• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika total factor productivity perikanan budidaya air tawar dan dampaknya terhadap perekonomian Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dinamika total factor productivity perikanan budidaya air tawar dan dampaknya terhadap perekonomian Jawa Barat"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

ASEP AGUS HANDAKA SURYANA

         

   

 

   

     

 

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dinamika Total Factor Productivity Perikanan Budidaya Air Tawar dan Dampaknya terhadap Perekonomian Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Asep Agus Handaka Suryana

(3)

pengembangan dalam perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat. Arah pengembangan yang strategis adalah pengembangan dengan meningkatkan produktivitas, terutama dalam peningkatan kualitas input yang dikenal dengan

Total Factor Productivity (TFP). Peningkatan TFP ini akan secara signifikan berpengaruh terhadap produksi dan terhadap perekonomian wilayah Jawa Barat.

Penelitian ini bertujuan: Pertama, mendapat gambaran mengenai dinamika produktivitas perikanan budidaya air tawar baik perkembangan tingkat produktivitas maupun tingkat produktivitas perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat saat ini. Kedua, mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi produktivitas budidaya perikanan air tawar tersebut. Ketiga, mengetahui implikasi dinamika produktivitas terhadap perekonomian wilayah Jawa Barat.

Metode analisis pertama yang digunakan adalah analisis perubahan indeks

Total Factor Productivity. Metode ini digunakan untuk mengukur besaran perubahan indeks TFP suatu kabupaten dalam dua waktu berbeda. Metode analisis kedua yang digunakan adalah analisis indeks interspatial TFP. Metode ini digunakan untuk mengukur tingkat TFP diantara kabupaten yang ada di Jawa Barat. Analisis ekonometrik digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat. Uji Mann-Whitney digunakan untuk membandingkan dua median populasi diantara data TFP.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam periode yang dianalisis, kecepatan besaran perubahan indeks TFP perikanan budidaya yang menggunakan media kolam, sawah dan Karamba Jaring Apung (KJA) tidak mengalami perubahan. Hal ini diperkuat dengan temuan yang didapat dalam analisis

interspatial TFP. Dari aspek tingkatan nilai interspatial TFP perikanan budidaya ikan di sawah memiliki nilai perubahan indeks TFP dan indeks interspatial TFP yang paling kecil, berikutnya diikuti perikanan budidaya ikan di kolam, dan terbesar di KJA. Hal ini sesuai dengan tingkat intensifikasi yang digunakan. Aspek dinamika tingkatan nilai interspatial TFP, indeks interspatial TFP dalam perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat mengalami kenaikan pada periode 1997-2002 kemudian menurun dalam periode 2002-2011. Hal ini diduga karena menurunnya kualitas lingkungan perairan serta tidak adanya peningkatan teknologi yang dipraktekkan para pembudidaya.

(4)

Semakin tinggi kualitas benih dan pakan, maka semakin besar pula indeks TFP. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah pakan yang diberikan terhadap daging ikan yang dihasilkan. Kualitas pakan dan kualitas benih itu sendiri akan sangat terkait pula dengan kualitas lingkungan perairan sebagai media hidup ikan.

Dinamika dalam Total Factor Productivity akan berpengaruh terhadap potensi naik atau turunnya produksi ikan yang dihasilkan. Naik atau turunnya produksi akan berpengaruh langsung terhadap tinggi atau rendahnya nilai produksi perikanan. Dinamika dalam produksi dan nilai produksi itu akan berpengaruh terhadap dinamika kontribusi perikanan budidaya air tawar terhadap beberapa aspek perekonomian wilayah seperti kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan budidaya air tawar.

Perikanan budidaya air tawar dalam KJA memiliki pangsa lebih dari sepertiga produksi perikanan iar tawar Jawa Barat. Oleh karena itu sangat penting menjaga keberlanjutan perikanan yang menggunakan media KJA ini. Over capacity yang terjadi dalam perikanan budidaya yang menggunakan media KJA akan mengancam keberlanjutan perikanan budidaya dalam KJA. Oleh karena itu harus segera diantisipasi dengan jalan merasionalisasi jumlah KJA yang beroperasi dan mempersiapkan peningkatan produksi perikanan melalui media budidaya yang lain. Meningkatkan produktivitas dan luasan budidaya kolam dapat dipertimbangkan untuk menjadi pilihan untuk mengganti penurunan produksi KJA.

(5)

to be stagnant in the last five years. Therefore it is necessary to exert efforts to develop of freshwater aquaculture in West Java. Strategic development direction is development by increasing productivity, especially in improving the quality of inputs, known as Total Factor Productivity (TFP). Increase in TFP will significantly affect production and will increase contribution to the economy of West Java.

This study have three objectives: first, get explaining of the dynamics of Total Factor Productivity, both productivity growth rate and the level of productivity, in freshwater aquaculture on West Java. Second, find out what are the factors that affect the productivity of freshwater aquaculture. Third, know the implications of the dynamics of productivity to the economy of West Java.

This study employs four methods: first analytical method was used the analysis of changes in Total Factor Productivity index. This method was used to measure the amount of change in a district TFP index in two different times. The second analytical method used was analysis interspatial TFP index. This method was used to measure the level of TFP among the districts in West Java. Third, econometric analysis was used to identify the factors that affect the productivity of freshwater aquaculture in West Java. Fourth, Mann-Whitney test was used to compare the data between the populations of the two median TFP.

The result showed that in the period analyzed, the amount of speed change TFP index that uses media aquaculture ponds, rice fields and KJA has not changed. This is reinforced by the findings in the analysis of TFP interspatial. From the aspect of TFP levels interspatial value of aquaculture fish in rice fields have a value of TFP change index and the index of the smallest interspatial TFP, followed next aquaculture fish in the pond, and the largest in the KJA. This is consistent with the level of intensification is used. From the aspect of dynamics interspatial grade level TFP, TFP index interspatial in freshwater aquaculture in West Java has increased in the period 1997-2002 and then declined in the period 2002-2011. This is presumably due to the declining quality of the aquatic environment and the absence of an increase in the input of new technologies such as a new strain of fish that excel in the last ten years.

(6)

Increase or decrease of Total Factor Productivity will affect to the increase or decrease in fish production. Increase or decrease in production will directly influence the high or low value of fisheries production. Dynamics in the production and value of production that would affect the dynamics of freshwater aquaculture contribution to some aspect of the economy of the region as contributing to the Regional GDP and own source revenue (PAD) from freshwater aquaculture sector.

Freshwater aquaculture in the KJA has a share of more than a third of West Java freshwater fish production. It is therefore very important to maintain the sustainability of fisheries that use this KJA media. Over capacity occurring in aquaculture that uses media KJA would threaten the sustainability of aquaculture in KJA. Therefore, it should be anticipated by rationalizing the number of operating KJA and prepare increasing fish production through aquaculture other media. With some consideration, pond culture media is the alternative choice to replace declining production by increasing productivity KJA and pond culture area. Required an expansion of the pool area as well as an increase in productivity that can replace potential lost production through rationalization of KJA.

(7)

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA BARAT

ASEP AGUS HANDAKA SURYANA

 

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

 

   

             

   

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama Mahasiswa Nomor Pokok

: Asep Agus Handaka Suryana : H162080051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, MSc Ketua

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Pogram Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perencanaan Pembangunan

Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(11)

bimbingan dalam penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan Unpad yang telah memberi kesempatan melanjutkan studi. Pimpinan dan rekan kerja di FPIK Unpad yang banyak membantu. Depdiknas yang telah memberikan beasiswa BPPS. Rekan seangkatan 2008, kakak dan adik angkatan di Program Studi PWD atas kebersamaan selama menempuh studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibunda Hj. Dra. Hasanah, keluarga besar Pangkur dan Garut, khususnya kepada keluarga Bang Tigor Sihite dan Ceu Ida yang telah banyak membantu. Istriku Lia Fakhriyah, S.P., M.P. serta anak-anaku, Fathiyya Mumtazah, Muhammad Furqon Shiddiq, dan Faqiha Muhtadiyah. Semoga Allah SWT. membalas amal kebaikannya dengan pahala yang berlimpah.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak kekurangan, namun demikian semoga dapat memberikan manfaat khususnya bagi pengembangan dunia perikanan.

