• Tidak ada hasil yang ditemukan

HEMATOLOGI DAN RESPONS IMUN IKAN NILA

2 Indek Fagositosis

Aktifitas fagositosis dievaluasi menggunakan metode Zhang et al. (2008) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 100 µL suspensi Staphylococcus aureus

kepadatan 107 cfu/mL dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, ditambahkan 200 µL darah dengan heparin dan dihomogenkan menggunakan vortex, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30 oC. 1 mL salin ditambahkan ke dalam tabung dan dihomogenkan. Solusi homogenat disentrifus dengan 3.000 g selama 5 menit, 1 mL supernatan diambil kemudian dibuang, sisa solusi dihomogenkan kembali. Diambil satu tetes homogenat, dibuat preparat ulas di atas slide glass. Preparat difiksasi dengan metanol selama 2-3 menit, kemudian dicuci dengan akuades, preparat dikeringanginkan, tahap akhir preparasi diwarnai dengan pewarna giemsa. Preparat diamati di bawah mikroskop. Persen Fagositosis (PP) dan Indek Fagositosis (IP) dihitung menggunakan rumus:

PP =(N1/100)x100 IP = N2/100 Keterangan :

N1 N2

: total jumlah fagosit yang memakan (engulf) bakteri secara acak dari 100 fagosit yang terhitung.

: total jumlah bakteri yang dimakan oleh fagosit dari 100 fagosit yang terhitung.

3 Uji Respiratory Burst (Metode NBT-Assay)

Produksi oksigen radikal dari fagositosis dalam darah dapat dilihat dengan pewarnaan nitroblue tetrazolium (NBT) seperti yang dilakukan Anderson dan Siwicki (1995). 0,1 mL sampel darah dengan heparin diletakkan pada tabung efendorf dan ditambahkan 0,1 mL 0,2% NBT, suspensi NBT- sel darah diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Kemudian 0,05 mL sampel suspensi NBT-sel darah dipindahkan ke dalam tabung gelas yang berisi 1 mL N,N- dimethylformamide solution (DMS). Suspensi disentrifus selama 5 menit pada 3.000 g. Supernatan dipisahkan, dimasukkan dalam tabung kuvet dan dibaca menggunakan spektrofotometer. NBT akan direduksi oleh formazan pada reaksi dengan radikal oksigen yang diproduksi dari neutrofil dan monosit. Analisis produksi radikal oksigen dengan menggunakan NBT dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm.

4 Aktifitas Lisosim

Aktifitas lisosim diuji menggunakan lyso-plate assay menurut Lie et al.

(1989) dan Gassent et al. (2004) dengan melihat zona lisis dari bakteri

Micrococcus lysodeikticus. Metode ini dilakukan dengan membuat sumur (2 mm) pada media agar cawan yang berisi bakteri M. lysodeikticus (50 mg/mL), setiap sumur diisi plasma darah sebagai serum uji kemudian diberi bufer fosfat 5 L (14,04 g/L KH2PO4; 5,2 g/L Na2HPO4, pH 6,2). Cawan diinkubasikan pada 25 oC selama 20 jam, untuk pembentukan zona lisis.

5 Aktifitas Komplemen

Aktifitas komplemen (Complement consumption assay) dilakukan menggunakan metode Vivas et al. (2005) yang dimodifikasi. Sebanyak 200 µ L serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri A. hydrophila (109 cfu/mL) dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 200 µL suspensi bakteri S. agalactiae (109 cfu/mL) dicampurkan dengan PBS steril dalam 1,5 mL tabung eppendorf. Sebanyak 200 µL serum ikan dan 100 µL suspensi bakteri A. hydrophila dan 100 µL suspensi bakteri S. agalactiae

tabung eppendorf hanya diisi dengan PBS. Tabung diinkubasi selama 1,5 jam pada suhu 16 oC. Ditambahkan 400 µL PBS ke dalam setiap tabung dan suspensi difilter menggunakan filter 0,22 µm.

