• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Fauzi (2010a), pembangunan adalah proses yang kontinyu. Pembangunan juga harus dipisahkan dari konsep pertumbuhan dimana pembangunan merupakan konsep yang lebih luas yang secara simultan melibatkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup. Khusus mengenai teori pembangunan perdesaan secara teoritis merupakan hasil dari perkembangan pemikiran yang terus menerus secara kontinyu diperbaiki sesuai dinamika perkembangan yang terjadi. Karakteristik yang dimiliki oleh suatu daerah maupun wilayah perdesaan menyebabkan tidak ada satupun teori yang memang akan sesuai dengan sempurna. Oleh karenanya inovasi dan pemikiran-pemikiran maupun terobosan-terobosan baru tetap diperlukan dalam membangun wilayah perdesaan.

Pembangunan wilayah perdesaan itu sendiri menurut Anwar dan Rustiadi (2001) dapat diartikan sebagai proses atau tahapan pengarahan kepada kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya, termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui berbagai investasi guna memperbesar kapasitas ekonomi lokal.

Pembangunan wilayah termasuk di dalamnya pengembangan wilayah baru. Dalam strategi pengembangan wilayah baru, menurut Rustiadi et al.

(2009) secara teoritis dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu

demand side stretagy dan supply side strategy. Strategi “demand side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk. Adapun strategi “supply side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi luar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya lokal.

Nemes (2005) dalam pembangunan perdesaan mengajukan apa yang disebut pembangunan perdesaan terintegrasi (integrated rural development). Pembangunan perdesaan terintegrasi itu sendiri bermakna sebagai sebuah proses pembangunan perdesaan yang dilakukan dengan mengintegrasikan intervensi pihak luar dan aspirasi masyarakat lokal. Pembangunan persedaan bertujuan untuk mencapai kemajuan bagi berbagai kelompok masyarakat yang hidup di perdesaan dan untuk melestarikan dan meningkatkan nilai-nilai perdesaan melalui redistribusi sumberdaya-sumberdaya pusat, dan menemukan cara baru untuk mendayagunakan dan menggunakan sumberdaya perdesaan. Dengan kata lain pembangunan perdesaan terintegrasi merupakan teori yang mengidentifikasi bagaiamana pembangunan lokal dan rekonfigurasi sumberdaya perdesaan dapat dibantu oleh pusat untuk

masyarakat perdesaan, cerita-cerita, masakan tradisional khas, seni dan kerajinan, metode spesifik dalam produk dan produksi, bahasa minoritas, pandangan hidup tradisional.

ƒ Nilai-nilai Komunitas (community values) meliputi jaringan sosial, hubungan kekeluargaan, kepercayaan dan saling pengertian, cara khusus berkomunikasi.

Menurut Supriyadi (2007) beberapa kelemahan dari teori pembangunan sebelumnya tersebut adalah:

a. Lebih menekankan pada aspek ekonomi, manusia sebagai objek pembangunan, dan manusia dianalisis secara tidak langsung. Pemikiran parsial ini tidak mampu menangkap semua aspek pembangunan, yang berakibat kepada pola pemikiran menyederhanakan suatu pembangunan. Hal ini menimbulkan ketimpangan antara negara maju, negara berkembang, dan negara sedang berkembang.

b. Ketimpangan pembangunan yang semakin tajam dan besar antar negara maju dan miskin mengakibatkan terjadi disparitas yang semakin menajam antar negara yang diikuti dengan polarisasi pengkutuban.

c. Lingkungan hidup banyak dibaikan atau lebih banyak bersifat eksploitatif terhadap berbagai sumberdaya. Orientasi ukuran pembangunan didasarkan atas tingkat pendapatan (dalam bentuk GNP atau PDRB). Keadaan ini memiliki kelemahan mengingat bahwa tingkat pendapatan tidak dapat menutupi semua aktivitas suatu negara dan perhitungannya tidak dikoreksi dengan eksternalitas yang terjadi. d. Posisi masyarakat dianggap tidak mempunyai inisiatif dalam

pembangunan. Masyarakat dianggap sebagai komunitas manusia tidak terlibat langsung dalam pembangunan. Pembangunan lebih banyak dikuasai dan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sebagai aktor penentu dan pengambil keputusan kebijakan pembangunan.

Selanjutnya Supriyadi (2007) menjelaskan bahwa agar suatu wilayah dapat berkembang lebih baik dengan berlandaskan upaya pengembangan ekonomi lokal (PEL) membutuhkan suatu kebijakan yang mendorong inovasi dalam struktur industri yang terintegrasi. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan bagi pengembangan ekonomi lokal tersebut adalah:

a. Memperbaiki keberadaan sumberdaya ekonomi lokal melalui investasi baik modal fisik maupun manusia.

c. Mendorong pengembangan atau masuknya perusahaan layanan bisnis khusus, terspesialisasi.

d. Terbangunnya kapasitas pendidikan dan penelitian wilayah.

e. Terbangunnya hubungan antar bisnis-bisnis lokal, hubungan antara bisnis lokal dengan lembaga litbang, serta jalinan hubungan antara masyarakat lokal dengan lembaga-lembaga pendidikan dan litbang. f. Tertariknya perusahaan dari luar wilayah yang memungkinkan usaha

yang ada tetap berhasil dari layanan bisnis yang tersedia sebelumnya. g. Memasarkan kemampuan dan keunggulan wilayah kepada dunia

usaha di luar wilayah.

h. Keahlian individu dan wirausaha terpasarkan hingga tercapainya kualitas hidup di wilayah.

Missleading policy yang mengarah kepada tidak seimbangnya kecepatan pembangunan antara kedua kawasan perkotaan (urban) dan perdesaan (rural) berakar dari ketimpangan hak-hak (entitleman) antara kedua masyarakat yang secara spasial berbeda sifat-sifat lingkungannya. Oleh karena itu salah satu tujuan dari pembangunan wilayah perdesaan adalah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial politik di antara kedua kawasan, melalui investasi-investasi sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya sosial (social capital), sumberdaya modal material (man-made capital) dan pemeliharaan sumberdaya alam (natural capital) yang seimbang antara kedua kawasan (Anwar dan Rustiadi, 2001).

Diperlukan faktor pendorong (inducement) yang mampu menggerakan sistem produksi manufaktiur padat karya modern di perdesaan, sebagai alternatif pengganti dari terjadinya migrasi tenaga kerja ke perkotaan. Diharapkan akan terjadi penyebaran aktivitas-aktivitas industri di wilayah perdesaan yang dapat diorganisasikan dengan cara terdesentralisasi yang memanfaatkan bukan hanya tenaga kerja fisik, tetapi juga dapat menumbuhkan potensi kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship) perdesaan yang merupakan dua sumberdaya yang kurang dimanfaatkan oleh pemerintah selama ini. Strategi pembangunan industrialisasi perdesaan bertujuan untuk mewujudkan pemerataan dan menghilangkan kesulitan besar terhadap keadaan dimana sering terjadinya trade off antara pertumbuhan dan pemerataan (Anwar dan Rustiadi, 2001).

Anwar dan Rustiadi (2001) selanjutnya menawarkan pembangunan mikropolitan dalam mendorong kegiatan sektor pertanian dan sektor komplemennya di wilayah perdesaan. Pembangunan kota kecil di lingkungan pertanian atau mikropolitan (kota menengah kecil) merupakan pembangunan pusat-pusat pelayanan pada kota-kota kecil yang diberikan beberapa perlengkapan infrastruktur fasilitas publik perkotaan. Fasilitas-fasilitas tersebut diperlukan guna mendorong dan mendukung strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan yang dapat menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Pembangunan mikropolitan ini memerlukan kekuatan kemauan politik (political will) dan kekuatan (persaingan) pasar untuk menghasilkan sejumlah pusat-pusat pertumbuhan yang optimum. Jika tidak demikian, maka kota-kota besar akan terus bertumbuh meskipun kota-kota ini sudah sulit dikendalikan dan menimbulkan kerugian-kerugian sosial yang besar.

(b) berorientasi pada pemberdayaan masyarakat

Azas pemberdayaan masyarakat mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan sosial dan ekonomi seluruh masyarakat perdesaan secara berkelanjutan agar mereka mampu mandiri di dalam mengelola kehidupannya baik sebagai individu-individu maupun sebagai komunitas sosial. Sehingga, pembangunan perdesaan tidak boleh mengorbankan suatu golongan demi kepentingan kelompok lain seperti yang terjadi di masa lalu. Jadi, azas pemberdayaan ini juga mensyaratkan pembangunan yang berkeadilan dan untuk semua segmen masyarakat perdesaan.

(c) berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan

Azas pertumbuhan dan pemerataan mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan harus secara simultan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di dalam masyarakat. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi justru menciptakan distribusi pendapatan yang buruk di dalam masyarakat. Terjadinya konflik sosial tidak hanya dapat menghambat pelaksanaan pembangunan, tetapi juga dapat berakhir pada perpecahan bangsa bila tidak terkendali. Oleh karena itu, pembangunan tidak boleh hanya diarahkan pada penciptaan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan harus secara simultan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan diantara masyarakat.

(d) berorientasi pada peningkatan daya saing global

Azas peningkatan daya saing global mengandung makna bahwa pembangunan perdesaan harus ditempatkan dalam perspektif persaingan ekonomi global. Globalisasi ekonomi adalah suatu proses yang terus bergulir. Proses ini menghasilkan persaingan ekonomi yang semakin intensif pada semua level kewilayahan, termasuk kawasan perdesaan. Sebagai konsekuensinya, pembangunan perdesaan akan dapat berhasil mencapai tujuan untuk menciptakan kawasan dan masyarakat perdesaan yang ideal hanya apabila pembangunan perdesaan mampu menciptakan perekonomian perdesaan yang berdaya saing global.

(e) berorientasi pada partisipasi masyarakat.

Azas partisipasi masyarakat mengandung makna bahwa masyarakat perdesaan harus menjadi subjek dalam pembangunan perdesaan. Azas ini merupakan kebalikan dari azas paradigma lama yang cenderung menempatkan masyarakat hanya sekedar sebagai objek pembangunan. Pada masa lalu, pemerintah mendominasi proses pembangunan, mulai dari pendanaan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Seperti yang telah

dikemukakan di atas, dominasi pemerintah ini tidak hanya membuat pembangunan gagal mencapai tujuannya. tetapi juga, pendekatan pembangunan tersebut telah merusak kemandirian dan semangat kerjasama di masyarakat perdesaan. Sebagai akibatnya, masyarakat perdesaan menjadi sangat tergantung pada pemerintah di dalam mengelola kehidupan sosial- ekonominya. Situasi masyarakat perdesaan seperti ini jelas tidak sesuai dengan tuntutan globalisasi dan otonomi yang mensyaratkan kemandirian dan kebersaingan yang tangguh dari suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perdesaan harus dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan perdesaan, termasuk dalam pendanaan. Secara bertahap peranan pemerintah dalam pembangunan perdesaan dikurangi. Masyarakat perdesaan harus menjadi subjek dalam pembangunan perdesaan, dan hal ini harus dicapai secara bertahap. Singkatnya, pada akhirnya, pembangunan perdesaan harus “dari, oleh dan untuk masyarakat perdesaan”.

Akuakultur

Akuakultur adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme) akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan (profit). Akuakultur berasal dari bahasa Inggris aquaculture (aqua = perairan; culture = budidaya) dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi budidaya perairan atau budidaya perikanan. Oleh karena itu, akuakultur dapat didefinisikan menjadi campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (reproduksi), menumbuhkan (growth), serta meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan (Effendi 2004).

Berdasarkan salinitas atau kandungan garam NaCl-nya, perairan di permukaan bumi dibedakan menjadi perairan tawar, perairan payau, dan perairan laut. Semua perairan tersebut dapat dijadikan sumber air bagi kegiatan akuakultur. Oleh karena itu, berdasarkan sumber air yang digunakan untuk kegiatan produksi akuakultur maka dikenal budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture).

Menurut Crespi dan Coche (2008), pengertian akuakultur air tawar adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air tawar, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau laut. Pengertian akuakultur air payau adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air payau, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan tawar atau laut. Sedangkan pengertian akuakultur air laut adalah budidaya organisme aquatik dimana produk akhir dihasilkan di lingkungan air laut, tahap awal siklus hidup spesies yang dibudidayakan bisa saja di perairan payau atau tawar.

Pengelompokan komoditas akuakultur berdasakan karakteristik morfologi adalah dengan melihat bentuk dan ciri khas dari tubuh, seperti bersirip, berkarapas, bercangkang, berduri, atau bersel tunggal. Bentuk dan

Karakter Morfologi Habitat

Ikan Udang Moluska Ekono-

dermata

Alga Air

Tawar

Ikan mas, gurami, nila, mujair, patin, lele, tambakan, tawes, nilem, bawal

Udang galah, udang cherax

Kijing - Tanaman Hias

Air Payau

Bandeng, belanak Udang windu,

udang vanamei, kepiting bakau

- - -

Air Laut Kerapu, kakap putih, baronang, Lobster Kerang hijau, kerang mutiara, abalone Teripang, bulu babi Euchema cottonii, Gracilaria sp., Chlorella sp. Sumber: Effendi (2004)

Tingkat teknologi budidaya dalam akuakultur berbeda-beda. Perbedaan tingkat teknologi ini akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas yang dihasilkan oleh suatu usaha. Berdasarkan tingkat teknologi dan produksi yang dihasilkan, kegiatan akuakultur dapat dibedakan menjadi akuakultur yang ekstensif atau tradisional, akuakultur yang semi intensif, akuakultur intensif, dan akuakultur hiper intensif. Pembedaan tersebut berdasarkan seberapa besar intervensi manusia dalam kegiatan perikanan budidaya, seperti dalam pemberian pakan atau pembenihan. Semakin intensif suatu usaha perikanan budidaya maka semakin besar intervensi manusia dalam proses produksinya. Demikian juga produksi yang dihasilkan per unit luasan yang sama akan semakin besar dengan semakin intensifnya sebuah unit usaha perikanan. Pengertian dan perbedaan karakteristik masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Jenis-jenis akuakultur berdasar tingkat teknologi dan produksi

No. Jenis Akuakultur

Pengertian Produksi 1. Ekstensif

(Tradisional)

Sistem produksi yang bercirikan: (i) tingkat kontrol yang rendah (contoh terhadap lingkungan, nutrisi, predator, penyakit); (ii) biaya awal rendah, level teknologi rendah, dan level efisiensi rendah (hasil tidak lebih dari 500 kg/ha/tahun); (iii) ketergantungan tinggi terhadap cuaca dan kualitas air lokal;

< 500 kg/ha/tahun

menggunakan badan-badan air alami. 2. Semi

Intensif

Sistem budidaya berkarakteristik produksi 2 sampai 20 ton/ha/tahun, yang sebagian besar tergantung makanan alami, didukung oleh pemupukan dan ditambah pakan buatan, benih berasal dari pembenihan, penggunaan pupuk secara reguler, beberapa menggunakan pergantian air atau aerasi, biasanya menggunakan pompa atau gravitasi untuk suplai air, umumnya memakai kolam yang sudah dimodifikasi.

2.000- 20.000 kg/ha/tahun

3. Intensif Sistem budidaya yang bercirikan (i) produksi mencapai 200 ton/ha/tahun; (ii) tingkat kontrol yang tinggi; (iii) biaya awal yang tinggi, tingkat teknologi tinggi, dan efisiensi produksi yang tinggi; (iv) mengarah kepada tidak terpengaruh terhadap iklim dan kualitas air lokal; (v) menggunakan sistem budidaya buatan. 20.000- 200.000 kg/ha/tahun 4. Hiper Intensif

Sistem budidaya dengan karakteristik produksi rata-rata lebih dari 200 ton/ha/tahun, menggunakan pakan buatan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan makanan organisme yang dibudidayakan, benih berasal dari hatchery/pembenihan, tidak menggunakan pupuk, pencegahan penuh terhadap predator dan pencurian, terkoordinasi dan terkendali, suplai air dengan pompa atau memanfaatkan gravitasi, penggantian air dan aerasi sepenuhnya

Untuk peningkatan kualitas air, dapat berupa kolam air deras, karamba atau tank.

> 200.000 kg/ha/tahun

Sumber: Crespi dan Coche (2008)

Pada lingkungan yang alami, ketika jumlah pertumbuhan ikan dan organisme makanan alami ikan dalam kesetimbangan, maka tidak diperlukan menyediakan pakan tambahan. Ketika sistem budidaya dimaksudkan untuk memproduksi lebih banyak lagi ikan, pemupukan dan pakan tambahan harus diberikan. Dalam sistem ekstensif (tradisional), produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambah sedikit pupuk organik atau buatan, sedangkan pada sistem semi intensif produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan pupuk bersama sejumlah pakan tambahan. Dalam sistem budidaya intensif, produksi ikan dapat ditingkatkan dengan menambahkan sejumlah besar pakan tambahan (Piska dan Naik, 2005). Perbandingan komposisi pakan tambahan, pakan alami dan produksi ikan dalam sistem ekstensif, semi intensif dan intensif dapat dilihat dalam Gambar 5 berikut.