Bogor, Juli 2013

(12)

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 7

Kerangka Penelitian 8

Kebaruan Penelitian 11

Hipotesis Penelitian 11

2 TINJAUAN PUSTAKA 12

Pembangunan Perdesaan 12

Akuakultur 16

Produksi dan Permintaan Ikan. 20

Peranan Akuakultur terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskinan 22

Total Factor Productivity (TFP) 25

Penelitian Terdahulu 29

3 METODE PENELITIAN 31

Tempat dan Waktu Penelitian 31

Rancangan Penelitian 32

Metode Pengumpulan Data 32

Analisis Data 36

4 KERAGAAN UMUM USAHA PERIKANAN BUDIDAYA JAWA

BARAT 39

Gambaran Umum Provinsi Jawa Barat 39

Perkembangan Jenis Ikan dan Teknologi Produksi Perikanan Budidaya

Air Tawar di Jawa Barat 39

Luas Areal Budidaya dan Jumlah Pembudidaya 43 Produksi Perikanan Budidaya Air Tawar di Jawa Barat 46

Konsumsi Per Kapita 47

Keragaman Jenis Ikan 48

Indeks Diversitas Entropy 48

5 ANALISIS PRODUKTIVITAS PERIKANAN BUDIDAYA AIR

TAWAR DI JAWA BARAT 50

Produktivitas Parsial Perikanan Budidaya Air Tawar di Jawa Barat 50

Perubahan Indeks TFP 50

Perubahan Indeks TFP Sistem Budidaya dalam Kolam di Jawa Barat 51 Perubahan Indeks TFP Sistem Budidaya dalam Sawah di Jawa Barat 53 Perubahan Indeks TFP Sistem Budidaya dalam Kolam Jaring Apung

(KJA) di Jawa Barat 55

(13)

Implikasi Dinamika nilai Indeks Interspatial TFP terhadap Produksi

Perikanan Budidaya di Jawa Barat 72

Implikasi Dinamika nilai Indeks Interspatial TFP terhadap PDRB

Perikanan Jawa Barat 75

Implikasi Dinamika nilai Indeks Interspatial TFP terhadap PAD

Perikanan Jawa Barat 78

Implikasi Dinamika nilai Indeks Interspatial TFP terhadap Tenaga

Kerja Perikanan Jawa Barat 81

Rasionalisasi Jumlah KJA 85

7 IMPLIKASI KEBIJAKAN DALAM PERIKANAN BUDIDAYA DI

JAWA BARAT 90

Kebijakan Peningkatan Kualitas Pakan 91

Kebijakan Peningkatan Kualitas Benih 91

Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya dalam Sawah 92 Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya dalam KJA 92 Kebijakan Antisipasi Rasionalisasi Jumlah KJA 93

8 SIMPULAN DAN SARAN 95

Simpulan 95

Implikasi Kebijakan 96

Saran 96

DAFTAR PUSTAKA 98

LAMPIRAN 105

(14)

1 Pengelompokkan komoditas akuakultur berdasarkan karakter

morfologi dan jenis habitat 17

2 Jenis-jenis akuakultur berdasar tingkat teknologi dan produksi 18 3 Tingkat pertumbuhan indeks TFP (%) beberapa negara Asia Tenggara

1962-1981 dan 1981-2001 29

4 Total factor productivity dalam budidaya polikultur ikan jenis carp

1998-99 30

5 Indeks TFP berdasarkan lokasi 30

6 Indeks TFP berdasarkan sistem budidaya 30 7 Kisaran angka indeks TFP pada berbagai tingkat teknologi 31 8 Tujuan, data, sumber data dan analisis data 32 9 Jenis ikan atau udang dan waktu domestikasi atau introduksinya 40 10 Perkembangan teknologi dan kebijakan perikanan di Jawa Barat 42 11 Kualitas air waduk Cirata tahun 2012 45 12 Produktivitas parsial perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat 50 13 Perubahan indeks TFP perikanan budidaya dalam kolam di Jawa

Barat

51

14 Hasil uji Mann-Whitney nilai tengah perubahan indeks TFP kolam 53 15 Perubahan indeks TFP perikanan budidaya dalam sawah di Jawa

Barat

54

16 Hasil uji Mann-Whitney nilai tengah perubahan indeks TFP sawah 55 17 Perubahan indeks TFP perikanan budidaya dalam KJA di Jawa Barat 56 18 Hasil uji Mann-Whitney nilai tengah perubahan indeks TFP di KJA 57 19 Indeks interspatial TFP perikanan budidaya dalam kolam 58 20 Hasil uji Mann-Whitney nilai tengah indeks interspatial TFP kolam 60 21 Indeks interspatial TFP perikanan budidaya dalam sawah 61 22 Hasil uji Mann-Whitney nilai tengah indeks interspatial TFP sawah 62 23 Indeks interspatial TFP perikanan budidaya dalam KJA 63 24 Hasil uji Mann-Whitney nilai tengah indeks interspatial TFP KJA 65 25 Jumlah kematian ikan di waduk Cirata, 2002-2011 68 26 Perbandingan indeks TFP berdasarkan sistem budidaya, jenis ikan

dan lokasi. 69

27 Hasil regresi model pengaruh berbagai faktor terhadap indeks

interspatial TFP individual pembudidaya di Jawa Barat 70 28 Permasalahan yang dihadapi pembudidaya di lapangan 71 29 Simulasi kenaikan produksi karena penurunan atau kenaikan

produktivitas dalam perikanan budidaya kolam 72 30 Simulasi kenaikan produksi karena penurunan atau kenaikan

produktivitas dalam perikanan budidaya sawah 73 31 Simulasi kenaikan produksi karena kenaikan produktivitas dalam

perikanan budidaya KJA 73

32 Kenaikan produksi karena dinamika produktivitas 74 33 Pangsa penambahan produksi terhadap produksi air tawar 74 34 Simulasi kenaikan PDRB perikanan Jawa Barat karena kenaikan

(15)

produktivitas budidaya KJA 80 42 Kenaikan kontribusi terhadap PAD perikanan karena dinamika

produktivitas 80

43 Pangsa penambahan kontribusi terhadap PAD perikanan Jawa Barat 81 44 Simulasi kenaikan tenaga kerja perikanan budidaya karena kenaikan

produktivitas budidaya perikanan budidaya di kolam 82 45 Simulasi kenaikan tenaga kerja perikanan budidaya karena kenaikan

produktivitas budidaya perikanan budidaya di sawah 83 46 Simulasi kenaikan tenaga kerja perikanan budidaya karena kenaikan

produktivitas budidaya perikanan budidaya di KJA 83 47 Kenaikan tenaga kerja karena dinamika produktivitas 84 48 Pangsa penambahan tenaga kerja dalam budidaya perikanan air tawar 84 49 Simulasi implikasi rasionalisasi KJA terhadap produksi dan nilai

produksi 86

50 Simulasi implikasi rasionalisasi KJA terhadap permintaan pakan dan

nilai pakan 86

51 Simulasi implikasi rasionalisasi KJA terhadap permintaan benih dan

nilai benih 87

52 Simulasi implikasi rasionalisasi KJA terhadap PDRB perikanan Jabar 88 53 Simulasi implikasi rasionalisasi KJA terhadap PAD perikanan Jabar 89 54 Simulasi implikasi rasionalisasi KJA terhadap jumlah tenaga kerja

perikanan Jawa Barat

90

55 Simulasi peningkatan produktivitas dan luas kolam untuk

(16)

1 Volume produksi perikanan tahun 2005-2009 (ton) 2 2 Pangsa perikanan Jawa Barat tahun 2009 3 3 Trend pangsa perikanan budidaya air tawar Jawa Barat 6

4 Kerangka pemikiran penelitian 10

5 Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan 19 6 Ekspektasi pertumbuhan permintaan ikan dalam 8 tahun dari 2007

sampai 2015 21

7 Laju pertumbuhan tahunan produksi akuakultur yang diperlukan

untuk memenuhi ekspektasi permintaan ikan dari 2007-2015 21

8 Fungsi Produksi yang menggambarkan Total Factor Productivity 26 9 Pendekatan Pengukuran Total Factor Productivity (TFP) 27

10 Tahapan Analisis Penelitian 34

11 Grafik perkembangan luas areal perikanan budidaya tahun

1969-2011 43

12 Luas waduk Cirata yang ditempati KJA 44 13 Grafik perkembangan luas areal budidaya KJA di Cirata

1998-2011 45

14 Grafik perkembangan jumlah RTP perikanan budidaya di Jawa

Barat 46

15 Jumlah pembudidaya perikanan air tawar di Jawa Barat 46 16 Grafik perkembangan produksi perikanan di Jawa Barat 47 17 Grafik perkembangan per kapita konsumsi ikan Jawa Barat tahun

1983-2011 48

18 Grafik trend pangsa jenis ikan utama terhadap produksi ikan Jawa

Barat 48

19 Trend indeks diversitas entropi 49

20 Boxplot trend perubahan indeks TFP budidaya perikanan di kolam 52 21 Boxplot trend perubahan indeks TFP budidaya perikanan di sawah 55 22 Boxplot trend perubahan indeks TFP budidaya perikanan di KJA 57 23 Boxplot trend indeks interspatial TFP budidaya perikanan di

kolam 60

24 Boxplot trend indeks interspatial TFP budidaya perikanan di

sawah 62

25 Boxplot trend indeks interspatial TFP budidaya perikanan di KJA 64 26 Dinamika rata-rata indeks interspatial TFP perikanan budidaya di

