• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB MAU’IDHAH AL- MUKMINĪN

A. Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Mau’idhah al - Mukminīn

Nabi Muhammad SAW merupakan uswatun hasanah terbaik di dunia ini, beliaun adalah sebaik-baik umat, sumber pendidik sepanjang zaman. Beliau adalah Nabi dan Rosul terakhir yang tidak ada keraguan perihal keimanannya. Tetapi, beliau tetap terus berusaha menambah keimanan setiap hari, walaupun kehidupan akhirat beliau telah dijamin masuk surga. Banyak para sahabat sampai ulama yang mengikuti jejak beliau baik dalam hal keilmuan maupun akhlaknya. Termasuk yang berusaha mengikuti jejak beliau adalah Syaikh Jamaluddin al-Qāsimi.

Kita sebagai umat beliau tentu harus dengan semaksimal mungkin meniru perilaku beliau dalam hal keilmuan dan akhlak. Manusia diberi keutamaan lebih daripada makhluk lain. Manusia dilantik menjadi khalifah di bumi untuk memakmurkannya. Untuk itu dibebankan kepada manusia amanah. Diberikan pula kebebasan dan tanggung jawab memiliki serta memelihara nilai-nilai keutamaan. Keutamaan yang diberikan bukan karena bangsanya, bukan juga karena warna, kecantikna perwatakan, harta, derajat, jenis profesi dan kasta sosial atau ekonominya. Tetapi semata-mata karena iman, takwa, akhlak, ketinggian akal dan amalnya. Selain itu karena

kesediaan insan menimba ilmu pengetahuan yang berbagai jenis (Al-Syaibany, 1983: 107).

Manusia harus mempunyai pendidikan sebagai pembeda dari makhluk lain. Utamanya pendidikan dalam masalah agama. Dalam kaitan ini Malik Fajar mengatakan bahwa hubungan antara Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang, artinya Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar. Namun demikian, upaya menghubungkan antara Islam dengan pendidikan dan masalah lainnya dalam peta pemikiran Islam, masih dijumpai adanya perdebatan yang hingga kini masih belum tuntas (Nata, 2003:222).

Menuntut ilmu hukumnya wajib. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah SAW:

علا بلط

ل

لسم ّلك ىلع ةضيرف م

م

Artinya:”Menuntut ilmu itu wajib atas semua orang Islam.” (H. R. Baihaqi) (Kitab Sunan Ibnu Majah, Juz 1, halaman 98).

Begitu pentingnya Ilmu pengetahuan hingga seorang pelajar rela mengeluarkan biaya yang besar untuk sebuah ilmu. Namun tidak cukup itu saja. Para pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil manfaatnya tanpa mau menghormati guru. Karena ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang telah berhasil, mereka ketika masa mencari ilmu sangat menghormati ilmu dan gurunya, dan orang-orang yang tidak berhasil dalam menuntut ilmu karena mereka tidak mau menghormati ilmu dan gurunya (al-Zarnuji, tt:16).

Seorang bijak berkata,”Karena manusia memuliakan kekuatan

pengetahuan, mestilah dilakukan pendidikan agar pemiliknya bisa menahan diri dari perbuatan-perbuatan buruk dan mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Maka, terbentanglah jalan kehidupan yang mudah di hadapannya dan terpenuhilah sebab-sebab kebahagiaan sehingga ia akan

hidup dalam keadaan makmur dan penuh kesenangan.”

Akan tetapi, seorang manusia ditentukan oleh perbuatannya. Perbuatan adalah cerminan sifat dan akhlak. Oleh karena itu, seseorang tidak menjadi mulia hanya karena ilmu atau ijazah sekolah semata. Sebab, ilmu semata tidaklah cukup untuk membuat seseorang menjadi besar di tengah-tengah kaumnya dan bermanfaat bagi umat dan tanah airnya. Sesungguhnya ilmu adalah alat yang harus dituntun dengan akhlak. Jika akhlaknya rusak, maka perbuatannya bagaikan pedang di tangan orang gila. Pedang ini akan menimbulkan kemadharatan dan tidak memberikan manfaat. Dengan demikian, seseorang akan menjadi orang besar hanya dengan ilmu-ilmu yang sempurna disertai akhlak dan tingkah laku utama. Sehingga, wajiblah diketahui bahwa meski keberadaannya sebagai manusia menyebabkan ia lebih unggul dari makhluk lain, tetaplah disyaratkan adanya perhatian pada apa yang membuatnya ia sebagai manusia, yakni ilmu yang benar dan akhlak yang baik. Dengan adanya hal tersebut, manusia akan memiliki keunggulan (Rohiyatna, 2008: 21).

Dalam kitab Mau’idhah al-Mukminīn karya Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qāsimi menjelaskan perihal nilai pendidikan bagi manusia

dalam meraih ilmu pengetahuan untuk mencapai tingkatan mukmin yang sejati. Sesuai dengan unsur pendidikan bahwa tujuan utama ditulisnya kitab

Mau’idhah al-Mukminīn adalah untuk meningkatkan diri mencapai derajad

mu’min. Materi yang diajarkan dalam kitab ini adalah tentang pendidikan akhlak yang diajarkan oleh Imam al-Ghazali yang kemudian diringkas oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin dan ditujukan kepada semua umat manusia melalui pengajaran yang sifatnya masih tradisional. Seperti halnya yang diterapkan di pesantren yaitu melalui metode bandongan (guru memembaca dan menjelaskan isi kitab kemudian murid mendengarkan) dan hanya menggunakan media kitab kuning. Dikarenakan metode pengajaran kitab tersebut masih bersifat kuno, maka untuk evaluasinya memang belum ada. Akan tetapi, meskipun tidak ada evaluasi, pengajaran-pengajaran yang ada dalam kitab tersebut sangat detail. Adapun analisis yang dapat ditarik dari pembahasannya dapat penulis kelompokkan menjadi tiga skala besar. Pertama: Akhlak kepada Allah SWT. Kedua: Akhlak terhadap diri sendiri. Ketiga: Akhlak terhadap lingkungan.

1. Akhlak kepada Allah SWT

Allah adalah khaliq (Pencipta) dan manusia adalah makhluq (makhluk). Sebagai makhluk tentu saja manusia sangat tergantung kepadaNya. Sebagaimana firmanNya:

ّصلا للها

دم

Artinya: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala

Sebagai yang Maha Agung dan yang Maha Tinggi Dialah yang wajib disembah dan ditaati oleh segenap manusia. Dalam diri manusia hanya ada kewajiban beribadah kepada Allah SWT, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

نودبعيل ّلإ سنلإو ّنلجا تقلخ امو

.

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Adz-Dzaariyaat: 56) (http//www.al-quran-digital.com).

Dalam hubungannya dengan pendidikan akhlak kepada Allah SWT, sikap yang harus ditanamkan antara lain:

a. Cinta kepada Allah SWT

Penanaman rasa cinta kepada Allah SWT adalah prinsip yang harus ditanamkan kepada setiap manusia. Mereka harus dibiasakan untuk mencintai Allah SWT dengan diwujudkan dalam bentuk sikap selalu mengikuti perintah-perintahNya, dan menjauhi larangan-laranganNya.

Wujud dari cinta kepada Allah SWT salah satunya yaitu dengan mencintai kitabNya (al-Qur’an), yaitu dengan wujud memuliakan al-Qur’an. Sehingga Syaikh Jamaluddin (1426: 80)

dalam kitab Mau’idhah al-Mukminīn menjelaskan bahwa orang yang membaca al-Qur’an harus menetapi dua adab, yaitu adab lahiriyah dan adab bathiniyah. Pertama, adab lahiriyah diantaranya sebagai berikut:

1) Hendaklah berwudhu terlebih dahulu, menetapi keadaan yang tenang dan penuh kesopanan. Boleh dilakukan dengan berdiri atau duduk akan tetapi harus dengan menghadap kiblat, menundukkan muka, tidak dengan duduk bersilang, bersandar atau duduk yang menunjukkan kecongkaan.

2) Kadar membaca. Para ahli baca al-Qur’an mempunyai kebiasaan

yang berbeda-beda perihal banyak sedikitnya bacaan yang

dibaca. Seperti yang dilakukan oleh ‘Utsman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan ‘Ubay bin Ka’ab, beliau-beliau mengkhatamkan al-Qur’an dalam sejum’at sekali, sehingga al

-Qur’an tersebut dibagi menjadi tujuh hizib (kelompok).

3) Ketertiban dalam bacaan (tartil). Tujuannya agar direnungkan isi dan difikirkan maknanya.

4) Menangis. Hal ini ditimbulkan dari perasaan sedih karena kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an berupa ancaman, janji

dan ikatan.

5) Menjaga hak dari ayat-ayat yang dibaca. Seperti ketika membaca ayat sajdah, hendaklah bersujud.

6) Pada permulaan membaca hendaklah mengucapkan “Saya

mohon perlindungan kepada Allah yang Maha Mendengar lagi

Maha Mengetahui dari golongan Syaitan yang terkutuk.”

7) Membaca dengan suara perlahan, sehingga jauh dari ria’

8) Memperbagus bacaan serta menertibkannya, tidak memanjang-manjangkan yang tidak semestinya, sehingga dapat merusak susunan artinya.

Kedua, adab bathiniyah. Antara lain sebagai berikut:

1) Mengagungkan pada Dzat yang Maha Berfirman, yaitu Allah SWT. sehingga pada permulaan membaca hendaklah menghadirkan dalam qalbunya akan keagungan Allah SWT dan menginsafi bahwa apa yang dibacanya tersebut bukanlah percakapan manusia.

2) Memahami keagungan firman Allah SWT dan ketinggian nilainya.

3) Menghadirkan hati dan meninggalkan apa saja yang diucapkan dalam hatinya sendiri.

4) Memikir-mikirkan dan mengenang-ngenang apa yang sedang dibaca.

5) Memahamkan tujuan yaitu supaya setiap ayat dapat menjadi jelas apa yang dimaksudkan dan apa yang dikehendak, sebab

al-Qur’an memang memuat berbagai persoalan.

6) Melenyapkan hal-hal yang menyebabkan tidak dapat memahami isi al-Qur’an.

7) Mengkhususkan. Maksudnya yaitu orang yang sedang membaca hendaknya dapat menangkap tujuan untuk tiap-tiap percakapan yang terkandung di dalamnya.

8) Membekas. Maksudnya yaitu di dalam hatinya tertanamlah bekas-bekas yang berbeda-beda dengan adanya ayat-ayat yang tujuannya juga berbeda-beda.

b. Bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT

لامعو لاحو ملع نم مظتني ركشلا نأ ملعإ

.

“Ketahuilah sesungguhnya syukur itu tersusun dari tiga hal, yaitu

ilmu, keadaan dan perbuatan” (al-Qāsimi, 1426: 349).

Syukur merupakan ucapan terima kasih kepada Allah SWT atas segala yang telah diberikan baik melalui lisan maupun perbuatan. Jelas dikatakan dalam ayat al-Qur’an perintah untuk

senantiasa bersyukur pada Allah SWT.

متنماءو تمركش نإ مكباذعب للها لعفي اّم

“Mengapa Tuhan akan menyiksa kamu semua, jikalau kamu semua sudah bersyukur dan beriman”(An Nisa’: 147).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang bersyukur terhadap Allah SWT, ia akan terbebas dari siksa.

Dalam ayat lain juga dijelaskan:

مكّنديزلأ تمركش نئل

.

“Niscayalah jikalau kamu semua bersyukur, pasti Aku (Allah) akan

memberi tambahan padamu semua” (Ibrahim: 7).

Selain terbebas dari siksa, orang yang bersyukur akan ditambah nikmatnya oleh Allah SWT.

Syukur tersusun dari tiga hal, yaitu ilmu, keadaan dan perbuatan. Ilmunya yaitu dengan menyadari bahwa kenikmatan yang

diterimanya itu semata-mata dari Dzat yang Maha Pemberi kenikmatan. Keadaannya yaitu menyatakan kegembiraan yang timbulnya sebab memperoleh kenikmatan tersebut, sedangkan amalannya yaitu menunaikan sesuatu yang sudah pasti menjadi tujuan serta yang dicintai oleh Dzat yang memberi kenikmatan itu untuk dilaksanakan.

c. Berharap dan takut terhadap Allah SWT

دوممح ماقم لك لَإ نوبرقلما يرطي امبه ناحنج فولخاو ءاجرلا

,

ناتيطمو

دوئك ةبيقع لك ةرخلأا قيرط نم عطقي امبه

,

لإ نحمرلا بلق لَإ دوقي لاف

ءاجرلا ةمزأ

,

فيوختلا طايس لإ ميحلجا ران نع دصي لو

.

“Ketakutan kepada siksa Allah Ta’ala serta harapan untuk

memperoleh kerahmatan dan kasih sayang-Nya merupakan dua sayap yang dapat digunakan untuk terbang bagi orang-orang yang benar-benar mendekatkan diri dan jiwanya kepada Allah Ta’ala

supaya dapat menuju seluruh kedudukan yang terpuji, keduanya itupun dapat diumpamakan sebagai dua buah kendaraan yang dapat dipakai untuk menempuh jalan ke akhirat, melalui lembah yang sukar dicapai. Kiranya tidak ada yang dapat membimbing dirinya untuk dapat mendekat kehadapan Dzat yang Maha Pengasih itu melainkan ikatan harapan, juga tidak ada yang dapat menutup neraka Jahim dari dirinya melainkan cemeti penakut-nakutan” (al-Qāsimi, 1426: 353).

Setiap orang yang berhati suci dan berfikiran jenis pasti mengetahui dengan sebenar-benarnya bahwa dunia ini bagaikan ladang untuk diberi tanaman yang dapat dibawa sebagai bekal ke akhirat. Hati diibaratkan sebagai tanah, sedang keimanan adalah sebagai benih yang ditanamkan. Sedangkan ketaatan berjalan menuju arah dan arus hati serta kesuciannya. Adapun hati yang sudah berkecimpung dalam segala kemaksiatan dan terjerumus

dalam kelezatan duniawi bagaikan tanah yang tandus yang tidak mungkin dapat ditanami benih, sebab meskipun ditanami pasti tidak akan tumbuh.

Tanaman ketaatan dan kebaktian terhadap Allah SWT tidak mungkin subur, jikalau tidak berasal dari benih keimanan yang sebenar-benarnya. Oleh sebab itu jarang sekali keimanan akan memberikan kemanfaatan apabila hatinya busuk, sedangkan akhlaknya juga rusak dan budi pekertinya bejat. Ini sama halnya dengan benih yang tidak tumbuh di tanah yang tandus. Jadi harapan pengampunan seseorang dapat disamakan dengan harapan petani terhadap tanamannya. Dalam istilah yang lebih jelas, bahwa suatu harapan dilakukan setelah adanya ikhtiyar (usaha).

Takut adalah sebagai penjelmaan dari rasa kesakitan dalam qalbu dan terbakarnya hati karena sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi di kemudian hari. Terbakarnya hati yang berkobar-kobar dan merasakan perasaan yang amat pedih inilah yang dinamakan khauf.

Timbulnya rasa takut terhadap Allah SWT adakalanya disebabkan karena seseorang tersebut sudah berma’rifat terhadap Dzat Allah SWT dengan sebenar-benarnya, serta berma’rifat

terhadap sifat-sifatNya. Ia mengerti bahwa Allah SWT akan membinasakan seluruh makhluk di dunia ini dan tidak akan ada yang mampu menolaknya. Akan tetapi ada juga yang disebabkan amat

banyaknya dosa yang dilakukan karena banyaknya kemaksiatan yang terus ditumpuk-tumpuk.

Rasulullah SAW merupakan manusia yang paling merasa ketakutan kepada Allah SWT. Pernah terjadi sebuah peristiwa ada

seorang anak meninggal dunia, lalu seseorang berkata: ”Enak sudah

nasibnya, sebagai seekor burung kecil dari burung-burung surga

yang merdeka.” Tiba-tiba beliau SAW menunjukkan kemarahannya dan bersabda:

“Siapa yang memberitahukan padamu bahwa ia akan menjadi

sebagaimana yang kau katakan itu. Demi Allah, saya Rasulullah sendiripun tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh Allah terhadap diriku. Sesungguhnya Allah membuat surga dan ditetapkanlah siapa-siapa yang akan menjadi penghuninya di situ, tidak ditambah dari

jumlah yang ditentukan itu dan tidak pula dikurangi” (H.R Muslim).

Oleh sebab hal ini, maka wajiblah bagi setiap hamba untuk memiliki rasa takut terhadap Allah SWT dan mengharapkan ampunanNya. 2. Akhlak terhadap diri sendiri

Manusia adalah ciptaan Allah SWT yang paling sempurna, ia diberi akal dan juga nafsu. Apabila dia mampu menggunakan akalnya dengan baik, maka derajadnya bisa melebihi makhluk Allah SWT yang tidak pernah membangkang atau bermaksiat padaNya yaitu malikat. Sebaliknya, apabila akal kalah dengan nafsunya, maka derajadnya bisa turun di bawah hewan. Oleh sebab itu, setiap individu harus dibekali dengan pendidikan yang berhubungan dengan dirinya, meliputi hal-hal yang harus dimiliki dan yang harus dilakukan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam hubungannya dengan pendidikan akhlak yang yang harus dimiliki oleh diri sendiri, sikap yang harus ditanamkan diantaranya: a. Menghindari sifat marah, dendam dan hasud

ّنإ

غش بضغلا

ران ةل

,

ةدقولما للها ران نم تسبتقا

,

ىلع علطت تيلا

ةدئفلأا

.

“Sesungguhnya marah adalah nyala api yang bersumber dari api

Allah yang berkobar-kobar serta menjulang tinggi sampai naik ke

ulu hati” (al-Qāsimi, 1426: 241).

لا نع زجعل همظك مزل اذإ بضغلا نأ ملعإ

نطابل لَإ عجر لالحا في يفشت

هيف نقتحاو

,

ادقح راصف

.

“Ketahuilah bahwa kemarahan itu apabila tetap meluap-luap karena memang tidak dapat melenyapkannya seketika, maka ia akan masuk ke dalam batin dan terus bergejolak dalam hati, akhirnya timbullah

dendam” (al-Qāsimi, 1426: 239).

ميمذلا دقلحا جئاتن نم اضيأ دسلحا نأ ملعإ

.

“Ketahuilah bahwa hasud itupun merupakan buah dari sifat dendam

yang tercela” (al-Qāsimi, 1426: 252).

Marah merupakan sifat yang ditimbulkan dari nyala api Allah SWT yang berkobar-kobar, serta orang yang memilikinya tidak mampu menahannya, sehingga apabila hal tersebut berkelanjutan maka akan menimbulkan sifat dendam dan kemudian menjadi hasud. Jadi menurut penjelasan potongan kata dalam kitab Mau’idhah al

-Mukminīn tersebut, sifat marah, dendam dan hasud saling berkaitan.

هتنيكس للها لزنأف ةّيلهالجا ةّيحم ةّيملحا مبهولق في اورفك نيذّلا لعج ذإ

,

يننمؤلما ىلعو هلوسر ىلع

“Perhatikanlah ketika timbul dalam hati orang-orang yang tiada beriman itu perasaan kebencian (kesombongan) masa jahiliah.

Kemudian Allah menurunkan ketenanganNya kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman” (Al Fath: 26).

Dalam ayat tersebut Allah SWT sangat mencela sekali pada perbuatan orang-orang kafir yang tiada beriman, karena mereka menampakkan kesombongan yang ditimbulkan oleh hati yang penuh kemarahan untuk membela kebathilan. Sementara itu Allah SWT memuji kepada kaum beriman dengan sebab karunia sifat ketenangan yang dilimpahkan kepada mereka.

