• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Indeks Kekeringan

Penyederhanan dalam mengkuantifikasi suatu kondisi sering menggunakan indeks. Demikian juga dalam mengkuantifikasi tingkat kekeringan. Keberadaan indeks kekeringan sangat penting karena untuk menyederhanakan hubungan yang kompleks berbagai faktor yang menyebabkan kekeringan, untuk

16

durasi, luasan), dan untuk aplikasi perencanaan dan desain.

Yang (2010), juga menyatakan pentingnya penggunaan indeks kekeringan. Yang berpendapat bahwa indeks kekeringan berperan penting dalam memonitor bahaya kekeringan, karena dengan indeks ini bisa digunakan untuk menentukan awal dan akhir dari kejadian kekeringan, serta bisa digunakan untuk menentukan kehebatan/tingkat kekeringan yang terjadi. Ada banyak indeks kekeringan yang dapat digunakan untuk memonitor dan menganalisis karakteristik dari kekeringan, baik dari intensitas, durasi dan luasan kekeringan yang ditumbulkannya.

Beberapa indeks kekeringan yang telah banyak digunakan adalah RDII (Rainfall Deciles), SPI (Standardised Precipitation Index) dan RDI (Reconnaisance Drought Index), ketiga indeks kekeringan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan kekeringan meteorologis . Indeks kekeringan yang lainnya adalah PDSI (Palmer Drought Severity Index), VHI (Vegetation Health Index), dan CMI (Crop Moisture Index.). Ketiga indeks ini digunakan untuk menentukan indeks kekeringan pertanian. Sedangkan untuk menentukan kekeringan hidrologi biasanya digunakan Regional Streamflow Deficiency Index

(RSDI), Palmer Hydrological Drought Index (PHDI) dan Surface Water Supply Index (SWSI)

Indeks kekeringan di atas memiliki performa yang berbeda-beda dalam menggambarkan karakteristik kekeringan, sehingga susah untuk menentukan indeks mana yang memiliki performa paling baik. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Yang (2010), yang menyatakan bahwa sangat susah untuk menentukan indeks kekeringan yang memiliki performa terbaik untuk menggambarkan kejadian kekeringan. Karena masing-masing indeks memiliki kemampuan yang berbeda untuk menentukan jenis kekeringan, misalnya SPI akan memberikan hasil pengukuran yang baik untuk menentukan kekeringan secara meteorologi dibandingkan dengan yang lain. Sedangkan PDSI akan memberikan hasil perhitungan yang baik jika digunakan untuk menentukan kekeringan pertanian. Karena PDSI selain memperhitungkan faktor meteorologi seperti curah hujan dan suhu, juga memperhitungkan kondisi kelembapan tanah (soil moinsture).

17

2003, menunjukkan bahwa kejadian kekeringan yang terjadi di Australia dikarenakan suhu udara pada siang hari yang sangat tinggi meskipun curah hujan saat itu tidak lebih kering dari tahun-tahun sebelumnya. Dari sini dapat diketahui bahwa dengan adanya suhu udara yang sangat tinggi akan menjadikan kekeringan lebih hebat meskipun curah hujannya tidak lebih kering dari tahun sebelumnya. Sehingga untuk menghitung indek kekeringan diperlukan juga unsur suhu/evapotranspirasi selain curah hujan. Indeks kekeringan meteorologis yang menggunakan data curah hujan dan data evapotranspirasi adalah RDI (Reconaisance Drought Index) (Kirono et al, 2011). Hasil penelitian Nicholls menunjukkan perbedaan dengan Bazrafshan (2010) yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kekeringan menggunakan SPI dan RDI di Iran. Oleh sebab itu dalam penelitian Bazrafshan meskipun hanya menggunakan data yang minimal, tetapi SPI cukup bagus dalam memonitor kehebatan kekeringan meteorologi yang ada di pesisir Iran (Bazrafshan et al,2010)

Liu et al. (2011) telah membandingkan tiga indeks kekeringan untuk menganalisis kekeringan yang terjadi di Blue River Basin, Oklahoma. Tiga indeks yang digunakan tersebut adalah Standardized Precipitation Index (SPI), Palmer

Drought Severity Index (PDSI) dan Standarized Runoff Index (SRI). Dari hasil kajiannya PDSI dan SRI menunjukkan performa yang sama karena keduanya menggunakan faktor kelembapan tanah dan evapotranspirasi dalam perhitungannya. Penelitian tersebut merekomendasikan untuk menggunakan PDSI dan SRI dalam menganalisis kekeringan.