Larutan hasil filtrasi dimasukkan ke dalam mikrotiter 25 µL, ditambahkan secara serial (serial two-fold dilutions) 2% suspensi rabbit red blood cells

(RaRBC) dalam PBS yang kemudian diinkubasi selama 1,5 jam pada 16 oC. Tahap selanjutnya ditambahkan 100 µL 0,9% salin dingin (ice-cold), dan sel diendapkan dengan cara disentrifus (1.400 g, 5 menit, 4 oC). Absorban supernatan dilihat dengan 405 nm. 100% hemolisis diperoleh dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 175 µL akuades, dan aktifitas lisis (spontaneous lysis) diperoleh dengan menambahkan 25 µL RaRBC dan 50 µL PBS, setelah 1 jam diinkubasi ditambahkan 100 µL 0,9% salin. Aktifitas komplemen dihitung dengan melihat hemolisis pada RaRBC, hasil dimasukkan dalam rumus berikut :

x 100%

6 Titer Antibodi

Titer diukur menggunakan aglutinasi langsung (direct aglutination) terhadap antigen- antibodi perlakuan. Nilai titer dimasukkan dalam hitungan log 2. Tes aglutinasi dilakukan pada mikrotiter 96 sumur dengan dasar sumur

berbentuk huruf „U‟. Serum ikan perlakuan vaksin sebagai antibodi dimasukkan ke dalam sumur no 1 (kontrol positif) dan sumur no 2 masing-masing 100 µL, kemudian dilakukan pengenceran seri (serially two-fold diluted) dalam PBS 100 µL (pH 7,2) sampai sumur ke-11, pada sumur ke-12 hanya diisi PBS (kontrol negatif). Pengujian kelompok pertama dengan menambahkan antigen ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog A. hydrophila. Kelompok kedua, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 100 µL bakteri homolog S. agalactiae. Kelompok terakhir, menambahkan ke dalam sumur ke-1 sampai sumur ke-12 sebanyak 50 µL bakteri

(107 cfu/mL). Mikrotiter yang berisi antibodi dan antigen kemudian diinkubasi semalaman pada suhu ruang dan titer aglutinasinya dihitung.

Hasil dan Pembahasan

Beberapa parameter imunitas seperti kadar hemoglobin, hematokrit, aktifitas fagositosis, lisosim, dan aktifitas Respiratory burst (NBT-positif) dapat dijadikan parameter evaluasi untuk melihat respons ikan terhadap infeksi bakteri maupun pemberian imunostimulan (Zhang et al. 2012).

1 Kadar Hemoglobin

Hemoglobin merupakan metaloprotein (protein yang mengandung zat besi) di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen. Molekul hemoglobin terdiri dari globin, apoprotein, dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi.

Gambar 23 Kadar hemoglobin ikan Nila pascavaksinasi dengan sediaan vaksin monovalen dan bivalen.

( ) monovalen A. hydrophila,( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.

Pengaruh vaksinasi pada ikan Nila dengan beberapa sediaan vaksin monovalen dan bivalen yang diaplikasikan melalui suntik terhadap parameter hemoglobin darah ikan dapat dilihat pada Gambar 23. Dua kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 7- 10 g 100 mL-1 rata-rata peningkatan kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah vaksinasi (P<0,05).

0 2 4 6 8 10 12 1 3 6 9 12 15 18 21 H em ogl obi n (g % )

Hemoglobin darah ikan mengalami fluktuasi dan cenderung semakin menurun setelah adanya perlakuan injeksi vaksin karena adanya pengurangan sel darah merah dan adanya penambahan jumlah plasma darah yang mengakibatkan kadar warna merah darah berkurang, proses ini merupakan respons normal ikan terhadap adanya suatu perubahan lingkungan maupun serangan agen penyakit. Pada suhu perairan 15-30 oC kadar hemoglobin ikan Nila normal berkisar antara 7,5-8 g 100 mL-1 (Sherif & Feky 2009).

