Karakter itu sama dengan akhlak dalam pandangan Islam. Akhlak dalam pandangan Islam adalah kepribadian. Kepribadian itu komponennya tiga yaitu tahu (pengetahuan), sikap dan perilaku. Yang dimaksud kepribadian utuh ialah bila pengetahuan sama dengan sikap, sama dengan perilaku. Kepribadian pecah ialah bila pengetahuan sama dengan sikap tetapi tidak sama dengan perilaku atau pengetahuan tidak sama dengan sikap, tidak sama dengan perilaku. Dia tahu jujur itu baik, dia siap menjadi orang jujur, tetapi perilaku sering tidak jujur, ini contoh kepribadian pecah. Akhlak itu sangat penting menjadi penanda manusia, bila akhlak baik maka adalah manusia.
Menurut Simon Philips, karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang
| 111 ditampilkan. Sedangkan Doni Koesoema A., karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri/karakteristik/gaya/sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang di terima dari lingkungan, misalnya: keluarga pada masa kecil, juga bawaan sejak lahir. Memang, karakter dan kepribadian sering digunakan secara rancu. Ada yang menyamakan antara keduanya. Menurut M. Newcomb, kepribadian merupakan organisasi dari sikap-sikap (predispositions) yang dimiliki seseorang sebagai latar
belakang terhadap perikelakuan. Kepribadian menunjuk pada organisasi dari sikap-sikap seseorang untuk berbuat, mengetahui, berpikir dan merasakan secara khususnya apabila dia berhubungan dengan orang lain atau menanggapi suatu keadaan. Karena kepribadian tersebut merupakan abstraksi dari indiidu dan kelakuannya sebagaimana halnya dengan masyarakat dan kebudayaan, ketiga aspek tersebut mempunyai hubungan yang saling memengaruhi. Sementara itu, menurut Roucek and Warren, kepribadian adalah organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku individu-individu. Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan
orang lain (Mu’in, 2011: 161).
Pendidikan karakter mengemuka menjadi isu utama di dunia pendidikan saat ini, terlebih di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Merujuk UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa fungsi
| 112 pendidikan adalah membentuk watak serta peradaban bangsa, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia. Hal ini bisa jadi sebagai reaksi dan kekhawatiran bersama atas kondisi pendidikan di Indonesia yang justru banyak melahirkan manusia cerdas namun bermoral rendah.
Puncak karakter seorang muslim adalah taqwa dan indikator ketaqwaan terletak pada akhlak. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang maju. Tujuan pendidikan yaitu manusia berkarakter taqwa yaitu manusia yang memiliki akhlak budi pekerti yang luhur. Karakter dibangun berdasarkan pemahaman tentang hakikat dan struktur kepribadian manusia secara integral. Sehingga manusia berkarakter taqwa adalah gambaran manusia ideal yaitu manusia yang memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Kecerdasan spiritual seharusnya paling
ditekankan dalam pendidikan. Hal ini dilakukan dengan penanaman nilai-nilai etis religius melalui keteladanan dari keluarga, sekolah dan masyarakat,
penguatan pengamalan peribadatan, pembacaan dan penghayatan kitab suci Al-Qur’an, penciptaan lingkungan baik fisik maupun sosial yang kondusif.
Apabila spiritualitas anak sudah tertata, maka akan lebih mudah untuk menata aspek-aspek kepribadian lainnya. Maksudnya, kalau kecerdasan spiritual anak berhasil ditingkatkan, secara otomatis akan meningkatkan kecerdasan- kecerdasan lainnya seperti kecerdasan emosional (emotional quotient), kecerdasan memecahkan masalah (adversity quotient) dan kecerdasan intelektual
| 113 (intellectual quotient). Inilah sebenarnya kunci mengapa aktifitas pendidikan
yang berbasis agama lebih banyak berhasil dalam membentuk kepribadian anak. Konteks tujuan pendidikan, hal ini akan mampu membentuk anak didik yang memiliki kekokohan akidah (quwwatul aqidah), kedalaman ilmu (quwwatul ilmi), ketulusan dalam pengabdian (quwwatul ibadah) dan keluhuran pribadi (akhlakul karimah). Pendidikan Islam bertujuan untuk memberikan keperibadian
sebagai khalifah Allah SWT. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman kepada Allah dan tunduk serta patuh secara total kepadanya yang didasarkan pada sifat dasar manusia, yaitu tubuh, ruh, dan akal yang masing-masing harus dijaga.
Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat
tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb. Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang didalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait
dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah
terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib
terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau
| 114 Metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada
anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan
memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya. Pendidikan yang menghargai keunikan individu, serta menekankan kesadaran karakter dirinya sebagai manusia. Hal ini sesuai yang ditegaskan Al-Attas dalam Filsafat pendidikannya sangat jelas menekankan kepada pengembangan individu. Individu yang kebersamaan dengan itu sebagai bagian dari sosial dalam upaya pengembangan dirinya. Lebih lanjut Al-Attas mengatakan, “ketika kami menyatakan bahwa tujuan dari pada ilmu pengetahuan adalah melahirkan manusia yang baik, bukanlah berarti bahwa kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang baik, sebab masyarakat adalah terdiri daripada individu, maka melahirkan seseorang akan melahirkan masyarakat yang baik. pendidikan adalah pembuat struktur masyarakat”.
Al-Attas menekankan pendidikan dalam rangka manusia beradab adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitas dan sadar akan hubungan yang tepat dengan diri, Tuhan dengan masyarakat dan dengan alam yang nampak maupun yang ghaib. Al-Attas selanjutnya memberikan ilustrasi betapa Adab hadir dalam berbagai tingkat pengalaman manusia. pertama, Adab terhadap diri sendiri. Bermula ketika seseorang itu mengakui bahwa dirinya terdiri dari dua unsur,
| 115 yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangannya, maka ia sudah meletakkan keduanya pada tempat yang semestinya dan oleh sebab itu dia telah meletakkan dirinya pada tempat yang benar. kedua, adab dalam kontek ilmu, berarti ketertiban budi yang mengenal dan mengakui hirarki ilmu berdasarkan kriteria tentang tingkat-
tingkat keluhurusan dan kemulian. Kita mengenal fardhu ‘ayn (kewajiban bagi
dirinya) dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) yang berarti bahwa segala sesuatu yang berisi petunjuk kehidupan jauh lebih mulia dari segala sesuatu yang yang dipakai dalam kehidupan. Sebagai konsekuensinya adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan berbagai bidang sains bagi kehidupan. Dengan kerangka ini maka rasa hormat terhadap guru sebagai salah satu wujud langsung dari adab terhadap ilmu pengetahuan. ketiga, adab berkaitan dengan alam, berarti pendisiplinan akal dalam berhubungan dengan susunan tingkatan yang menjadi karakter alam semesta sehingga seseorang itu bisa membuat keputusan yang tepat tentang nilai-nilai yang sejati dari segala sesuatu baik dalam kontesnya sebagai tanda-tanda Tuhan, sumber ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang berguna untuk perkembangan rohani dan jasmani manusia.
Konsep ta’dîb digunakan untuk membangkitkan raksasa tidur, kalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dîb lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan
| 116 out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau
jabatannya”.
Konsep ta’dib dalam kontek pendidikan yang baik tidak bisa dilepaskan kemanfaatannya dan sangat berhubungan dengan kata-kata kunci dalam pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl), realitas dan kebenaran (haqq). Ta’dib sebagai konsep Pendidikan Islam,
pendidikan karakter manusia-manusianya, agar lebih beradab dan manusiawi. Gagasan-gagasan Al-Attas tentang ta’dib tiada lain konseptualisasi pendidikan Islam. Mempraktikkan gagasan Islamisasi Ilmu pengetahuan dalam pendidikan. Manusia-manusia baik yang layak menghuni bumi. Sebuah upaya mengungkap makna ta’dib bagi pendidikan agar menjadi arah dan bahan dalam rangka membangun pendidikan karakter manusia Indonesia.
