• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Berlipatnya Saluran

Dalam dokumen Digitalisasi Televisi di Indonesia pdf (Halaman 90-94)

BAB III PETA PERSOALAN

A. Karakter dan Kesiapan Sosial-Budaya Masyarakat

3. Implikasi Berlipatnya Saluran

Jumlah stasiun televisi di Indonesia mengalami perkembangan sangat signiikan dari masa ke masa. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, saat ini, ada sekitar 400 lembaga penyiaran. Sebanyak 218 di antaranya dimiliki stasiun televisi nasional/jaringan yang dikuasai oleh lima perusahaan (Komisi Penyiaran Indonesia, 2012). Kemudian ada TVRI dengan 27 stasiun televisi di seluruh Indonesia.26

Terbatasnya alokasi frekuensi yang tersedia bagi lembaga penyiaran swasta (LPS) merupakan salah satu pendorong diluncurkannya migrasi dari tv analog ke digital. Dengan terselenggaranya siaran digital yang dapat memuat 6 kali lebih banyak program siaran dalam satu kanal, diharapkan masalah ini dapat teratasi. Dengan demikian, digitalisasi siaran televisi akan memungkinkan pemirsa memperoleh suatu layanan yang “terintegrasi” dan “terkonvergensi” yang memberikan banyak

63

Peta Persoalan di Seputar Isu Digitalisasi keuntungan, di antaranya adalah penggunaan atau pemanfaatan kanal frekuensi secara lebih eisien karena dengan satu kanal frekuensi dapat digunakan untuk beberapa program siaran dalam waktu bersamaan, dibandingkan dengan siaran analog yang menggunakan satu kanal frekuensi untuk satu program siaran. Dengan standar DVB-T dan menggunakan video compression MPEG-2, satu kanal frekuensi dapat dimanfaatkan untuk 6 program siaran SDTV atau 1 HDTV; dan dengan video compression MPEG-4, satu kanal frekuensi dapat dimanfaatkan untuk 10-12 program siaran SDTV atau 2-4 HDTV. Pada saat ini, standar DVB-T sedang dikembangkan ke standar DVB-T2 yang akan memuat kira-kira 3 kali lebih banyak program dari DVB-T.

Sebagai kebijakan yang menyangkut publik, berlimpahnya sejumlah manfaat praktis dari digitalisasi hendaknya tidak menyirnakan upaya untuk mengkritisinya. Berlipatnya saluran yang tersedia dan jenis siaran tv yang begitu banyak dan beragam akan membawa sejumlah implikasi bagi masyarakat. Bisa diandaikan bahwa teknologi ini akan menghadirkan ‘tsunami’ data informasi bagi khalayak. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti melesakkan—dengan kekuatan dan kapasitas tsunami— berbagai paket siaran tv digital ke dalam alam sadar kita yang secara tradisional terbiasa dengan jumlah input data yang lebih kecil dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itu, terjadilah apa yang disebut “bencana data” yang menciptakan semacam “gegar data”, di mana kapasitas tradisional memori dan proses penyerapannya tak mampu menampung. Akhirnya, terjadi semacam kekacauan dalam proses pemahaman, penyimpulan, hingga ekspresinya. Dengan demikian, data informasi dan peristiwa akan berjalan dengan cepat tanpa teramati, terpahami, dan terpergunakan secara akurat. Akibatnya, tidak ada proses dialektika, internalisasi makna secara

mendalam di mana subjek dengan tegas meneguhkan eksistensinya. Di hadapan pemirsa tv digital, memang tersaji banyak alternatif pilihan tayangan yang begitu beragam, tapi pada akhirnya hanya mendudukkan pemirsa dalam kebekuan objek di hadapan layar tv.

