Dari ketiga jenis produk olahan kukus tadi (bolu kukus, brownies kukus dan kue talam), selanjutnya dipilih dua produk untuk dianalisis indeks glikemiknya. Pemilihan dua jenis produk tersebut didasarkan pada hasil analisis kimia yang telah dilakukan pada produk yaitu parameter pendukung indeks glikemik seperti kadar protein, lemak, amilosa, serat pangan dan daya cerna pati.
Berdasarkan analisis kimia pada ketiga produk olahan kukus, diperoleh bahwa pengujian indeks glikemik dilakukan terhadap bolu kukus dan brownies kukus terbaik. Hal ini dikarenakan bolu kukus dan brownies kukus memiliki nilai daya cerna pati lebih rendah (Gambar 13) dan memiliki kadar protein lebih tinggi daripada kue talam (Tabel 12). Kedua faktor ini dapat memberikan pengaruh terhadap nilai indeks glikemik produk selain kadar lemak, serat pangan dan amilosa.
Bolu kukus dipilih untuk dianalisis indeks glikemiknya daripada kue talam karena walaupun kadar lemak kue talam lebih tinggi daripada bolu kukus (Tabel 12), konsumsi lemak harus tetap dibatasi. Disamping itu, kadar amilosa (Gambar 11) dan serat pangan larut (Gambar 12) bolu kukus tidak jauh berbeda dengan kue talam sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap IG-nya.
Pengujian indeks glikemik (IG) dilakukan dengan menggunakan darah manusia sebagai subjek penelitian (in vivo). Manusia merupakan subjek yang umum digunakan dalam penelitian IG karena metabolisme manusia sangat rumit sehingga sulit ditiru secara in vitro (Ragnhild et al., 2004). Perekrutan panelis dilakukan melalui upaya sosialisasi kegiatan penelitian kepada beberapa mahasiswa IPB. Mahasiswa yang bersedia menjadi panelis diminta untuk menandatangani formulir kesediaan (tanpa paksaan) dan mengikuti penjelasan secara lengkap mengenai tujuan dan prosedur penelitian.
Panelis yang digunakan berjumlah 16 orang (8 pria dan 8 wanita). Selanjutnya panelis dibagi menjadi dua grup masing-masing 8 orang (4 pria dan 4 wanita) untuk menguji kedua sampel yang berbeda. Setiap grup
mempunyai standar glukosa masing-masing (glukosa A dan glukosa B). Grup A menguji bolu kukus dan grup B menguji brownies kukus. Syarat- syarat panelis yang digunakan adalah sehat, tidak menderita diabetes dan memiliki nilai IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan kisaran normal (18-25). Seleksi ini dimaksudkan untuk meminimalisasi variasi yang mungkin timbul antar panelis.
Setiap panelis diberikan sampel berupa bolu kukus dan brownies kukus yang jumlahnya setara dengan 50 gram karbohidrat. Berdasarkan analisis proksimat, kadar karbohidrat (by difference) bolu kukus dan brownies kukus sebesar 54.33 % (bb) dan 51.71 % (bb). Dengan demikian untuk mendapatkan 50 gram karbohidrat setiap panelis mendapatkan 92 gram bolu kukus dan 97 gram brownies kukus. Pangan standar yang digunakan adalah 50 gram glukosa bubuk yang dilarutkan dalam 240 ml air (IG = 100).
Pengambilan darah dilakukan dari pembuluh darah kapiler jari tangan karena darah yang diambil dari pembuluh kapiler memiliki variasi kadar glukosa darah antar panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena (Ragnhild et al., 2004). Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan menggunakan alat glucometer. Glukosa yang terdapat dalam darah akan bereaksi dengan enzim glucose oxidase (GOD) dan potassium ferrycianide yang terdapat dalam test strip menghasilkan potassium ferrocyanide. Jumlah potassium ferrocyanide yang dihasilkan setara dengan jumlah glukosa yang terdapat dalam sampel (Arkray Inc., 2001 dalam Bernard, 2005).