Sebagai dasar acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter dalam Islam, firman Allah SWT QS. Ar-Rum ayat 30:
| 117
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui [Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan]. (Departemen Agama RI,
1985:645).
Dari ayat di atas dapat ditarik benang merah bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif. Adapun keempat aliran tersebut dapat dipaparkan, sebagai berikut:
1. Aliran yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap individu
karakternya baik atau jahat melalui ketetapan Allah. Faktor-faktor eksternal, termasuk paradigma pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Karakter positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
2. Pandangan netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong. Sama dengan teori tabularasa yang dikemukakan John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik dan tidak baik
| 118 itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan setiap insan dan karakter yang terbentuk tergantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya apabila yang lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka karakter yang terbentuk karakter tidak baik. Pandangan ini mengambil argumen dari QS. Al-Nahl (16):78:
Artinya: “…dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan
tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (Departemen Agama
RI, 1985:413).
3. Aliran positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah
berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan lingkungan yang membelenggu manusia sehingga menjauh dari sifat bawaan.
4. Aliran dualis-aktif yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuat.
Sifat baik dan buruk. Tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik atau buruk. Jika dekat dengan teman yang berkarakter baik, maka seseorang tersebut akan mengambil sifat baiknya dan sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif amat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter atau sifat baik lebih kuat. (http://maragustamsiregar.wordpress.com/ di akses 8 Juni 2017).
| 119 Dasar pembentukan karakter adalah nilai baik (disimbolkan sebagai nilai malaikat) atau buruk (disimbolkan sebagai nilai setan). Karakter manusia merupakan hasil tarik-menarik antara nilai baik dalam bentuk energi positif dan nilai buruk dalam bentuk energi negatif. Energi positif itu berupa nilai-nilai etis religius yang bersumber dari keyakinan kepada Tuhan, sedangkan energi negatif itu berupa nilai-nilai yang a-moral yang bersumber dari taghut/setan
(http://tobroni.staff.umm.ac.id/pendidikan_karakter_dalam_perspektif_Islam diakses 26 Juni 2017).
Energi positif itu berupa: Pertama, kekuatan spiritual yang berupa îmân, islâm, ihsân dan taqwa, yang berfungsi membimbing dan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menggapai keagungan dan kemuliaan (ahsani taqwîm); Kedua, kekuatan potensi manusia positif, berupa âqlus salîm (akal yang sehat),
qalbun salîm (hati yang sehat), qalbun munîb (hati yang kembali, bersih, suci dari
dosa) dan nafsul mutmainnah (jiwa yang tenang), yang kesemuanya itu
merupakan modal insani atau sumber daya manusia yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketiga, sikap dan perilaku etis. Sikap dan perilaku etis ini merupakan
implementasi dari kekuatan spiritual dan kekuatan kepribadian manusia yang kemudian melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya etis. Sikap dan perilaku etis itu meliputi: istiqâmah (integritas), ihlâs, jihâd dan amal
| 120 Energi positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter, yaitu orang yang bertaqwa, memiliki integritas (nafs al- mutmainnah) dan beramal saleh. Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki personality (integritas, komitmen dan dedikasi), capacity (kecakapan) dan competency yang bagus pula (professional).