Jawa Barat 65

27 Kualitas DO, COD, dan BOD waduk Cirata tahun 2011 67 28 Unsur hara (ammoniak, nitrit, dan nitrat) di Waduk Cirata tahun

2011 68

(17)

kolam Jawa Barat tahun 1997 136 10 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

sawah Jawa Barat tahun 1997 138

11 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

KJA Jawa Barat tahun 1997 140

12 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

kolam Jawa Barat tahun 2002 141

13 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

sawah Jawa Barat tahun 2002 143

14 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

KJA Jawa Barat tahun 2002 145

15 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

kolam Jawa Barat tahun 2007 146

16 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

sawah Jawa Barat tahun 2007 148

17 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam KJA Jawa Barat tahun 2011

150

18 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

kolam Jawa Barat tahun 2011 151

19 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam sawah Jawa Barat tahun 2011

153

20 Penghitungan interspatial TFP perikanan budidaya air tawar dalam

KJA Jawa Barat tahun 2011 155

(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang melibatkan berbagai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia yang bertujuan dan memberi harapan kepada perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih merata agar berlangsung secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan, upaya-upaya pembangunan harus diarahkan kepada efisiensi (efficiency), kemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) (Anwar, 2005)

Pembangunan di Indonesia telah dilaksanakan sejak awal kemerdekaan, hingga sekarang. Berbagai pencapaian pembangunan telah dapat diraih, demikian juga berbagai permasalahan muncul selama proses pembangunan berlangsung. Diantara masalah-masalah yang ada selama pelaksanaan pembangunan antara lain masih tingginya jumlah penduduk miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 11,05 juta di perkotaan dan 18,97 juta di perdesaan.

Salah satu potensi potensial di perdesaan banyak negara berkembang umumnya dan Indonesia khususnya adalah usaha perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Hal ini terlihat dari potensi perikanan yang besar dan terus berkembang. Pada tingkat dunia pada tahun 1980 produksi baru mencapai 71,9 juta ton, maka tahun 2009 produksi perikanan dunia mencapai 144,6 juta ton ikan, krustasea dan moluska. Indonesia sendiri merupakan salah satu dari negara yang menjadi produsen utama akuakultur dunia. Sampai tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar sebagai produsen perikanan akuakultur di dunia.

Pengembangan akuakultur ini sangat strategis karena pengembangan produksi dari perikanan tangkap sudah mendekati titik jenuhnya. Menurut FAO (2011) produksi perikanan tangkap sejak tahun 2001 tidak mengalami peningkatan, stagnan sekitar 90 juta ton tiap tahunnya. Sebaliknya dengan perikanan yang berasal dari akuakultur. Menurut FAO (2011) produksi akuakultur terus memperlihatkan peningkatan yang kuat, peningkatan tiap tahunnya rata-rata mencapai 1,6 persen. Produksi akuakultur meningkat dari 32,4 ton pada tahun 2000 sampai 55,7 juta ton pada tahun 2009. Besarnya kondisi eksisting dan peluang pengembangan ke depan menjadikan akuakultur ini sebagai salah satu sektor yang dapat diharapkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perumusan Masalah

Pembangunan berbasis perdesaan merupakan alternatif untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat pembangunan yang cenderung

(19)

menunjukkan tren produksi perikanan di Indonesia.

2005 2006 2007 2008 2009

Penangkapan 4.705.869 4.806.112 5.044.737 5.196.328 5.285.020

Budidaya 2.163.674 2.682.596 3.193.565 3.855.200 4.780.100 0

1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000

(t

o

n

)

Volume produksi perikanan Indonesia

Gambar 1 Volume produksi perikanan tahun 2005-2009 (KKP, 2011)

Sebagaimana fenomena perikanan dunia, maka di Indonesia juga perikanan tangkap cenderung mengalami stagnasi sementara perikanan budidaya/akuakultur terus mengalami kemajuan.

Pentingnya pengembangan perikanan ini juga terlihat dari makin banyaknya orang yang menggantungkan mata pencahariannya pada sektor ini. Bila pada tahun 2005 tercatat 5,4 juta orang jumlah tenaga kerja pada bidang perikanan, maka pada tahun 2009 telah meningkat menjadi 6,43 juta jiwa. Sisi lain pentingnya pengembangan perikanan ini adalah karena hasil produksi perikanan ini juga menjadi komoditas ekspor. Pada saat yang sama harus diwaspadai adanya impor produk perikanan juga terus mengalami peningkatan.

Jawa Barat termasuk salah satu provinsi yang cukup maju di Indonesia namun masih memiliki masalah kemiskinan. Angka kemiskinan di daerah perdesaan Jawa Barat masih menunjukkan angka yang cukup tinggi dan lebih tinggi dibanding dengan daerah perkotaan. Angka kemiskinan secara umum di Jawa Barat mencapai angka 4.782.720 orang, sedangkan untuk daerah perdesaan sendiri mencapai 2.432.190 orang atau mencapai 13,88% dari seluruh penduduk Jawa Barat (BPS 2011).

(20)

potensi perikanan yang besar dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa. Gambaran pangsa perikanan Jawa Barat terhadap perikanan Pulau Jawa dan Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.

Pangsa Perikanan Jawa Barat Tahun 2009

0

Produksi BD Pembudidaya Luas Kolam Luas Saw ah Luas KJA Luas BD Laut

Gambar 2 Pangsa perikanan Jawa Barat tahun 2009

Di Jawa Barat sendiri budidaya perikanan air tawar telah dikenal sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan. Areal budidaya perikanan air tawar yang eksisiting mencapai 28.176 hektar dari lahan potensial seluas 86.700 hektar. Lahan potensial yang sudah dikembangkan baru mencapai 32,5%, sehingga masih sekitar 67,5% lahan potensial yang masih bisa dikembangkan. Besarnya potensi budidaya perikanan air tawar yang umumnya berada di perdesaan ini merupakan peluang untuk mengembangkan wilayah dengan mengembangkan budidaya perikanan.

Sumbangan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terus mengalami kenaikan. Demikian juga tenaga kerja yang dapat diserap dalam sektor perikanan ini menunjukkan bahwa masih banyak orang yang hidupnya tergantung pada usaha budidaya perikanan.

Meskipun angka sumbangan perikanan terhadap PDB tidak terlalu besar, namun sektor perikanan ini merupakan hal yang penting. Menurut Fauzi (2010b) kelemahan utama penggunaan PDB sebagai alat indikator adalah indikator ini mengabaikan semua keterkaitan antar industri, khususnya industri perikanan yang banyak terkait dengan komponen lainnya. PDB tidak membedakan apakah industri tersebut bersifat industri primer seperti perikanan atau sekunder seperti jasa. Padahal ekspansi dan kontraksi yang terjadi pada industri primer tersebut akan sangat berdampak pada industri turunannya.

(21)

Indonesia yang masih rendah sehingga masih terbuka peningkatannya.

Pengembangan akuakultur ini dapat menjadi salah satu upaya dalam mengentaskan kemiskinan. Tacon (2001) menjelaskan bahwa pengembangan akuakultur penting karena akuakultur menyediakan protein hewani kualitas tinggi dan berbagai nutrien esensial lainnya dengan harga terjangkau. Akuakultur juga penting karena menyediakan kesempatan kerja, pendapatan tunai dan merupakan komoditas ekspor berharga. Edward (1999) menguatkan bahwa akuakultur di perdesaan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan secara langsung melalui budidaya perikanan skala kecil untuk konsumsi dan pendapatan. Kontribusi secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang miskin dalam usaha budidaya komersial.

Pengembangan akuakultur juga berperan dalam memperluas lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. World Bank (2007) menjelaskan bahwa di China lebih dari tiga juta penduduknya mendapatkan pekerjaan dalam bidang akuakultur sejak tahun 1974. Bene (2006) menjelaskan bahwa perikanan air tawar dan ekspor komoditas terkait serta perdagangan regional, dapat memainkan peran penting dalam perekonomian wilayah dan negara. Sektor ini memberikan kontribusi 7% terhadap PDB di kamboja, dan 4% di Bangladesh. Di Afrika, perikanan air tawar dapat menyediakan lapangan kerja dan pendapatan bagi beberapa juta orang. Worl Bank (2007) dalam studinya mendapatkan bahwa pembudidaya ikan skala kecil di Central Luzon, rata-rata pendapatannya 48-49% lebih tinggi dibanding petani padi. Di Vietnam, para pekerja dalam pembudidayaan

catfish mendapatkan pendapatan yang stabil, dan mampu mengirim sebagian pendapatannya pada keluarga. Di Bangladesh, budidaya mina padi telah meningkatkan pendapatan sampai 20% dan meningkatkan produksi padi sampai 8 % dengan mereduksi pestisida dan penggunaan pupuk.

(22)

terbatas dalam penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam budidaya perikanan. Permasalahan lain yang cukup dominan adalah adanya degradasi kualitas lingkungan perairan. Degradasi lingkungan perairan menjadikan budidaya ikan-ikan yang lebih tahan seperti dari kelomopk

cichlidae dan pangasiidae lebih berkembang di tengah masyarakat.

Muara dari berbagai permasalahan tersebut adalah rendahnya produktivitas budidaya perikanan di Indonesia. Produktivitas ini dapat diukur secara langsung berupa hasil produksi per luas lahan budidaya, rasio antara biaya dengan keuntungan (BC ratio), rate of return terhadap biaya, serta biaya per kg produk yang dihasilkan. Dari berbagai indikator tersebut, budidaya perikanan air tawar di Indonesia memiliki nilai produktivitas yang lebih rendah dibanding negara-negara lainnya di Asia bahkan Asia Tenggara. Peningkatan produktivitas ini penting dilakukan. Sebagaimana menurut Hafsah (2006) salah satu tujuan praktis dari upaya pembangunan perdesaan adalah meningkatkan produktivitas ekonomi desa dan meningkatkan kesempatan kerja dan pedistribusian kesejahteraan yang merata. Sejalan dengan Hafsah, Sadjad (2006) berpendapat bahwa seharusnya desa dibangun sebagai industri pertanian. Perubahan sikap demikian akan membawa petani/pembudidaya kita memiliki orientasi yang berbasis kontinuitas produk, kualitas produk, volume produk, standarisasi produk, efisiensi usaha, rasionalisasi proses, dan akhirnya keprofesionalannya berproduksi.

Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan produktivitas total faktor produksi (Total Factor Productivity). Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu faktor produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi lainnya (Maulana, 2004).

Penelitian produktivitas secara parsial telah banyak dilakukan. Penelitian dengan pendekatan penghitungan Total Factor Productivity ini masih belum banyak digunakan, terutama dalam bidang perikanan air tawar. Oleh karena itu penting sekali untuk meneliti produktivitas dalam budidaya perikanan ini. Hal ini karena dengan penelitian tersebut dapat membandingkan produktivitas antar berbagai wilayah budidaya atau berbagai jenis komoditas. Selain itu penelitian Total Factor Productivity dalam perikanan budidaya ini juga dapat menjadi data pembanding yang dapat digunakan peneliti-peneliti berikutnya di kemudian hari.

Selama ini pemerintah telah melakukan berbagai program dalam upaya mengembangkan perikanan budidaya ini. Diantaranya tahun 2002 dilaksanakan program intensifikasi pembudidayaan ikan (Inbudkan). Berikutnya diluncurkan program peningkatan produksi perikanan untuk ekspor (Propekan) pada tahun 2005. Program terbaru yang dilaksanakan mulai tahun 2010 adalah program pengembangan wilayah berbasis perikanan Minapolitan. Pengukuran yang berkesinambungan terhadap dampak berbagai program pengembangan perikanan budidaya ini penting dilakukan.

(23)

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00

2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

(%

)

Jumlah Pembudidaya

Produksi Total

Produksi Ikan Mas

Produksi Ikan Nila

Produksi Ikan Lele

Produksi Ikan Gurame

Produksi Ikan Patin

Gambar 3 Pangsa perikanan budidaya air tawar Jawa Barat terhadap Indonesia

Mengingat besarnya pangsa perikanan air tawar Jawa Barat terhadap perikanan nasional, maka tren penurunan ini harus diantisipasi untuk menghindari gangguan terhadap produksi ikan nasional.

Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan jalan ekstensifikasi dan intensifikasi. Mengingat keterbatasan sumberdaya, terutama lahan dan air, maka upaya ekstensifikasi akan sulit dilakukan. Pilihan yang tepat dalam meningkatkan produksi perikanan di Jawa Barat adalah intensifikasi. Peningkatan intensifikasi berarti harus meningkatkan produktivitas perikanan.

Dari uraian di atas dapatlah diidentifikasi pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimanakah dinamika produktivitas perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat.

b. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi produktivitas budidaya perikanan air tawar tersebut.

(24)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Mendapat gambaran mengenai dinamika produktivitas perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat.

b. Mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi produktivitas budidaya perikanan air tawar tersebut.

c. Mengetahui implikasi dinamika produktivitas terhadap perekonomian wilayah Jawa Barat.

Hasil penelitian ini secara keseluruhan diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam menyusun kebijakan pengambangan perikanan yang mendorong produktivitas dan perekonomian wilayah.

Ruang Lingkup Penelitian

Ada berbagai jenis perikanan budidaya, baik perikanan budidaya yang berbasis air tawar, air payau dan air laut. Dalam penelitian ini, ruang lingkupnya dibatasi pada perikanan budidaya yang berbasis air tawar. Pembatasan pada perikanan air tawar karena di Jawa Barat perikanan budidaya air tawar adalah perikanan budidaya yang dominan. Bila dilihat dari aspek produksi, maka budidaya perikanan air tawar berkontribusi sebesar 66,3 persen. Jauh dibandingkan dibanding kontribusi budidaya payau yang sebesar 27,8 dan budidaya laut yang sebesar 1,3 persen.

Dalam akuakultur air tawar dikenal beberapa jenis sistem budidaya, ada berupa kolam, sawah, karamba, kolam air deras, dan jaring apung. Dalam penelitian ini difokuskan pada sistem budidaya kolam, sawah dan keramba jaring apung (KJA) di waduk. Hal ini karena budidaya ikan air tawar di kolam dan sawah merupakan jenis budidaya yang dominan dilakukan di Jawa Barat. Data menunjukkan bahwa persentase jumlah kolam dan sawah sebagai tempat budidaya mencapai 77,9 % dari total tempat budidaya lainnya. Disamping itu kolam dan sawah merupakan jenis budidaya yang ada di mayoritas kabupaten, hal ini berbeda dengan kolam air deras yang hanya terdapat di beberapa kabupaten saja. Budidaya dengan sistem budidaya kolam dan sawah dimiliki oleh mayoritas pembudidaya perikanan air tawar. Alasan lain karena kolam dan sawah umumnya dimiliki oleh masyarakat lokal. Sementara itu pilihan KJA karena sistem budidaya ini merupakan sistem budidaya intensif yang mendominasi produksi perikanan air tawar Jawa Barat (35,9% produksi budidaya air tawar).

(25)

Kerangka Pemikiran

Sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan perdesaan. Menurut data BPS cakupan kawasan perdesaan pada tahun 2009 mencakup hampir sekitar 82 persen wilayah Indonesia, yang didalamnya sekitar 131,8 juta jiwa atau lebih dari 56,86 persen penduduk di Indonesia bertempat tinggal dan menggantungkan hidupnya di perdesaan. Disisi lain jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan juga lebih banyak dibanding kawasan perkotaan. Menurut data Statistik Indonesia dari BPS, jumlah penduduk miskin di kawasan perdesaan Indonesia mencapai angka 18,97 juta atau sekitar 15,72 % dari keseluruhan jumlah penduduk. Untuk provinsi Jawa Barat sendiri penduduk miskin di kawasan perdesaan mencapai 2,4 juta jiwa.

Melihat luasnya wilayah serta banyaknya masyarakat yang tercakup dalam wilayah perdesaan, maka pembangunan perdesaan memiliki posisi startegis dalam pembangunan nasional. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 mengamanatkan bahwa arah kebijakan pembangunan perdesaan adalah memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan desa, pembangunan dan kemasyarakatan, meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi, serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan lingkungan.

Salah satu sumberdaya yang dapat dioptimalkan untuk menggerakan perekonomian perdesaan di Jawa Barat adalah perikanan budidaya air tawar. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu provinsi yang memiliki areal budidaya perikanan air tawar terluas di Indonesia. Budidaya perikanan merupakan usaha yang telah lama dikenal di Jawa Barat. Baik budidaya yang sifatnya subsisten maupun yang bersifat komersial. Salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam pengembangan perikanan di Jawa Barat adalah adanya tren penurunan kualitas lingkungan perairan, serta tingkat adopsi teknologi pembudidaya yang belum optimal. Permasalahan tersebut dapat menjadikan stagnasi dalam peningkatan produktivitas perikanan budidaya perikanan air tawar. Sebagaimana penelitian Latifah (2013) yang menunjukkan adanya stagnasi produksi per unit KJA di Waduk Cirata. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya pengembangan dalam perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat.

(26)

perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2005). Hal ini karena berbagai keterbatasan yang ada terutama lahan dan air sehingga pengembangan yang bersifat ekstensif sulit dilakukan. Intensifikasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama dengan meningkatkan tangible

input dalam unit luas yang sama. Kedua dengan meningkatkan intangible input yang digunakan dalam perikanan budidaya air tawar.

Input perikanan budidaya air tawar yang bersifat tangible adalah jumlah benih, pakan, dan tenaga kerja. Faktor-faktor intangible yang mempengaruhi produktivitas perikanan budidaya diantaranya adalah kualitas air, kualitas pakan, kualitas benih dan kualitas sumberdaya manusia. Kualitas lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan untuk budidaya ikan. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Secara praktis kualitas benih merupakan rasio dari produksi yang dihasilkan terhadap jumlah benih yang ditanam. Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah daging ikan yang dihasilkan terhadap pakan yang diberikan.

Variabel yang digunakan untuk mengukur dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan oleh tangible inputs (capital input dan

labor input) yang terpakai dalam proses produksi disebut Total Factor Productivity (Lakitan, 2010) Dengan kata lain Total Factor Productivity

menaksir dampak dari intangible input.

Penggunaan teknologi secara optimal dan perubahan teknologi memegang peran penting dalam meningkatkan produktivitas. Menurut Latruffe (2010) sebuah perusahaan dapat meningkatkan produktivitasnya dibandingkan perusahaan lain dengan meningkatkan tiga faktor. Pertama, efisiensi penggunaan teknologi yang sudah tersedia. Kedua, peningkatan skala optimal operasi. Ketiga, kemajuan teknologi sehingga mampu menghasilkan lebih banyak output dengan menggunakan tingkat input yang sama. Menurut Lipsey et al. (1995) ada tiga jenis perubahan teknologi yang cenderung mendominasi produksi dan biaya dalam jangka panjang. Pertama, penemuan teknik-teknik baru dalam berproduksi. Kedua, penemuan barang dan jasa baru yang memudahkan proses produksi. Ketiga, perbaikan input seperti peningkatan kesehatan dan pendidikan yang meningkatkan mutu tenaga kerja atau perbaikan kualitas bahan baku.

Berbagai penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa peran teknologi ini sangat dominan terhadap tingkat Total Factor Productivity

(27)
(28)

Faktor dominan berikutnya adalah faktor intangible input berupa kualitas lingkungan media perairan tempat berlangsungnya perikanan budidaya. Efektivitas teknologi yang digunakan dalam perikanan budidaya akan sangat tergantung kualitas lingkungan perairan. Sebagai contoh, tingkat metabolisme ikan sangat dipengaruhi oleh suhu dan derajat keasaman air. Kualitas lingkungan perairan menjadi faktor pembatas dalam perikanan budidaya. Artinya penambahan jumlah input akan tidak berpengaruh terhadap peningkatan produksi ketika kualitas lingkungan perairannya telah melewati daya dukungnya. Oleh karena itu kualitas lingkungan perairan merupakan faktor penting dan dominan selain teknologi yang berpengaruh terhadap tingkat Total Factor Productivity perikanan budidaya air tawar.

Menurut Cordero et al. (1999) produksi suatu usaha perikanan budidaya yang memiliki nilai indeks TFP lebih tinggi akan lebih banyak dibanding lainnya. Oleh karena itu, dinamika dalam Total Factor Productivity akan berpengaruh terhadap potensi naik atau turunnya produksi ikan yang dihasilkan. Naik atau turunnya produksi akan berpengaruh langsung terhadap nilai produksi perikanan, penyerapan produk pertanian seperti jagung untuk pakan, dan berpengaruh terhadap industri yang berbahan dasar ikan. Dinamika dalam produksi dan nilai produksi itu akan berpengaruh terhadap dinamika kontribusi perikanan budidaya air tawar terhadap beberapa aspek perekonomian wilayah seperti kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor perikanan budidaya air tawar, serta penyerapan tenaga kerja sektor perikanan. Bagan alir kerangka pemikiran dapat dilihat dalam Gambar 4.

Kebaruan Penelitian

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini mencakup kebaruan dari segi pendekatan, topik kajian dan segi hasil penelitian. Kebaruan dari segi pendekatan, kebaruannya dapat dilihat dari penggunaan analisis produktivitas dengan pendekatan Total Factor Productivity yang dilakukan untuk penelitian tentang pengembangan budidaya perikanan air tawar. Berdasarkan aspek topik kajian, penelitian tentang keterkaitan pengembangan budidaya perikanan dengan perekonomianan wilayah masih belum banyak dilakukan. Kebaruan penelitian dari aspek hasil penelitian nantinya dapat dilihat dari adanya gambaran mengenai dinamika Total Factor Productivity dalam budidaya perikanan air tawar. Penghitungan Total Factor Productivity ini juga dapat menjadi base line penelitian-penelitian produktivitas dalam perikanan budidaya selanjutnya.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan beberapa hipotesis dalam penelitian ini:

(29)

(30)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan Perdesaan

Menurut Fauzi (2010a), pembangunan adalah proses yang kontinyu. Pembangunan juga harus dipisahkan dari konsep pertumbuhan dimana pembangunan merupakan konsep yang lebih luas yang secara simultan melibatkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup. Khusus mengenai teori pembangunan perdesaan secara teoritis merupakan hasil dari perkembangan pemikiran yang terus menerus secara kontinyu diperbaiki sesuai dinamika perkembangan yang terjadi. Karakteristik yang dimiliki oleh suatu daerah maupun wilayah perdesaan menyebabkan tidak ada satupun teori yang memang akan sesuai dengan sempurna. Oleh karenanya inovasi dan pemikiran-pemikiran maupun terobosan-terobosan baru tetap diperlukan dalam membangun wilayah perdesaan.

Pembangunan wilayah perdesaan itu sendiri menurut Anwar dan Rustiadi (2001) dapat diartikan sebagai proses atau tahapan pengarahan kepada kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui berbagai investasi guna memperbesar kapasitas ekonomi lokal.

Pembangunan wilayah termasuk di dalamnya pengembangan wilayah baru. Dalam strategi pengembangan wilayah baru, menurut Rustiadi et al.

(2009) secara teoritis dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu

demand side stretagy dan supply side strategy. Strategi “demand side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Adapun strategi “supply side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi luar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal.

(31)

masyarakat perdesaan, cerita-cerita, masakan tradisional khas, seni dan kerajinan, metode spesifik dalam produk dan produksi, bahasa minoritas, pandangan hidup tradisional.

ƒ Nilai-nilai Komunitas (community values) meliputi jaringan sosial, hubungan kekeluargaan, kepercayaan dan saling pengertian, cara khusus berkomunikasi.

Menurut Supriyadi (2007) beberapa kelemahan dari teori pembangunan sebelumnya tersebut adalah:

a. Lebih menekankan pada aspek ekonomi, manusia sebagai objek pembangunan, dan manusia dianalisis secara tidak langsung. Pemikiran parsial ini tidak mampu menangkap semua aspek pembangunan, yang berakibat kepada pola pemikiran menyederhanakan suatu pembangunan. Hal ini menimbulkan ketimpangan antara negara maju, negara berkembang, dan negara sedang berkembang.

b. Ketimpangan pembangunan yang semakin tajam dan besar antar negara maju dan miskin mengakibatkan terjadi disparitas yang semakin menajam antar negara yang diikuti dengan polarisasi pengkutuban.

c. Lingkungan hidup banyak dibaikan atau lebih banyak bersifat eksploitatif terhadap berbagai sumberdaya. Orientasi ukuran pembangunan didasarkan atas tingkat pendapatan (dalam bentuk GNP atau PDRB). Keadaan ini memiliki kelemahan mengingat bahwa tingkat pendapatan tidak dapat menutupi semua aktivitas suatu negara dan perhitungannya tidak dikoreksi dengan eksternalitas yang terjadi. d. Posisi masyarakat dianggap tidak mempunyai inisiatif dalam

pembangunan. Masyarakat dianggap sebagai komunitas manusia tidak terlibat langsung dalam pembangunan. Pembangunan lebih banyak dikuasai dan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sebagai aktor penentu dan pengambil keputusan kebijakan pembangunan.

Selanjutnya Supriyadi (2007) menjelaskan bahwa agar suatu wilayah dapat berkembang lebih baik dengan berlandaskan upaya pengembangan ekonomi lokal (PEL) membutuhkan suatu kebijakan yang mendorong inovasi dalam struktur industri yang terintegrasi. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan bagi pengembangan ekonomi lokal tersebut adalah:

a. Memperbaiki keberadaan sumberdaya ekonomi lokal melalui investasi baik modal fisik maupun manusia.

(32)

c. Mendorong pengembangan atau masuknya perusahaan layanan bisnis khusus, terspesialisasi.

d. Terbangunnya kapasitas pendidikan dan penelitian wilayah.

e. Terbangunnya hubungan antar bisnis-bisnis lokal, hubungan antara bisnis lokal dengan lembaga litbang, serta jalinan hubungan antara masyarakat lokal dengan lembaga-lembaga pendidikan dan litbang. f. Tertariknya perusahaan dari luar wilayah yang memungkinkan usaha

yang ada tetap berhasil dari layanan bisnis yang tersedia sebelumnya. g. Memasarkan kemampuan dan keunggulan wilayah kepada dunia

usaha di luar wilayah.

h. Keahlian individu dan wirausaha terpasarkan hingga tercapainya kualitas hidup di wilayah.

Missleading policy yang mengarah kepada tidak seimbangnya kecepatan pembangunan antara kedua kawasan perkotaan (urban) dan perdesaan (rural) berakar dari ketimpangan hak-hak (entitleman) antara kedua masyarakat yang secara spasial berbeda sifat-sifat lingkungannya. Oleh karena itu salah satu tujuan dari pembangunan wilayah perdesaan adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial politik di antara kedua kawasan, melalui investasi-investasi sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya sosial (social capital), sumberdaya modal material (man-made capital) dan pemeliharaan sumberdaya alam (natural capital) yang seimbang antara kedua kawasan (Anwar dan Rustiadi, 2001).

Diperlukan faktor pendorong (inducement) yang mampu menggerakan sistem produksi manufaktiur padat karya modern di perdesaan, sebagai alternatif pengganti dari terjadinya migrasi tenaga kerja ke perkotaan. Diharapkan akan terjadi penyebaran aktivitas-aktivitas industri di wilayah perdesaan yang dapat diorganisasikan dengan cara terdesentralisasi yang memanfaatkan bukan hanya tenaga kerja fisik, tetapi juga dapat menumbuhkan potensi kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) perdesaan yang merupakan dua sumberdaya yang kurang dimanfaatkan oleh pemerintah selama ini. Strategi pembangunan industrialisasi perdesaan bertujuan untuk mewujudkan pemerataan dan menghilangkan kesulitan besar terhadap keadaan dimana sering terjadinya trade off antara pertumbuhan dan pemerataan (Anwar dan Rustiadi, 2001).

(33)

(b) berorientasi pada pemberdayaan masyarakat

Azas pemberdayaan masyarakat mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi seluruh masyarakat perdesaan secara berkelanjutan agar mereka mampu mandiri di dalam mengelola kehidupannya baik sebagai individu-individu maupun sebagai komunitas sosial. Sehingga, pembangunan perdesaan tidak boleh mengorbankan suatu golongan demi kepentingan kelompok lain seperti yang terjadi di masa lalu. Jadi, azas pemberdayaan ini juga mensyaratkan pembangunan yang berkeadilan dan untuk semua segmen masyarakat perdesaan.

(c) berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan

Azas pertumbuhan dan pemerataan mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan harus secara simultan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di dalam masyarakat. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru menciptakan distribusi pendapatan yang buruk di dalam masyarakat. Terjadinya konflik sosial tidak hanya dapat menghambat pelaksanaan pembangunan, tetapi juga dapat berakhir pada perpecahan bangsa bila tidak terkendali. Oleh karena itu, pembangunan tidak boleh hanya diarahkan pada penciptaan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan harus secara simultan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan diantara masyarakat.

(d) berorientasi pada peningkatan daya saing global

Azas peningkatan daya saing global mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan harus ditempatkan dalam perspektif persaingan ekonomi global. Globalisasi ekonomi adalah suatu proses yang terus bergulir. Proses ini menghasilkan persaingan ekonomi yang semakin intensif pada semua level kewilayahan, termasuk kawasan perdesaan. Sebagai konsekuensinya, pembangunan perdesaan akan dapat berhasil mencapai tujuan untuk menciptakan kawasan dan masyarakat perdesaan yang ideal hanya apabila pembangunan perdesaan mampu menciptakan perekonomian perdesaan yang berdaya saing global.

(e) berorientasi pada partisipasi masyarakat.

(34)

dikemukakan di atas, dominasi pemerintah ini tidak hanya membuat pembangunan gagal mencapai tujuannya. tetapi juga, pendekatan pembangunan tersebut telah merusak kemandirian dan semangat kerjasama di masyarakat perdesaan. Sebagai akibatnya, masyarakat perdesaan menjadi sangat tergantung pada pemerintah di dalam mengelola kehidupan sosial-ekonominya. Situasi masyarakat perdesaan seperti ini jelas tidak sesuai dengan tuntutan globalisasi dan otonomi yang mensyaratkan kemandirian dan kebersaingan yang tangguh dari suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perdesaan harus dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan perdesaan, termasuk dalam pendanaan. Secara bertahap peranan pemerintah dalam pembangunan perdesaan dikurangi. Masyarakat perdesaan harus menjadi subjek dalam pembangunan perdesaan, dan hal ini harus dicapai secara bertahap. Singkatnya, pada akhirnya, pembangunan perdesaan harus “dari, oleh dan untuk masyarakat perdesaan”.

Akuakultur

Akuakultur adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004).

Berdasarkan salinitas atau kandungan garam NaCl-nya, perairan di permukaan bumi dibedakan menjadi perairan tawar, perairan payau, dan perairan laut. Semua perairan tersebut dapat dijadikan sumber air bagi kegiatan akuakultur. Oleh karena itu, berdasarkan sumber air yang digunakan untuk kegiatan produksi akuakultur maka dikenal budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture).

Menurut Crespi dan Coche (2008), pengertian akuakultur air tawar adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air tawar, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau laut. Pengertian akuakultur air payau adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air payau, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan tawar atau laut. Sedangkan pengertian akuakultur air laut adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air laut, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau tawar.

(35)

Karakter Morfologi

Bandeng, belanak Udang windu,

udang vanamei, kepiting bakau

- - -

Air Laut Kerapu, kakap putih, baronang,

Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan tingkat teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang dihasilkan oleh suatu usaha. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan, kegiatan akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau tradisional, akuakultur yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur hiper intensif. Pembedaan tersebut berdasarkan seberapa besar intervensi manusia dalam kegiatan perikanan budidaya, seperti dalam pemberian pakan atau pembenihan. Semakin intensif suatu usaha perikanan budidaya maka semakin besar intervensi manusia dalam proses produksinya. Demikian juga produksi yang dihasilkan per unit luasan yang sama akan semakin besar dengan semakin intensifnya sebuah unit usaha perikanan. Pengertian dan perbedaan karakteristik masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Jenis-jenis akuakultur berdasar tingkat teknologi dan produksi

No. Jenis Akuakultur

Pengertian Produksi

1. Ekstensif (Tradisional)

Sistem produksi yang bercirikan: (i) tingkat kontrol yang rendah (contoh terhadap lingkungan, nutrisi, predator, penyakit); (ii) biaya awal rendah, level teknologi rendah, dan level efisiensi rendah (hasil tidak lebih dari 500 kg/ha/tahun); (iii) ketergantungan tinggi terhadap cuaca dan kualitas air lokal;

(36)

menggunakan badan-badan air alami.

2. Semi Intensif

Sistem budidaya berkarakteristik produksi 2 sampai 20 ton/ha/tahun, yang sebagian besar tergantung makanan alami, didukung oleh pemupukan dan ditambah pakan buatan, benih berasal dari pembenihan, penggunaan pupuk secara reguler, beberapa menggunakan pergantian air atau aerasi, biasanya menggunakan pompa atau gravitasi untuk suplai air, umumnya memakai kolam yang sudah dimodifikasi.

2.000-20.000 kg/ha/tahun

3. Intensif Sistem budidaya yang bercirikan (i) produksi mencapai 200 ton/ha/tahun; (ii) tingkat kontrol yang tinggi; (iii) biaya awal yang tinggi, tingkat teknologi tinggi, dan efisiensi produksi yang tinggi; (iv) mengarah kepada tidak terpengaruh terhadap iklim dan kualitas air lokal; (v) menggunakan sistem budidaya buatan.

Sistem budidaya dengan karakteristik produksi rata-rata lebih dari 200 ton/ha/tahun, menggunakan pakan buatan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan makanan organisme yang dibudidayakan, benih berasal dari hatchery/pembenihan, tidak menggunakan pupuk, pencegahan penuh terhadap predator dan pencurian, terkoordinasi dan terkendali, suplai air dengan pompa atau memanfaatkan gravitasi, penggantian air dan aerasi sepenuhnya

Untuk peningkatan kualitas air, dapat berupa kolam air deras, karamba atau tank.

> 200.000 kg/ha/tahun

Sumber: Crespi dan Coche (2008)

(37)

Keterangan: SF : Supplementary feed/Pakan tambahan, NF : Natural food/Pakan alami dan FY : Fish Yield/Produksi ikan (Piska dan Naik 2005)

Gambar 5 Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan.

Kegiatan akuakultur juga dapat dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang terkatagori akuakultur subsisten dan ada akuakultur komersial. Menurut Crespi dan Coche (2008), akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur yang dioperasikan skala mikro atau menengah, biasanya inputnya rendah dan bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil produksi umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur komersial adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit; dilakukan oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam penjualan produk yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005) dalam akuakultur komersial pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50% biaya produksi.

Sistem perikanan budidaya air tawar dalam penelitian ini ada tiga jenis. Pertama, perikanan budidaya yang menggunakan kolam sebagai media budidaya. Kedua, perikanan budidaya yang menggunakan sawah sebagai media budidaya. Ketiga, perikanan budidaya yang menggunakan Kolam Jaring Apung (KJA) sebagai media budidaya. Input tangible dan intangible

berperan dalam menentukan tingkat produktivitas perikanan budidaya air tawar. Input perikanan budidaya air tawar yang utama dan bersifat tangible

adalah benih, pakan, tenaga kerja dan air sebagai media tempat budidaya. Faktor tangible tersebut berpengaruh baik secara tersendiri atau gabungan dari berbagai faktor intangible tersebut di atas. Intensitas dan karakteristik penggunaan input dalam ketiga jenis sistem budidaya berbeda-beda. Sistem budidaya KJA merupakan sistem budidaya yang paling tinggi intensitasnya dalam penggunaan input benih, pakan dan tenaga kerja. Tingkat intensitas berikutnya adalah sistem budidaya kolam, sedangkan sawah merupakan sistem budidaya yang paling rendah tingkat intensitas penggunaan inputnya. Perbedaan intensitas dan karakteristik penggunaan input menjadi salah satu sebab perbedaan tingkat produktivitas.

(38)

lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan untuk budidaya ikan. Sumber air KJA berasal dari waduk sedangkan sistem budidaya kolam dan sawah umumnya berasal dari sungai. Tingkat pencemaran di tiga waduk yang ada di Jawa Barat lebih tinggi dibanding sumber air untuk kolam dan sawah. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Secara praktis kualitas benih merupakan rasio dari produksi yang dihasilkan terhadap jumlah benih yang ditanam. Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah daging ikan yang dihasilkan terhadap pakan yang diberikan.

Produksi dan Permintaan Ikan

Produksi total secara global menunjukkan bahwa jenis ikan, krustasea dan moluska terus meningkat dan mencapai 144,6 juta ton pada tahun 2009. Produksi perikanan tangkap sejak tahun 2001 tidak mengalami peningkatan, stagnan sekitar 90 juta ton tiap tahunnya. Produksi akuakultur terus memperlihatkan peningkatan yang kuat, peningkatan tiap tahunnya rata-rata mencapai 1,6 persen. Produksi akuakultur meningkat dari 34,6 ton pada tahun 2001 sampai 55,7 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2009, China menghasilkan 62,5 persen produksi akuakultur dunia (34,8 juta ton). Lima negara lainnya masing-masing memproduksi lebih dari satu juta ton. India (3,8 juta ton), Vietnam (2,6 juta ton), Indonesia (1,7 juta ton), Thailand (1,4 juta ton) dan Bangladesh (1,1 juta ton) (FAO, 2011).

Menurut FAO (2011), pada tahun 2009 sebanyak 38,5 persen produksi perikanan masuk ke pasar internasional. Ekspor ikan dan produk perikanan meningkat 72,1 persen jika dibanding tahun 2000. China merupakan negara pengekspor terbesar diikuti Norwegia, Thailand dan Vietnam. Negara-negara berkembang memainkan peran besar dalam ekspor perikanan, dimana sepuluh pengekspor tertinggi dari negara-negara berkembang menguasai 70 persen ekspor ikan dunia.

(39)

Gambar 6 Ekspektasi pertumbuhan permintaan ikan dalam 8 tahun dari 2007- 2015 (Cai, 2011).

Pada saat yang sama Cai (2011) melakukan perhitungan untuk mengestimasi laju pertumbuhan tahunan produksi akuakultur yang diperlukan untuk memenuhi ekspektasi permintaan ikan mulai dari tahun 2007 sampai dengan 2015. Hasil perhitungannya dapat dilihat dalam Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Laju pertumbuhan tahunan produksi akuakultur yang diperlukan untuk memenuhi ekspektasi permintaan ikan dari 2007-2015 (Cai, 2011).

(40)

mencapai kisaran 16 sampai 37 persen. Apalagi jika Indonesia menginginkan peningkatkan porsi ekspor perikanan, maka pertumbuhan produksinya harus lebih besar lagi.

Peranan Akuakultur terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskianan

Dari berbagai sistem global produksi makanan, akuakultur secara umum dapat dilihat sebagai penyedia makanan domestik yang penting. Hal ini karena akuakultur menyediakan protein hewani kualitas tinggi dan berbagai nutrien esensial lainnya (umumnya dengan harga terjangkau bagi segmen masyarakat miskin). Akuakultur juga penting karena menyediakan kesempatan kerja, pendapatan tunai dan merupakan komoditas ekspor berharga, dimana negara-negara sedang berkembang memproduksi lebih dari 90 persen dari total produksi akuakultur berdasarkan berat pada tahun 1998 (Tacon, 2001).

Akuakultur yang umumnya berada di perdesaan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan secara langsung melalui budidaya perikanan skala kecil untuk konsumsi domestik dan pendapatan. Kontribusi secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang miskin dalam usaha budidaya komersial atau melalui penyediaan ikan yang harganya terjangkau bagi konsumen miskin baik di perdesaan maupun perkotaan (Edward, 1999).

Akuakultur mendatangkan pendapatan bagi masyarakat miskin perdesaan melalui penjualan langsung produk akuakultur dan kesempatan kerja dalam produksi perikanan serta pengolahannya. Sebagai contoh di Asia Tenggara, para pembudidaya mendapatkan pendapatan rumah tangga yang lebih tinggi dibanding para petani. Lain halnya di China, akuakultur telah menjadi bagian integral strategi pembangunan perdesaan, menyerap surplus tenaga kerja perdesaan yang dilepas karena adanya reformasi pertanian. Lebih dari 3 juta penduduk China mendapatkan pekerjaan dalam bidang akuakultur sejak 1974 (World Bank, 2007).

Kontribusi akuakultur terhadap pembangunan perdesaan sebagaimana pertanian dan peternakan memiliki relevansi yang kuat terhadap masyarakat miskin. FAO mendefinisikan akuakultur sebagai budidaya organisme air, termasuk di dalamnya ikan, moluska, krustasea dan tanaman air (FAO, 2001). Dalam konteks masyarakat miskin perdesaan, akuakultur sering juga merupakan pelengkap terhadap aktivitas penangkapan. Akuakultur terus memainkan peran penting, di banyak daerah akuakultur dapat mencukupi kebutuhan subsisten dan menyediakan pendapatan tunai sebagai sumber pendapatan yang berharga bagi pembudidaya ikan. Dalam banyak hal, penangkapan atau budidaya komoditas aquatik membentuk basis keamanan pangan (food security), menyediakan ternak atau ikan yang dibudidayakan sebagai sumber penghasilan. Akuakultur menjadi salah satu komponen atraktif dan penting bagi kehidupan perdesaan dalam situasi tekanan pertambahan penduduk, degredasi lingkungan atau hilang atau terbatasnya akses terhadap penangkapan ikan (IIRC et al. 2001).

(41)

melebihi penghaslan dari pertanian tanaman. Di negara Sri Lanka, penilaian ekonomi terbaru telah menempatkan nilai perikanan sekitar 18 % dari keuntungan ekonomi total air dalam produksi padi beririgasi (Renwick, 2001). Sayangnya kapasitas perikanan skala kecil dalam menghasilkan pendapatan tunai masih kurang dikenali oleh kalangan akademisi atau para pengambil kebijakan. Selain itu perikanan tawar dan payau ini menjadikan para pembudidaya dapat mendapatkan pendapatan tunai sepanjang tahun dengan jalan menjual ikan. Budidaya perikanan menjadi seperti sebuah “bank dalam air” untuk masyarakat perdesaan yang memiliki keterbatasan terhadap sistem keuangan formal. Hal ini berbeda dengan pertanian dimana petani harus menginvestasikan modal kemudian menunggu beberapa waktu untuk menunggu panen dan mendapatkan pengembalian uangnya (Dugan, 2007).

Menurut Worl Bank (2007), bila dibandingkan pendapatan relatif dari akuakultur dan agrikultur dari berbagai penelitan memperlihatkan:

ƒ Studi yang dilakukan di China dan Vietnam memperlihatkan 80-100 persen produk akuakultur dari pembudidaya di perdesaan dapat dipasarkan, mengkonfirmasi bahwa akuakultur pada dasarnya adalah aktivitas yang menghasilkan pendapatan tunai.

ƒ Pembudidaya nila skala kecil di Central Luzon memperlihatkan bahwa rata-rata pendapatannya 48-49 persen lebih tinggi dibanding petani padi.

ƒ Lima puluh persen pendapatan pembudidaya di Vietnam yang terlibat dalam akuakultur bertahan pada angka 75 persen dari pendaptan rumah tangganya. Kebanyakan para pekerja dalam pembudidayaan

catfish juga lebih betah dan mendapat pendapatan yang stabil, dan mampu mengirim sebagian pendapatannya pada keluarga.

ƒ Budidaya mina padi di Bangladesh telah meningkatkan pendapatan sampai 20 persen dan meningkatkan produksi padi sampai 8 persen dengan mereduksi pestisida dan penggunaan pupuk. Pembudidaya udang menghasilkan 170 persen pendapatan lebih tinggi dibanding petani bukan pembudidaya udang.

(42)

Harga pasar rata-rata ikan lebih rendah dibanding harga daging dari peternakan di berbagai negara. Harga produk yang rendah dapat membuat ikan budidaya sangat dapat diakses dari kalangan masyarakat termiskin sekalipun. Sebagai contoh, ketika harga daging naik di Afrika Barat pada akhir tahun 1990-an karena devaluasi mata uang, banyak kalangan rumah tangga miskin beralih ke ikan kering. Negara-negara seperti Nepal dan Laos, terdapat rumah tangga miskin yang tergantung dari akuakultur air tawar dalam penyediaan protein hewani keluarga mereka. Oleh karena itu, produksi akuakultur dapat mengurangi harga ikan, meningkatkan akses terhadap ikan bagi keluarga-keluarga miskin.

Pengalaman di wilayah Asia memperlihatkan bahwa kesuksesan dalam akuakultur untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan (pro poor aquaculture) memerlukan suasana yang kondusif, dimana meliputi elemen-elemen kunci sebagai berikut:

ƒ Kebijakan penggunaan lahan dan adanya insentif. Negara China dan Vietnam, melakukan kebijakan liberalisasi penggunaan tanah, diantaranya pengaturan tanah untuk tanaman padi menjadi lahan akuakultur, menjadikan peningkatan subtansial pendapatan. Dengan pembatasan ukuran lahan budidaya udang komersial 20-50 ha, Indonesia membuat suatu basis untuk perusahaan inti budidaya udang. Membuat kesempatan bagi yang tidak punya tanah untuk memanfaatkan badan air umum, seperti saluran irigasi untuk akuakultur sebagai jalan masuk bagi masyarakat miskin. Di negara Banglades, perubahan kebijakan ekonomi untuk ekspor mendorong terbukanya jalan bagi tumbuhnya industri budidaya udang.

ƒ Akses terhadap pengetahuan dan teknologi. Proses diseminasi pengetahuan dan pengadopsian terhadap teknologi budidaya yang dikombinasikan dengan kredit telah meningkatkan produktivitas. Melalui riset adaptif dan penyuluhan pengembangan teknologi, produktivitas kolam di China tumbuh dari 765 kg/ha pada tahun 1980 menjadi 4.900 kg/ha pada tahun 2000, suatu peningkatan yang mencapai 640 persen. Dengan cara yang sama, produksi mina padi meningkat lebih dari empat kali dengan mengadaptasi teknologi dari teknologi akuakultur kolam. Dinas perikanan di 22 negara bagian India melatih lebih dari 550.000 pembudidaya, meningkatkan teknologi, mengintroduksi budidaya polikultur ikan mas di lebih dari 450.000 ha kolam, dan meningkatkan produksi ikan indian carp pada kolam dari 50 kg/ha menjadi sekitar 2.200 kg/ha pada periode tahun 1975-1999.

(43)

Kamboja telah menjadi pelengkap program pemerintah dalam peningkatan kapasitas teknik dan keuangan pembudidaya dan dalam menyediakan mikro kredit kepada warga miskin perdesaan dan wanita.

Total Factor Productivity

Konsep Total Factor Productivity (TFP) diperkenalkan pertama kali oleh Jan Tinberger tahun 1942. Namun, sebagai suatu ukuran produktivitas, konsep ini baru dapat dijelaskan secara eksplisit oleh Solow (1967), dengan menggunakan kerangka produksi Cobb-Douglas. Solow menjelaskan, terjadinya selisih residual antara pertumbuhan output riil dengan tingkat pertumbuhan input tenaga kerja dan modal yang ditimbang dengan ukuran konvensional. Penelitian-penelitian selanjutnya dilakukan oleh banyak ahli ekonomi dengan tujuan memperkecil selisih residual itu atau menjelaskan fenomena tersebut secara ekonomi. Konsep selisih residual inilah yang menjadi konsep pertumbuhan Total Factor Productivity. Ada beberapa definisi Total Factor Productivity yang diterima secara umum, antara lain: sebagai rata-rata dari agregat input; ukuran tingkat perubahan teknologi produksi, dan suatu indeks efektivitas dari suatu input dalam menghasilkan suatu output sebelum dan sesudah terjadi perubahan teknologi (Suparyati, 1999).

Sedangkan menurut Ehui dan Jabbar (2002), TFP didefinisikan sebagai rasio agregat output terhadap agregat input yang digunakan dalam proses produksi. Lakitan (2010) menyatakan bahwa pada prinsipnya, TFP merupakan variabel untuk mengukur dampak terhadap keluaran (output) total yang tidak disebabkan oleh tangible inputs, yakni capital input dan labor input yang terpakai dalam proses produksi. TFP menaksir dampak dari

intangible inputs, termasuk kontribusi teknologi walaupun tidak terbatas hanya oleh teknologi.

(44)

Produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi. Produktivitas yang lebih tinggi dapat terjadi jika output yang dihasilkan lebih banyak dengan menggunakan input yang sama, atau dapat juga output sama dengan penggunaan input yang lebih sedikit. Squires (1988) menyajikan kerangka dasar untuk mengukur perubahan produktivitas sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini. Fungsi produksi untuk kasus satu output dengan dua input adalah sebagai berikut:

Y(t) = A(t)f(K(t)L(t))

Dimana Y(t) adalah output, K(t) menunjukkan penggunaan kapital pada waktu t, L(t) penggunaan tenaga kerja pada waktu t dan A(t) menggambarkan parameter efisiensi yang memungkinkan pergeseran fungsi produksi.

Gambar 8 Fungsi produksi yang menggambarkan total factor productivity (Squires, 1988).

Gambar 8 menyajikan dua tingkat fungsi produksi sesuai persamaan di atas dimana Y1(t) > Y(t). Sumbu vertikal menggambarkan output dimana Y” > Y’, sedangkan sumbu horizontal menggambarkan indeks dari input agregat dimana X” > X’. Jika teknologi tetap, tetapi input lebih banyak digunakan, maka produksi bergerak dari B ke C. Jika terdapat inovasi teknologi, dengan menggunakan jumlah input yang sama maka output akan bergeser dari B ke D dan output meningkat dari Y ke Y’.

Gambar

Tabel 1  Pengelompokkan komoditas akuakultur berdasarkan karakter
Gambar 5  Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan.
Gambar 6  Ekspektasi pertumbuhan permintaan ikan dalam 8 tahun dari
Tabel 7  Kisaran angka indeks TFP pada berbagai tingkat teknologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

ebaliknya perusahaan besar harus mengembangkan struktur bir'krasi yang k'mpleks sehingga penyusunan anggaran yang e&ekti& lebih sulit karena p'tensi

2013 mengundang Saudara untuk Pembuktian Kualifikasi dengan membawa Berkas Asli dan salinan/fotocopy (1 rangkap) : - Surat Ijin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK)2. - Sertifikat

berpengaruh tidak optimalnya pekerjaan dokumentasi, hal tersebut sangat terasa bila dalam satu waktu yang bersamaan terjadi beberapa kegiatan yang harus diliput

Pada penelitian induksi kalus, ketiga jenis eksplan (daun muda, hipokotil, dan ujung akar) dari ketiga kultivar cabai yang diuji (Gelora, Sudra, Chili 109) yang ditumbuhkan

[r]

ANALISIS BIAYA PRODUKSI PADA PT PLN (PERSERO) WILAYAH ACEH AREA LANGSA..

Tabel 6 menunjukkan hasil dari pengukuran tinggi dan jarak dimana dari hasil pengukuran tersebut diperoleh hasil bahwa tinggi tiang dan jarak antar tiang PJU

(2) Terhadap terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, jangka waktu 1 (satu) tahun