• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Indeks Glikemik

2.1.2 Pengukuran Indeks Glikemik Pangan

Beberapa pilihan metodelogi harus dilakukan dalam pengukuran IG, seperti metode pengambilan sampel darah, pemilihan dan pengulangan makanan acuan, verifikasi kandungan karbohidrat yang tersedia dari makanan, jumlah dan jenis subjek, dan perhitungan IAUC (Simila, 2012).

Menurut FAO (1998), pengambilan sampel darah yang direkomendasikan untuk mengukur IG adalah pengambilan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan darah pada pembuluh darah kapiler lebih mudah untuk didapatkan, selain itu kenaikan glukosa darah di plasma vena lebih besar dari darah kapiler.

Pangan acuan yang digunakan untuk mengukur indeks glikemik pangan adalah roti putih atau glukosa murni (FAO, 1998). Pemberian pangan acuan dan pangan uji dalam pengukuran IG dilakukan dalam waktu yang berbeda dengan subjek yang sama untuk mengurangi efek keragaman respon glukosa darah dari hari ke hari. Untuk mendapatkan respon rata-rata yang representatif untuk pangan acuan, dianjurkan untuk melakukan pengukuran IG pangan acuan secara berulang untuk setiap subjek.

Dalam pengukuran indeks glikemik, porsi makanan yang diuji harus mengandung 50g karbohidrat (FAO, 1998). Untuk mendapatkan nilai yang setara dengan 50g karbohidrat dalam pangan acuan ataupun pangan uji perlu dilakukan pengujian karbohidrat untuk memverifikasi kandungan karbohidrat yang terdapat dalam pangan tersebut.

Perhitungan IAUC merupakan salah satu hal yang paling penting dalam pengukuran nilai indeks glikemik pangan. Sejumlah metode yang berbeda telah digunakan untuk menghitung daerah di bawah kurva. Untuk sebagian besar data indeks glikemik, area di bawah kurva telah dihitung sebagai daerah tambahan di bawah kurva respon glukosa darah (IAUC), dengan mengabaikan daerah di bawah konsentrasi puasa. Hal ini dapat dihitung secara geometris dengan menerapkan aturan trapesium (FAO, 1998). Menurut Rimbawan dan Siagiaan (2004), luas daerah

satu titik yang diberikan oleh puncak respon glukosa darah. Para ahli statistik menganjurkan penggunaan luas area dibawah kurva sebagai angka yang menggambarkan respon glukosa darah secara benar.

Menurut Monro dan Shaw (2008), pengukuran nilai indeks glikemik pangan dapat menggunakan rumus sebagai berikut:

IG = IAUC food IAUC glucose x Wt Glucose Wt Available Carbohydrate x 100% Dimana � � � � ℎ = 50� 50� = 1 dengan demikian, IG = IAUC food IAUCglucose x 100% Keterangan: IG : Indeks Glikemik

IAUC food : Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap pangan uji

IAUC glucose :Luas area dibawah kurva respon glukosa darah setelah 2 jam terhadap glukosa murni (pangan acuan)

Wt : Berat (gr)

Menurut Miller, dkk (1996) dalam Rimabawan dan Siagian (2004), prosedur penentuan indeks glikemik pangan adalah sebagai berikut:

a. Pangan tunggal yang akan dientukan indeks glikemiknya (mengandung 50 gram karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjaani puasa penuh (kecuali air) selama ± 10 jam (sekitar pukul 22.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya). b. Selama dua jam pasca-pemberian (atau tiga jam bila relawan menderita diabetes),

sampel darah sebanyak 50 µL – finger-prick capillary blood samples method – diambil setiap 15 menit pada jam pertama, kemudian 30 menit pada jam kedua

yaitu berturut-turut pada menit ke 0 (sebelum pemberian), 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 untuk diukur kadar glukosanya. Kadar glukosa dapat diukur dengan metode glucose oxidase peroxidase reagent.

c. Pada waktu yang berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan pangan acuan (50gr glukosa murni atau white bread) diberikan kepada relawan. Hal ini dilakukan sebanyak dua kali (dilakukan pada hari lain, minimal tiga hari setelah perlakuan pertama) untuk mengurangi efek keragaman respon gula darah dari hari ke hari.

d. Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu waktu (x) dan kadar glukosa darah (y).

e. Indeks glikemik ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur indeks glikemiknya dengan pangan acuan. 2.2 Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium)

Talas belitung (Xanthosoma sagittifolium) berasal dari wilayah tropika Amerika Timur. Talas belitung bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan di Indonesia dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik ditanam liar maupun dibudidayakan. Saat ini kimpul telah dibudidayakan di daerah-daerah di Indonesia diantaranya, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur (Marinih, 2005 dalam Rafika dkk., 2012). Walaupun telah dibudidayakan secara teratur oleh para petani namun pembudidayaannya juga terbilang masih sangat sedikit. Pembudidayaan tanaman ini pada umumnya diusahakan petani di pekarangan sekitar rumah dan di kebun-kebun.

Talas belitung termasuk family Araceae, merupakan tumbuhan berbunga (Spermatophyta) yang buahnya berbiji tertutup (Angiospermae), berkeping satu (Monocotylae). Family Araceae lainnya adalah santé (Alacasia sp.) dan talas Bogor (Colocasia sp.). Menurut Animal Feed Resources Information System (2005) dalam Kartika (2006) taksonomi kimpul adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbunga) Sub divisio : Angiospermae (tumbuhan berbiji tertutup) Kelas : Monocotylae (tumbuhan berbiji tunggal) Ordo : Arales

Familia : Araceae Genus : Xanthosoma

Spesies : Xanthosoma sagittifolium

Tujuan pokok bertanam talas belitung adalah untuk menghasilkan umbi sebagai sumber karbohidrat non-beras, disamping fungsi lainnya sebagai bahan sayuran. Di daerah pedesaan, talas belitung belum umum dibudidayakan seperti halnya singkong. Talas belitung dapat ditanam di lahan kosong di pedesaan dan sebagai tanaman sela palawija di kebun serta ditanam di sawah saat musim kemarau. Talas belitung atau impul (Xanthosoma sagittifolium) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan talas (Colocasia esculenta), memiliki daun yang lebih runcing dan bagian tangkai daun berhubungan dengan helai daun pada titik di tepi daun dekat belahan tersebut. Bagian yang dimanfaatkan dari kimpul ini adalah umbi anakan yang tumbuh disekitar umbi induk (Kartika, 2006).

Talas belitung merupakan tanaman tahunan, tidak berkayu, terdiri dari akar, pelepah daun, daun, bunga, dan umbi. Tinggi tanaman dapat mencapai dua meter, tangkai daun tegak, tumbuh dari tunah yang berasal dari umbi yang merupakan

batang dari bawah tanah. Bentuk umbi talas belitung silinder sampai agak bulat, terdapat internode atau ruas dengan beberapa bakal tunas. Jumlah umbi anakan dapat mencapai 10 buah atau lebih. Panjang umbi sekitar 12-25 cm dan diameter 12-15 cm. Umbi yang dihasilkan biasanya mempunyai berat 300-1000 gram. Irisan melintang pada umbi memperlihatkan bahwa strukturnya terdiri dari kulit, korteks, pembuluh floem, dan xylem. Kulit umbi mempunyai ketebalan sekitar 0.1 cm. pada pembuluh floem dan xylem terdapat butir-butir pati (Muchtadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).

Gambar 2.1 Umbi Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium)

Talas belitung dapat tumbuh baik di daerah tropika basah bersuhu optimum 21 dan 270C dengan curah hujan tahunan 1400 mm per tahun. Derajat keasaman yang paling baik untuk tanaman ini berkisar antara 5,5 – 6,5. Pemanenan talas belitung dilakukan setelah 0-12 bulan penanaman ketika daun telah kering dan bewarna kuning. Umbi yang telah dipanen dapat disimpan selama lebih dari 6 bulan jika disimpan di tempat yang kering, sejuk dan berventilasi baik (Octavianty, 2009).

Umbi talas belitung berpotensi sebagai sumber karbohidrat yang cukup tinggi. Kandungan karbohidrat umbi kimpul hampir sama dengan singkong, dan lebih baik dari kandungan karbohidrat ubi jalar, kentang, maupun talas. Nilai kalori untuk konversi ke dalam 100 gram nasi sama dengan 200 gram kimpul. Kecuali kandungan vitamin C-nya yang rendah. Selain itu, kimpul juga mengandung kalium, fospor dan zat besi. Komposisi kimia dari umbi talas belitung mentah, umbi rebus dan umbi kukus dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Umbi Talas Belitung per 100 g Bahan Komposisi Kimia Umbi Mentah Platt (1975) Umbi Mentah Slamet (1980) Umbi Rebus Slamet (1980) Umbi Kukus Anonim (1990) Energi (kal) 133 145 145 145 Air (gr) 65 63.1 63 63.1 Karbohidrat (gr) 31 34.2 34.2 34.2 Serat kasar (gr) 01 1.5 1 1.0 Protein (gr) 2 1.2 1.2 1.2 Abu (gr) - 1 1.2 1.1 Lemak (gr) 0.3 0.4 0.4 0.4 Kalsium (mg) - 26 21 21 Phospor (mg) - 26 21 48 Fe (mg) 1 1.4 0.9 0.9 Vitamin C (mg) 10 2 1 1.0 BDD (%) 80 85 100 100 Sumber : Gardjito, dkk., 2013

Komposisi kimia umbi talas belitung bergantung pada varietas, iklim, kesuburan tanah, dan umur panen. Umbi talas belitung mengandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Umbi talas belitung seringkali menimbulkan rasa gatal, sensasi terbakar, dan iritasi pada kulit, mulut, tenggorokan, serta saluran cerna pada saat dikonsumsi. Talas mengandung asam oksalat yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam saluran pencernaan, yaitu dengan pembentukan kalisum yang tidak larut dalam air (Indrasti, 2004).

Kalsium oksalat yang terdapat dalam kimpul berbentuk kristal yang menyerupai jarum (Gardjito, 2013). Selain kalsium oksalat, talas juga mengandung asam oksalat yang diduga dapat mengganggu penyerapan kalsium. Asam oksalat bersifat larut dalam air, sementara kalsium oksalat tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam kuat. Oksalat tidak tersebar secara merata didalam umbi talas.

Menurut Koswara dalam modulnya mengenai teknologi pengolahan umbi-umbian, rasa gatal pada saat mengkonsumsi talas disebabkan oleh tusukan jarum-jarum kristal kalsium oksalat yang terbungkus dalam suatu kapsul transparan berisi cairan yang berbeda diantara sel-sel umbi tersebut. Kapsul-kapsul ini disebut raphides. Raphid-raphid ini tertancap pada dinding pemisah antara dua vakuola pada jaringan umbi dan ujung-ujungnya berada pada vakuola tersebut. Jika bagian umbi dikupas atau dipotong-potong, maka vakuola yang berisi air karena perbedaan tegangan pada kedua vakuola itu menyebabkan dinding kapsul pecah. Akibatnya kristal kalsium oksalat tersumbat ke permukaan dan menusuk ke bagian kulit. Tusukan-tusukan inilah yang menyebabkan timbulnya rasa gatal pada mulut, tenggorokan, atau kulit tangan.

Metode fisik yang paling umum dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa gatal yang terjadi akibat kandungan kalsium oksalat pada talas yaitu dengan pemanasan. Kalsium oksalat bersifat labil terhadap panas. Pemanasan dilakukan melalui perebusan dan pengukusan (Muchtiadi dan Sugiyono, 1989 dalam Indrasti, 2004).

getuk, keripik, perkedel, dan lain-lain. Di Negara-negara tropis Afrika, kimpul atau talas belitung diolah menjadi makanan yang disebut Fufu. Orang-orang malanesia yang suka memakan umbi talas belitung ternyata mempunyai gigi yang kuat. Umbi talas belitung mempunyai sifat basa sehingga dapat melindungi gigi (Lingga, 1989 diacu dalam Gardjito, 2013). Sedangkan nenurut Nurcahya (2013), talas bisa diolah atau dibuat panganan sebagai pengganti nasi bagi penderita diabetes, karena talas mengandung serat dan protein yang cukup tinggi yang bisa menurunkan kadar glukosa darah.

Dokumen terkait