• Tidak ada hasil yang ditemukan

3 METODE PENELITIAN

P- value Uji Mann-Whitney

7 IMPLIKASI KEBIJAKAN DALAM PERIKANAN BUDIDAYA DI JAWA BARAT

Kebijakan Peningkatan Kualitas Pakan

Pakan merupakan input terbesar dalam perikanan budidaya air tawar, terutama yang sudah pada taraf intensif. Hal ini karena pada perikanan budidaya yang sudah pada taraf intensif, pemberian pakan dilakukan setiap hari selama masa pemeliharaan. Baik dan buruknya kualitas pakan akan berpengaruh terhadap produktivitas budidaya itu sendiri.

Salah satu ukuran pakan yang sering digunakan adalah Feed Conversion Ratio (FCR). FCR merepresentasikan jumlah unit pakan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit (umumnya 1 kg) ikan atau udang. Jika 2 kg pakan yang diberikan menghasilkan 1 kg ikan, maka FCR pakan tersebut adalah 2. Semakin kecil nilai FCR maka semakin baik kualitas pakan tersebut, dan sebaliknya.

Nilai FCR perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat menurut data primer berada di sekitar angka 1,8-2. Hal ini masih tergolong rendah dan dapat terus ditingkatkan. Menurut FAO (2002) kemajuan umum (berdasarkan peningkatan kualitas nutrisi dan teknik pemberian pakan, dan faktor-faktor lain) terus dibuat dalam menuju nilai FCR 1,0:1. Efisiensi pakan yang lebih baik telah dicapai oleh beberapa spesies, baik skala eksperimen maupun skala komersial. Misalnya FCR salah satu produsen

aquafeed di Eropa telah berkisar antara 1,16 untuk jenis ikan altlantic salmon

meningkat dari seblemumnya 1,25. Untuk ikan rainbowtrout FCR nya 1,35. Perusahaan pakan Asia mengklaim telah dapat mencapai FCR 1,1 untuk pakan udang laut.

Kebijakan Peningkatan Kualitas Benih

Pengembangan induk ikan budidaya air tawar harus terus ditingkatkan, hal ini untuk mendorong terus lahirnya induk-induk ikan budidaya air tawar yang unggul. Hal ini terutama induk ikan-ikan yang banyak dibudidayakan seperti ikan mas, nila, lele, dan patin. Pemuliaan induk ikan budidaya ikan air tawar harus disertai dengan produksi induk yang besar dan distribusi induk yang merata sehingga para pembudidaya dapat dengan mudah mendapatkan benih unggul.

Menurut FAO (2010) lebih dari 20 persen produksi akuakultur saat ini dihasilkan dari pembiakan selektif (selective breeding). Upaya pembiakan selektif untuk menghasilkan strain-strain ikan unggul dapat dilakukan dengan beragam cara. Perbaikan genetika dapat dilakukan dengan mengeksplorasi kode genetik yang mencakup cara teknologi penandaan (marker technologies), pemetaan genom (genome mapping) dan sekuensi genom (genom sequencing) yang dapat diaplikasikan terhadap spesies akuakultur.

GenoaMar melaporkan dengan menerapkan teknologi genetik terbaru dapat meningkatkan 35% hasil lebih baik dibanding program pemuliaan konvensional. Penerapan teknologi terbaru dapat menghasilkan generasi baru setiap sembilan bulan, dengan keuntungan genetik lebih dari 10% dalam pertumbuhannya.

Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya Dalam Sawah

Hasil analisis menunjukkan bahwa perikanan budidaya dalam sawah paling kecil produktivitasnya dan terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir. Terkait upaya pengembangan perikanan budidaya dalam sawah maka kebijakan pengembangan perikanan budidaya dalam sawah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Peningkatan jaringan infrastruktur utama perikanan budidaya dalam sawah. Infrastruktur yang utama dalam mendukung perikanan budidaya dalam sawah adalah saluran air (irigasi). Kesulitan budidaya dalam sawah terutama dirasakan karena sulitnya pasokan air.

b. Perakitan strain unggul yang dikhususkan dengan karaktersitik sawah dan karakteristik budidaya di sawah.

Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya Dalam KJA

Produksi ikan air tawar (terutama mas dan nila) dari KJA sangat berkontribusi dalam jumlah produksi ikan yang dihasilkan Jawa Barat. Produktivitas perikanan budidaya air tawar di KJA memiliki nilai yang tertinggi dibanding budidaya di kolam dan sawah. Oleh karena itu sangat perlu memberi perhatian serius dalam mempertahankan produktivitas perikanan budidaya air tawar di KJA. Namun berbagai permasalahan seperti kualitas air yang rendah dan adanya over capacity berbagai waduk tempat KJA beroperasi akan menjadi ancaman bagi keberlangsungan perikanan budidaya di KJA. Dengan memperhatikan karakteristik perikanan budidaya dalam KJA maka kebijakan pengembangan KJA perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Over capacity jumlah KJA di berbagai waduk yang ada di Jawa Barat, mengharuskan adanya penataan kembali kapasitas KJA yang beroperasi. Penataan ini dilakukan dengan jalan pengendalian dan penertiban jumlah KJA yang sudah over capacity. Upaya

pengendalian dan penertiban dapat dirumuskan dan dikoordinasikan dengan stakeholder lain seperti Dinas Perikanan Provinsi dan kabupaten setempat, BPLHD, Ketua Kelompok Petani KJA. Tindakan yang dilakukan bisa dengan cara administratif dengan mencegah keluarnya ijin baru penambahan KJA, dengan persuasif mengajak kepada para pembudidaya untuk mengurangi jumlah KJA dengan membongkar KJA yang tanpa ijin. Perlu juga dilakukan pemberlakuan sanksi bagi KJA yang beroperasi tanpa ijin.

b. Upaya penegakkan peraturan perlu dilakukan dengan tegas, yakni dengan melakukan tindakan hukum pembongkaran bagi Petani KJA yang tidak mempunyai ijin, ijinnya tidak diperpanjang, menggunakan konstruksi yang tidak ramah lingkungan, memiliki KJA melebihi Kuota dan tidak mematuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh BPWC atau Pemerintah Provinsi. Upaya Persuasif yakni dengan konsisten melakukan sosialisasi ke setiap pemilik KJA secara door to door maupun menggunakan media (selebaran, himbauan tertulis, majalah). Upaya Administratif ialah dengan menaikkan harga SPL (Surat Penempatan Lokasi) yang saat ini terlalu kecil (Rp. 1000 /m2/ Tahun), diharapkan dengan adanya kenaikan SPL maka pembudidaya KJA akan berkurang.

c. Perlu perencanaan dan kehati-hatian dalam pengembangan perikanan budidaya di waduk-waduk yang baru seperti Waduk Jatigede Sumedang. Perencanaan diperlukan dalam penghitungan kapasitas yang diperbolehkan dalam waduk baru tersebut. Perlu pula dengan detil ditentukan secara jelas zonasi wilayah waduk yang boleh dan yang tidak boleh ditempati KJA. Pengawasan dalam pelaksanaan budidaya perlu dilakukan secara ketat untuk menghindari terulangnya

over capacity dan tragedy of the common seperti di Waduk Cirata.

Kebijakan Rasionalisasi Jumlah KJA

Salah satu alternatif untuk mengantisipasi pengurangan KJA yang beroperasi di waduk-waduk seperti Cirata, adalah mendorong peningkatan produksi yang berasal dari perikanan budidaya air tawar yang menggunakan media selain KJA, baik berupa kolam, kolam air deras atau sawah. Peningkatan produksi dari perikanan budidaya yang menggunakan media kolam air deras sulit dilakukan, karena pengembangan kolam air deras sangat membutuhkan kuantitas dan kualitas air dalam jumlah yang sangat banyak. Peningkatan produksi melalui peningkatan produksi dari perikanan budidaya air tawar yang memakai media sawah juga sulit dilakukan. Hal ini pertama karena perikanan budidaya di sawah hanya dilakukan sebagai penyelang kegiatan tanaman utama yaitu padi, oleh karena itu periode waktu untuk budidaya menjadi terbatas. Alasan kedua, perikanan budidaya di sawah tingkat produktivitasnya masih sangat rendah, karenanya sulit untuk mendorong peningkatan produktivitasnya.

Berdasarkan beberapa alternatif yang ada, maka peningkatan produksi untuk menggantikan penurunan produksi KJA karena rasionalisasi lebih tepat

Tabel 55 Simulasi peningkatan produktivitas dan luas kolam untuk antisipasi rasionalisasi KJA Eksisting 2011 Versi 1 Versi 2 Luas Kolam (m2) 204,756,800 Produktivitas Kolam (kg/m2) 16.79

Penambahan Produksi yang

diperlukan (kg) 96,989,447 152,686,177

Penambahan Kolam yang Diperlukan

(m2) 5,776,619.8 9,093,875.9

Prosentase Penambahan Luas

Diperlukan (%) 2.82 4.44

Alter-

natif 1 Luas Kolam (m2) 204,756,800

Produktivitas Kolam Naik 50%

(kg/m2) 25.185

Penambahan Produksi yang

diperlukan (kg) 96,989,447 152,686,177

Penambahan Kolam yang Diperlukan

(m2) 3,851,080 6,062,584

Prosentase Penambahan Luas

Diperlukan (%) 1.88 2.96

Alter-

natif 2 Luas Kolam (m2) 204,756,800

Produktivitas Kolam Naik 75%

(kg/m2) 37.7775

Penambahan Produksi yang

diperlukan (kg) 96,989,447 152,686,177

Penambahan Kolam yang Diperlukan

(m2) 2,567,387 4,041,723

Prosentase Penambahan Luas

Diperlukan (%) 1.25 1.97

Ket.

Rata-rata Penambahan Produktivits

Kolam 2007-2011 (%) 55.1

Prosentase Rata-rata Penambahan

Luas 2005-2011 (%) -1.14

Prosentase Penambahan Luas 2010-

2011 (%) 2.94

Keterangan:

Versi 1 : Penghitungan jumlah KJA berbasis pada Pergub Jabar No. 41 Tahun 2002 Versi 2 : Penghitungan jumlah KJA berbasis pada Machbub (2010)

Tabel di atas menunjukkan bahwa diperlukan peningkatan produktivitas sekaligus peningkatan luas lahan budidaya kolam jika ingin mengganti produksi yang akan hilang ketika adanya rasionalisasi KJA. Jika peningkatan produktivitas sebesar 50% maka diperlukan peningkatan luas lahan budidaya kolam sebesar 1,88% menurut versi 1 dan 2,96% menurut versi 2. Sementara jika peningkatan produktivitasnya mencapai 75% produktivitas semula, maka diperlukan peningkatan luas sebesar 1,25% menurut versi 1

dan 1,97% menurut versi 2.

Jawa Barat. Arah pengembangan yang strategis adalah pengembangan dalam aspek produktivitas, terutama dalam peningkatan Total Factor Productivity (TFP), sehingga diharapkan peningkatan produksi terus terjadi sebagai cerminan dari semakin baiknya kualitas input, bukan semata karena penambahan jumlah input atau kapital.

2. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam periode yang dianalisis, kecepatan besaran perubahan indeks TFP perikanan budidaya yang menggunakan media kolam, sawah dan KJA tidak mengalami perubahan. Hal ini diperkuat dengan temuan yang didapat dalam analisis interspatial

TFP. Berdasarkan aspek tingkatan nilai interspatial TFP perikanan budidaya ikan di sawah memiliki nilai perubahan indeks TFP dan indeks

interspatial TFP yang paling kecil, berikutnya diikuti perikanan budidaya ikan di kolam, dan terbesar di KJA. Hal ini sesuai dengan tingkat intensifikasi yang digunakan. Berdasarkan aspek dinamika tingkatan nilai interspatial TFP, indeks interspatial TFP dalam perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat mengalami kenaikan pada periode 1997-2002 kemudian menurun dalam sepuluh tahun terakhir. Hal ini diduga karena menurunnya kualitas lingkungan perairan & tidak adanya peningkatan kualitas input berupa teknologi baru atau adanya strain baru ikan mas yang unggul dalam sepuluh tahun terakhir.

