• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Curah Hujan Berdasarkan Data Luaran RegCM

DAFTAR PUSTAKA

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian

4.3 Keadaan Curah Hujan Berdasarkan Data Luaran RegCM

Besarnya curah hujan di suatu daerah tergantung dari posisi daerah tersebut terhadap laut dan pegunungan. Atau dengan kata lain besarnya curah hujan sangat tergantung dari topografi. Kecenderungan yang ada bahwa semakin tinggi suatu tempat maka curah hujan akan semkin tinggi. Gambar 11 menunjukkan hubungan ketinggian tempat dengan besarnya curah hujan di daerah penelitian berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi.

Gambar 11. Hubungan ketinggian tempat dengan curah hujan

Gambar 11 tersebut menunjukkan bahwa di daerah penelitian, besarnya curah hujan model tidak selalu tergantung dengan ketinggian tempatnya. Hal ini ditujukkan oleh garis kecenderungan yang relatif datar. Ada tempat dengan elevasi yang rendah tetapi curah hujannya lebih tinggi dibandingkan pada tempat yang elevasinya lebih tinggi. Misalnya pada lokasi dengan ketinggian 5 m dpal curah hujan tahunannya 2.235 mm/tahun sedangkan daerah yang paling tinggi , yaitu 3.000 m dpal curah hujannya 1.950 mm/tahun.

0 500 1000 1500 2000 2500 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 R a ta -ra ta C H T a h u n a n (m m /t h ) Ketinggian (m)

38

pengaruh daerah bayang-bayang hujan. Yaitu suatu lereng pegunungan yang sangat kecil menerima curah hujan karena curah hujan telah jatuh di lereng pegunungan sebaliknya. Daerah bayang-bayang hujan identik dengan curah hujan yang kecil karena angin yang berhembus tidak membawa uap air.

Hubungan ketinggian dengan curah hujan di atas, akan nampak lebih jelas lagi dengan adanya peta sebaran curah hujan di daerah penelitian. Gambar 12 memperlihatkan sebaran rata-rata curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna berdasarkan data luaran model RegCM3 terkoreksi. Gambar tersebut menunjukkan bahwa di daerah dataran rendah yang dekat pantai (Pati dan Rembang), curah hujan tahunannya paling rendah dengan rata-rata kurang dari 1.700 mm/tahun. Fakta ini seusai dengan penelitian yang dilakukan oleh Turyanti (1995) dan Jadmiko (2011). Turyanti dan Jadmiko dalam penelitiannya menyatakan bahwa curah hujan daerah di pantai utara pulau Jawa lebih rendah dibandingkan dengan curah hujan di daerah pantai selatan pulau Jawa. Semakin ke atas curah hujan akan semakin besar. Ke arah utara, yaitu ada Gunung Muria yang ada di Kabupaten Kudus, curah hujan semakin meningkat. Begitu juga ke arah Barat Daya ada Gunung Merapi. Daerah di lereng Gunung Merapi, seperti Boyolali dan Salatiga curah hujan juga mengalami peningkatan.

Meskipun sama-sama di lereng gunung, antara daerah yang ada di lereng Gunung Muria dengan dareah yang ada di lereng Gunung Merapi menunjukkan besaran rata-rata curah hujan tahunan yang berbeda. Sebagai contohnya daerah Boyolali yang ada di lereng Gunung Merapi curah hujannya lebih rendah dibandingkan daerah Kudus yang ada di lereng Gunung Muria. Hal ini dimungkinkan di lereng timur laut dari Gunung Merapi merupakan daerah bayang-bayang hujan, sehingga meskipun ketinggiannya hampir sama dengan lereng Gunung Muria, tetapi curah hujan di daerah lereng Gunung Merapi ini lebih kecil. Gambar 12 juga menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah di Sub DAS Seluna curah hujan rata-rata tahunannya sebesar 1.701 – 2.200 mm/tahun. Daerah-daerah tersebut meliputi sebagian besar Kabupaten Grobogan, Kudus, Demak, Boyolali , Semarang, Salatiga,Sragen dan Blora.

39

Gambar 12. Curah Hujan Wilayah rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna

40

kecenderungannya mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan IPCC Projected Climate Change, dalam Lavinson (2009), yang menyatakan bahwa total presipitasi dari tahun ke tahun di prediksikan akan mengalami peningkatan. Kecenderungan curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna dari tahun 1990 – 2010 digambarkan pada Gambar 13 .

Gambar 13. Kecenderungan Curah Hujan Tahunan (1990 – 2010)

Gambar 13 di atas selain menunjukkan kecenderungan curah hujan tahunan dari tahun ke tahun yang mengalami peningkatan juga dapat diketahui bahwa curah hujan tahunan di Sub DAS Seluna memiliki pola 2 puncak dan 2 lembah dalam kurun waktu 21 tahun (1990-2010). Tahun-tahun paling kering dalam kurun waktu tersebut terjadi pada tahun 1991 dan 2004 dan tahun-tahun paling basah terjadi pada tahun 1998 dan 2010. Berdasarkan www.ggweather.com tahun 1991 dan 2004 merupakan tahun kejadian El Nino dan tahun 1998 dan 2010 merupakan tahun La Nina. Bahkan pada tahun 2010 merupakan kejadian La Nina kuat, hal ini sesuai dengan Gambar 13 di atas, bahwa pada tahun 2010 merupakan tahun paling basah. Fakta tersebut menunjukkan bahwa data luaran model

RegCM3 mampu menggambarkan fenomena El Nino dan La Nina yang terjadi.

500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 C H Tah u n an (m m /tah u n ) Tahun

41

Variasi spasial dari suhu udara juga sangat dipengaruhi oleh topografi permukaannya. Sesuai dengan hukum Mock bahwa setiap kenaikan 100 m dpal, maka suhu udara akan mengalami penurunan sebesar 0. 60 C. Jadi semakin tinggi suatu tempat maka suhu udara akan mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan fenomena yang ditunjukkan oleh data suhu udara hasil luaran model RegCM3. Hubungan ketinggian dengan perubahan suhu udara di Sub DAS Seluna ditunjukkan oleh Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan antara ketinggian tempat degan suhu udara

Gambar 14 menunjukkan garis kecenderungan suhu semakin menurun, artinya bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempatnya. Semakin tinggi suatu tempat, maka suhu udara akan semakin menurun. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada ketinggian antara 0 – 100 m dpal, besarnya suhu udara sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 25,5oC – 27,5oC. Seiring dengan bertambahnya ketinggian, suhu udara semakin menurun. Contohnya pada ketinggian 300 m dpal, suhu udara berkisar pada 23,5o C dan pada titik tertinggi yang ada di Sub DAS Seluna yaitu 3.000 m dpal, suhu udaranya paling rendah, yaitu sekitar 20,6oC. 20 21 22 23 24 25 26 27 28 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 R ata -r ata S u h u Tah u n an (d e r ajat C ) Ketinggian (m)

42

meningkat, kecenderungan suhu udara pun juga mengalami peningkatan. Gambar 15 menunjukkan kondisi suhu udara di Sub DAS Seluna dalam kurun waktu 1990– 2010 mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

Gambar 15. Kecenderungan suhu udara tahunan (1990 – 2010)

Pola sebaran spasial suhu udara rata-rata tahunan di Sub DAS Seluna digambarkan pada Gambar 16. Gambar 16 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Sub DAS Seluna rata-rata suhu udara tahunannya antara 25,6oC -26,5oC. Daerah-daerah tersebut adalah sebagian besar Grobogan, Kudus, Demak dan Sragen. Suhu tertinggi yang ada si Sub DAS Seluna adalah antara 27,6-28,5oC. Daerah dengan suhu tertinggi tersebut ada di Kabupaten Pati yang berdekatan dengan laut. Sedangkan suhu terendah yang ada di Sub DAS Seluna sebesar 20,6 - 21,5oC. Daerah dengan suhu terendah tersebut ada di Kabupaten Boyolali yang berada di lereng gunung Merapi.

25.2 25.3 25.4 25.5 25.6 25.7 25.8 25.9 26 26.1 26.2 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 S u h u U d ar a (o C ) Tahun

43

44

Uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan luas kekeringan yang dihasilkan dari model dengan luasan kekeringan aktual di daerah penelitian.Wilayah yang digunakan untuk sampling adalah Kabupaten Kudus, karena persentase luas wilayah Kabupaten Kudus adalah yang terluas di Sub DAS Seluna (Tabel 2). Luasan kekeringan aktual pada uji ini dengan menggunakan data kekeringan tanaman padi, sehingga pada model yang dihitung luasan kekeringannya adalah pada penggunaan lahan sawah. Gambar 17 menunjukkan tingkat korelasi dari hubungan kekeringan aktual dengan kekeringan model pada kondisi air 0%KL sampai dengan 50%KL.

Gambar 17. Nilai Korelasi Kekeringan Aktual dan Model menurut %KL

Gambar 17 tersebut menginformasikan bahwa model kekeringan yang handal ditunjukkan pada kondisi air tersedia 40%KL -10% KL, karena nilai r hitung

di atas nilai r tabel. Dari keempat model yang handal tersebut, yang menunjukkan

hubungan paling kuat adalah model pada kondisi air tersedia 30%KL, dimana r hitung nya 0.6. Koefisien korelasi 0.5-0.7 menunjukkan tingkat hubungan yang kuat. Hubungan yang kuat ini mengindikasikan bahwa fluktuasi luasan kekeringan terhadap waktu antara model dan aktual menunjukkan kemiripan. Artinya pada saat luas kekeringan akutal mengalami peningkatan, maka luasan kekeringan model juga mengalami peningkatan, dan sebaliknya. Hasil analisis ini sesuai

0.30 0.35 0.40 0.45 0.50 0.55 0.60 50%KL 40%KL 30%KL 20%KL 10%KL 0%KL N il ai K o r e las i

Kondisi Air Tersedia

Grafik Nilai Korelasi Kekeringan Aktual dan Model

45

menunjukkan bahwa ada beberapa varietas padi gogo yang masih bisa beradaptasi pada kondisi air tersedia 30% - 40% KL. Sehingga pada kondisi air tersedia dibawah 30% KL, tanaman padi sudah mengalami cekaman kekeringan. Dari analisis kehandalan model kekeringan dan didukung dari penelitian Supijatno, maka dapat dikatakan bahwa di daerah penelitian, padi mulai mengalami cekaman kekeringan pada kondisi air tersedia 30% KL.

Luasan kekeringan dari model (untuk semua % kapasitas lapang) menunjukkan perbedaan dengan luasan kekeringan aktual tanaman padi. Luasan yang dihasilkan dari model sedikit overestimate. Informasi ini bisa dikatakan bahwa model belum mampu menggambarkan luasan kekeringan aktual dengan cukup baik. Hal ini bisa terjadi karena pada suatu periode tertentu lahan sawah tidak semuanya ditanami padi melainkan ada yang ditanamai tanaman pertanian lainnya. Sehingga pada saat model mensimulasikan lahan sawah pada periode tertentu mengalami kekeringan, tetapi secara aktual pada saat tersebut yang tercatat hanya kekeringan tanaman padi, untuk tanaman lainnya tidak. Atau tanaman lain yang ditanam pada lahan sawah merupakan tanaman yang bisa beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Sehingga pada saat itu yang mengalami cekaman kekeringan hanya tanaman padi.

Dokumen terkait