Indeks glikemik dihitung sebagai perbandingan antara luas kurva respon glukosa darah setelah mengkonsumsi sampel (bolu kukus dan brownies kukus yang jumlahnya setara dengan 50 gram karbohidrat) dan standar (glukosa murni) dikalikan dengan 100. Hasil pengukuran respon kadar glukosa darah panelis dan perubahan kadar glukosa darah panelis setelah mengkonsumsi standar (glukosa murni) dan sampel (bolu kukus dan brownies kukus) dapat dilihat pada Tabel 14, Tabel 15 dan Lampiran 11, sedangkan grafik perubahan kadar glukosa darah setelah
mengkonsumsi standar (glukosa) dan sampel (bolu kukus dan brownies kukus) dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Tabel 14. Respon Kadar Glukosa Darah Panelis (mg/dl) Setelah Mengkonsumsi Standar (Glukosa) dan Sampel (Bolu Kukus dan Brownies Kukus)a
Makanan Puasa 30 SMb 60 SMb 90 SMb 120 SMb
Glukosa A 86 137 136 122 108
Bolu kukus 88 129 104 96 90
Glukosa B 87 144 136 111 93
Brownies kukus 84 95 95 99 92
a Hasil rata-rata dari 8 panelis b
SM = setelah makan, angka di depan SM menunjukkan waktu (menit) Tabel 15. Perubahan Kadar Glukosa Darah Panelis (mg/dl) Setelah
Mengkonsumsi Standar (Glukosa) dan Sampel (Bolu kukus dan Brownies Kukus)
Makanan 30 SMa 60 SMa 90 SMa 120 SMa Glukosa A 51 50 36 22 Bolu kukus 41 16 8 2 Glukosa B 57 49 24 6 Brownies kukus 11 11 15 8 a
SM = setelah makan, angka di depan SM menunjukkan waktu (menit)
Menurut Foster-powell, et al. (2002), bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai indeks glikemiknya, yaitu sebagai berikut: (a) bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55); (b) bahan pangan dengan nilai IG sedang (55-69) dan (c) bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70). Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa bolu kukus ubi jalar terbaik memiliki nilai IG rata-rata 46±9 dan brownies kukus ubi jalar terbaik memiliki nilai IG rata-rata 29±9. Nilai IG kedua produk olahan kukus ini tidak jauh berbeda dengan nilai IG produk yang dikemukakan oleh Foster-Powell et al. (2002) dimana nilai IG sponge cake (plain) adalah 46±6 dan chocolate cake (chocolate frosting) adalah 38±3.
Dengan demikian bolu kukus dan brownies kukus berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai indeks glikemik rendah (<55). Menurut Ragnhild et al. (2004), bahan pangan yang memiliki nilai IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Kedua produk ini dapat dijadikan alternatif diet khususnya bagi penderita diabetes melitus dan obesitas.
0 10 20 30 40 50 60 0 30 60 90 120 150
Waktu sampling kadar glukosa darah (menit)
P e ruba ha n k a da r gl uk os a da ra h ( m g/ dl ) glukos a bolu kukus
Gambar 14. Grafik Perubahan Kadar Glukosa Darah Setelah Mengkonsumsi Bolu Kukus Ubi Jalar Terbaik
0 10 20 30 40 50 60 0 30 60 90 120 150
waktu sampling kadar glukosa darah (menit)
pe ruba h a n k a da r gl u k os a da ra h ( m g/ dl ) glukos a brownies kukus
Gambar 15. Grafik Perubahan Kadar Glukosa Darah Setelah Mengkonsumsi Brownies Kukus Ubi Jalar Terbaik
Indeks glikemik (IG) hanya memberikan informasi mengenai kecepatan perubahan karbohidrat menjadi glukosa darah. IG tidak memberikan informasi mengenai banyaknya karbohidrat dan dampak pangan tertentu terhadap kadar glukosa darah. Kelemahan IG akan tampak bila membandingkan kandungan karbohidrat pada pangan yang berbeda. Beban glikemik dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai pengaruh konsumsi pangan aktual terhadap peningkatan kadar glukosa darah.
Beban glikemik bertujuan untuk menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan. Beban glikemik (BG) didefinisikan sebagai IG pangan dikalikan dengan kandungan karbohidrat pangan tersebut per takaran saji dikalikan 100. Oleh karena itu, BG menggambarkan kualitas dan kuantitas karbohidrat dan interaksinya dalam pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Beban glikemik bolu kukus dan brownies kukus dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Beban Glikemik Bolu kukus dan Brownies kukus terbaik Makanan IG Takaran saji (g) Karbohidrat/ takaran saji (g) BG Klasifikasi IG dan BG
Bolu kukus 46 30 16.30 7 rendah
Brownies kukus 29 30 15.51 4 rendah Keterangan : IG = indeks glikemik; BG = beban glikemik
Konsumsi bolu kukus sebesar 30 gram akan menghasilkan karbohidrat sebesar 16.30 gram. Dengan demikian beban glikemik rata- rata bolu kukus bila nilai IG rata-ratanya 46 adalah 7. Konsumsi brownies kukus sebesar 30 gram akan menghasilkan karbohidrat sebesar 15.51 gram. Dengan demikian beban glikemik brownies kukus bila nilai IG rata- ratanya 29 adalah 4 (Tabel 16). Bahan pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai beban glikemiknya adalah sebagai berikut: (a) bahan pangan dengan nilai BG rendah (<10); (b) bahan pangan dengan nilai BG sedang (11-19) dan (c) bahan pangan dengan nilai BG tinggi (>20). Bolu kukus dan brownies kukus berbahan dasar tepung ubi jalar klon
BB00105.10 digolongkan sebagai pangan yang memiliki beban glikemik rendah (<10).
Banyak faktor yang mempengaruhi tinggi ataupun rendahnya nilai indeks glikemik (IG) suatu bahan pangan diantaranya adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, kadar gula, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Menurut Ragnhild et al. (2004), faktor- faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya indeks glikemik suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dan protein, jumlah dan jenis lemak, kadar gula dan serat pangan serta bentuk fisik dari bahan pangan.
Nilai IG brownies kukus lebih rendah daripada bolu kukus. Hal ini dikarenakan brownies kukus memiliki kadar protein (5.24 % bb), lemak (18.77 % bb) dan serat pangan larut (3.50 % bb) yang lebih tinggi serta daya cerna pati (21.05 %) yang lebih rendah daripada bolu kukus. Walaupun kadar amilosa bolu kukus (13.55 % bb) lebih tinggi daripada brownies kukus (7.54 % bb), kedua produk tersebut masih digolongkan ke dalam produk yang berkadar amilosa rendah (<20), sehingga tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai IG-nya.
Pangan yang mengandung protein dan lemak tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat. Dengan demikian konsumsi lemak dan protein dapat menghambat proses pencernaan pati akibatnya kadar glukosa darah tidak mengalami kenaikan secara cepat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak dan protein tinggi, indeks glikemiknya cenderung rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Namun pangan berlemak tinggi, apapun jenisnya dan walaupun memiliki nilai IG rendah perlu dikonsumsi secara bijaksana.
Keberadaan serat pangan ternyata memberikan pengaruh pada kadar glukosa darah (Fernandes, 2005). Dalam bentuk utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Serat dapat
memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan khususnya pati menjadi lambat dan respon glukosa darah pun akan lebih rendah. Dengan demikian IG-nya cenderung lebih rendah. Tingginya kadar serat pangan larut pada produk dapat bermanfaat bagi penderita diabetes melitus karena dapat mereduksi absorpsi glukosa usus (Prosky dan De Vries, 1992).
Daya cerna pati rendah cenderung menurunkan aktivitas glikemik. Brownies kukus yang komponen utamanya tepung ubi jalar memiliki nilai daya cerna pati lebih rendah dibandingkan bolu kukus disebabkan oleh terhalangnya granula pati oleh serat, pati resisten, protein dan lemak sehingga sulit dicerna oleh enzim-enzim amilolitik manusia dan menyebabkan penurunan waktu transit makanan pada usus halus. Daya cerna pati yang rendah berarti hanya sedikit jumlah pati yang dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa dan maltosa dalam waktu tertentu. Dengan demikian kadar glukosa di dalam darah tidak mengalami kenaikan secara drastis sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Oleh karena itu pangan yang memiliki daya cerna pati rendah, indeks glikemiknya cenderung rendah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Bolu kukus dan brownies kukus berbahan dasar tepung ubi jalar klon BB00105.10 tergolong pangan yang memiliki nilai indeks glikemik dan beban glikemik rendah dan bisa dijadikan alternatif diet khususnya bagi penderita diabetes melitus dan obesitas. Nilai IG rata-rata bolu kukus dan brownies kukus ubi jalar berturut-turut 46±9 dan 29±9. Apabila kedua produk tersebut masing-masing dikonsumsi sebesar 30 gram maka BG-nya berturut-turut 7 dan 4. Brownies kukus memberikan respon glikemik lebih baik daripada bolu kukus karena didukung oleh kadar protein (5.24 % bb), lemak (18.77 % bb) dan serat pangan larut (3.50 % bb) yang lebih tinggi serta daya cerna pati (21.05 %) yang lebih rendah daripada bolu kukus.
B. SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menduga umur simpan produk olahan kukus berbahan dasar tepung ubi jalar tersebut.
Perlu penelitian serupa untuk mengetahui indeks glikemik pangan olahan lain khususnya pangan olahan asli Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adijuwana, T. D. 2005. Pemanfaatan Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) untuk Mendukung Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ainah, N. 2004. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Biji Bunga Teratai Putih (Nymphae pubescens Willd) dan Aplikasinya pada Pembuatan Roti.. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aini, N. 2006. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk-Produknya untuk
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. http://tumoutou.net/pps702_9145/nuraini.html. [ 29 Maret 2006].
Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
American Dietetic Association. 1999. Functional Foods-Position of ADA J.Am. Diet. Assoc (42) 7: 1278-1285.
Anwar, F., B. Setiawan dan A. Sulaeman. 1993. Studi Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Pati dan Tepung Ubi Jalar serta Pemanfaatannya dalam Rangka Diversifikasi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC.
Asp, N. G., C. G. Johanson, H. Halmer and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476 – 482.
Astawan, M. dan S. Widowati. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi Jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Laporan Penelitian RUSNAS. Bogor.
Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Starch and Its Determination. Di dalam: Proceedings of The Workshop on Chemical Aspects of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos. pp 232-247.
BeMiller, J. N. and R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam: Fennema, O. R (Ed.). Food Chemistry 3rd Ed. Marcel Dekker Inc., New York. Pp 157- 224.
Bernard. 2005. Deskripsi flavour, Sifat Fisiko-Kimia dan Indeks Glikemik Beras Panjang dari Lahan Gambut Pasang Surut Aluh-Aluh, Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Brand-Miller, J. 2000. Carbohydrates. Di dalam : Mann, J. dan A.S. Truswell (Eds.). Essentials of human nutrition, 2nd Ed. Oxford University Press, Oxford, pp. 231-255.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wotton. 1981. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh: H. Purnomo dan Adiono. UI-Press, Jakarta.
Budijanto, S. , N. Andarwulan dan D. Herawati. 2001. Modul Praktikum Kimia dan Teknologi Lipida. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cataldo, C. B, J. R. Nyenhuis and E. N. Whitner. 1989. Nutritional and Diet Therapy, Principles and Practice. Ed ke-2. St. Paul : West Pub Comp. Clydesdale, F.M. 1999. ILSI North America Food Component Reports. Crit. Rev.
Food Sci. Nutr. 39 (3): 203-316.
Colagiuri, S. 1997. Carbohydrates and Glycemic Index-Effect on Glucose Insulin and Lipid Metabolism. Summary Report of a Regional Symposium Held in Singapore on June 26, 1997.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Djuanda, V. 2003. Optimasi Formulasi Cookies Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Dziedzic, S. Z. and M. W. Kearsley. 1998. The Technology of Starch Production. Di dalam Hoseney, R. C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology (2nd ed). American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.