Kebalikan dari energi positif di atas adalah energi negatif. Energi negatif itu disimbolkan dengan kekuatan materialistik dan nilai-nilai thâghût (nilai-nilai
destruktif atau nilai-nilai material) yang berfungsi sebagai pembusukan, dan penggelapan nilai-nilai kemanusiaan. Hampir sama dengan energi positif, energi negatif terdiri dari: Pertama, kekuatan thaghut. Kekuatan thâghût itu berupa kufr (kekafiran), munafiq (kemunafikan), fasiq (kefasikan) dan syirik (kesyirikan)
yang kesemuanya itu merupakan kekuatan yang menjauhkan manusia dari makhluk etis dan kemanusiaannya yang hakiki (ahsanitaqwîm) menjadi makhluk
yang serba material (asfala sâfilîn); Kedua, kekuatan kemanusiaan negatif, yaitu pikiran jahiliyah (pikiran sesat), qalbun marîdl (hati yang sakit, tidak merasa), qalbun mayyit (hati yang mati, tidak punya nurani) dan nafsu ‘l-lawwamah (jiwa
yang tercela) yang kesemuanya itu akan menjadikan manusia menghamba pada
ilah-ilah selain Allah berupa harta, seks dan kekuasaan (thâghût). Ketiga, sikap
dan perilaku tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini merupakan implementasi dari kekuatan thâghût dan kekuatan kemanusiaan negatif yang kemudian
| 121 melahirkan konsep-konsep normatif tentang nilai-nilai budaya tidak etis (budaya busuk). Sikap dan perilaku tidak etis itu meliputi: takabur (congkak), hubb al- dunyâ (materialistik), dlâlim (aniaya) dan amal sayyiât (destruktif).
Energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang puncak keburukannya meliputi syirk,
nafs lawwamah dan ’amal al sayyiât (destruktif). Aktualisasi orang yang
bermental thâghût ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan perilaku tercela,
yaitu orang yang memiliki personality tidak bagus (hipokrit, penghianat dan
pengecut) dan orang yang tidak mampu mendayagunakan kompetensi yang dimiliki.
Gagasan ta’dib adalah ingin mencetak ilmuan yang beradab. Manusia
beradab sebagaimana diterangkan di atas adalah manusia yang menerapkan adab dalam setiap aspek. Adab terhadap Tuhan, diri sendiri, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, bahasa, alam, dan ilmu. Adab kepada ilmu, akan berpengaruh besar terhadapa adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al- Attas intelektual yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa seorang berilmu kedudukannya lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu fardlu ‘ain
dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang lainnya. Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memperoleh ilmu.
Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh Al-Attas. Menurutnya, adab adalah pengenalan serta pengakuan akan hak
| 122 keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah amal, maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya sia-sia karena yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketidaksadaran dan kejahilan. Konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan tidak adil dan tidak beradab. Al-Attas dalam bukunya, Islam and Secularism, menggariskan tujuan pendidikan dalam Islam tersebut: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a
goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education
is the inculcation of adab…” (Al-Attas, 1993: 150-151).
Istilah adab sejatinya merupakan salah satu istilah kunci (Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang berhasil dimasukkan oleh para pendiri
Bangsa Indonesia ke dalam Pancasila. Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab yang sebenarnya juga harus dipahami dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam. Pemaknaan “adab” dengan sopan-santun,
| 123 baik budi bahasa, tidak sesuai dengan makna istilah ini sendiri dalam ajaran Islam, yang pada intinya adalah memahami dan mengakui segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan Allah SWT.
1. Konsep ta’dib relevansinya dengan pendidik dan peserta didik
Konsep ta’dib yang diformulasikan al-Attas mempunyai relevansi dengan pendidikan akhlak, maka dengan sendirinya konsep ta’dib mempunyai relevansi dengan pendidik dan peserta didik. Dalam konteks pendidikan akhlak, ta’dib bisa diartikan sebagai kompetensi moral (akhlak) yang harus dimiliki oleh pendidik maupun peserta didik, disamping komptenesi- kompetensi yang lainnya. Sebagai contoh pendidik harus suci baik jasmani maupun rohaninya, ikhlas, pemaaf, sabar, bijaksana, adil, mencintai dan menyayangi peserta didik seperti anaknya sendiri, memberikan teladan yang baik, dan sebagainya. Begitu pula dengan peserta didik, ia harus mempunyai kriteria akhlak (moral) sebagai berikut: memurnikan niat, ikhlas, tekun dan giat dalam belajar, disiplin, sabar, rendah hati, lapang dada, hormat terhadap guru, dan sebagainya.