PDSI dalam perhitungannya berdasarkan pada “water supply and demand”,

dimana perhitungannya dengan konsep sistem neraca air yang memperhitungkan data curah hujan dan suhu serta data karakteristik tanah di wilayah kajiannya. Perhitungan-perhitungan tersebut melibatkan perhitungan evapotranspirasi potensial, curah hujan dan air tersedia.

18

kekeringan

Penelitian-penelitian tentang model iklim telah banyak dilakukan demikian juga dengan kekeringan, namun penelitian yang menggabungkan antara model iklim dengan kekeringan masih sangat terbatas, sehingga dalam penelitian ini menggunakan data model iklim untuk studi kekeringan. Adapun penelitian- penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Sudibyakto (1985) melakukan penelitian kekeringan di daerah Kedu bagian selatan dengan menggunakan Indeks Palmer. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks kekeringan yang didasarkan atas data hujan titik akan menimbulkan indeks yang terlalu basah atau kering. Apabila dikaitkan dengan penggunaan lahan, daerah hutan akan mengakibatkan kemunduran waktu dari munculnya kejadian kekeringan

Hay (2002) menggunakan data curah hujan dan suhu udara harian dari RegCM2 untuk simulasi hidrologi pada empat basin yang ada di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa data RegCM2 sebelum dikoreksi menunjukkan performa yang rendah dalam mensimulasikan runoff pada keempat basin. Namun setelah dilakukan koreksi bias performanya meningkat secara signifikan.

Suseno (2008), melakukan penelitian kekeringan dengan interpretasi citra NOAA yang diintegrasikan dengan data curah hujan, jenis tanah, dan penggunaan tanah, penelitian ini mengungkapkan pola kekeringan pertanian di Pulau Jawa tahun 2008. Analisis keruangan yang diperkuat analisis statistik terungkap bahwa pola kekeringan pertanian di Pulau Jawa pada tahun 2008 bergerak atau bergeser ke utara saat memasuki pertengahan musim kemarau dan kemudian bergerak ke arah timur saat mendekati akhir musim kemarau sesuai dengan pola umum curah hujan di Pulau Jawa. Kekeringan pertanian tidak berhubungan atau dipengaruhi dengan jenis tanah dan penggunaan tanah pertanian namun berkaitan erat atau sangat dipengaruhi oleh curah hujan.

Sutikno (2008) melakukan penelitian mengenai pemodelan statistical downscaling GCM untuk menentukan hubungan curah hujan luaran model GCM dengan curah hujan stasiun (observasi). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ukuran domain grid GCM bergantung pada lokasi stasiun/wilayah curah hujan.

19

baik, sebaliknya untuk lokasi yang semakin jauh dari laut, dengan topografi datar (flat), luas grid 12x12 kurang memuaskan hasil dugaannya.

Faqih et al. (2011) melakukan kajian tentang RegCM3 mengenai skema konvektif untuk hujan. Dalam penelitiannya, skema konvektif hujan yang dianalisis adalah skema Grell dan MIT Emanuel. Hasil analisis kajian sensitivitasnya menunjukkan bahwa skema hujan MIT Emanuel dapat memberikan hasil yang lebih baik mendekati pola musiman data observasi di wilayah kajian. Walaupun terdapat kecenderungan nilai yang dihasilkan dari model selalu melampaui curah hujan observasi. Bias antara data observasi dan model ini dapat dikoreksi dengan memperhitungkan faktor koreksi.

Kirono et al. (2011), mensimulasikan kekeringan dari data GCM dengan menggunakan indeks kekeringan RDI untuk proyeksi pada masa yang akan datang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum di Benua Australia mengalami peningkatan luasan daerah yang mengalami kekeringan dan juga frekuensi kejadian kekeringan pada masa yang akan datang akibat dari adanya peningkatan emisi gas rumah kaca.

20

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait