BAB IV HASIL PENELITIAN
5.2 Indeks Glikemik
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menjumlahkan masing-masing luas bangun, diperoleh nilai indeks glikemik cookies tepung talas belitung yaitu sebesar 79,9%. Menurut Jenny Miller dalam Waspadji (2003), nilai indeks glikemik dikatagorikan menjadi tiga kelompok yaitu pangan IG rendah dengan rentang nilai IG <55, pangan IG sedang (intermediate) dengan rentang nilai IG 55-70, dan pangan IG tinggi dengan rentang nilai IG >70. Berdasarkan pengkategorian tersebut dapat diketahui bahwa cookies yang diteliti termasuk ke dalam kelompok pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi (>70). Indeks glikemik cookies tepung talas belitung lebih tinggi dibandingkan dengan indeks glikemik umbi talas belitung rebus yaitu 50. Hal ini diduga karena pada proses pembuatan cookies tepung talas belitung, dilakukan pengilingan terhadap umbi talas belitung kering untuk menghasilkan tepung talas belitung sebagai bahan pembuatan cookies tepung talas belitung. Tepung talas belitung memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan umbi talas utuh. Hal ini menyebabkan struktur cookies menjadi lebih lembut, mudah untuk dicerna dan diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini memaksa pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh Karena itu, kadar glukosa darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Osman, dkk., 2001 dalam Rimbawan dan Siagian, 2004).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pangan diantaranya adalah cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan
amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar anti gizi pangan (Rimbawan & Siagian 2004).
Cara pengolahan mempengaruhi nilai indeks glikemik suatu bahan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Akhyar (2009), dimana pengolahan pratanak pada beras varietas ciherang menurunkan nilai indeks glikemik beras tersebut menjadi 44,22. Ukuran partikel mempengaruhi proses gelatinisasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin besar luas permukaan total pangan. Selama pemasakan, air, dan panas dapat memperbesar ukuran granula pati. Beberapa granula terpisah dari molekul pati dan bila sebagian besar granula pati telah mengembang maka akan tergelatinisasi penuh. Granula yang mengembang dan molekul pati bebas ini sangat mudah dicerna karena enzim pencernaan pati di dalam usus halus mendapatkan permukaan yang lebih luas untuk kontak dengan enzim. Reaksi cepat dari enzim ini menghasilkan peningkatan kadar gula darah yang cepat (Rimbawan & Siagian 2004).
Hasil analisis kadar amilosa menunjukkan bahwa cookies tepung talas belitung memiliki kadar amilosa sebesar 17,92%. Kadar amilosa masih tergolong rendah sehingga sebagian besar pati merupakan amilopektin. Pangan yang memiliki kadar amilopektin lebih tinggi mengakibatkan respon gula darah lebih tinggi karena lebih mudah dicerna oleh enzim. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Nurbayani (2013), gembili kukus yang memiliki kadar amilosa rendah (1,77%), memiliki nilai indeks glikemik tinggi (87,56). Penelitian sebelumnya menunjukkan
untuk menurunkan glukosa darah dan respon insulin (Behall & Hallfrisch, 2002 dalam Septiyani, 2012).
Indeks glikemik pangan juga dipengaruhi oleh komposisi zat gizi seperti kadar serat kasar, kadar lemak, dan protein. Kadar serat terutama kadar serat pangan larut mempengaruhi nilai IG. Menurut Chandalia et al.(2000), peningkatan konsumsi serat pangan, terutama serat pangan larut dapat menurunkan kolesterol plasma, dan meningkatkan kontrol glikemik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Margareth (2006), kue bawang yang memiliki serat larut (4,68%) lebih tinggi dari pada serat pangan larut yang terdapat pada biji ketapang (2,76%) memiliki nilai indeks glikemik rebih rendah.
Hasil analisis kadar serat kasar pada cookies tepung talas belitung yaitu 1,15%. Serat kasar mempertebal kerapatan atau ketebalan campuran makanan dalam saluran pencernaan. Hal ini memperlambat laju makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim. Dengan demikian, proses pencernaan menjadi lambat, sehingga respon glukosa darah lebih rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Walaupun kadar serat kasar pangan pada cookies lebih tinggi dari ketetapan SNI, namun belum menunjukkan pengaruh terhadap penurunan nilai IG.
Proses pencernaan kompleks antara karbohidrat dan protein atau lemak lebih lambat dibandingkan dengan karbohidrat saja (Waspadji et al. 2003). Menurut Rimbawan & Siagian (2004), pangan berkadar lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung. Dengan demikian laju pencernaan makanan di usus halus juga diperlambat dan respon glikemik menjadi lebih rendah.
Hasil analisis kadar protein pada cookies tepung talas belitung menunjukkan bahwa cookies tepung talas belitung memiliki kadar protein 8,58%. Kadar protein pada cookies tepung talas belitung masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan ketetapan dari SNI yaitu minimal 9%.
Menurut Fernandes et al. (2005) dalam Septiyani (2012), kadar protein tidak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap indeks glikemik walaupun mempunyai potensi untuk menurun nilai indeks glikemik pangan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Karimah (2011), yang menunjukkan bahwa bubur formula tepung emulsi yang ditambahkan isolat protein kedelai dan putih telur dengan kadar protein 17,45% memiliki nilai indeks glikemik tinggi yaitu 93,96 dan penelitian yang dilakukan oleh Septiyani (2012), tiwul instan tinggi protein dengan kadar protein 23,45% memiliki nilai indeks glikemik yang masih tergolong tinggi yaitu 71,92.
Hasil analisis kadar lemak pada cookies tepung talas belitung yaitu 28,30%. Kadar lemak pada cookies tepung talas belitung lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak pada cookies ganyong yaitu 36,19%. Lemak berperan dalam laju pengosongan lambung. Hasil penelitian Wolever & Bolognesi (1996) dalam Septiyani (2012), menunjukkan bahwa lemak dalam jumlah besar (50 g lemak) dapat menurunkan respon glukosa darah dan respon insulin. Namun, pangan berlemak tinggi apapun jenisnya dan walaupun memiliki nilai IG rendah perlu dikonsumsi secara bijaksana.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN