• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Teori Terhadap Novel Gerhana Kembar

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.3. Implikasi Teori Terhadap Novel Gerhana Kembar

Implikasi teori merupakan bagian dimana peneliti dapat melihat sejauh mana peneliti menggambarkan bagaimana teori yang digunakan mampu menjawab penelitian yang sedang diteliti, dan sejauh mana teori itu mendukung dan membantu si peneliti untuk melakukan penelitiannya.

Penciptaan sebuah novel bertujuan bagaimana akhirnya pesan yang ada didalam novel tersebut dapat diterima oleh pembaca dan pembaca mampu memaknai pesan tersebut sebagai sebuah kebenaran. Analisis semiotika adalah salah satu hal yang digunakan untuk memaknai pesan lebih mendalam yang

ditimbulkan dari suatu wacana. Bagaimana akhirnya semiotika tersebut memberikan pemahaman yang lebih mendalam akan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Pada penelitian ini peneliti menggunakan Semiotika Roland Barthes yang dikenal dengan teori Signifikasi Dua Tahap. Yaitu mengenai konsep tentang konotasi dan denotasi. Makna denotatif suatu kata adalah makna yang biasa kita temukan dalam kamus, sedangkan makna konotatif adalah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata dari makna denotatif tersebut. Dalam hal ini peneliti juga tidak bisa mengabaikan peran dari sipeneliti sendiri yang membaca bagian-bagian dari Novel Gerhana Kembar ini. seperti yang diungkapkan oleh Roland Barthes dalam penelitian semiotika, ketika kita menganalisis tanda-tanda yang ada didalam sebuah teks maka tidak dapat dipungkiri bahwa peran sipembaca dalam menafsirkan tanda-tanda yang ada sangat besar.

Dengan metode ini akhirnya peneliti mampu memaknai pesan dari novel tersebut dengan baik. Bagaimana akhirnya komunikasi yang dilakukan oleh pemeran dalam novel tersebut dianalisis lebih mendalam dan mampu dimaknai secara nyata. Makna denotatif yang dituliskan oleh si penulis dijadikan peneliti sebagai acuan dasar peneliti untuk melihat bagian-bagian yang bisa peneliti telaah untuk melihat representasi lesbianisme dalam novel tersebut misalnya: Sentuhan Henrietta pada kulit tangannya diam-diam membuat Fola senang; Dari pemaparan teks yang digunakan penulis akhirnya peneliti bisa melihat pesan yang ingin disampaikan penulis tentang bagaimana penggambaran si penulis mengenai lesbianisme dalam novel yang ditulisnya, kemudian peneliti melihat tanda-tanda yang terdapat didalamnya yang dapat mendukung peneliti untuk melihat representasi atau makna yang tersembunyi dari kalimat tersebut, Sentuhan Henrietta pada kulit tangannya diam-diam membuat Fola senang ; jika dikaji lagi tanda-tanda yang digunakannya “sentuhan yang membuat Fola senang” melalui komunikasi intrapersonal tersebut dalam penjelasan diatas sudah dijelaskan bahwa wanita dalam hubungan persahabatan adalah merupakan suatu kewajaran dengan sentuhan bahkan hubungan dalam wanita tidak lepas dari yang namanya sentuhan. Namun bila dilihat penulis sedang mengungkapkan makna lain dari kalimat

tersebut, ketika kata “diam-diam” dan “senang” digabungkan ada makna lain yang bisa diterjemahkan, bahwa dalam hal ini penulis sedang menyatakan bahwa ada perasaan lain yang singgah dihati Fola sehingga sentuhan itu akhirnya membuat dia senang, bukan hanya sekedar hubungan dalam sebuah persahabatan.

Dalam kerangka Barthes juga dikenal dengan operasi ideologi karena ideologi ini identik dengan signifikasi tataran kedua yaitu konotasi, yang disebut dengan Mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada suatu periode tertentu. Mitos juga digunakan oleh peneliti untuk melihat sejauh mana Novel Gerhana Kembar dapat digambarkan dalam budaya dan Mitos peneliti, dan bagaimana Novel ini menampilkan Mitos sebagai suatu hal yang masih dijadikan sebagai suatu pembenaran yang nyata dan masih ada.

