• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Analisis Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilas

DAFTAR TABEL

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Implikasi Analisis Beban Pencemar dan Kapasitas Asimilas

Kondisi perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara tercemar, hal ini dapat dilihat dari status pencemaran dan nilai kapasitas asimilasi yang di hitung dari penelitian yang dilaksanakan pada bulan September sampai November dan direferensikan oleh standar baku mutu berdasarkan keputusan menteri KLH No, 51/Men – KLH/2004.

Melihat besarnya beban pencemar dan kapasitas asimilasi di perairan

Pelabuhan Perikanan Cilincing, mengindikasikan bahwa

permasalahan-permasalahan khususnya di bidang pencemaran perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing perlu segera kita pahami dan kita carikan solusi untuk mengurangi jumlah beban pencemar yang masuk ke perairan dan mempertahankan nilai beban pencemar pada parameter yang belum membahayakan perairan dan jika memungkinkan berupaya untuk meningkatkan kualitas perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing menjadi lebih baik.

44

Untuk mengetahui status pencemaran perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara, telah di lakukan pengujian beberapa parameter, hasil dari pengujian konsentrasi parameter telah melampaui ambang baku mutu yang diperbolehkan seperti oksigen terlarut, nitrat, fosfor, dan timbal, untuk itu maka di perlukan perhatian yang lebih serius atau dengan kata lain diperlukan pengelolaan dan pengendalian pencemaran terutama bahan-bahan pencemar yang telah melampaui kapasitas asimilasinya dengan lebih serius lagi serta memperhatikan sumber pencemarnya.

Suhu

Suhu air merupakan salah satu parameter yang sangat penting bagi biota air, oleh karena itu untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang optimal setiap biota mempunyai batas toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu terendah dan suhu tertinggi. Suhu perairan berpengaruh terhadap kelarutan oksigen, komposisi substrat, luar permukaan yang mendapat sinar matahari, kekeruhan maupun kecepatan reaksi kimia di dalam air yang juga mempengaruhi proses osmoregulasi, dan pernapasan organisme. Oleh sebab itu dengan meningkatnya suhu perairan maka kehidupan organisme di dalamnya juga terpengaruh pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian. Secara umum pengaruh suhu terhadap biota perairan yaitu pengaruh tidak langsung berupa perubahan struktur dan dispersi hewan air (Nontji, 1984).

Hasil pengukuran pada bulan September sampai November suhu air permukaan pada setiap stasiun pengamatan rata-rata berkisar antara 29,67 0C – 30,67 0C. Kisaran suhu ini sesuai dengan keadaan normal pada musim peralihan (September – November) yang berkisar antara 29,5 0C – 30,7 0C (KPPL, 1997). Dengan melihat kisaran suhu tersebut memperlihatkan bahwa suhu perairan di lokasi penelitian ada dalam kisaran toleransi, bahkan hampir mendekati titik optimalnya sehingga sangat mendukung kehidupan biota yang ada di dalamnya.

45

Kekeruhan

Kekeruhan merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan sinar yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air tersebut (Hariyadi, 1992). Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan biota karena dapat menghambat penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan, jika melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan.

Hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan September – November nilai rata-rata kekeruhan di lokasi penelitian adalah 6.08 – 15.51 NTU yang berarti telah melampaui batas ambang baku mutu. Tingginya kekeruhan ini di sebabkan banyaknya erosi tanah sehingga partikel-partikel tanahnya terbawa ke perairan dan karena banyaknya hasil penguraian bahan organik.

Salinitas

Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji, 1984). Klasifikasi kandungan salinitas pada perairan ada 4 kategori : (1) Hiperhaline dengan salinitas diatas 40%; (2) Euhaline dengan salinitas antara 30 – 40%; (3) Mixohaline dengan salinitas antara 0.5 – 30% dan (4) Limnatic water dengan salinitas < 0.5%

Hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan September – November didapat nilai rata-rata salinitas 29.67 – 31.45%, berarti perairan digolongkan pada perairan euhaline dan akan mendukung kehidupan biota-biota laut.

pH

pH air laut pada umumnya tidak banyak bervariasi karena adanya kapasitas penyangga (buffering capacity) dari sistem karbondioksida dalam air laut, berarti PH air laut tidak mudah berubah.

Hasil pengukuran yang dilakukan pada bulan September – November didapat nilai rata-rata pH 6.5 – 8.4 nilai ini mengindikasikan bahwa perairan masih di bawah nilai batas ambang baku mutu dan diperbolehkan oleh Kep. Men LH No. 51/2004.

46

BOD dan COD

BOD merupakan gambaran secara tidak langsung kadar bahan organik yang memgambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Dengan kata lain BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 200 C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya.

Hasil analisis kapasitas asimilasi BOD menunjukkan bahwa pencemaran parameter tersebut belum melebihi nilai kapasitas asimilasinya, beban pencemar BOD bersumber dari limbah domestik dan limbah industri. BOD hanya menggambarkan bahan organik yang didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini bisa berupa lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat, bahan organik merupakan hasil pembusukan hewan dan tumbuhan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri.

COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi secara kimiawi bahan organik, baik yang bisa didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2dan H2O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan dalam mengoksidasi air sample. Hasil analisis kapasitas asimilasi COD menunjukkan bahwa beban pencemaran parameter tersebut telah melebihi nilai kapasitas asimilasinya, menurut Anna (1999), nilai kapasitas asimilasi COD di teluk Jakarta pada tahun 1999 sebesar 266.042 ton/tahun. Pada musim kemarau tinggi pencemaran COD di musim kemarau merupakan konsekuensi dari kepekatan konsentrasi yang tinggi dari COD, sebagai akibat berkurangnya volume air laut akibat penguapan yang tinggi. Sumber beban pencemaran berasal dari limbah domestik dan limbah industri. Selanjutnya menurut (Effendi , 2003) perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian.

47

NH3 dan NO3

Amoniak (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air, ion amonium adalah bentuk transisinya, sumber amoniak diperairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen an-organik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003)

Amoniak pada suhu dan tekanan normal diperairan alam berada dalam bentuk gas, pada pH 7 atau kurang, sebagian besar amoniak mengalami ionisasi dan pada pH lebih besar dari 7 amoniak tidak terionisasi dan bersifat toksin terhadap organisme akuatik.

Hasil analisis kapasitas asimilasi amoniak menunjukkan bahwa beban pencemaran parameter tersebut telah melebihi kapasitas asimilasinya, dalam hal ini sumber beban pencemarnya berasal dari limbah industri. Selanjutnya menurut Effendi (2003) amoniak banyak dipakai pada proses produksi urea, produksi bahan kimia, industri bubur kertas dan kertas (pulp and paper).

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama diperairan alami. Nitrat adalah nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, dihasilkan dari proses oksidasi senyawa nitrogen diperairan (Effendi, 2003).

Hasil analisis kapasitas asimilasi nitrat menunjukkan bahwa beban pencemaran parameter tersebut telah melebihi kapasitas asimilasinya. Dalam hal ini sumber beban pencemarnya berasal dari limbah domestik.

Fosfor

Fosfor total menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, berupa anorganik maupun organik. Fosfor organik banyak terdapat pada perairan yang banyak mengandung bahan organik. Di perairan, bentuk unsur fosfor secara terus-menerus berubah akibat proses dekomposisi dan sintesis antar bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba (Effendi, 2003).

48

pencemaran parameter tersebut telah melebihi kapasitas asimilasi, dalam hal ini sumber beban pencemarnya berasal dari limbah industri dan limbah domestik. Selanjutnya menurut Barry (1985) dalam Effendi (2003), fosfor banyak di gunakan sebagai pupuk, sabun atau detergen, industri keramik, minyak pelumas, produk minuman dan makanan. Pada industri polifosfat ditambahkan langsung untuk mencegah terjadinya pembentukan karat dan korosi pada peralatan logam.

Timbal

Timbal (Pb) ditemukan dalam bentuk terlarut dan dan tersuspensi pada perairan. Timbal dan persenyawaannya dapat berada dalam perairan secara alamiah dan sebagai dampak aktifitas manusia. Timbal masuk kedalam perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan, disamping itu korofikasi dari batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin juga merupakan salah satu cara Pb masuk kedalam perairan. Hasil analisis kapasitas asimilasi timbal menunjukkan bahwa beban pencemaran parameter tersebut telah melebihi kapasitas asimilasinya, dalam hal ini sumber pencemarnya berasal dari limbah industri dan aktivitas di pelabuhan yang mengunakan bahan bakar minyak.

Menurut Effendi (2003) Timbal banyak digunakan dalam industri baterai. Bahan bakar yang mengandung timbal (loaded gasoline) juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal dalam air.

Dari hasil pengukuran limbah dari Sungai Cakung Drain yang bermuara pada perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing mempunyai konstribusi beban pencemar yang besar maka perhatian harus lebih di arahkan pada sistem Sungai Cakung Drain yang bermuara di perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing.

Usaha untuk menurunkan beban limbah bukanlah hal yang mudah, mengingat tingkat penataan yang masih rendah, untuk itu perlu diterapkan penegakan hukum yang lebih konsisten. Konsekwensi dari upaya penegakan hukum secara konsisten dan di ikuti dengan kesiapan aparat yang tinggi karena sumberdaya manusia yang terbatas, sementara masalah pencemaran yang harus di tangani cukup besar dan rumit, maka penataan dalam bentuk “command and control” dikhawatirkan tidak konsisten. Dengan demikian perlu di kembangkan sistem lain seperti “pollutan charge” dengan penerapan “reward and panishment” sehingga secara suka rela melakukan penataan baku mutu ( Anna, 1999).

49

Kualitas perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing menunjukkan hubungan yang liniear dengan beban pencemaran yang berasal dari Sungai Cakung Drain yang masuk ke perairan. Dengan demikian pengelolaan perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing tidak lepas dari pengelolaan Sungai Cakung Drain yang sepanjang daerah aliran sungai menerima limpahan limbah cair maupun padat dari berbagai sumber.

Terdapat 2 (dua) golongan sumber pencemar di perairan Pelabuhan Perikanan Cilincing Jakarta Utara yaitu sumber pencemar instansional/point sources seperti industri, rumah sakit, perkantoran dan hotel yang jelas pengelola dan penanggung jawabnya dan sumber non instansional/non point sources seperti limbah dari pemukiman dan limbah dari aktifitas pelabuhan yang tidak jelas pengelola dan penanggung jawabnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Pelabuhan Perikanan

Dokumen terkait