• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Konsep Ta’dib Terhadap Pendidikan Karakter.

Secara umum dalam khasanah dan diskursus pendidikan dalam Islam terdapat sejumlah istilah yang merujuk langsung pada pengertian pendidikan

dalam Islam yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Adalah Syed M. Naquib al-Attas salah seorang sarjana dan intelektual Muslim yang menawarkan istilah atau

konsep ta’dib sebagai istilah yang menandai proses pengajaran dan pendidikan

dalam Islam. Ta’dib istilah yang digunakan oleh al-Attas untuk menunjuk pengertian pendidikan dalam Islam merupakan bentuk mashdar dari Addaba yang secara letterlijk artinya memberi adab, mendidik. Al-Attas sendiri memberi

makna ta’dib dengan pendidikan (Al-Attas, 1980:26). Dalam artikelnya yang berjudul Aims and Objevtives of Islamic Education, ia menuliskan bahwa pendidikan adalah “instilling and inculcation of adab in man-it is ta’dib” (Al-

Attas, 1979:37).

Dari pemaparan singkat di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud

dengan ta’dib dalam terminologi al-Attas secara sederhana adalah sebagai suatu usaha peresapan (instilling) dan penanaman (Inculcation) adab pada diri manusia dalam pendidikan. Dengan begitu adab dapat diartikan sebagai content atau

kandungan yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan Islam. Selanjutnya Al-Attas mengatakan bahwa adab dapat diartikan sebagai masyhad (lukisan)

| 92 berbagai hierarkhi (maratib) dalam tata tingkat wujud (being), eksistensi,

pengetahuan dan perbuatan seiring yang sesuai dengan pengakuan itu (Al-Attas, 1981:221). Adab dapat berarti pula discipline of body, mind and soul. Al-Attas

kemudian merujuk hadits yang berbunyi: “Tuhan telah mendidikku (addabanii,

yang secara literal berarti telah menanamkan adab pada diriku), maka sangat baiklah mutu pendidikanku (ta’dibi)”. Al-Attas secara berhati-hati menerjemahkan kata kerja addabanii yang terdapat dalam hadits tersebut dengan

“telah mendidikku” kemudian mengartikan terminologi ta’dib dengan pendidikan. Dari sini terjemahan hadits tersebut adalah: “Tuhan telah mendidikku dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”.

Al-Attas adalah orang pertama yang memahami dan menerjemahkan perkataan addabanii dengan mendidikku. Menurut sarjana dan intelektual

Muslim terdahulu, diantaranya adalah Syauqi Daif dalam bukunya al-‘Asr al-

Jahili “kandungan ta’dib (dalam redaksi hadits tersebut) adalah pendidikan akhlak”. Fakta bahwasannya pendidikan Nabi Muhammad saw dijadikan Allah

swt sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur’an yang mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram), suri teladan (role model) yang paling baik. Hal ini kemudian dikonfirmasikan oleh hadits Nabi saw

yang menyatakan bahwa misi profetisnya ke dunia ini adalah untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (al-Imam Ahmad Ibn Hambal, t.th: 504).

| 93 Seseorang yang paling sempurna imannya, menurut Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya (al-Imam Jalal al-Din Ibn Abi Bakr as-Suyuti, t.th: 88). Dari sini, dapat dipastikan bahwa aktivitas Nabi saw berupa pengajaran Al-Qur’an (ya’limu al-Kitab) dan al-Hikmah serta penyucian adalah manifestasi langsung dari peranan ta’dib. Dengan demikian, menurut Al-Attas, sejak awal kedatangan Islam, adab secara konseptual telah diisi dengan ‘ilm yang benar dan

‘amal yang tulus dan terlibat aktif dalam wacana intelektual Sunnah Nabi saw. Berdasarkan arti terminologi adab yang telah diislamisasikan itu dan berangkat dari analisis semantiknya, al-Attas mendefiniskan adab sebagai:

Recognition and acknowledgement of the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees of rank,

and of one’s proper place in relation to that reality and to one’s physical,

intellectual and spiritual capacities and potentials (Al-Attas, 1980: 27) yang artinya: pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu [pengetahuan] dan segala sesuatu yang wujud yang ada terdiri dari hierarkhi yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatantingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam hubungannya dengan realitas serta kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya.

Agar bisa lebih memahami makna adab, maka perlu dijelaskan pengertian

recognition (pengenalan) dan acknowledgement (pengakuan). Yang dimaksud “pengenalan” dalam definisi di atas adalah mengetahui kembali (recognize)

perjanjian pertama (primordial covenant) antara manusia dengan Tuhannya. Hal

ini menunjukkan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing- masing dalam berbagai hierarkhi wujud (being), tetapi karena disebabkan oleh kebodohan (ignorance) dan kesombongan (arrogance) manusia kemudian

| 94 mengubah tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidakadilan. Sedangkan

“pengakuan” yang dimaksudkan al-Attas adalah “concomitant action (‘amal) resulting from discovering the proper place in relation to what is recognized

(melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenalnya di atas). Ini semacam afirmasi dan konfirmasi atau realisasi dan aktualisasi didalam diri seseorang mengenai apa yang telah dikenalnya itu (Al-Attas, 1980: 21-24).

Al-Attas memberikan contoh bagaimana adab hadir dalam pelbagai tingkat pengalaman manusia. Adab terhadap diri sendiri bermula ketika seseorang mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur, yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan. Ketika akal seseorang menguasai dan mengontrol sifat-sifat kebinatangannya, ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya dan, karenanya, ia telah meletakkan dirinya pada tempat yang benar. Keadaan seperti itu adalah keadilan bagi dirinya; dan jika tidak, ia menjadi seusatu yang tidak adil.

Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma- norma etika yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya memenuhi beberapa syarat yang didasarkan pada posisi seseorang, misalnya dalam keluarga

dan masyarakat. Dalam hal ini, posisi seseorang “bukanlah sesuatu yang

ditentukan manusia berdasarkan kriteria kekuatan, kekayaan, ataupun keturunan, melainkan ditentukan oleh Al-Qur’an berdasarkan kriterianya terhadap ilmu pengetahuan, common sense, dan perbuatan-perbuatan yang mulia”. Jika dengan tulus menunjukkan sikap rendah hati, kasih sayang, hormat, empati, dan lain-lain,

| 95 kepada orang tua, saudara, anak-anak, tetangga, dan pimpinan masyarakatnya, hal itu menunjukkan bahwa seseorang mengetahui tempat yang sebenarnya dalam hubungannya dengan mereka.

Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarkhi ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan aplikasi pelbagai bidang sains yang berbeda. Seirama dengan ini, rasa hormat terhadap para sarjana, ulama, dan guru dengan sendirinya merupakan salah satu implementasi langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. Adab dalam ilmu berarti ilmu harus digunakan dan diaplikasikan untuk kemaslahatan umat manusia dan seluruh alam semesta. Kaitannya dengan alam, adab berarti pendisiplinan akal praktis dalam hubungannya dengan hierarkhi yang menjadi karakter alam semesta sehingga seseorang bisa membuat keputusan yang tepat mengenai nilai-nilai dari segala sesuatu, baik dalam konteksnya sebagai tanda-tanda Tuhan, sumber ilmu pengetahuan, maupun sebagai sesuatu yang berguna bagi pengembangan ruhani dan jasmani manusia. Tambahan pula, adab terhadap alam dan lingkungan berarti bahwa seseorang harus meletakkan tumbuh-tumbuhan, batu-batuan, sungai, lembah, gunung, danau, binatang, dan habitat-habitat lainnya pada tempat- tempatnya yang semestinya.

Adab, sebagaimana dijelaskan Al-Attas, menanamkan rasa keberaturan dan disiplin dalam pikiran yang secara alami akan tercermin dalam fenomena yang berkaitan dengan pribadi, sosial, dan kebudayaan. Konsepsi pendidikan

| 96

sebagai penanaman adab (ta’dib), sebagaimana dipahami dan dijelaskan Al-Attas, berupaya menghasilkan Muslim terdidik secara benar, jelas identitasnya, jujur, berani, adil dalam menjalankan kewajibannya dalam pelbagai realitas dan masalah kehidupan sesuai prioritas yang dipahaminya.

Satu hubungan yang mendalam antara sosial dan individual, pemikiran dan aksi, jiwa dan materi, dalam adab sebagai teori dan praktik pendidikan yang komprehensif dijelaskan oleh Lapidus yang bersesuaian dengan pendapat

Al-Attas. Lapidus meneliti bahwa “tradisi Sunni-sufi” telah menolak pengasingan diri dari kehidupan dunia. Dia juga mengkritik ide-ide monastic dalam disiplin keagamaan Kristen dan ide-ide yang tidak realistis dalam membuka potensi individu melalui pemikiran dan aksi bebas dan kreatif, ide-ide ilmiah dalam mencari ilmu pengetahuan baru untuk kepentingan ilmu itu sendiri, dan bentuk- bentuk kontemplatif dari mistikisme yang pasif yang ideal lebih cenderung pada

adab sebuah cara hidup di dunia tanpa terlena oleh dunia atau lari darinya. Ini adalah perjalanan hidup menuju realisasi-diri dan penyelamatan keagamaan yang hanya dapat dicapai dengan mengembangkan visi yang jelas, tanggung jawab moral, hubungan yang terhormat dengan manusia lain, dan ibadah dengan penuh keikhlasan. Seorang paideia muslim par excellence adalah integrasi segala tingkatan pengalaman, ilmu pengetahuan, karakter, perasaan, dan tindakan (amal) pada kehidupan yang harmonis yang mengarah pada kesejahteraan di dunia dan persiapan untuk kehidupan di masa mendatang (Wan Daud, 2003:459).

| 97 Penjelasan tentang adab dan manusia yang beradab atau baik, kini jelas

bahwa manusia yang beradab atau yang baik adalah “individu yang sadar

sepenuhnya akan individualitas dan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam sekitarnya”. Itulah sebabnya, dalam pandangan Islam, manusia yang baik dan beradab harus menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik, murid yang baik, guru yang baik, dan warga yang baik bagi masyarakat, bangsa dan negaranya. Atau meminjam kata- kata al-Attas:

“He must know his place in the human order, which must be understood as arranged hierarchically and legitimately into various degrees (darajaat) of exellence based on the Quranic criteria of intelligence, knowledge, and virtue (ihsan), and must act concomtantly with the knowledge in a positive, commendable and praiseworthy manner” (Al-Attas, 1980: 27). Artinya: Ia

harus mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan manusia, yang harus dipahami sebagai sesuatu yang telah disusun secara hierarkhis dan logis ke dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan kriteria Al-Qur’an mengenai kecerdasan, keilmuan, dan kebaikan (ihsan) dan harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan itu secara positif, terpercaya dan terpuji.

Seorang yang terdidik atau seseorang yang beradab, dalam pengertian ini, adalah manusia universal yang memahami dan mengamalkan adab dalam diri, keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan sekitarnya, dan masyarakat dunia. Manusia yang beradab dapat menghadapi dunia yang serba plural dan dengan sukses tanpa harus kehilangan identitasnya. Berhadapan dengan pelbagai tingkatan realitas, dengan cara yang benar dan tepat, akan mendorongnya meraih kebahagiaan spiritual dan permanen, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini

| 98 berimplikasi bahwa perencanaan, content, dan metode pendidikan harus mencerminkan penekanan pada pengamalan adab yang benar dan tepat secara konsisten dalam pelbagai tingkat realitas.

Mendasarkan dari paparan di atas, dapat diambil benang merah bahwa secara makro orientasi konsep pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral-religius (pendidikan akhlak) yang tetap menjaga

equilibrium dan keterpaduan sistem. Hal tersebut seperti tersirat dalam konsepsi

tentang ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal sekaligus. Di atas telah dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapkan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi dengan pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.

Paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas mengacu atau menekankan pada aspek moral-transendental (afektif) tanpa mengabaikan aspek kognitif (sensual logis) dan psikomotorik (sensual empiris). Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islam, yakni bernafaskan akhlak (moral) dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islam, dikenal adanya aspek transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Domain iman sangat diperlukan dalam pendidikan Islam, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal yang rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal

| 99 yang supra rasional, dimana nalar manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari iman, yang bersumber dari sumber otoritatif, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah. Domain iman merupakan titik sentral yang akan menentukan sikap dan nilai peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan.

Pandangan bahwa ilmu harus dibarengi dengan nilai (adab) memang cukup mendasar, karena kepemilikan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata tanpa dilandasi dengan adab akan mengakibatkan kesalahan dalam penggunaan dan pengaplikasiannya. Maka pendidikan dalam Islam sudah seharusnya dihindarkan dari hal demikian dengan keharusan memperhatikan masalah adab. Banyak pakar Muslim salaf maupun kontemporer yang memiliki pandangan yang serupa, seperti Muhammad Athiyah al-Abrasyi, ia mengatakan

bahwa “pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, mencapai akhlak yang

sempurna adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan Islam”. Konsep pendidikan akhlak menekankan arti pentingnya masalah akhlak atau adab dalam pendidikan Islam. Secara substansial konsep akhlak sebenarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pendidikan umum, tak terkecuali pendidikan Islam.

Inti pendidikan dalam Islam adalah wahana pembentukan manusia yang berakhlak tinggi. Dalam ajaran Islam, akhlak, adab atau moral tidak dapat dipisahkan dari keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati. Akhlak adalah pantulan iman yang berupa perilaku, ucapan, dan sikap atau dengan kata lain

| 100 akhlak adalah amal saleh. Iman adalah maknawi (abstrak), sedangkan akhlak adalah bukti keimanan dalam bentuk perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata. Berkaitan dengan pernyataan di atas bahwa akhlak tidak akan terpisahkan dari keimanan, dalam Al-Qur’an juga sering dijelaskan bahwa

setelah ada pernyataan “orang-orang yang beriman”, maka langsung diikuti oleh

“beramal saleh”. Dengan kata lain, amal saleh adalah manifestasi akhlak yang merupakan perwujudan dari keimanan seseorang yang dituangkan dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap diri sendiri maupun dalam lingkungan sosial.

Persoalan karakter adalah persoalan yang sangat krusial dan urgent dalam kehidupan manusia. Dalam ajaran Islam, masalah akhlak merupakan salah satu hal yang wajib diajarkan dan ditanamkan kepada setiap anak (peserta didik) sejak kecil. Sedangkan orang tua dan guru (dan para pendidik lainnya) merupakan pihak-pihak yang sangat bertanggung jawab dalam menentukan baik-buruknya akhlak generasi muda. Pendidikan akhlak tidak mengenal tempat dan waktu. Era millennium (alaf baru) ini memerlukan manusia-manusia yang berakhlak tinggi demi menjaga keutuhan pamor kemanusiaan di bumi ini. Apabila manusia ini tidak lagi memiliki akhlak yang tinggi dan mulia maka akan terjadi malapetaka tidak saja terhadap dirinya, tetapi akan merembet luas ke lingkungan sekitarnya. Kehancuran sebuah negara sangat ditentukan oleh akhlak atau moral para pemimpin dan rakyat negara tersebut. Ketika nilai-nilai akhlak atau moral tidak lagi dijunjung tinggi oleh manusia, maka ketika itulah keruntuhan akan terjadi.

| 101 Oleh karena itu, peran orang tua di dalam rumah tangga dan para guru di sekolah merupakan conditio sine qua non dalam rangka memperdulikan akhlak/karakter

anak-anak yang akan mewarisi generasi tua di masa yang akan datang.

Proses mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju ke arah tujuannya, karena kegiatan (proses) tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu indenterminisme (ketidakmenentuan) dalam prosesnya.

Lebih-lebih proses mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis manusia didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu, oleh karena itu dengan adanya tujuan yang jelas, materi pendidikan dan metode-metode yang dipergunakan, mendapat corak dan isi serta potensialitas yang sejalan dengan cita-cita yang terkandung dalam tujuan pendidikan.

Al-Attas, salah seorang sarjana Muslim yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menciptakan manusia yang baik (good man), bukan seperti dalam peradaban Barat menghasilkan warga negara yang

baik (good citizen). Al-Attas berpendapat bahwa warga negara yang baik dalam

sebuah negara sekuler tidak sama dengan manusia yang baik; sebaliknya, manusia yang baik sudah pasti seorang warga negara yang baik. Batasan “baik” dalam frasa manusia yang baik (good man) maksudnya adalah adab dalam pengertian yang komprehensif, yang meliputi kehidupan spiritual dan material

| 102 seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Menurut al-Attas orang baik adalah: Orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak; yang memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakat terus berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.

Berdasarkan pemaparan adab dan manusia yang baik, peneliti bisa

memberi kesimpulan bahwa pengertian manusia yang beradab dan yang baik,

yakni individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam sekitarnya. Sejalan dengan di atas, dalam pandangan Islam, manusia yag beradab dan yang baik harus

menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya, suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang baik, murid yang baik, guru yang baik, dan warga yang baik bagi bangsa dan negaranya.

| 103 BAB IV

PEMBAHASAN

Dokumen terkait