Mitos. Seperti yang dijelaskan sebelumnya Mitos tidak dapat dilepaskan dari teori Semiotika Roland Barthes. Peneliti menggunakan Signifikasi tataran kedua atau makna konotatif untuk membantu peneliti untuk melihat Mitos apa yang sedang ditunjukkan dalam kalimat yang ada. Misalnya: Wanita= cinta terakhir, Pria = cinta pertama. Maksudnya adalah, wanita akan mencintai seseorang yang hidup bersamanya meskipun awalnya dia tidak pernah mencintai lelaki itu, berbeda dengan pria, pria akan tetap mengingat dan bisa dikatakan mencintai wanita yang pertama kali membuat dia jatuh cinta. #hal ini tidak terjadi pada Fola. Ini adalah Mitos yang terjadi dalam kehidupan nyata dan sehari-hari. Peneliti mengungkapkan hal ini sebagai bagian dari budaya, pandangan dan pengetahun dari si penulis. Namun jika diperhatikan, bahwa Mitos ini merupakan suatu hal yang tidak terjadi pada seorang Fola, dan ada beberapa kasus yang ada sesuai dengan Mitos yang dipaparkan oleh peneliti. Sehingga peneliti dapat melihat bagaimana Mitos itu sebagai bagian yang digunakan oleh si penulis untuk menggambarkan cerita dari Novel yang ada. Mitos yang dipatahkan dan Mitos yang masih tetap digunakan bahkan dijadikan sebagai suatu acuan dalam kelanjutan cerita dari pemaparan dan perepresentasian makna lesbianisme dalam novel tersebut.

Dari paparan diatas peneliti mengimplikasikan bahwa teori Semiotika Roland Barthes adalah salah satu teori yang bisa digunakan peneliti untuk dapat melihat pesan yang ingin disampaikan penulis dalam novel melalui komponen-komponen komunikasi dan bagaimana juga Mitos itu dijadikan sebagai pendukung dalam pemahaman mengenai makna yang dipaparkan dalam teks tersebut sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang baru akan makna dalam teks yang ada. Teori ini pun akhirnya membantu peneliti untuk melihat sejauh mana sebenarnya penulis merepresentasikan makna lesbianisme itu didalam pesan novel dengan lebih mendalam. melalui tanda-tanda yang dianalisis dalam novel tersebut ternyata lesbianisme adalah orang yang meiliki ketakutan pengasingan dalam lingkungan sosial, memiliki keinginan untuk mendapatkan kebebasan akan kehidupan yang ingin mereka jalani, namun mereka juga digambarkan adalah sosok yang memikirkan perasaan orang-orang disekitarnya, dan seringkali mencoba untuk menahan rasa yang ada untuk orang-orang yang ada disekitaranya.

Universitas Sumatera Utara BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian

2.1.1 Paradigma Interpretif

Paradigma adalah pandangan seseorang terhadap dirinya dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma sangat menentukan bagaimana seseorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah,2008:27).

Interpretif merupakan perspektif teori dalam konstruktivisme. Bagi aliran ini, positivisme keliru dan karenanya harus ditinggalkan dan diganti dengan konstruktivisme. Interpretif antara lain menurunkan metodologi penelitian yang dinamakan Grounded theory. Metodologi ini menurunkan kriteria bahwa: data yang harus dikumpulkan dan dianalisis secara kualitatif, bukan kuantitatif seperti yang dilakukan oleh positivisme; teori yang dikembangkan bersifat membumi, kegiatan ilmu harus natural apa adanya dan menghindarkan penelitian yang diatur sebelumnya, baik melalui desain penelitian kaku maupun situasi laboratoris; dan karenanya penelitian bersifat parsitipatif daripada mengontrol sumber-sumber informasi. (Vardiansyah, 2008:59). Teori interpretif lebih condong kepada pemahaman khusus/lokal daripada penjelasan yang general. Teori interpretif mengarahkan pemahaman kita kepada sebuah dunia yang dibangun secara sosial melalui interaksi yang komunikatif, dan teori-teori ini bertujuan untuk merefleksikan kompleksitas dunia sosial serta proses konstruksi sosial. (Ardianto, 2007:140).

