• Tidak ada hasil yang ditemukan

Regulator Independen

Dalam dokumen Digitalisasi Televisi di Indonesia pdf (Halaman 127-133)

BAB III PETA PERSOALAN

F. Regulasi dan Regulator Penyiaran

2. Regulator Independen

Terkait frekuensi sebagai benda publik dan kekayaan alam yang terbatas, maka berlaku Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Media penyiaran tanpa kabel dikategorikan media penyiaran tradisional yang memakai gelombang elektromagnetik sebagai benda publik sehingga ia perlu diatur oleh lembaga independen guna menjamin dua hal. Pertama, keterlibatan warga-negara selaku pemilik frekuensi tidak sekadar menempatkan mereka sebagai khalayak, tetapi hak-hak sipil dan politiknya terpenuhi melalui perwakilan independen. Kedua, menjaga kepentingan pluralisme masyarakat penyiaran sesuai amanat UUD 1945 dan UU 32/2002. Untuk menjamin kedua hal itu, jalur frekuensi yang dipergunakan baik untuk komunikasi interaktif (point to point) maupun penyiaran (broadcasting) dengan kabel (wire) atau tanpa kabel (wireless) memerlukan sistem alokasi yang mengacu prinsip mengutamakan kepentingan publik. Regulasi yang diwujudkan dalam bentuk UU atau regulasi di bawahnya harus mengatur lisensi dari negara untuk operator dari sisi teknologi dan mengatur kepastian alokasi yang proporsional di antara berbagai pihak, merata sesuai prinsip demokratisasi penyiaran.

Dari perspektif ekonomi, frekuensi selaku benda publik adalah barang atau jasa yang tidak bisa dikonsumsi atau dipergunakan secara individu tanpa mempunyai pengaruh apapun terhadap individu-individu lain dalam suatu kelompok. Jika seorang individu mengonsumsi atau menggunakan benda publik, maka pengaruhnya akan dirasakan oleh individu-individu lain. Pihak lain yang tidak berpartisipasi sekalipun tidak bisa dikecualikan dalam proses pemanfaatan atau sebagai pihak yang terkena dampak penggunaan barang publik tersebut. Jenis barang publik murni biasanya mempunyai dua karakteristik utama.

Pertama, penggunaannya tidak dimediasi oleh transaksi yang bersaing (non-revalry) sebagaimana barang privat biasa. Kedua, tidak dapat diterapkan prinsip pengecualian (non-excludability)

untuk satu pihak saja. Untuk itulah, diperlukan kompetensi dan independensi dari institusi negara yang ditunjuk publik untuk terlibat secara langsung dalam penyediaan dan distribusi barang publik ini, sedangkan pihak lain, dalam hal ini swasta, harus mematuhinya.50

Sekali lagi, mengingat frekuensi sebagai benda publik, maka ia harus diatur dengan memenuhi ketentuan norma pilihan publik. Secara diametral, barang publik dan barang pribadi memiliki jurang pemisah sehingga peran swasta komersial dan pemerintah harus terbatas dalam pengelolaannya dibandingkan peran publik. Pembatasan itu wajar agar kepentingan publik tanpa intervensi pasar maupun pemerintah terhadap suatu pemanfaatan frekuensi terpenuhi secara memadai.

Dari sisi permintaan pemakaian, barang privat dapat didasari kebutuhan individu pemohon, sedangkan barang publik harus

50 Didik J. Rachbini. 2002. Ekonomi-Politik, Paradigma dan Teori Pilihan Publik. Jakarta: Ghalia

101

Peta Persoalan di Seputar Isu Digitalisasi berdasarkan kebutuhan kolektif. Keputusan untuk memberikan izin atau memenuhi permintaan pemohon atas barang publik harus merupakan artikulasi dari pilihan publik (public choice).

Pilihan publik adalah perspektif sosial-politik yang dipakai untuk menjelaskan proses pengambilan keputusan kolektif atas berbagai fenomena nonpasar yang dipergunakan pula dalam disiplin ekonomi-politik. Teori public choice adalah proses di mana preference

individu dikombinasikan ke dalam keputusan kolektif. Dalam konteks inilah dikenal proses lelang frekuensi terbuka, partisipatif, dan pro-publik.

