• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN REKOMENDAS

Dalam dokumen Digitalisasi Televisi di Indonesia pdf (Halaman 183-189)

A. Kesimpulan

Penelitian ini dilakukan guna menjawab pertanyaan pokok, yakni bagaimana digitalisasi televisi di Indonesia? Pertanyaan besar ini kemudian diturunkan ke dalam pertanyaan yang lebih spesiik, seperti bagaimana kebijakan dan peta persoalan digitalisasi penyiaran di Indonesia? Sejak awal, sudah ditegaskan bahwa studi ini menggunakan perspektif kritis sehingga teknologi dan arah kebijakan yang mengiringinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang netral, tapi mengandung di dalamnya berbagai kepentingan. Kepentingan itu bisa dalam bentuk komersial, dan, dengan demikian, perluasan teknologi tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme pasar. Kebijakan teknologi tidak lain demi akumulasi modal melalui perluasan pasar. Selain akumulasi modal, kepentingan bisa juga merepresentasi dalam bentuk kekuasaan, yakni kontrol politik. Ini didasari asumsi bahwa siapa yang menguasai teknologi akan mempunyai kesempatan yang jauh lebih besar untuk mengontrol kekuasaan demi kepentingan diri dan kepentingan kelompoknya. Dalam perkembangannya, kontrol ekonomi dan politik senantiasa berjalin-kelindan. Penggunaan

perspektif kritis kiranya bisa digunakan untuk membongkar bukan hanya relasi-relasi yang timpang dalam struktur sosial, ekonomi, dan juga politik, tapi juga motif kepentingan di balik praktik kebijakan. Dengan cara demikian, kebijakan digitalisasi televisi di Indonesia lebih bisa dilihat dengan kaca mata yang jauh lebih jernih dibandingkan dengan melihatnya sebagai suatu entitas yang netral.

Secara garis besar, studi ini menemukan bahwa kebijakan digitalisasi televisi di Indonesia tidak memberikan ruang bagi demokratisasi penyiaran televisi. Digitalisasi yang seharusnya memberikan kesempatan bagi negara untuk menata sistem penyiaran agar lebih demokratis ternyata tidak dilakukan. Sebaliknya, kebijakan digitalisasi penyiaran melalui Permen No. 22 hanya melanggengkan dominasi penyiaran yang sudah eksisting. Bahkan, implementasi Permen ini mempunyai peluang menghancurkan penyiaran lokal dan komunitas yang baru tumbuh selama reformasi. Ini terjadi karena minimnya pertimbangan- pertimbangan untuk membesarkan lembaga penyiaran publik dan komunitas.

Permen juga mengukuhkan dominasi pemerintah dalam hal regulasi penyiaran di Indonesia, sesuatu yang melanggar prinsip demokrasi. Di negara manapun yang menganut sistem demokrasi, terutama yang menjadi kajian dalam buku ini menemukan bahwa pengaturan siaran digital dan proses digitalisasi itu sendiri dilakukan oleh lembaga negara independen. Di Indonesia, ironisnya, regulator utamanya pemerintah melalui Kemenkominfo sehingga kita kembali ke masa otoritarianisme Orde Baru. KPI sebagai lembaga negara independen hanya diberi peran yang sangat minimal. Pemerintah mengadopsi beberapa langkah strategis digitalisasi dari

157

Kesimpulan dan Rekomendasi negara lain, tapi sayangnya tidak memasukkan hal yang paling prinsipil, yakni regulator.

Di sisi lain, berbagai isu penting seperti kesenjangan sosial dan ekonomi yang terjadi di antara masyarakat Indonesia tidak ditanggapi secara serius dalam kebijakan. Berbagai studi yang dilakukan sepertinya lebih melihat teknologi sebagai sesuatu yang semata teknis. Padahal, teknologi membawa serta dampak-dampak sosial dan politik. Dampak itu ada yang baik dan ada yang buruk tergantung tingkat literasi masyarakatnya. Sayangnya, hal ini tidak mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Pemerintah hanya berpegang pada eisiensi dan kualitas siaran. Padahal, masih banyak daerah terpencil yang belum mendapatkan siaran televisi yang memadai sehingga jangankan berpikir kualitas, mendapatkan siaran pun sudah cukup baik.