El, S. N. 1999. Determination of Glycemic Index for Some Breads. Journal of Food Chemistry. 67 : 67 – 69.
Fadilah, N. 2004. Pengaruh Pengolahan dan Penyimpanan Mi Instan Berbahan Dasar Terigu- Tepung Singkong- Tapioka serta Penambahan CMC (Carboxymethyl Cellulose) terhadap Daya Cerna Pati Secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Fennema, O.R. 1985. Food Chemistry 2nd Ed. Marcel Dekker., Inc., Westport, Connecticut.
Fernandes, G.A. Velangi and T.M.S. Wolever. 2005. Glycemic Index of Potatoes Commonly Consumed in North America. J. Am. Diet. Assoc. 105:557- 562.
Foster-Powell, K., S.H.A. Holt and J. C. Brand-Miller. 2002. International Table of Glycemic Index and Glycemic Load Values. Am. J. Clin. Nutr. 76: 5- 56.
Friska, T. 2002. Penambahan Sayur Bayam (Amaranthus tricolor L.), Sawi (Brassica juicea L.) dan Wortel (Daucus carota L.) pada Pembuatan Crackers Tinggi Serat Makanan. Skripsi. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Goldberg, I. 1994. Functional Food. Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals Disease. Chapman Hall, New York.
Harris, R.S. dan R.S. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB, Bandung.
Indrasti, D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Jahari, A dan I. Sumarno. 2001. Tingkat Konsumsi Serat Penduduk di Indonesia. Media Gizi dan Keluarga. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Juanda, D.J. dan B. Cahyono. 2000. Ubi Jalar : Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Juliano, B. O. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose Measurement. Journal of Cereal Science Today. 16: 334-336.
Kadarisman, D. dan A. Sulaeman. 1993. Teknologi Pengolahan Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Diktat yang tidak dipublikasikan. Pusat Antar Universitaas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kay, D.E. 1973. Root Crops. Tropical Product Institut, London.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Lemak dan Minyak. UI Press, Jakarta. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan
Perilaku Fisik Bahan Pangan Lokal: Kerapatan Tumpukan, Kerapatan Pemadatan dan Bobot Jenis. Media Peternakan Vol.22. No1:1-11.
Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. 1st Ed. Diterjemahkan oleh A. Parakkasi. UI Press, Jakarta.
Lingga, P., B. Sarwono, F. Rahardji, P. C. Rahardja, J. J. Afiastini, W. Rini dan W. H. Apriadji. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Penebar Swadaya, Jakarta.
Lukman, A.H. 1992. Pengaruh Perajangan dan Lama Pengukusan Biji Saga Pohon (Adenanthera pavonine L) Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak yang Dihasilkan pada Proses Ekstraksi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Manley, D.J.R. 1983. Technology of Biscuit, Crackers and Cookies. Ellis Harwood Limited, London.
Matz, S. A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pan-tech International Inc., Texas.
---and T. D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Incorporation. Westport, Connecticut.
Meilgaard, M., G. V. Civille and B. T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques 3rd Ed.. CRC Press, Boca Raton.
Meyer, L.H. 1973. Food Chemistry. Affiliated East-West PVT. Ltd., New Delhi. Miller, J. B., E. Pang, and L. Bramall. 1992. Rice: High or Low Glycemic Index
Food. Am. J. Cli. Nutr. (56): 1034-1036.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
--- dan I. G. Sumartha. 1992. Formulasi dan Evaluasi Mutu Makanan Anak Balita dari Bahan Dasar Tepung Singkong dan Pisang. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Pangan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
--- N. S. Palupi dan M. Astawan. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Murano, P.S. 2003. Understanding Food Sciences and Technology. Wadworth/Thomson Lerning. Belmont. USA.
Ningrum, E. N. 1999. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Ubi Jalar Kaya Vitamin A. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Penfield, M.P., and A..M.,Campbell. 1990. Experimental Food Science (3rd Ed.). Academic Press. San Diego, California.