Pendidikan diberikan kepada peserta didik sebagai subjek dan objek pendidikan. Dikatakan subjek karena ia mengembangkan dan mengaktualisasi potensinya sendiri, sedangkan pendidik hanya menstimulasinya dalam pengembangan dan aktualisasi tersebut. Sedangkan peserta didik disebut objek karena ia menjadi sasaran transformasi ilmu pengetahuan dan nilai Islam, agar ilmu dan nilai itu tetap terjaga dari generasi ke generasi
| 124 berikutnya. Melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensi, maksudnya, tugas pokok pendidikan adalah memberikan pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan dan pengembangan potensi peserta didik agar terbentuk dan berkembang daya kreativitas dan produktivitasnya tanpa mengabaikan potensi dasarnya. Guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat, artinya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah tercipta insan kamil (manusia sempurna), yaitu manusia yang mampu menyelaraskan dan memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat, kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual.
2. Konsep ta’dib relevansinya dengan pendidikan karakter
Konsep ta’dib berimplikasi pada kepribadian dan adab seorang pendidik yang mengharuskan pendidik memiliki adab yang baik sehingga menjadi panutan bagi peserta didiknya. Selain itu, dalam konsep ini juga terdapat kecenderungan untuk selalu memperhatikan kepribadian atau adab peserta didik dalam mencari ilmu pengetahuan sehingga ia dapat mengamalkan pengetahuannya dengan benar dan tepat. Peserta didik harus memiliki keikhlasan niat dalam menuntut ilmu yang bertujuan untuk mencari ridha Allah dan membersihkan hati. Pada konsep ini, dalam muatan kurikulum terdapat kategorisasi ilmu pengetahuan atau hierarki ilmu pengetahuan.
| 125 C. Implikasi Konsep Ta’dib yang Digunakan Oleh Syed M. Naquib Al-Attas
dalam Konteks Pendidikan Karakter
Mendasarkan pada paparan yang telah terurai secara lebih mendalam tentang konsep ta’dib yang diformulasikan oleh al-Attas tampak sangat erat kaitannya dengan tujuan pendidikan akhlak yakni tercapainya akhlak al-Karimah.
Akhlak al-Karimah merupakan essensi, elan vitale dan ruh ajaran Islam itu
sendiri. Tujuan ini konsiderans dengan misi profetisnya Rasulullah saw yakni
disamping menyebarkan ajaran Islam juga memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Al-Attas mendefinisikan ta’dib sebagai “pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasannya ilmu (pengetahuan) dan segala sesuatu yang wujud yang ada terdiri dari hierarkhi yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatan dan bahwa seseorang itu memiliki tempat masing-masing dalam hubungannya dengan realitas serta kapasitas, potensi fisik, intelektual, dan
spiritualnya”. Dapat diambil kesimpulan bahwa formulasi Al-Attas tentang konsep ta’dib mempunyai relevansi dengan materi pendidikan akhlak, dimana materi pendidikan akhlak terdiri dari hubungan antara manusia dengan dirinya, manusia dengan sesamanya, manusia dengan sang Khaliqnya, dan manusia dengan lingkungan (alam) sekitarnya. Sebagai contoh, ta’dib dalam konteks hubungan sesama manusia berarti norma-norma etika (akhlak/ adab) yang diterapkan dalam tata krama sosial sudah sepatutnya memenuhi beberapa syarat yang didasarkan pada posisi seseorang, misalnya dalam keluarga dan masyarakat.
| 126 Jika dengan tulus menunjukkan sikap rendah hati,, kasih sayang, hormat, empati, dan lain-lain, kepada orang tua, saudara, anak-anak, tetangga, dan pimpinan