Universitas Sumatera Utara Paradigma Interpretif memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak tertata dan terpola secara obyektif, sehingga diperlukan pendekatan khusus untuk memahami setiap gejala yang muncul, paradigma ini dimulai dari suatu fenomena yang selanjutnya di dalami untuk menghasilkan teori. Tujuannya ialah untuk memahami makna atas pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa pengalaman bukan kenyataan empirik yang bersifat obyektif, melainkan pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa yang dilalui seseorang. Kebenaran diperoleh lewat pemahaman secara holistik, dan tidak semata tergantung pada data atau informasi yang teramati, melainkan pula mendasarkan pada informasi yang tidak tampak dan digali secara rinci dan kebenaran bersifat unik, dan tidak bisa berlaku secara umum dan diperoleh lewat proses induktif

(http://mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/373-perkembangan-metodologi- Penelitian-dari-positivistik-post-positivistik-interpretif-hingga-hermeneutika.html)

Inti dari ontologi interpretif adalah kepercayaan bahwa kita mengonstruksi dunia kita secara sosial lewat interaksi komunikatif (yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman timbal balik). Darinya, keberadaan makna dibuat secara intersubjektif seperti halnya seseorang membawa pemahaman subjektif pada sebuah interaksi, dan pemahaman ini kemudian tumbuh dan berkembang serta kadang kala tertata ulang melalui tindakan-tindakan komunikatif. (Ardianto, 2007: 141)

2.1.2 Bahasa Sebagai Praktik Kekuasaan dalam Kajian Komunikasi

Berpikir sebagai proses bekerjanya akal dalam menelaah sesuatu merupakan ciri hakiki dari manusia, dan hasil bekerjanya akal ini tidak dapat diketahui oleh orang lain, jika tidak dinyatakan dalam bentuk bahasa. Bahasa, ialah merupakan

Universitas Sumatera Utara pernyataan pikiran alam perasaan sebagai alat komunikasi. Jujun S. Suriasumantri juga menyatakan bahwa manusia punya keunikan yang berbeda dengan makhluk lainnya justru terletak pada kemampuan bahasanya bukan pada kemampuan berfi8kirnya. Dengan kemampuan bahasa inilah manusia dapat berfikir secara sistematik dan teratur. (Zamroni, 2009:152). Bahasa adalah kombinasi lambang dalam suatu sistem sehingga membentuk makna yang digunakan kelompok masyarakat tertentu. (Vardiansyah, 2004: 146)

Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan pertama diwakili oleh kaum Positivisme-empiris. Oleh penganut ini bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi. Kaitannya dengan analisis wacana adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna yang subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme, dalam pandangan ini bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Oleh karena itu analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis, bahasa disini tidak dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai topik apa yang dibicarakan. (Eriyanto, 2001: Hal 4-6)

Universitas Sumatera Utara Dalam analisis wacana kritis, wacana disini tidak dipahamai semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa namun bahasa disini berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk didalamnya praktik kekuasaan. Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat wacana-pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Analisis wacana melihat bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. (Eriyanto, 2001:7)

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Disini setiap wacana yang muncul dalam bentuk teks, percakapan atau apapun itu tidak dipandang sebagai suatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. Pemakai bahasa bukan hanya pembicara, penulis, pendengar atau pembaca ia juga merupakan bagian dari anggota kategori sosial tertentu. Hal ini mengimplikasikan bahwa analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat

Universitas Sumatera Utara apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol disini tidaklah selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis (Eriyanto, 2001:11-12).