Keterangan: SF : Supplementary feed/Pakan tambahan, NF : Natural food/Pakan alami dan FY : Fish Yield/Produksi ikan (Piska dan Naik 2005)

Gambar 5 Perbandingan antara beberapa sistem budidaya ikan.

Kegiatan akuakultur juga dapat dibedakan dari orientasi usahanya. Ada yang terkatagori akuakultur subsisten dan ada akuakultur komersial. Menurut Crespi dan Coche (2008), akuakultur subsisten adalah sistem akuakultur yang dioperasikan skala mikro atau menengah, biasanya inputnya rendah dan bersifat ekstensif sampai semi intensif, hasil produksi umumnya untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian kecil dijual. Adapun akuakultur komersial adalah budidaya organisme aquatik dengan tujuan memaksimumkan profit; dilakukan oleh produsen skala kecil sampai besar dimana mereka berpartisipasi aktif di pasar, membeli input (termasuk modal dan tenaga kerja) dan terlibat dalam penjualan produk yang mereka hasilkan. Menurut Piska dan Naik (2005) dalam akuakultur komersial pengeluaran untuk pembelian pakan buatan menyerap 50% biaya produksi.

Sistem perikanan budidaya air tawar dalam penelitian ini ada tiga jenis. Pertama, perikanan budidaya yang menggunakan kolam sebagai media budidaya. Kedua, perikanan budidaya yang menggunakan sawah sebagai media budidaya. Ketiga, perikanan budidaya yang menggunakan Kolam Jaring Apung (KJA) sebagai media budidaya. Input tangible dan intangible

berperan dalam menentukan tingkat produktivitas perikanan budidaya air tawar. Input perikanan budidaya air tawar yang utama dan bersifat tangible

adalah benih, pakan, tenaga kerja dan air sebagai media tempat budidaya. Faktor tangible tersebut berpengaruh baik secara tersendiri atau gabungan dari berbagai faktor intangible tersebut di atas. Intensitas dan karakteristik penggunaan input dalam ketiga jenis sistem budidaya berbeda-beda. Sistem budidaya KJA merupakan sistem budidaya yang paling tinggi intensitasnya dalam penggunaan input benih, pakan dan tenaga kerja. Tingkat intensitas berikutnya adalah sistem budidaya kolam, sedangkan sawah merupakan sistem budidaya yang paling rendah tingkat intensitas penggunaan inputnya. Perbedaan intensitas dan karakteristik penggunaan input menjadi salah satu sebab perbedaan tingkat produktivitas.

Faktor-faktor intangible yang mempengaruhi produktivitas perikanan budidaya diantaranya adalah kualitas air, kualitas pakan, kualitas benih dan kualitas sumberdaya manusia, baik secara terpisah maupun gabungan dari berbagai faktor intangible atau gabungan dengan faktor tangiblenya. Kualitas

lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sumber air yang digunakan untuk budidaya ikan. Sumber air KJA berasal dari waduk sedangkan sistem budidaya kolam dan sawah umumnya berasal dari sungai. Tingkat pencemaran di tiga waduk yang ada di Jawa Barat lebih tinggi dibanding sumber air untuk kolam dan sawah. Kualitas benih dicerminkan dalam tingginya angka kelangsungan hidup benih ikan sampai dapat dipanen sebagai ikan konsumsi, dan tingginya tingkat pertumbuhan ikan itu sendiri. Secara praktis kualitas benih merupakan rasio dari produksi yang dihasilkan terhadap jumlah benih yang ditanam. Kualitas pakan tercermin dari rasio jumlah daging ikan yang dihasilkan terhadap pakan yang diberikan.

Produksi dan Permintaan Ikan

Produksi total secara global menunjukkan bahwa jenis ikan, krustasea dan moluska terus meningkat dan mencapai 144,6 juta ton pada tahun 2009. Produksi perikanan tangkap sejak tahun 2001 tidak mengalami peningkatan, stagnan sekitar 90 juta ton tiap tahunnya. Produksi akuakultur terus memperlihatkan peningkatan yang kuat, peningkatan tiap tahunnya rata-rata mencapai 1,6 persen. Produksi akuakultur meningkat dari 34,6 ton pada tahun 2001 sampai 55,7 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2009, China menghasilkan 62,5 persen produksi akuakultur dunia (34,8 juta ton). Lima negara lainnya masing-masing memproduksi lebih dari satu juta ton. India (3,8 juta ton), Vietnam (2,6 juta ton), Indonesia (1,7 juta ton), Thailand (1,4 juta ton) dan Bangladesh (1,1 juta ton) (FAO, 2011).