Setiap manusia memiliki tingkatan berbeda dalam hal menghadapi sifat marah. Dalam hal ini mereka terbagi menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama, Tafrith (hilang kemarahannya atau acuh tak acuh). Kedua, Ifradh (berlebih-lebihan kemarahannya). Ketiga,

I’tidal (mampu mengendalikan kemarahannya).

Dari ketiga golongan tersebut yang terbaik adalah yang terakhir. Karena marah yang dilakukan ditempatkan sebagaimana mestinya dan senantiasa mengikuti bimbingan agama. Adapun yang pertama sifatnya sangat tercela, karena kehilangan kekuatan kemarahan atau sifat kemarahannya sangat lemah. Orang yang memiliki sifat tafridh disebut orang yang tidak memiliki sifat pembelaan sama sekali. Tidak ingin mempertahankan kehormatan dirinya, istrinya, keluarganya serta apa saja yang merupakan haknya. Padahal Allah SWT telah memberikan sifat utama kepada para sahabat Rasulullah SAW berupa kekerasan dan hamiyyah (pembelaan), sebagaimana firmanNya yang artinya:

“Mereka itu bersikap keras sekali terhadap kaum kafir” (Al Fath:

29).

Jadi pada dasarnya sifat marah itu perlu, akan tetapi harus sesuai dengan kadarnya dan tidak melenceng jauh dari tuntunan agama. Salah satu cara untuk menghilangkan kemarahan yaitu dengan latihan. Latihan yang dimaksudkan adalah dengan mematahkan dan melemahkan gejolaknya, sehingga tidak sangat menyala di dalam hati dan jiwa. Yang selanjutnya agar tidak nampak bekas-bekas kemarahan tersebut keluar, yang terlihat di wajah dan seluruh anggota. Jadi, sekalipun ia marah, akan tetapi kepala tetaplah dingin, wajah berseri-seri dan ramah tamah, perbuatan anggota badanpun tetap teratur dan kata-kata tetap terpelihara. Jika hal ini sudah dilakukan maka itulah tanda bahwa kemarahan bisa ditundukkan dengan latihan sehingga menjadi lemah.

Kemarahan yang meluap-luap karena memang tidak mampu untuk melenyapkannya akan menimbulkan sifat dendam. Dinamakan dendam adalah jika hati merasa berat merasakannya serta benci menghadapinya. Dendam merupakan buah dari sifat marah, sedangkan dendam membuahkan berbagai hal yang dapat dianggap sebagai kemungkaran, misalnya:

Pertama: Hasud atau dengki yaitu sifat-sifat yang menyebabkan hati mengharapkan supaya kenikmatan yang dimiliki oleh orang yang dianggap sebagai lawan itu lenyap dari sisinya.

Kedua: Menambah tertanamnya kehasudan yang tertanam dalam jiwa.

Ketiga: Meninggalkan untuk bergaul dengan lawannya serta memutuskan hubungan dengannya.

Keempat: Menganggap rendah terhadap orang yang didendami serta berpaling jika tidak sengaja bertatap muka atau bertemu dengannya.

Hasud adalah buah dari sifat dendam. Hasud ada dua macam, yaitu: Peratama, benci pada seseorang yang memperoleh suatu kenikmatan dan mengharap-harapkan agar kenikmatan tersebut segera lenyap darinya. Hal ini hukumnya haram, kecuali suatu kenikmatan yang dimiliki oleh orang yang durhaka dan digunakan sebagai alat untuk melakukan kemaksiatan. Kedua, tidak menginginkan bahwa kenikmatan itu lenyap dari orang yang memperolehnya, akan tetapi ia menginginkan agar mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh orang tersebut.

b. Menjauhi sifat takabbur dan ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri)

ةلئاه هتلئاغو ةميظع هتفآو ىصتح نأ نم رثكأ لامعلأا َلتو

.

Takabur merupakan sifat tercela yang amat banyak sekali bentuknya dan bahaya sifat takabbur itu sangat besar sedangkan

kerusakan yang diakibatkannyapun sangat luar biasa hebatnya” (al-Qāsimi, 1426: 291).

ص هلوسر ةنسو لَاعت للها باتك في مومذم بجعلا نأ ملعإ

.

“Ketahuilah sesunggunya ‘ujub merupakan sifat yang sangat tercela seperti yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits Rasullah SAW “ (al-Qāsimi, 1426: 306).

Takabbur artinya sombong, congkak atau merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain, baik kedudukan, keturunan, kebagusan bentuk dan lain sebagainya. Dalam hal ini ada beberapa ayat dan hadits yang menjelaskan betapa buruk sifat takabbur itu, diantaranya yaitu:

تي نيذّلا تيياء نع فرصأس

ّقلحا يرغب ضرلأا في نوّبرك

“Aku akan memalingkan dari keterangan-keteranganKu orang-orang

yang menyombongkan dirinya di muka bumi” (al-A’raf: 146).

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang di dalam hatinya

terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan” (HR Muslim). Dari keterangan ayat al-Qur’an dan hadits tersebut jelas bahwa sifat

takabbur sangat dibenci oleh Allah SWT dan RasulNya. Takabbur menjadi penghalang antara orang yang memilikinya dengan surga, sebab takabbur merupakan batas pemisah antara seseorang dengan akhlak dan budi pekerti kaum mukmin seluruhnya. Akhlak dan budi pekerti baik merupakan pintu-pintu surga, sedangkan takabbur adalah penyebab tertutupnya pintu-pintu tersebut. Takabbur adalah merasa dirinya lebih tinggi melebihi orang lain. Selain itu uga disebabkan karena seseorang yang memiliki sifat takabbur tidak memiliki perasaan untuk mencintai sesama saudaranya yang mukmin sebagaimana cintanya terhadap dirinya sendiri. Orang tersebut juga

tidak memilki sifat tawadhu’ (merendahkan diri) sebagaimana kadarnya yang diajarkan oleh agama.

Dalam kitab Mau’idhah al-Mukminīn, ada tujuh hal yang dapat membuat seseorang memiliki sifat takabbur:

Pertama, ilmu pengetahuan. Orang yang menjadi sombong sebab berilmu pengetahuan memiliki dua macam pendorong, yaitu: 1) Seseorang yang sibuk menuntut ilmu dan olehnya dianggap

sebagai ilmu yang baik, akan tetapi ilmu yang dipelajarinya bukanlah ilmu haqiqi dan bermanfaat. Maksudnya ilmu yang dipelajari bukanlah ilmu yang membawa seseorang untuk mengetahui kedudukan Tuhan dan kedudukan dirinya sendiri. 2) Seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam hal

agama, akan tetapi jahat dalam perangai dan akhlaknya, buruk watak dan tabiatnya, rendah jiwa dan hina budi pekertinya. Hal ini mungkin disebabkan karena dahulunya tidak memperhatikan pendidikan jiwanya terlebih dahulu, tidak ingin membersihkan jiwa dan hatinya dengan berbagai kesungguhan dan latihan bathiniyah, sehingga jauhar jiwanya menjadi sangat kotor. Oleh sebab itu, jikalau ia memperdalam ilmu pengetahuan, maka bertemulah ilmu tersebut dalam qalbunya pada suatu tempat yang kotor, akhirnya berbuahlah buah ilmu yang tidak lezat, bahkan tidak ada bekas kebaikannya sama sekali.

Kedua, amalan dan peribadatan. Dalam hal ini kesombongan yang ditimbulkan ada dua macam, yaitu:

1) Berhubungan dengan keduniaan. Seperti amat senang sekali hatinya jika orang lain menyebutnya sebagai orang yang wara’

dan sangat taqwa.

2) Berhubungan dengan keagamaan. Seperti mengira bahwa dirinya sendiri pasti selamat dari siksa Allah SWT, sedangkan orang lain belum tentu selamat dan akan sengsara pada hari kiamat.

Ketiga, keturunan atau silsilah. Seseorang yang memiliki

Dokumen terkait