2.1.3 Interaksionisme Simbolik dalam Sistem Tanda Semiotika

George Herbert Mead adalah salah seorang Pelopor Konstruksi Sosial didunia komunikasi. Dia pulalah yang pertama kali memperkenalkan konsep – Interaksi-Simbolik, dimana pola pikir, konsep diri, dan komunitas sosial yang kita miliki dibentuk melalui komunikasi. Interaksi simbolik itu sendiri memiliki makna sebagai sebuah proses berkelanjutan baik berupa bahasa maupun tingkah laku(nonverbal) sebagai antisipasi dari reaksi yang diberikan oleh orang lain. Salah seorang murid Herbert, Herbert Blummer mengembangkan teori sebelumnya dan menambahkan 3 prinsip dasar dari interaksi simbolik yang berhubungan dengan pesan, bahasa, dan pola pikir dan mengarah pada pembentukan konsep “diri” yang dimiliki individu serta pola sosialisasi (pengenalan nilai dan norma) dalam masyarakat.

1. Pesan: Dasar Dari Realitas Sosial(Meaning: The Construction Of Social Reality)

Blummer berpendapat bahwa setiap individu berperilaku kepada masyarakat atau objek berdasarkan apa yang mereka pahami secara mendasar mengenai masyarakat atau objek tersebut (human act toward people or things on the basis of the meaning they assign to those people or things). individu bertindak sesuai dengan apa yang dia maknai di situasi/ moment tersebut. Dalam hal ini interpretasi yang kita hasilkan mengenai seseorang ,situasi dan objek-lah yang membentuk pola perilaku kita.

Universitas Sumatera Utara

2. Bahasa: Sumber Dari Makna/Pesan (Language: The Source Of Meaning)

Teori kedua yang diangkat oleh blumer adalah “makna tumbuh melalui interaksi sosial diantara individu”. Dengan kata lain, makna tersebut tidak terbentuk dari satu pihak komunikasi, malainkan hasil dari negosiasi antar individu dalam bahasa.

3. Berpikir Proses Pengambilan Peran Orang Lain. (Thinking: The Process Of Taking

The Role Of Other)

Teori ketiga yang diangkat Blummer ialah “interpretasi individu mengenai symbol (nonverbal signs) dibentuk oleh pemikirannya sendiri .dalam hal ini, konsep minding yaitu proses dialog dalam diri individu untuk memilah, “melatih” dan mengantisipasi tindakan (verbal dan nonverbal) Yang akan dilakukan sebelum memberikan respon terhadap individu lain atau situasi dan objek.

Blumer dalam teorinya yang ketiga menggambarkan manusia sebagai individu yang memiliki kapasitas untuk “mengambil peran dari orang lain” yang berarti proses dimana kita secara sadar menilai diri sendiri melalui pandangan orang lain. Kita menciptakan sebuah standar yang harus dicapai oleh diri kita- ksuksesan, kebahagiaan, dll- dan dalam tahap tertentu kita berusaha membayangkan apa yang orang lain pikirkan jika melihat diri kita- sukseskah kita dimata mereka? Bahagiakah kita?, normalkah? Dll-. Proses tersebut ikut membentuk konsep mengenai diri individu.

E-Self: Bayangan Di Cermin (E-Self, Reflection In The Mirror)

Mead menegaskan bahwa konsep diri dibentuk oleh masyarakat sosial serta merupakan hasil dari “Asimilasi Pandangan Kelompok Inti/ Significant Others”. Dengan kata lain, “Self”/ diri individu tidak muncul dari lahir, melainkan hasil dari interaksi dengan orang lain. Sebagai contoh,seorang anak yang selalu

Universitas Sumatera Utara dibesarkan secara positif oleh orang tuanya, selalu beri kata-kata positif bahwa ia disayangi, dicintai, dll akan tumbuh menjadi individu positif yang memiliki konsep diri yang baik pula. (Jurnal http://reviewkomunikasi.blogspot.com/)

