• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. IMPLEMENTASI PERJANJIAN PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA Bab ini akan membahas bagaimana implementasi Perjanjian Protokol

DAN LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO 17 TAHUN

9. Tim Peninjau Ahl

Tugas dari Tim ini adalah melakukan peninjauan dan penilaian teknis secara menyeluruh terhadap informasi yang disampaikan oleh para pihak dalam Annex I kepada sekretariat dalam rangka implementasi pasal 7.56

10.GEF (Global Environment Facility)

setiap laporan yang diserahkan kepada sekretariat akan ditinjau oleh Tim yang berbeda namun masing-masing akan menggunakan prosedur yang sama.

Merupakan mekanisme keuangan untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim dan implementasi konvensi di negara berkembang. Dana yang dikelola GEF untuk kegiatan yang berkaitan dengan perubahan iklim berjumlah milyaran dollar dan di implementasikan oleh Bank Dunia, UNDP, dan UNEP. Pemakaian dana GEF selalu melalui keputusan CoP berdasarkan masukan dari SBI. Perjanjian Protokol Kyoto diperkirakan akan meggunakan mekanisme keuangan yang sama.

56

2. 1. 5 Manfaat Perjanjian Protokol Kyoto di Indonesia

Dengan mengesahkan Perjanjian Protokol Kyoto, Indonesia mengadopsi Protokol tersebut sebagai hukum nasional untuk dijabarkan dalam kerangka peraturan dan kelembagaan sehingga manfaat Perjanjian ini dapat:

a. Mempertegas komitmen pada Konvensi Perubahan Iklim berdasarkan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan (Common but differentiated responsibilities principle).57

b. Melaksanakan pembangunan berkelanjutan khususnya untuk menjaga kestabilan konsentrasi GRK diatmosfer sehingga tidak membahayakan iklim bumi.

c. Membuka peluang investasi baru dari negara industri ke Indonesia melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB).

d. Mendorong kerjasama dengan negara industri melalui MPB untuk memperbaiki dan memperkuat kapasitas, hukum, kelembagaan, dan alih teknologi penurunan emisi GRK.

e. Mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan.

f. Meningkatkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap GRK.

57

2.2 LATAR BELAKANG PENGESAHAN UNDANG-UNDANG NO. 17 TAHUN 2004.

Sesuai dengan penjelasan bab sebelumnya bahwa Perjanjian Protokol Kyoto dipandang penting dalam mengatasi perubahan iklim, oleh karena peraturannya yang bersifat mengikat anggota-anggotanya secara hukum. Sebagai wujud komitmen para anggota diisyaratkan untuk mengadopsi perjanjian dan meratifikasinya melalui undang- undang yang sah, negara-negara yang telah meratifikasi dipandang layak untuk berpartisipasi dalam mengatasi perubahan iklim. Dalam hukum internsional konvensi berada pada posisi utama, dan protokol sebagai penyempurna konvensi sebelumnya. Masalah perubahan iklim telah dibahas seelumnya dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-undang No. 6 tahun 1994 pada masa rejim Soeharto namun pada konvensi tersebut anggota belum terikat secara tegas.

Dengan munculnya kesepakatan baru seperti Perjanjian Protokol Kyoto yang tujuannya sama dengan konvensi sebelumnya dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Protokol ini jauh lebih bersifat mengikat para anggotanya untuk menjalankan kewajiaban dibanding dengan konvensi sebelumnya. Selanjutnya Indonesia juga turut meratifikasi perjanjian ini melalui Undang-undang No.17 tahun 2004 pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri di sahkan pada tanggal 28 juli 2004. Pengesahan ini memiliki berbagai pertimbangan-pertimbangan yang mendorong Indonesia meratifikasinya yaitu: Pertama, bahwa Indonesia dengan Undang-undang No.6 tahun 1994 telah meratifikasi konvensi perubahan iklim perlu menetapkan Perjanjian Protokol Kyoto. Kedua, bahwa perubahan iklim bumi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menimbulkan pengaruh merugikan terhadap lingkungan dan kehidupan manusia sehingga

(common but differentiated responsibilities) dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tiap-tiap negara. Ketiga, bahwa sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk naiknya permukaan laut. Keempat, bahwa sebagai negara yang sedang membangun, Indonesia perlu mengembangkan industri dengan teknologi bersih khususnya yang rendah emisi. Kelima, bahwa sebagai negara tropis yang memiliki hutan terluas kedua di dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam mempengaruhi iklim bumi. Keenam, bahwa Perjanjian Protokol Kyoto mengatur emisi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia agar konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil dan tidak membahayakan sistem iklim bumi.

Dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan tersebut Indonesia perlu mengesahkannya melalui peraturan Undang-undang. Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti dengan pengesahan Protokolnya, itu adalah hak negara tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang didasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politik, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis.

Secara konstitusional, pengesahan Perjanjian Protokol Kyoto sebenarnya dapat dilakukan dengan keputusan presiden (Keppres) (UUD 1945 pasal 11), demikian juga kovensinya (Konvensi Perubahan Iklim) telah diratifikasi dengan UU No.6 tahun 1994. Namun demikian, menurut UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, diamanatkan bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan dengan UU. Pilihan antara UU dan Keppres sering dipertanyakan

masyarakat menyangkut kekuatan dan aspek praktis perangkat-perangkat hukum tersebut. Undang-undang jelas memiliki kekuatan hukum yang lebih besar dan aplikasi yang lebih luas mengingat implementasi Perjanjian Protokol Kyoto akan lintas sektoral menyangkut keberadaan pemerintah di daerah. Sementara itu, keppres tidak memiliki perangkat implementasi seperti PP. Keppres dapat diimplementasikan melalui keputusan menteri, tetapi kemungkinan untuk mengiimplementasikannya di daerah akan banyak tantangannya.Oleh karena itu, dengan undang-undang akan lebih efektif.

Penyerahan status pengesahan kepada Sekretaris Jendral PBB dapat dilkakukan dengan berbagai instrumen, diantaranya ratification, acceptance, dan approval.58 Kekuatan dan implikasi masing-masing instrumen dan hukum internasional adalah sama artinya instrumen yang satu tidak lebih penting disbanding dengan yang lain. Bedanya adalah ratification dan approval digunakan ketika suatu negara sudah mengadopsi perjanjian tersebut (Indonesia telah mengadopsi Perjanjian Protokol Kyoto), sementara accession dan acceptance digunakan bila negara yang bersangkutan bukan merupakan pihak dalam perjanjian diatasnya (UNFCC/ United Nation Framework on Climate Change). Secara singkat dengan berbagai alasan dan latar belakang tidak semua lapisan masyarakat di banyak negara berkembang dan mungkin juga di Indonesia menyetujui ratifikasi, tetapi tidak sedikit pula yang melihat peluang-peluang baru dalam dunia bisnis dan usaha.59

BAB III

Dokumen terkait