para investor dan tuan rumah harus bekerjasama dengan DNA dalam pengembangan proyeknya. Dalam implementasi proyek, DNA memerlukan kemampuan mengawasi sekaligus penasihat yang baik, pengetahuan teknis dan hukun akan sangat diperlukan karena hasil pemantauan proyek akan tersedia bagi entitas operasional dan publik akan memerlukan kemampuan DNA.
3.1.1.4 Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Permasalahan lingkungan hidup merupakan masalah yang kompleks sehingga tidak dapat ditangani oleh pihak pemerintah saja dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup. Kompleknya permasalahan menuntut pemecahan secara multidimensi dan komprehensif. Salah satunya adalah keterlibatan peran serta seluruh masyarakat. Namun dalam kenyataannya peran serta masyarakat masih menghadapi persoalan yang cukup rumit dan sensitif, sehingga keterlibatannya dalam pengelolaan lingkungan hidup mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahap pemantauan masih relatif rendah.
Untuk memperlancar tugas DNA penting meningkatkan kesadaran masyarakat dalam arti luas, termasul kalangan pemerintah di berbagai sektor, masyarakat madani, masyarakat ilmiah, dan pelaku bisnis dan untuk meningkatkan kesadaran pemerintah
kedalam sektor-sektor pembangunan. Memberi gambaran yang konket bahwa pembangunan berkelanjutan adalah investasi untuk generasi mendatang yang memerlukan kebijakan yang jelas dan diterima masyarakat. Masyarakat madani memiliki persoalannya sendiri dalam rangka memberikan kontrol terhadap program pemerintah yang berhubungan dengan kepentingan publik. Oleh karena itu dalam peningkatan kesadaran publik dan peran mereka diperlukan penekanan tentang pentingnya proses yang partisipatif.
Ketiga hal ini penting dilakukan dalam suatu proses lintas sektoral dan multi- sektoral agar implementasi Protokol mendapat dukungan penuh masyarakat yang memahami persoalannya dengan baik. Komite Nasional Perubahan iklim yang telah dibentuk pemerintah harus mendukung tugas focal point nasional konvensi perubahan iklim untuk melakukan persiapan tersebut.
3.1.2 Lembaga-lembaga Pemerintah yang berkaitan dengan Mekanisme