Menurut FAO (2011), pada tahun 2009 sebanyak 38,5 persen produksi perikanan masuk ke pasar internasional. Ekspor ikan dan produk perikanan meningkat 72,1 persen jika dibanding tahun 2000. China merupakan negara pengekspor terbesar diikuti Norwegia, Thailand dan Vietnam. Negara-negara berkembang memainkan peran besar dalam ekspor perikanan, dimana sepuluh pengekspor tertinggi dari negara-negara berkembang menguasai 70 persen ekspor ikan dunia.

Menurut perkiraan PBB, populasi dunia diperkirakan mencapai 7,3 miliar pada tahun 2015 lebih tinggi 9,5 % dibandingkan tahun 2007. Dengan asumsi bahwa orang di setiap negara pada tahun 2015 mengkonsumsi ikan sebanyak tahun 2007, maka total konsumsi ikan pada tahun 2015 akan mencapai 117 juta ton, lebih besar 6,5 % dari yang dikonsumsi pada tahun 2007. Angka ini adalah estimasi kasar yang mungkin mengabaikan kenaikan permintaan ikan pada waktu yang akan datang (Cai, 2011). Secara grafis pertumbuhan permintaan ikan dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6 Ekspektasi pertumbuhan permintaan ikan dalam 8 tahun dari 2007- 2015 (Cai, 2011).

Pada saat yang sama Cai (2011) melakukan perhitungan untuk mengestimasi laju pertumbuhan tahunan produksi akuakultur yang diperlukan untuk memenuhi ekspektasi permintaan ikan mulai dari tahun 2007 sampai dengan 2015. Hasil perhitungannya dapat dilihat dalam Gambar 7 berikut.

Gambar 7 Laju pertumbuhan tahunan produksi akuakultur yang diperlukan untuk memenuhi ekspektasi permintaan ikan dari 2007-2015 (Cai, 2011).

Berdasarkan perhitungan di atas terlihat bahwa Indonesia dalam pertumbuhan permintaan ikan termasuk dalam kategori tinggi. Indonesia diprediksi akan mengalami pertumbuhan permintaan ikan sebesar 25 sampai 35 persen. Tingginya pertumbuhan permintaan ikan dengan sendirinya akan meningkatkan kebutuhan produksi ikan dalam negeri. Dalam prediksi di atas laju pertumbuhan tahunan produksi akuakultur Indonesia minimal harus

mencapai kisaran 16 sampai 37 persen. Apalagi jika Indonesia menginginkan peningkatkan porsi ekspor perikanan, maka pertumbuhan produksinya harus lebih besar lagi.

Peranan Akuakultur terhadap Ketahanan Pangan dan Kemiskianan

Dari berbagai sistem global produksi makanan, akuakultur secara umum dapat dilihat sebagai penyedia makanan domestik yang penting. Hal ini karena akuakultur menyediakan protein hewani kualitas tinggi dan berbagai nutrien esensial lainnya (umumnya dengan harga terjangkau bagi segmen masyarakat miskin). Akuakultur juga penting karena menyediakan kesempatan kerja, pendapatan tunai dan merupakan komoditas ekspor berharga, dimana negara-negara sedang berkembang memproduksi lebih dari 90 persen dari total produksi akuakultur berdasarkan berat pada tahun 1998 (Tacon, 2001).

Akuakultur yang umumnya berada di perdesaan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan secara langsung melalui budidaya perikanan skala kecil untuk konsumsi domestik dan pendapatan. Kontribusi secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan kerja bagi orang-orang miskin dalam usaha budidaya komersial atau melalui penyediaan ikan yang harganya terjangkau bagi konsumen miskin baik di perdesaan maupun perkotaan (Edward, 1999).

Akuakultur mendatangkan pendapatan bagi masyarakat miskin perdesaan melalui penjualan langsung produk akuakultur dan kesempatan kerja dalam produksi perikanan serta pengolahannya. Sebagai contoh di Asia Tenggara, para pembudidaya mendapatkan pendapatan rumah tangga yang

Dokumen terkait