2 Hematokrit Darah

Hematokrit merupakan persentase volume eritrosit dalam darah ikan, bila hematokrit 30 (30%) berarti darah terdiri dari 30% eritrosit dan 70% plasma dan leukosit. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37 perlakuan vaksin monovalen S. agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada perlakuan vaksin bivalen broth di level 17 (Gambar 24).

Gambar 24 Persen hematokrit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen.

( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.

Eritrosit merupakan salah satu sel darah merah yang berperan dalam proses pengangkutan material di dalam tubuh ikan. Perubahan persentasi hematokrit dalam darah terjadi karena adanya proses fisiologis tubuh yang bereaksi terhadap adanya antigen yang masuk. Pada suhu perairan 15-30 oC kadar hematokrit ikan Nila normal berkisar antara 24,1-25,0% (Sherif & Feky 2009).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1 3 6 9 12 15 18 21 H em at okr it ( % )

3 Indek Fagositosis

Kemampuan fagositosis dilihat dari persentase fagositosis nilai dan indek fagosit. Hasil penghitungan indek fagositosis terlihat bahwa perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki kemampuan fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol (P<0,05) (Gambar 25 dan 26).

Gambar 25 Persentase fagosit darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen.

( ) monovalen A. hydrophila,( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.

Ikan memiliki mekanisme pertahanan sendiri terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh. Vaksinasi yang diberikan berupa vaksin aktif yaitu komponen penyusunnya berasal dari bakteri dan debris bakteri yang telah diinaktifasi, apabila masuk ke dalam aliran darah diduga akan dikenali sebagai antigen dan merangsang respons imun spesifik yang kemudian jika terpapar lebih lama akan membentuk suatu memori dengan dibentuknya respons imun spesifik.

Respons imun non spesifik akan mengalami fluktuasi pada sesaat setelah invasi antigen dalam hitungan hari, sedangkan respons imun spesifik akan terbentuk dalam hitungan minggu. Kedua respons imun ini memegang peranan penting dalam mekanisme tanggap kebal dari ikan terhadap serangan patogen (Skinner et al. 2010). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 3 6 9 12 15 18 21 p er sen tase fag o sito sis ( %)

Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang bekerja sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh bakteri sebagai sel asing. Hasil analisis indek fagosit dan persen fagositosis dari perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen.

Gambar 26 Indek fagositik darah ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen.

( ) monovalen A. hydrophila, ( ) Monovalen S. agalactiae, ( ) bivalen sel utuh, ( ) bivalen ECP, ( ) bivalen sel utuh+ECP, ( ) bivalen crude supernatan, ( ) bivalen broth, ( ) kontrol.

4 Respiratory Burst (NBT-Assay)

Aktifitas produksi oksigen radikal superoksida (O-2) pada aktifitas fagositosis dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan NBT. Pada hasil penelitian diketahui bahwa pemberian perlakuan vaksin dapat meningkatkan kemampuan sel fagosit dalam melawan antigen. Nilai Optical density (OD) perlakuan vaksin berbeda nyata (P<0,05) jika dibandingkan dengan kontrol namun jika dibandingkan dengan antar perlakuan maka yang memberikan pengaruh terbaik terhadap nilai NBT adalah perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila. Antar perlakuan vaksin bivalen tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (P<0,05). Nilai NBT pada awal perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan terjadi rata-rata pada

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 1 3 6 9 12 15 18 21 in d ek f ag o sitik

pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke-12 setelah vaksinasi. Hasil pengamatan nilai NBT dapat dilihat pada Gambar 27.