3. Berbagai input produksi dalam perikanan budidaya sangat mempengaruhi produktivitas perikanan budidaya itu sendiri. Faktor yang secara signifikan mempengaruhi tingkat indeks TFP adalah kualitas benih dan kualitas pakan. Semakin tinggi kualitas benih dan pakan, maka semakin besar pula indeks TFP. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah pakan yang diberikan terhadap daging ikan yang dihasilkan.

4. Dinamika dalam produktivtas akan berpengaruh terhadap potensi naik atau turunnya produksi ikan yang dihasilkan. Naik atau turunnya produksi akan berpengaruh langsung terhadap tinggi atau rendahnya nilai produksi perikanan. Dinamika dalam produksi dan nilai produksi itu akan berpengaruh terhadap dinamika kontribusi perikanan budidaya air tawar terhadap beberapa aspek perekonomian wilayah seperti kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan, serta jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam sektor perikanan.

Implikasi Kebijakan

1. Tren penurunan TFP harus diantisipasi dengan menyiapkan upaya yang komprehensif dalam peningkatan kualitas teknologi dalam perikanan budidaya air tawar. Terutama dalam meningkatkan kualitas benih dan pakan untuk meningkatkan produktivitas. Peningkatan kualitas benih dapat dilakukan dengan mengembangkan strain-starain baru ikan budidaya. Strain baru yang penting segera dikembangkan adalah strain unggul ikan mas. Peningkatan kualitas pakan dapat dilakukan dengan peningkatan rasio konversi pakan terhadap bobot ikan.

2. Peningkatan adopsi teknologi dikalangan para pembudidaya perlu lebih ditingkatkan lagi. Peningkatan dapat dilakukan diantaranya dengan meningkatkan kuantitas dan kuantitas para penyuluh bidang perikanan, serta meningkatkan kuantitas dan kualitas pertemuan dengan para pembudidaya.

3. Lingkungan perairan merupakan faktor eksternal penentu keberlanjutan dan produktivitas perikanan budidaya air tawar. Oleh karena itu upaya- upaya perbaikan lingkungan perairan mulai hulu sampai hilir merupakan upaya yang akan menjaga dan meningktakan produktivitas perikanan budidaya air tawar.

4. Perikanan budidaya air tawar dalam KJA memiliki pangsa lebih dari sepertiga produksi perikanan air tawar Jawa Barat. Oleh karena itu, sangat penting menjaga keberlanjutan perikanan yang menggunakan media KJA ini. Over capacity yang terjadi dalam perikanan budidaya yang menggunakan media KJA akan mengancam keberlanjutan perikanan budidaya dalam KJA. Hal tersebut harus segera diantisipasi dengan jalan mengurangi atau merasionalisasi jumlah KJA yang beroperasi dan mempersiapkan peningkatan produksi perikanan melalui media budidaya yang lain. Media budidaya kolam merupakan pilihan yang tepat untuk mengganti penurunan produksi KJA dengan cara meningkatkan produktivitas dan luasan budidaya kolam.

Saran

1. Meningkatkan koordinasi diantara lembaga penghasil teknologi (Balai Penelitian, Masyarakat dan Perguruan Tinggi) dan diantara penghasil teknologi dengan kelembagaan yang mendiseminasikan teknologi

2. Disarankan untuk membuat perencanaan dan sosialisasi kepada para pembudidaya mengenai rasionalisasi jumlah KJA. Berikutnya disarankan secara simultan dengan perencanaan rasionalisasi juga perencanaan dan investasi dalam pengembangan budidaya kolam. Hal ini sangat diperlukan dalam mengganti penurunan produksi karena rasionalisasi KJA sehingga dapat mempertahankan produksi perikanan air tawar Jawa Barat.

3. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan penelitian penghitungan total

Dokumen terkait