• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB MAU’IDHAH AL- MUKMINĪN

B. Implikasi Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kehidupan Manusia Sehari- Sehari-hari

Individu manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan apapun, tetapi ia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk menguasai berbagai pengetahuan dan peradaban. Dengan memfungsikan fitrah itulah ia belajar dari lingkungan dan masyarakat oeang dewasa yang mendirikan institusi pendidikan (Aly, 2008: 1). Kondisi awal individu dan proses pendidikannya tersebut diisyaratkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya sebagai berikut:

"Dan Allah mengelurakan kamu dari perut ibumu dalam keadaaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur" (an-Nahl: 78) (http//www.alquran-digital.com).

Sedangkan menengok arti pendidikan itu sendiri adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan tidak hanya untuk memanusiakan manusia tetapi juga agar manusia menyadari posisinya sebagai khalifah Allah fī al-ardhi, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan dirinya untuk menjadi manusia yang bertakwa, beriman, berilmu dan beramal saleh. Di dalam Islam, manusia yang beriman, berilmu dan beramal saleh memang memiliki derajat yang tinggi. Dalam konteks ini juga menjadi terkenal kredo

dalam agama islam tentang perlunya ilmu yang amaliyah dan amal yang ilmiah (TPIP FIP-UPI, 2007: ix).

Untuk menjadikan sebuah umat yang berilmu, berakhlak dan berbudi pekerti yang baik serta berpendidikan yang berkualitas, maka peran orang tua dalam masalah ini harus lebih mengedepankannya dari msalah-masalah yang lain. Terlebih perhatian orang tua kepada anak-anaknya. Maka sudah semestinya semenjak dini orang tua harus sudah mengenalkan anaknya terhadap hal-hal yang positif dan bernilai luhur, menjauhkannya dari sifat negatif yang dapat merusak kesucian fitrah seorang anak. Karena kesucian fitrah inilah yang dapat menentukan karekteristiknya dimasa mendatang.

Kita bisa menengok bahwa Imam al-Ghazali, seorang filosof terbesar sejak dari zamannya dulu hingga saat kini, mengatakan demikin: “Seseorang

anak, sejak ia dilahirkan itu adalah merupakan amanat atau titipan dari Tuhan kepada kedua orang tuanya. Kalbu anak itu masih bersih dan suci, bagaikan suatu permata yang maha berharga, sunyi dari segala macam lukisan dan gambaran. Manakala anak itu dibiasakan kepada hal-hal yang baik, diperlihatkan kepadanya hal-hal yang bagus dan sekaligus diajarkan serta diperintah mengamalkannya, maka anak itu akan tumbuh menjadi manusia, makin hari makin besar dan makin tertancap serta makin meresaplah kebaikan-kebaikan itu dalam jiwanya. Dengan demikian tidak perlu disangsikan lagi bahwa anak itu akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan

Pembelajaran dan pendidikanlah yang mampu mengantarkan seseorang memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat, terlebih dalam menjadikan masyarakat yang berperadaban dan beradab. Melalui proses belajar dengan mengikuti pola-pola dan norma-norma sosial, mengikatkan diri pada ideologi dan sistem nilai, serta terlibat dalam aktivitas saling menukar pengetahuan dan pengalaman, mereka kemudian menjadi masyarakat yang berperadaban dan beradab. Memang pendidikan merupakan alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak bagi kepentingan mereka.

Akan tetapi, seperti apa yang dijelaskan oleh Syaikh Jamaluddin (1426: 205) perlu dipahami bahwa seseorang yang jiwanya sudah senantiasa dikalahkan oleh nafsu kebathilan, tentulah akan sukar untuk bersungguh-sungguh dalam melatih jiwanya atau berusaha untuk menyucikan serta membekaskan didikan budi pekerti pada dirinya. Keadaan yang seperti ini boleh jadi karena keteledorannya atau kurangnya keikhlasan hati atau memang watak dan tabiatnya yang buruk, sehingga ia menyangka bahwa akhlak itu tidak mungkin dirubah, sebab menurut anggapannya akhlak memang tidak dapat berubah-ubah. Jika memang demikian, tentu tidak berguna lagi perintah-perintah untuk memberikan wasiat, pesan, nasihat, dan pendidikan. Akan tetapi, Rasulullah SAW bersabda:“Perbaikilah akhlakmu”. Dalam hadits nabi yang demikian tersebut, jelas bahwa hakikatnya akhlak memang dapat dirubah, yaitu dengan sebuah latihan atau pembinaan.

Akan tetapi, tidak perlu diingkari bahwa watak dan tabiat itu berbeda-beda keadaannya. Ada yang cepat menerima dan ada yang lambat dalam menerima. Sehingga dalam membinanya perlu adanya sifat bersungguh-sungguh. Namun, yang dimaksud dengan sungguh-sungguh bukanlah menumpas nafsu atau bahkan melenyapkan secara keseluruhan. Sebab, nafsu memang sengaja diciptakan oleh Allah SWT untuk sebuah kemanfaatan. Sebagai contoh yang mudah yaitu, manusia yang tidak memiliki nafsu untuk makan, pasti manusia akan mati. Juga manusia yang tidak memiliki nafsu untuk bersetubuh, pasti akan habis keturunan segala makhluk.

Hal ini menunjukkan bahwa nafsu itu harus tetap ada dan terpelihara, akan tetapi menurut ketentuan yang wajar. Seperti yang dijelaskan dalam

al-Qur’an surat Fath ayat 29:

مهنيب ءاحمر راّفكلا ىلع ءاّدشأ

.

“Bersikap keraslah terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang

terhadap sesama kaum mukminin” (Fath: 29). Dalam sebuah hadits juga dijelaskan:

“Apabila dihadapan Rasulullah SAW dipercakapkan sesuatu yang tidak

disenangi, beliau SAW menunjukkan kemarahannya, sehingga tampak merah kedua pipinya, tetapi sekalipun demikian beliau SAW tidak mengucapkan kecuali yang haq. Jadi kemarahan Rasulullah SAW itu tidak mengeluarkan

dirinya dari yang haq itu”(H.R Bukhari Muslim).

Dalam ayat al-Quran dan hadits tersebut jelas sekali bahwa nafsu itu perlu, akan tetapi harus dikembalikan pada batas sedang, sehingga salah satu dari kedua sifat tadi tidak sampai memaksa takluknya akal pikiran dan tidak sampai mengalahkannya, bahkan sebaliknya bahwa akal pikiranlah yang

merupakan penekan atau pemberi komando dari kedua sifat tersebut serta dapat mengarahkan ke tujuan yang benar. Hal yang demikian inilah yang dimaksudkan dengan pembinaan akhlak.

Memang akhlak yang kurang baik perlu dirubah, sebab kadang-kadang ada juga manusia yang menurut sifat aslinya dapat dikalahkan oleh syahwatnya., sehingga akal pikiran tidak kuat untuk menahan kehendak syahwatnya umtuk menerjunkan diri dalam lembah kejahatan dan kekejian. Maka dengan jalan berlatih itulah manusia mampu menjadi insaf dan kembali ke arah pertengahan dan akhirnya bersikap senantiasa membimbing nafsunya. Jelaslah bahwa yang demikian ini memungkinkan akhlak untuk diubah dengan adanya latihan yang sungguh-sungguh.

Sebagian orang yang merasa berat dalam bersikap serius dan tekun berlatih menduga bahwa perubahan akhlak tidak bisa dibayangkan akan terjadi. Seandainya dugaan itu benar, maka memberikan arahan, nasihat dan pembinaan akan menjadi sia-sia. Sedangkan perilaku binatang saja mungkin bisa berubah apabila Allah menghendakinya menjadi perilaku manusiawi. Seperti anjing yang mempunyai cara makan yang menjijikkan, bisa berubah menjadi jinak, terkendali dan bersikap manis. Kuda liar bisa berubah menjadi patuh dan jinak. Hal itu menunjukkan bahwa perilaku bisa berubah. Apalagi manusia, ia bisa berubah dengan cara melatih perilakunya. Hal ini terjadi karena hawa nafsu tidak bisa mendominasi dan mengalahkan akal. Padahal justru seharusnya akal yang harus mengendalikan dan mengalahkan hawa nafsu. Seperti halnya manusia yang sedang marah. Rasa marah menghinggapi

seseorang karena tidak kuat menahannya. Sehingga dengan latihan sedikit demi sedikit, orang yang marah akan kembali tenang.

Untuk lebih menjelaskan uraian tersebut Syaikh Jamaluddin (1426: 207) menjelaskan bahwa segala sesuatu yang maujud (ada di dunia) dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

Pertama: Sesuatu yang tidak ada pengaruh manusia sama sekali di dalamnya dan sejak asal mulanya memang bukan merupakan ikhtiyar manusia. Dari awal diciptakan sudah sempurna. Seperti langit, binatang, anggota tubuh manusia luar maupun dalam dan lain-lain.

Kedua: Sesuatu yang sudah ada dan masih dalam keadaan kurang, akan tetapi di dalamnya dikaruniai oleh Allah SWT suatu kekuatan untuk menerima kesempurnaan, apabila ada syarat-syarat yang diperlukan untuk membuatnya menjadi sempurna. Syarat-syarat ini ada kalanya berhubungan dengan usaha manusia. Seperti biji-bijian yang akan berubah menjadi buah apel atau kurma ketika diolah sedemikian rupa dengan perawatan yang baik. Tanpa usaha ini, tidak mungkin timbul buah-buahan. Maka seperti itulah sifat marah dan syahwat. Jika kita menginginkan sifat marah atau syahwat akan lenyap, itu tidak akan terjadi. Karena kita hanya mampu membimbing dan menahan keduanya dengan kehendak Allah SWT. Karena sesungguhnya sifat-sifat tadi memang sengaja diciptakan oleh Allah SWT untuk menguji manusia. Jadi, pada dasarnya kemarahan atau syahwat memang tidak bisa dilenyapkan, akan tetapi bisa dirubah.

Budi pekerti yang baik merupakan pertengahan antara akal fikiran dan kesempurnaan hikmat (kebijaksanaan kekuatan kemarahan dan syahwat), mengikuti jalan akal fikiran dan sesuai dengan syariat agama. Cara seperti ini dapat diperoleh dengan dua jalan:

Pertama: Dengan melimpahkan karunia Ilahi dan kesempurnaan fitrah kejadian. Dengan kata lain bahwa manusia sejak diciptakan oleh Allah SWT dilimpahi kesempurnaan sejak lahir lalu ditakdirkan menjadi manusia yang berbudi pekerti baik.

Kedua: Mengusahakan akhlak-akhlak ini dengan jalan bersungguh-sungguh dalam melatih jiwanya. Maksudnya yaitu melatih jiwanya menuju perbuatan-perbuatan yang dikehendakinya.

C. Kelebihan dan Kekurangan Kitab Mau’idhah al-Mukminīn bagi

Dokumen terkait