Teori interaksionisme simbolik berorientasi pada prinsip bahwa orang-orang yang merespon makna yang mereka bangun sejauh mereka berinteraksi satu sama lain. setiap individu merupakan agen aktif dalam dunia sosial, yang tentu saja dipengaruhi oleh budaya dan organisasi sosial, bahkan ia juga menjadi instrumen penting dalam produksi budaya, masyarakat dan hubungan yang bermakna yang mempengaruhi mereka. Mead dan pengikutnya menggunakan banyak konsep untuk menyempurnakan cara lahirnya makna melalui interaksi dalam kelompok sosial. Contohnya berbicara tentang simbol signifikan dengan makna yang sama, aksi yang terkoordinasi adalah tidak mungkin. Konsep penting lainnya dalam interaksionisme simbolik adalah orang lain yang signifikan yaitu orang yang berpengaruh dalam kehidupan seseorang, lalu orang lain yang digeneralisasikan yakni konsepnya tentang bagaimana orang lain merasakannya dan tata cara yang dipakai yaitu pembentukan perilaku setelah perilaku orang lain. (Ardianto, 2007: 136). Fokus pengamatan teori-teori ini tidak terhadap struktur, tetapi tentang bagaimana bahasa dipergunakan untuk membentuk struktur sosial serta bagaimana bahasa dan simbol-simbol lainnya direproduksi, dipelihara, serta diubah dalam penggunaanya. ( Bugin, 2008: 250)

Bagi Blumer Interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka

2. Makna tersebut berasal dan “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”

Universitas Sumatera Utara Blumer menyatakan bahwa bagi seseorang, makna dari sesuatu berasal dari cara-cara orang lain bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu. Tindakan-tidakan yang mereka lakukan akan melahirkan batasan sesuatu bagi orang lain. (Poloma,2000: 259)

Menurut Mead orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Interaksi-simbolis dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai satu-satunya simbol terpenting dan melalui isyarat. Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada dalam proses yang kontinu. Dalam interaksi orang belajar memahami simbol-simbol yang konvensional, dan dalam suatu pertandingan mereka belajar menggunakannya sehingga mampu memahami peranan aktor-aktor lainnya. (Poloma,2000: 257)

Teori dramatisme (Dramatism theory) dimana teori dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan teori ini adalah Kenneth Burke (1968). Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu (Ardianto. 2007: 148).

Dari semua perspektif yang diterapkan dalam studi komunikasi manusia, barangkali yang bersifat manusiawi adalah teori interaksionisme simbolik. Perspektif ini menonjolkan keagungan dan nilai individu diatas nilai pengaruh yang lainnya. Manusia di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, bersosialisasi dengan msyarakat, dan menghasilkan buah pikiran tertentu. Tiap

Universitas Sumatera Utara bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Inilah karateristik utama dari seluruh perspektif ini (Ardianto, 2007: 40)

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. (Wibowo, 2011:5)

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan “tanda”. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Umberto eco menyebut tanda sebagai “kebohongan” dimana dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi dibaliknya dan bukan merupakan tanda itu sendiri. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstuksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. (Sobur, 2004:67)

Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang

Universitas Sumatera Utara tersembunyi dibalik sebuah teks. Tanda-tanda (sign) adalah basis atau dasar dari seluruh komunikasi, kata pakar Littlejhon yang terkenal dengan bukunya: “theories on Human Behaviour” (1996). Menurutnya, manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini. Sedangkan menurut Umberto Eco, kajian semiotika sampai sekarang membedakan dua jenis semiotika yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Dimana semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan. Sedangkan semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya. (Wibowo, 2011: 6-7).

Pada dasarnya menelaah dengan pendekatan semiotika tidak lepas dari peranan pembaca dalam proses komunikasi melalui karya sastra. Karena sebagaimana diungkapkan Foulkes keseluruhan faktor dalam proses komunikasi dan pemahamannya mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca. (Fananie,2001:140)

Semiotika komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari tanda. Charles Sander Peirce menegaskan bahwa kita hanya bisa berfikir dengan sarana tanda.

Dokumen terkait