Dalam menganalisis fenomena industri komunikasi modern ini, ada baiknya diajukan konsep kritis dari Jurgen Habermas. Habermas memberikan jalan keluar untuk mengatasi patologi modernitas itu, yaitu dengan beralih dari rasionalitas instrumental menuju rasionalitas komunikatif yang mengandaikan adanya situasi pembicaraan yang ideal. Menurut Habermas, dalam pemikiran Hegel sendiri yang menjadi induk dari teori sosial kritis, praksis bukan hanya dimaknai sebagai kerja, tetapi komunikasi karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukkan alam dengan kerja melainkan juga dalam interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-hari.27

Sementara itu, teknologi digital dalam konteks globalisasi merupakan pintu masuk bagi paket-paket lanjutan globalisasi yang “terintegrasi” dan “terkonvergensi”. Kehadiran teknologi yang seakan tak dapat ditolak ini akan menggiring pada apa yang disebut sebagai virtual world atau dunia virtual dengan punggawanya yang bernama internet. Sebuah dunia yang berkembang menjadi realitas alternatif. Di sana, berdiam orang dewasa, dan terutama anak muda dan remaja, dalam sebuah kenyamanan hidup (iksional) yang tidak mereka temukan dalam hidup aktualnya sehari-hari.

Dalam virtualitas itu, kita bisa menciptakan klaim dengan kebebasan tak terperi. Kita bisa menyatakan diri, beraktualisasi, mengkreasi apapun, bahkan menyisihkan siapapun yang menghalangi. Kita menciptakan kebenaran kita sendiri, dunia kita 27 Budi Hardiman. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.

65

Peta Persoalan di Seputar Isu Digitalisasi sendiri, dengan kebebasan (artiisial) yang terberi, yakni legitimasi yang diberikan oleh sistem (demokrasi dan kapitalisme) yang kita pilih dan terapkan.

Hal yang menarik dan sangat berbahaya adalah ketika kenyamanan realitas yang virtual itu kemudian dianggap sebagai “realitas sesungguhnya”. Lalu, sebagian dari mereka memindahkan “realitas sesungguhnya” itu ke dalam realitas aktual, menggunakannya sebagai acuan bahwa panduan bagi dia dalam menegaskan eksistensi, beraktualisasi dan mengonstitusi hidup nyata serta bagi orang lain. Di tengah kegagapan masyarakat dengan basis ilmu pengetahuan terbatas dan kapasitas rasionalitas yang minim, menjadikan sajian tayangan tv digital yang berlimpah seakan menjadi referensi utama. Mereka sudah tak lagi mampu mengidentiikasi, mengevaluasi, dan mengaktualisasi dunia pragmatis-praktis di sekitarnya. Jadilah mereka—masyarakat atau bangsa itu—sebuah adab baru yang virtual, fantasional, dan ilusional.28

Publik yang juga terdiri dari unit-unit sosial dan terderivasi dalam individu-individu yang otonom, mengingat demokrasi melazimkan itu, teknologi apapun, terutama digitalisasi media publik tetap membawa misi pencarian makna, signiikansi, dan hikmah dari pergulatan abadi manusia dalam dikotomi realitas tersebut. Jika kemudian kesadaran publik sudah “lari” dengan ekor terlipat ke wilayah unreal atau hyper-real, jelas ia menjadi indikasi telah terjadi keletihan luar biasa, bahkan frustrasi, ketakutan luar biasa bahkan kepengecutan, dalam menghadapi “realitas sesungguhnya”. Sebagian bahkan menganggap—secara ilosois dan ontologis, katanya—justru yang terakhir itu sebenarnya yang tiada. Apalagi agama menyiapkan apologi purbanya bahwa kenyataan

nyata itu sesungguhnya fana dan yang sejati ada dalam baka. Mengantisipasi kebijakan migrasi teknologi dari tv analog ke digital menuntut adanya pengkritisan antarberbagai stakeholders

yang sinergis supaya kehadirannya menjadi berkah bagi demokratisasi dan peningkatan harkat kebudayaan, kemanusiaan kita. Menyiasati bagaimana teknologi dan globalisasi dapat kita tunggangi, bukan sebaliknya menjadi master, bukan hambanya.

Bencana sebenarnya akan terjadi bukan ketika negara menjadi gagal, tetapi ketika kita gagal mengidentiikasi realitas aktual dan faktual sesungguhnya. Di titik itu, bukan lagi negara, tetapi kebudayaan yang gagal. Negara boleh gagal berkali-kali, tetapi sekali kebudayaan gagal, bangsa pun binasa. Riwayatnya terhapus, menyisa artefak lapuk di sejarah dunia.

B. Infrastruktur

Dalam dokumen Digitalisasi Televisi di Indonesia pdf (Halaman 90-94)