• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus kematian ikan akibat infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dan

Streptococcus sp. menjadi penghambat keberhasilan produksi budidaya ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Indonesia. Hasil isolasi bakteri pada organ ginjal, otak, dan luka menunjukkan keberadaan A. hydrophila sebesar 100% dan ko-infeksi

Streptococcus sp. sebesar 20% pada budidaya ikan Nila di Karamba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata.

Gejala klinis ikan yang terinfeksi MAS dan Streptococcosis menunjukkan adanya eksoptalmi, warna tubuh gelap, bola mata menonjol dan berwarna putih (opaque), perut gembung apabila dibedah terdapat cairan berwarna bening pada rongga perut (asites), perdarahan (hemorrhage), sirip gripis dan pangkal sirip berwarna pucat, ginjal dan hati berwarna pucat, serta saluran intestin kosong. Hasil pengamatan histopatologi organ otak menunjukkan suatu kongesti dan perdarahan (hemorrhage), terdapat suatu infiltrasi limfosit diantara tubuli ginjal dan ada sel yang nekrosis sehingga membentuk deformasi sel, terdapat melano macrofage centre (MMC) pada organ limpa yang bersifat multifokal.

Bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae dapat tumbuh bersinergi pada media agar maupun media cair. Karakter pertumbuhan bakteri yang bersinergi diduga bahwa kedua jenis bakteri tidak memiliki enzim yang dapat menghambat pertumbuhan satu sama lain dan tidak saling berkompetisi dalam pemanfaatan media untuk tumbuh.

Perlakuan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae pada ikan Nila dengan perbandingan komposisi cfu/mL bakteri yang berbeda menunjukkan adanya penurunan jumlah hemosit darah dan peningkatan plasma darah pada setiap perlakuan, jika dibandingkan dengan kontrol terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05), namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan infeksi tunggal A. hydrophila dan infeksi tunggal S. agalactiae. Jumlah monosit, neutrofil, dan limfosit mengalami fluktuasi membentuk suatu homeostasi total leukosit dengan rata-rata terlihat adanya peningkatan jumlah limfosit dan monosit serta adanya penurunan jumlah neutrofil jika dibandingkan dengan kontrol.

Fluktuasi homeostasis tersebut menunjukkan adanya aktifitas pertahanan non spesifik dari ikan Nila berupa peningkatan monosit darah yang berfungsi sebagai sel fagosit (makrofag) yang akan memfagositosis antigen bakteri dalam tubuh ikan. Peningkatan jumlah limfosit menunjukkan bahwa ada aktifitas pertahanan selular spesifik yang memungkinkan adanya pembentukan antibodi atau memori pada ikan yang dapat bertahan dari serangan ko-infeksi A. hydrophila dan S. agalactiae. Nilai indeks fagositik yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada setiap perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan aktifitas fagositik dari ikan terhadap adanya serangan infeksi bakteri.

Hasil ko-infeksi menyebabkan kematian bervariasi antara 33-50% dengan waktu inkubasi 2-12 hari. Infeksi tunggal bakteri A. hydrophila maupun bakteri S. agalactiae lebih mematikan daripada ko-infeksi dengan tingkat kematian 13-80%. Kematian ikan yang terjadi setelah diinfeksi dengan A. hydrophila menunjukkan kematian lebih cepat yaitu jam ke-6 pascainjeksi dengan jumlah kematian mencapai 100%. Kematian ikan yang cepat disebabkan karena adanya toksin mematikan (lethal toxic) dari produk ekstraselular bakteri A. hydrophila yang menjadi salah satu faktor virulensi dari jenis bakterin tersebut. Nilai LD50 ko- infeksi diperoleh dari campuran 50:50 bakteri A. hydrophila dalam TSA (24 jam) dengan S. agalactiae dalam BHIA (72 jam).

Infeksi Streptococcosis bersifat sub-akut dengan rata-rata kematian terjadi 3-8 hari pascainfeksi. Infeksi MAS bersifat akut dan kronis, kematian akut terjadi 1-3 hari pascainfeksi dan kematian kronis terjadi >8 hari pascainfeksi dengan jumlah kematian ikan antara 20-100%.

Jenis antibiotik yang dapat menanggulangi jenis bakteri A. hydrophila

adalah Tetrasiklin dan Kloramfenikol, sedangkan untuk menanggulangi S. agalactiae adalah Eritromisin, Novobiosin, Klindamisin, Sefalotin, Tetrasiklin, Kloramfenikol, Metisilin, dan Ampisilin. Kejadian ko-infeksi dari kedua jenis bakteri yaitu A. hydrophila dan S. agalactiae hanya dapat ditanggulangi dengan menggunakan antibiotik Tetrasiklin dan Kloramfenikol.

Kedua jenis bakteri penyebab MAS dan Streptococcosis sebenarnya masih dapat ditanggulangi dengan perlakuan antibiotik, akan tetapi dilihat dari hasil uji

bahwa antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri adalah dari jenis antibiotik yang sudah dilarang penggunaannya dan masuk dalam kriteria obat keras menurut Komisi Obat Indonesia (KOI), maka perlu dilakukan upaya pencegahan melalui imunostimulasi menggunakan imunostimulan maupun vaksin.

Pembuatan vaksin bivalen dimulai dengan menginokulasi bakteri A. hydrophila dalam media BHI, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 24 jam pada suhu 28 oC. Bakteri S. agalactiae diinokulasi dalam media TSB, diinkubasi dalam inkubator dengan shaker selama 72 jam pada suhu 28 oC. Kultur bakteri diinaktifasi dengan menambahkan bufer formalin sebanyak 3% v/v (NBF atau neutral buffer formalin 10% ; dibuat dengan mencampurkan 0,4 g NaH2PO4+0,65 g Na2HPO4+10 mL formaldehid 37%+90 mL akuades steril) kemudian diaduk menggunakan magnet pengaduk selama 4 jam. Sel utuh bakteri in-aktif diperoleh dengan mensentrifus pada 3.000 g selama 30 menit dengan suhu 4 oC, pelet (endapan) sel dipisahkan dari supernatan, kemudian pelet sel diresuspensi dengan salin (NaCl 0,845%, pH 7). Produk ekstraselular (ECP) A. hydrophila diperoleh dengan menyaring supernatan hasil sentrifus menggunakan filter steril 0,45 μm, dan ECP S. agalactiae menggunakan filter steril 0,22 μm. Sediaan vaksin hasil inaktifasi disimpan pada suhu 4 oC. Sediaan vaksin bivalen diperoleh dengan mencampurkan sediaan A. hydrophila dengan sediaan S. agalactiae 1:1 v/v.

Sediaan vaksin bivalen (sel utuh, produk ekstraselular/ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, broth) yang diinaktifasi dengan bufer formalin 3% aman dan steril untuk digunakan. Berat protein sediaan vaksin A. hydrophila dari jenis sediaan sel utuh adalah 0,43 dan 0,53 mg/mL, sediaan ECP 1,93 mg/mL, sediaan crude supernatan 1,99 mg/mL, serta sediaan broth 2,12 mg/mL. Pita protein untuk sediaan sel utuh A. hydrophila terdapat 14 pita yaitu 119,57; 94,39; 82,76; 72,57; 58,81; 45,22; 40,71; 32,99; 26,73; 22,83; 19,00; 17,10; 15,00; dan 12,81 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan crude

supernatan terdapat 3 pita yaitu 94,39; 55,80 dan 17,10 kDa. Sediaan broth

Pita protein untuk sediaan sel utuh S. agalactiae terdapat 10 pita yaitu 111,86; 83,42; 79,09; 58,98; 54,45; 43,99; 23,20; 18,74; 17,77; dan 15,97 kDa. Sediaan ECP terdapat 2 pita yaitu 83,42 dan 21,99 kDa. Sediaan crude supernatan terdapat 3 pita yaitu 83,42; 58,98; dan 21,99 kDa. Sediaan broth terdapat 4 pita yaitu 111,86; 79,09; 23,20; dan 18,74 kDa. Hasil dari karakterisasi protein A. hydrophila menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa jumlah pita protein terbanyak berturut-turut terdapat pada sel utuh, broth, crude supernatan, dan ECP. Hematologi dan respons imun dari dua kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen memiliki kadar hemoglobin yang berkisar antara 7-11 g dengan rata-rata peningkatan (P<0,05) kadar hemoglobin terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah vaksinasi. Nilai hematokrit tertinggi pada level 37 perlakuan vaksin monovalen S. agalactiae, sedangkan hematokrit terendah pada perlakuan vaksin bivalen broth di level 17. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila, bivalen sel utuh dan bivalen sel utuh+ECP memiliki kemampuan fagositosis lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan vaksin lain dan kontrol (P<0,05). Aktifitas fagositosis dapat terjadi apabila ada reaktif oksigen yang bekerja sendiri maupun bersama-sama dengan enzim lisosim dalam membunuh bakteri sebagai sel asing. Hasil analisis persen fagositosis dan indek fagosit dari perlakuan vaksin monovalen dan bivalen menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan kontrol, mengindikasikan bahwa pemberian vaksin dapat meningkatkan kemampuan bakterisidal serum ikan terhadap invasi antigen.

Nilai NBT pada awal perlakuan berkisar antara 0,261-0,315, peningkatan produksi oksigen radikal terjadi rata-rata pada pengamatan hari ke-6, ke-9, dan ke- 12 setelah vaksinasi. Neutrofil dan sel fagositik yang teraktifasi dapat menghasilkan absorbans 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit. Sediaan vaksin bivalen merupakan formula vaksin yang menggunakan bakterin dari bakteri Gram yang berbeda A. hydrophila (Gram negatif) dan S. agalactiae

(Gram positif) dari sel dan hasil metabolitnya tidak menimbulkan pengaruh imunosupresi yang biasanya ditandai dengan penurunan nilai NBT (penurunan aktifitas respiratory burst).

Perlakuan injeksi vaksin monovalen atau bivalen diharapkan dapat memicu sistem imun untuk bersinergi dalam meningkatkan aktifitas lisosim, dan titer antibodi terhadap antigen spesifik. Aktifitas lisosim dideteksi dari serum ikan dengan perlakuan vaksin monovalen, bivalen, dan tanpa vaksin. Aktifitas lisosim sebelum perlakuan berkisar antara 3-5 mm. Kemampuan aktifitas lisosim meningkat pada hari ke-3 sampai hari ke-6 setelah pemberian vaksin, dan mengalami fluktuasi sesudahnya. Hasil analisis perlakuan vaksin bivalen sel utuh, bivalen sel utuh+ECP dan monovalen A. hydrophila berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan vaksin monovalen dan bivalen lainnya dan berbeda nyata juga dengan perlakuan kontrol (P<0,05).

Kemampuan konsumsi komplemen dalam melisis RaRBC oleh serum dari ikan yang divaksin monovalen A. hydrophila, S. agalactiae dan bivalen sel utuh lebih tinggi (pengenceran ke-2 dan ke-3) dibandingkan dengan serum dari perlakuan vaksin bivalen ECP, crude supernatan, broth, maupun kontrol, baik pada minggu ke-1, minggu ke-2, maupun minggu ke-3 (pengenceran ke-4). Kemampuan komplemen dalam melisis RaRBC meningkat pada minggu ke-2 dan ke-3 dengan rata-rata hemolisis 60-80% pada pengenceran ke-1, menunjukkan bahwa kemampuan komplemen akan meningkat pada hari ke-14 pascavaksinasi.

Titer antibodi ikan Nila dengan perlakuan vaksin monovalen maupun bivalen menunjukkan perbedaan yang nyata dibanding dengan kontrol (P<0,05). Perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh serta gabungan sel utuh+ECP memiliki titer antibodi yang lebih tinggi, baik pada uji tantang dengan bakteri tunggal maupun bakteri gabungan (ko-infeksi) pada nilai 6 (log 2), dan 5 (log 2) dibanding dengan bivalen (ECP, crude supernatan, dan broth).

Kelompok perlakuan vaksin monovalen dan bivalen yang diuji tantang dengan bakteri tunggal A. hydrophila, bakteri tunggal S. agalactiae, dan ko- infeksi A. hydrophila+S. agalactiae menunjukkan bahwa perlakuan sediaan vaksin monovalen S. agalactiae dan A. hydrophila, bivalen sediaan sel utuh, sel utuh+ECP dan broth sama-sama memberikan respons imun non spesifik terbaik. Kelompok perlakuan vaksin bivalen maupun monovalen dapat meningkatkan respons imun non spesifik dengan nilai rata-rata kenaikan yang hampir sama,

namun berbeda nyata dalam kemampuannya meningkatkan respons imun spesifik (P<0,05). Nilai titer antibodi yang merupakan parameter uji respons imun spesifik menunjukkan bahwa sediaan vaksin ini terutama untuk monovalen A. hydrophila

dan monovalen S. agalactiae hanya mampu bereaksi terhadap bakteri homolog. Rata-rata kematian harian ikan Nila yang divaksin dengan vaksin monovalen A. hydrophila dan diuji tantang dengan bakteri A.hydrophila tingkat kematiannya rendah (10%), sedangkan yang diuji tantang dengan S. agalactiae

dan ko-infeksi tingkat kematiannya tinggi (80% dan 90%). Kematian harian perlakuan monovalen A. hydrophila yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Kematian rata-rata tertinggi kelompok ikan yang divaksin monovalen S. agalactiae terjadi pada 4-7 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan ko-infeksi. Rata- rata kematian ikan terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang, dengan tingkat kematian 20% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri S. agalactiae, kematian 60% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan bakteri A. hydrophila, dan kematian 80% untuk kelompok ikan yang diuji tantang dengan ko-infeksi. Perlakuan vaksin monovalen A. hydrophila maupun monovalen S. agalactiae terbukti hanya dapat memproteksi ikan dari uji tantang terhadap bakteri yang sama, tidak ada proteksi silang untuk bakteri lainnya, hal ini terlihat dari kematian ikan yang tinggi setelah uji tantang dengan bakteri berbeda.

Kematian ikan yang divaksin bivalen dengan sediaan sel utuh, ECP, gabungan sel utuh+ECP, crude supernatan, maupun broth, relatif lebih tahan terhadap uji tantang dengan bakteri tunggal maupun ko-infeksi. Kematian harian perlakuan vaksin bivalen berbeda nyata dengan kontrol (P<0,05). Jika dibandingkan antar perlakuan vaksin bivalen maka perlakuan vaksin bivalen sediaan sel utuh dengan gabungan sel utuh+ECP tidak berbeda nyata (P>0,05) namun berbeda nyata dengan perlakuan vaksin bivalen sediaan ECP, crude

supernatan, dan broth (P<0,05). Kematian rata-rata tertinggi terjadi pada 4-8 hari pascauji tantang dengan bakteri A. hydrophila, S. agalactiae dan ko-infeksi.

Busch (1997) menjelaskan bahwa ada proteksi silang antar antigen (keberadaan satu antigen dapat memberikan proteksi terhadap antigen yang

berbeda, bahkan terhadap antigen yang tidak memiliki keterkaitan), kompetisi antigenik (keberadaan satu antigen mempengaruhi atau menekan aktifitas antigen lain), dan terjadi imunodominansi antar antigen (setiap sub unit antigen determinan terlibat dalam proses pengikatan atau reaksi dengan antibodi) semua faktor tersebut dapat mempengaruhi spesifitas, aviditas, dan tingkat produksi antibodi spesifik (Abs).

Hasil analisis beberapa parameter hematologi pada ikan Nila setelah vaksinasi dan uji tantang dengan bakteri tunggal maupun ko-infeksi menunjukkan adanya perubahan dalam kadar hematokrit, hemoglobin, indeks fagositik, persentase fagosit, titer antibodi, nilai NBT (aktifitas respiratory burst), aktifitas lisosim dan konsumsi komplemen. Rata-rata perlakuan vaksin monovalen dan bivalen berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol dalam respons imun spesifik maupun non spesifik.

Nilai RPS tertinggi (100) didapat dari perlakuan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh+ECP yang diuji tantang oleh bakteri tunggal A. hydrophila. Nilai RPS terkecil (2,7) didapat dari perlakuan vaksin bivalen crude

supernatan yang diuji dengan bakteri ko-infeksi. Nilai RPS pada perlakuan uji tantang dengan bakteri ko-infeksi secara keseluruhan menunjukkan bahwa sediaan vaksin bivalen sel utuh serta gabungan bivalen sel utuh+ECP memiliki nilai RPS yang sama (56,7).

Dokumen terkait