Nilai NBT semakin tinggi menunjukkan bahwa produksi radikal oksigen bebas pada aktifitas respiratory burst semakin besar. Produksi radikal bebas ini digunakan untuk melawan patogen. Ikan mempunyai mekanisme membunuh sel- sel fagosit melalui oksigen bebas dalam vakuola lisosom yang mampu meningkatkan permeabilitas sel bakteri sehingga bisa menyebabkan masuknya substansi dan cairan dalam sel bakteri yang kemungkinan bisa menyebabkan plasmolisis.

Gambar 27 NBT-assay dari ikan Nila hasil vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dan bivalen.

Radikal oksigen toksik ini dengan cepat dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang memiliki sifat bakterisidal yang kuat. Karakter radikal oksigen yang bersifat toksik terhadap patogen ini diduga pula dikonversi menjadi radikal hidroksi (OH-) yang memiliki kemampuan mendegradasi membran lipid antigen.

Penurunan aktifitas NBT mengindikasikan adanya kontaminan dan infeksi yang kronis atau ikan sedang dalam kondisi stres. Peningkatan NBT dapat mengindikasikan bahwa perlakuan penyuntikan vaksin telah efektif merangsang

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 1 3 6 9 12 15 18 21 O D N B Tass ay ( 540nm )

perlakuan vaksin (hari)

Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae

Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan

sistem kekebalan tubuh ikan (Anderson 2004). Neutrofil dan sel fagositik yang teraktivasi dapat menghasilkan absorbans 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit.

Hasil analisis NBT terhadap ikan yang diberi vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan suatu peningkatan jumlah oksidatif radikal jika dibanding dengan kontrol, dengan semakin tinggi nilai NBT maka kemampuan sel fagosit dalam aktifitas respiratory burst semakin tinggi.

Oksigen radikal bebas dihasilkan pada saat fagositosis melalui aktifitas

respiratory burst. Hasil dari nilai NBT perlakuan vaksin bivalen lebih tinggi dibanding kontrol, maka penggunaan vaksin bivalen yang diaplikasikan melalui injeksi pada ikan Nila tidak mengakibatkan hambatan dalam pembentukan respons imun, walaupun nilainya tidak setinggi NBT dari vaksin monovalen.

Sediaan vaksin bivalen yang merupakan formula vaksin yang menggunakan bakterin dari bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila (Gram negatif) dan S. agalactiae (Gram positif) dari sel dan hasil metabolitnya tidak menimbulkan pengaruh imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai NBT (penurunan aktifitas respiratory burst).

5 Aktifitas Lisosim

Respons imun alami merupakan pertahanan pertama terhadap serangan infeksi patogen, mencegah perlekatan antigen, invasi, atau multiplikasi dari patogen infeksius. Salah satu kunci utama dalam respons imun alami adalah aktifitas lisosim. Analisis aktifitas lisosim dilakukan untuk melihat pengaruh injeksi vaksin monovalen dan bivalen terhadap sistem imun alami dan perolehan pada ikan Nila. Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim dan titer antibodi terhadap antigen spesifik.

Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan dengan perlakuan vaksin monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin (Gambar 28). Aktifitas lisosim sebelum perlakuan berkisar antar 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan mengalami fluktuasi

sesudahnya. Berdasarkan hasil analisis perlakuan bivalen sel utuh, bivalen sel utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga dengan perlakuan kontrol (P<0,05).

Gambar 28 Aktifitas lisosim serum ikan Nila pascavaksinasi.

( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( ) bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol

Pada masa induksi vaksin hari ketiga sampai hari kesembilan terlihat adanya peningkatan aktifitas lisosim yang menandakan bahwa ada reaksi respons imun dari ikan Nila terhadap vaksin monovalen dan bivalen yang diberikan secara injeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh, dan bivalen sel utuh+ECP memiliki rata-rata peningkatan aktifitas lisosim lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol yaitu 9; 10; 12 pada hari ke-3, 12; 8; 10 pada hari ke-6, dan 7; 7; 6 pada hari ke-9.