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic Press, Inc., New York.
Prosky, L and J.W. De Vries. 1992. Controlling Dietary Fiber in Food Product. Van Nostrad Reinhold, New York.
Ragnhild, A.L., N.L. Asp, M. Axelsen, and A. Raben. 2004. Glycemic Index Relevance for Health, Dietary Recommendations, and Nutritional Labeling. Scandinavian Journal of Nutrition. 48 (2) : 84-94.
Rahayu, W. P. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rimbawan dan Siagian, A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar: Budi Daya dan Pasca Panen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Rungkat, F.Z., H.D. Kusumaningrum, B.S.L. Jenie. 1993. Pengembangan Produk Minuman Yakult dari Kacang Merah dan Kacang Tolo serta Evaluasi Komponen Anti-nutrisi dan Nilai Hayatinya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sardesai, V.M. 2003. Introduction to Clinical Nutrition, 2nd Ed. Marcel Dekker, Inc., New York.
Soekarto, S. T. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Penerbit Bharata Karya Aksara, Jakarta.
Steinbauer, L.E and L.J., Kushman. 1971. Sweet Potato Culture and Diseases. Agriculture Handbook No. 338. Agriculture Research Service, United States Departemen of Agriculture, USA.
Subarna. 1992. Baking Technology. Pelatihan Singkat Prinsip-Prinsip Teknologi Bagi Food Inspector. Pusat Antar Universitas Pangan dan gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
--- 1996. Formulasi Produk-Produk Serealia dan Umbi-Umbian untuk Produk Ekstrusi, Bakery, dan Penggorengan. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Produk-produk Olahan, Ekstrusi, Bakery, dan Frying. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Kantor Menteri Urusan Pangan, Jakarta.
Suismono, 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati Ubi-Ubian untuk Menunjang Ketahanan Pangan. Di dalam: Majalah Pangan No. 37/X/Juli/ 2001. Puslitbang Bulog, Jakarta.
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief dan Halid, 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tharanthan, R. N. and S. Mahadevamma. 2003. Grain Legumes a Boon to Human Nutrition. Trends in Food Science and Technology. Vol. 14 (12): 507-518. Thenawijaya, M. 1997. Dasar-Dasar Biokimia Jilid I. Erlangga, Jakarta.
Tjokroprawiro, A. 2001. Diabetes Melitus: Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi ketiga. PT. Gramedia. Pustaka Utama, Jakarta.
Truswell, A.S. 1992. Glycemix Index of Food. Eur. J. Clin. Nutr. 46 (Suppl:2):S91-S101.
U.S. Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan, Jakarta.
Vonny. 2006. Bakery, beda cara beda Rasa. http://www.detikfood.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/01/tgl/0
2/time/16135/idnews/510398/idkana/296. [15 maret 2006]. Wardlaw, G.M. 1999. Perspective in Nutrition. Mc-Graw Hill, Boston.
Widodo, Y. 1989. Prospek dan Strategi Pengembangan Ubi Jalar Sebagai Sumber Devisa. Jurnal Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Bogor. Widowati, S., Suismono, Suarni, Sutrisno, dan O. Komalasari. 2002. Petunjuk
Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian, Jakarta.
Willett, W., Manson, J. and Liu, S. 2002. Glycemic Index, Glycemic Load and Risk of Type 2 Diabetes. Am. J. Clin. Nutr . 76(1):274S-280S.
Winarno, F. G. 1981. Bahan Pangan Terfermentasi. Kumpulan Pikiran dan Gagasan Tertulis. Pusbangtepa, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
--- 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Woolfe, J. A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and Hall, New York.
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga semakin bergeser. Kini, bahan pangan yang mulai banyak diminati oleh konsumen bukan hanya yang memiliki komposisi gizi yang baik, citarasa yang enak, penampakan yang menarik tetapi juga bersifat fungsional untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, memperbaiki fungsi fisiologis atau membantu menyembuhkan penyakit.
Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan menjadi pemicu semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang menderita penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, kanker dan diabetes melitus. Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya cenderung meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi DM