Pertanyaannya kemudian institusi seperti apa yang pantas, kompeten, dan terjamin independensinya untuk menjadi regulator frekuensi siaran, baik analog ataupun digital? Untuk itu, studi empiris di berbagai negara harus dilakukan sebagaimana nanti bisa dilihat secara lebih detail pada bab selanjutnya. Pada bab ini, akan disinggung secara sekilas praktik regulasi dan regulator di negara lain yang sudah maju. Di Amerika Serikat yang sejarah penyiaran dan regulasinya tergolong tua, meski beberapa kali terjadi pergantian UU, lembaga yang berwenang disebut Federal Communication Commission (FCC). FCC berdiri berdasarkan Communication Act 1934. FCC adalah sebuah badan independen dengan kekuasaan mengatur komunikasi dengan atau tanpa kabel, termasuk radio, televisi, sebagaimana juga microwave dan satelit. Dengan tetap berpedoman pada First Amendment, FCC juga mengatur isi yang berhubungan antara lain dengan obscenity (cabul), indecency (tidak senonoh), dan siaran untuk anak berdasarkan Children’s Television Act 1991. Pada 1996, Kongres mengeluarkan Telecommunication Act yang baru, yang tetap mempertahankan FCC sebagai regulator utama media elektronik (Albarran, 2010).51

Anggota FCC ditunjuk oleh Presiden, disetujui dan dikukuhkan oleh Senat untuk waktu lima tahun. Organisasinya dilengkapi dengan tujuh biro, yaitu Wireline Competition,

Enforcement, Wireless Telecommunication, Media, Consumer and Governmental Afairs, International, dan Public Safety and Home Security. Salah satu tugas utama FCC adalah memberikan izin. Sepanjang sejarahnya dalam memberikan izin, selalu didasarkan pada pertimbangan diversity of ownership. Meskipun jarang terjadi, FCC dapat saja mencabut dan tidak memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaran.

Di Inggris, terdapat Oice of Communications (Ofcom). Sebuah otoritas yang disebut sebagai Independent Regulator and Competition Authority untuk industri komunikasi (Ofcom, 2012).52 Ofcom meregulasi kehidupan televisi, radio, telepon ixed

line ataupun mobile, dan beberapa kegiatan komunikasi lainnya, termasuk memberikan izin. Lembaga ini beroperasi berdasarkan

Communication Act 2003, yang secara jelas menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Organisasi ini dilengkapi dengan bagian operasional yang melayani ribuan orang setiap minggu. Terdapat juga Content Board, yang mengatur dan berkewajiban meningkatkan kualitas isi dan standar untuk televisi dan radio. Selain itu, Ofcom harus memerhatikan secara saksama kepentingan semua masyarakat yang hidup di daerah yang berbeda di Inggris53.

Di Australia, terdapat he Australian Communications and Media Authority (ACMA), sebuah otoritas yang dibentuk oleh undang-undang. ACMA berdiri pada 1 Juli 2005 melalui merger antara Australian Broadcasting Authority dan Australian

52 Siregar, “Regulator…”, Ibid

103

Peta Persoalan di Seputar Isu Digitalisasi

Communications Authority. ACMA bekerja berdasarkan Broadcasting Service Act 1992 yang sudah diamendemen berkali-kali. Inilah barangkali yang membuat peraturan perundang-undangan penyiaran di Australia sangat terperinci.54 ACMA bertanggung

jawab atas regulasi broadcasting, internet, radiocommunication, dan

telecommunication. ACMA merencanakan penggunaan kanal dan saluran yang akan dipergunakan radio dan televisi, mengeluarkan dan memperpanjang izin, meregulasi isi dan mengatur kepemilikan, serta mengawasi pelaksanaan peraturan dalam industri penyiaran (ACMA, 2012).55

Di Kanada, penyiaran diatur oleh UU (Broadcasting Act) tahun 1991 yang menciptakan badan regulator mandiri bernama

he Canadian Radio-Television and Telecommunication Commission

(Komisi Radio, Televisi, dan Telekomunikasi Kanada). Di Kanada, tata kelola penyiaran tercantum dalam UU tentang komisi telekomunikasi, radio, dan televisi Kanada atau (CRTC Act). UU ini bersama dengan UU penyiaran mengatur keberadaan CRTC yang dibentuk parlemen sejak tahun 1968. CRTC mengatur dan menyupervisi semua aspek yang berkait sistem penyiaran di Kanada. CRTC badan independen yang aktif bekerja melalui pembuatan aturan main, penelitian dan dengar pendapat formal dan informal, mengatur keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan budaya dalam penyiaran.

Memerhatikan beberapa argumen di atas, Indonesia sebagai negara yang telah berkomitmen membangun dunia penyiaran yang demokratis, harus memegang teguh prinsip frekuensi sebagai benda publik dan membentuk atau memperkuat regulator independen yang telah ada (misalnya, Komisi Penyiaran Indonesia yang diatur UU 32/2002 tentang Penyiaran) untuk mengatur alokasi

54 ibid

dan distribusi frekuensi digital. Perubahan UU 32/2002 yang kini sedang dilakukan DPR mutlak memenuhi tuntutan ini jika Indonesia tidak ingin melangkah mundur. Belajar dari kasus lelang terbatas frekuensi multiplexing pertengahan tahun 2012, tampak jelas Kementerian Kominfo tidak independen dan tidak kompeten selaku regulator.

BAB IV

Dalam dokumen Digitalisasi Televisi di Indonesia pdf (Halaman 127-133)