Lisosim merupakan lisin yang berfungsi sebagai penghancur membran sel, biasanya terdapat dalam cairan mukus, serum, jaringan yang kaya kandungan leukositnya (ginjal anterior), dan bagian tubuh ikan yang rentan terhadap serangan mikroorganisme (kulit, insang, saluran pencernaan, anus). Lisosim merupakan

enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β (14) antara N-acetylmuramic acid dan N-acetylglucosamine yang merupakan konstituen penyusun lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri.

0 2 4 6 8 10 12 14 1 3 6 9 12 15 18 21 Z ona l isi s a kt if it as l isos im (m m )

Ikan memiliki lisosim yang berfungsi sebagai respons imun alami, yang mampu melisis bakteri Gram negatif dan Gram positif (Yano 1996). Lisosim berperan dalam opsonisasi yang merupakan kunci utama untuk respons inflamasi dengan adanya aktifasi sistem komplemen dan fagositisis. Pada saat proses inflamasi, makrofag dan granulosit polimorf nuklear memakan dan menghancurkan patogen target dibantu oleh kerja lisosim.

6 Aktifitas Komplemen

Aktifitas komplemen dilihat dari kemampuan hemolisis terhadap RaRBC (Rabbit Red Blood Cells). Kemampuan komplemen meningkat seiring dengan peningkatan pembentukan titer antibodi, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis hemolisis komplemen pada minggu ketiga lebih tinggi dibandingkan rata-rata hemolisis komplemen pada minggu kedua dan minggu pertama setelah vaksinasi. Aktifitas komplemen perlakuan vaksin berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol yang hanya menggunakan PBS sebagai solusi uji (P<0,05).

Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh lebih tinggi (pengenceran ke-2 dan ke-3) dibandingkan dengan serum dari perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik pada minggu ke-1, minggu ke-2, maupun minggu ke-3 (pengenceran ke-4). Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan rata-rata hemolisis 60-80% pada pengenceran ke-1 (Gambar 29). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke 14 pascavaksinasi.

Komplemen adalah komponen penting dari tanggapan kebal adaptif dan bawaan pada ikan. Komponen komplemen non-aktif akan diaktifkan dan diubah menjadi serine protease aktif akhirnya yang akan mendorong sel neutrofil dan makrofag untuk melakukan opsonisasi atau mengarahkan pembunuhan patogen melalui aktifitas peradangan. Sistem komplemen memegang peran penting di dalam respons tanggap kebal dan proses peradangan dengan menarik sel fagosit ke lokasi luka atau infeksi (Holland & Lambris 2002).

Gambar 29 Aktifitas komplemen serum ikan Nila pascavaksinasi dengan vaksin monovalen dan bivalen yang diinaktifasi menggunakan 3% bufer formalin. (a) minggu ke-1, (b) minggu ke-2, (c) minggu ke-3.

Komplemen dapat diinisiasi melalui tiga jalur yaitu melalui jalur klasik (classical complement pathway atau CCP), jalur alternatif (alternate complement

0 20 40 60 80 100 120 1x 2x 4x 8x 16x 32x % H em ol isi s

Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-1

0 20 40 60 80 100 120 1x 2x 4x 8x 16x 32x % H em ol isi s

Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-2

0 20 40 60 80 100 120 1x 2x 4x 8x 16x 32x % H em ol isi s

Aktifitas komplemen perlakuan vaksin minggu ke-3

Monovalen A. hydrophila Monovalen S. agalactiae

Bivalen Sel utuh Bivalen ECP Bivalen Sel utuh+ECP Bivalen Supernatan

Bivalen Broth Kontrol

a

b

pathway atau ACP), dan melalui jalur lektin (lectin complement pathway / LCP). Jalur klasik berasosiasi dengan imunitas dapatan yang dirangsang oleh aktifitas perlekatan permukaan antigen, membentuk ikatan antigen-antibodi komplek (Holland & Lambris 2002).

7 Titer Antibodi

Titer antibodi ikan Nila (Gambar 30, 31, dan 32) dengan perlakuan vaksin monovalen maupun bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kontrol (P<0,05). Hasil pengamatan antar perlakuan vaksin maka diperoleh data yang menunjukkan perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta gabungan sel utuh+ECP memiliki titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji tantang dengan bakteri tunggal maupun bakteri gabungan (ko-infeksi) pada nilai 6, dan 5 (log 2) dibanding dengan bivalen (ECP, crude supernatan, dan broth).

Hasil titer antibodi menunjukkan bahwa perlakuan vaksinasi monovalen ternyata lebih tinggi dalam membentuk respons imun dengan mencapai nilai 7 (log 2) untuk monovalen A. hydrophila dan nilai 5 (log 2) untuk monovalen S. agalactiae jika dibandingkan dengan vaksin bivalen semua sediaan ketika uji tantang dengan bakteri tunggal. Hasil titer antibodi terhadap uji tantang gabungan (ko-infeksi) menunjukkan nilai titer yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan proteksi vaksin bivalen.

Rata-rata titer antibodi setiap perlakuan terjadi peningkatan pada minggu ke-2 pascavaksinasi, beberapa perlakuan puncak titer tertinggi diperoleh pada masa minggu ke-3 dan pada saat dilakukan uji tantang terlihat bahwa titer antibodi mengalami penurunan yang kemudian diikuti adanya peningkatan kembali pada masa pemulihan yaitu 2 minggu setelah uji tantang.

Titer antibodi mencerminkan kemampuan tubuh ikan terhadap infeksi bakteri melalui respons imun spesifik. Semakin tinggi nilai titer maka diharapkan kemampuan perlindungan terhadap infeksi juga menjadi tinggi. Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri.

Gambar 30 Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin A. hydrophila.

( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( ) bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol

Gambar 31 Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan bakterin S. agalactiae.

( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( ) bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol

Gambar 32 Titer antibodi serum ikan Nila (O. niliticus) pascavaksinasi yang di tantang dengan gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. ( ) monovalen A. hydrophila ( ) Monovalen S. agalactiae ( )

bivalen sel utuh ( ) bivalen ECP ( ) bivalen sel utuh+ECP ( ) bivalen crude supernatan ( ) bivalen broth ( ) kontrol

0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5

masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-

T iter an tib o d i ( lo g 2 )

Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)

0 1 2 3 4 5 6 0 1 2 3 4 5

masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-

T it er an ti b o d i ( lo g 2 )

Perlakuan vaksin (inaktifasi dengan 3% bufer formalin)

0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5

masa induksi vaksin minggu ke - masa uji tantang minggu ke-

T iter an tib o d i ( lo g 2 )

Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Ikatan komplek bersama antara antibodi dan toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah (Skinner 2009).

Simpulan dan Saran

Berdasarkan analisis hematologi dan imunologi serum ikan yang diberi perlakuan vaksin menunjukkan hasil bahwa :

1. Vaksinasi menggunakan vaksin monovalen dapat meningkatkan respons imun spesifik dan non spesifik lebih tinggi jika dibandingkan dengan vaksin bivalen untuk proteksi infeksi tunggal.

2. Vaksin bivalen sel utuh dan sel utuh+ECP memberikan respons imun spesifik maupun non spesifik terbaik terhadap perlakuan ko-infeksi jika dibandingkan dengan monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae.

Vaksin yang memberikan respons imun terbaik adalah bivalen sel utuh+ECP dari gabungan bakterin A. hydrophila dan S. agalactiae. Respons imun ini digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat proteksi secara menyeluruh pada ikan Nila, pada tahap selanjutnya perlu dilakukan uji tantang dengan infeksi tunggal maupun ko-infeksi bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae untuk mengetahui efektifitas vaksin terhadap kelangsungan hidup ikan Nila.

EFIKASI VAKSIN BIVALEN TERHADAP PENYAKIT

Dokumen terkait