Akhirnya, berbagai studi mengenai praktik-praktik digitalisasi penyiaran di luar negeri menemukan bahwa di negara-negara maju proses digitalisasi bukanlah proses yang mudah. Amerika Serikat, misalnya, proses digitalisasinya juga baru selesai setelah pemerintahan Barack Obama turun tangan. Padahal, dilihat dari kemajuan sosial dan ekonomi masyarakatnya, Indonesia jauh tertinggal. Di negara seperti Kanada, Switch of digitalisasi—untuk kasus-kasus tertentu—bahkan diserahkan kepada masyarakat itu sendiri, tidak ada batas waktunya. Di Australia, digitalisasi juga memerlukan waktu panjang dan dengan berbagai perbaikan kebijakan. Namun, di seluruh negara demokrasi itu, peran lembaga negara independen sangat krusial dalam menata dan menyiapkan digitalisasi. Di Indonesia, kebijakan digitalisasi dipaksakan sebatas menggunakan peraturan menteri (Permen) dan pemerintah berusaha mengambil keseluruhan proses yang berlangsung.

B. Rekomendasi

Dari keseluruhan uraian mengenai digitalisasi penyiaran dan berbagai studi praktik-praktik digitalisasi penyiaran di luar negeri, beberapa hal pokok perlu diperhatikan dalam digitalisasi penyiaran di Indonesia. Beberapa hal pokok itu seyogianya menjadi bahan pertimbangan.

Pertama, frekuensi adalah milik publik sehingga pengaturannya dan penggunaannya harus mempertimbangkan kepentingan dan hak publik.

Kedua, berkait dengan yang pertama, prasyarat transfer teknologi digital di tingkat masyarakat harus dijamin dalam undang- undang. Digitalisasi akan menciptakan keberlimpahan informasi dan memungkinkan terjadinya digital divide jika kesenjangan ekonomi yang saat ini ada tidak diselesaikan.

Ketiga, migrasi harus dipersiapkan dengan baik dan memberikan peluang bagi adanya berbagai alternatif dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Oleh karenanya, perlu persiapan yang lebih hati-hati agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar dunia di era digitalisasi televisi nanti.

Keempat, jaminan lembaga penyiaran publik dan komunitas melalui alokasi frekuensi yang memadai dan dukungan dana. Ini penting dilakukan agar digitalisasi justru membunuh atau menenggelamkan lembaga penyiaran publik dan komunitas.

Kelima, regulator terbaik adalah lembaga independen.

Keenam, model bisnis penyiaran digital harus menjamin demokratisasi ekonomi dan politik. Beberapa hal perlu diatur dengan jelas dalam regulasi agar diversity of content dan ownership- nya terjaga. Regulasi yang ketat dalam bisnis siaran ini juga harus mempertimbangkan daya dukung ekonomi, kesenjangan ekonomi

159

Kesimpulan dan Rekomendasi yang ada, dan kemungkinan penguasaan atau monopoli oleh segelintir orang.

Ketujuh, negara-negara yang menjadi rujukan dalam studi ini layak dijadikan bahan rujukan untuk demokratisasi penyiaran. Faktanya, di negara-negara yang sudah maju, digitalisasi dipersiapkan sedemikian rupa demi tetap menjamin demokratisasi penyiaran. Pengalaman Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Kanada, dan negara lainnya layak menjadi referensi sehingga digitalisasi penyiaran benar-benar menjamin kepentingan publik.

Terakhir, Permen No. 22 Tahun 2011 harus ditolak dan dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan undang- undang dan dengan prinsip-prinsip universal penyiaran. Frekuensi adalah milik publik dan harus diatur demi dan dalam kerangka publik. Oleh karena itu, digitalisasi penyiaran harus diatur undang- undang melalui perdebatan di parlemen sebagai representasi paling sah rakyat sebagai pemilik paling sah frekuensi. Pemerintah— lebih-lebih Kementerian Kominfo—bukanlah representasi publik atau rakyat dalam sistem demokrasi meskipun pemerintahan itu dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum, di samping Permen itu tidak demokratis karena hanya mengukuhkan dominasi tv Jakarta di seluruh Indonesia. Lebih jauh, Permen telah menggabungkan otoritarianisme politik melalui kekuasaan kementerian untuk mengatur penyiaran dan otoritarianisme kapital melalui penguasaan siaran swasta Jakarta di seluruh Indonesia. Ini akan berdampak lebih mengerikan dibandingkan sekadar otoritarianisme politik sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru ataupun otoritarianisme kapital.*******

Dalam dokumen Digitalisasi Televisi di Indonesia pdf (Halaman 183-189)