• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.4 Indeks Larva

Indekslarvamenggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah.Indeks larva di lokasi penelitian bervariasi setiap bulan pengamatan, baik ABJ (persentase rumah penduduk yang tidak ditemukan larva nyamuk), HI (persentase rumah yang ditemukan larva nyamuk), CI (persentase wadah yang ditemukan larva nyamuk) dan BI (jumlah wadah yang ditemukan larva nyamuk dalam 100 rumah yang diamati).

Gambar 7Angka Bebas Jentik (ABJ) bulanan secara umum masih dibawah nilai minimal yang dibolehkan oleh Kementrian Kesehatan yaitu 95%.

69,83 69,92 81,75 82,41 75,78 95 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Desember Januari Februari Maret Total

In d ex l ar va (% ) Waktu Pengamatan

Gambar 7menunjukkan bahwa ABJ yang tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu 82.41% dan yang terendah pada bulan Desember yaitu 69.83%. Secara umum selama penelitian yaitu 75.78%, artinya bahwa dari 100 rumah yang diperiksa rata-rata hanya 76 rumah yang tidak ditemukan larva nyamuk. Secara umum ABJ masih nilai minimal yang ditolerir oleh Kementrian Kesehatan (95%). Rendahnya ABJ dilokasi penelitian berhubungan dengan keadaan curah hujan dan juga perilaku masyarakat dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk.Rendahnya ABJ ini memungkinkan banyak peluang untuk proses transmisi virus (Hasyimi et al. 2004).

Gambar 8menunjukkan indeks larva bervariasi setiap bulan penangkapan. Angka tertinggi HI (30.17%), CI (33.86%) terjadi pada bulan Desember dan terendah masing-masing (17.59% dan 15.94%) pada bulan Maret, sedangkan angka BI tertinggi pada bulan Januari (42.86%) dan terendah pada bulan Februari (19.84%). Angka rata-rata HI (24.22%) artinya adalah dari 100 rumah yang diperiksa terdapat 24 rumah yang positif ditemukan larva nyamuk. Angka tersebut masih tergolong rendah karena berada dibawah angka yang masih ditolerir oleh Kementerian Kesehatan yaitu ≤5%. Rata-rata CI sebesar 24,83% artinya bahwa dari 100 wadah atau kontainer yang diperiksa rata-rata terdapat 25 wadah yang mengandung larva nyamuk.Angka rata-rata BI adalah 30.43% artinya bahwa dari 100 rumah penduduk yang diamati terdapat rata-rata 30 wadah yang ditemukan larva nyamuk.

Gambar 8 Indeks larva per bulan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011. 33,86 24,87 30,17 17,59 24,22 42,86 19,84 30,43 0 10 20 30 40 50

Desember Januari Februari Maret Rata-rata

In d ek s La rv a ( % ) Waktu Pengamatan CI HI BI

Kepadatan populasi nyamuk (Density Figure) merupakan gabungan dari index larva dan dinyatakan dalam skala 1-9 dengan 3 kategori (WHO 1972). Nilai HI dan BI di kelurahan Pasir Kuda termasuk dalam skala 2-5 dikategorikan dalam kepadatan sedang, tetapi jika dilihat dari nilai CI, kepadatan larva nyamuk dikategorikan dalam kepadatan tinggi.Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di lokasi penelitian masih mempunyai risiko tinggi untuk tertular penyakit baik chikungunya maupun DBD sehingga masyarakat harus tetap melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara berkesinambungan. Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan di desa Cikarawang yaitu ABJ 86.6% dan HI 13.21% (Hadiet al. 2006). Penelitian di Kelurahan Utan Kayu juga menemukan ABJ dan HI yang tidak jauh berbeda dengan di Cikarawang yaitu 88.5% dan 21.5% (Novelani 2007).

BI merupakan angka prioritas terbaik dari semua indeks larva yang digunakan untuk memperkirakan densitas larva karena sudah mengkombinasikan keduanya baik rumah maupun wadah yang positif (Chan et al. 1971).Gambar 9menunjukkan bahwa indeks curah hujan dan angka BI berfluktuasi setiap bulan pengamatan. Adanya kecenderungan bahwa saat curah hujan tinggi disertai juga dengan peningkatan BI, demikian juga sebaliknya pada saat indeks curah hujan menurun, BI juga mengalami penurunan. Hal tersebut dimungkinkan karena pada saat curah hujan tinggi maka tempat yang berpotensi untuk perkembangbiakan nyamuk akan bertambah. Setiap 1 mm curah hujan menambah kepadatan nyamuk 1 ekor, akan tetapi apabila curah hujan dalam seminggu sebesar 140 mm, maka larva akan hanyut dan mati(Cahyati &Suharyo 2006).

Gambar 9Bretau Index dan Indeks Curah Hujan per bulan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011.

37,07 42,86 19,84 20,37 60,39 51,97 48,75 49,68 0 10 20 30 40 50 60 70 0 10 20 30 40 50

Desember Januari Februari Maret

Inde k s C ur a h H uj a n (mm) B re ta u I nde k s (% ) Waktu Pengamatan BI ICH

Tempat yang berpotensi perkembangbiakan larva nyamuk Aedes spp.yang pada musim kemarau tidak terisi air tetapi pada musim hujan akan terisi air.Pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah dan tempat produktif lainnya yang bukan TPA yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. Telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas karena wadah terisi air hujan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah wadah non TPA yang positif sebanyak 78,57% dikumpulkan pada bulan Desember dan Januari pada saat curah hujan tinggi. Populasi nyamuk pada musim hujan cenderung lebih banyak yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan risiko tertular penyakit chikungunya maupun DBD. Selain ketersediaan tempat-tempat perindukan nyamuk tersebut, perilaku masyarakat juga sangat penting dalam menunjang ketersediaan tempat perindukan akan meningkatkan kepadatan larva nyamuk Aedes spp.sebagai vektor penyakit. Karena rendahnya pengetahuan serta nilai kebersihan, maka bak penampungan air menjadi tempat perindukan nyamuk.

Berdasarkan analisis korelasi antara ICH dengan BI, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.800 dengan angka signifikansi sebesar 0.200 (p > 0.05).Angka signifikansi sebesar 0.387 atau lebih besar dari 0.05 berarti hubungan tersebut tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa antara variabel BI dengan ICH mempunyai hubungan yang tidak signifikan, karena kepadatan larva nyamuk tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja, tetapi saling melengkapi dengan faktor lain seperti kelembaban udara, suhu maupun karakteristik habitat larva.

Suhu udara dan curah hujan mempengaruhi keadaan suhu mikro di dalam wadah.Suhu air pada wadah yang positif di lokasi penelitian bervariasi antara 23°C-26°C.Suhu tersebut lebih rendah dari suhu yang optimum (25-27ºC) untuk perkembangbiakan larva nyamuk. Dalam kondisi optimal waktu yangdibutuhkan sejak telur menetashingga menjadi nyamuk dewasaadalah 7-10 hari, sedangkan pada suhurendah, dibutuhkan waktu beberapaminggu.Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat mempengaruhi kelangsungan hidup serta populasi nyamuk di lingkungan. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali bila suhu kurang dari 10°C atau lebih dari 40°C (WHO 1972).

Selain suhu udara, kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan jentik nyamuk Ae.aegypti. Menurut Mardihusodo (1988) disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar 81.5%-89.5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Yudhastuti & Vidiyani (2005) juga menemukan ada hubungan yang bermakna antara kelembaban udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes di Kelurahan Wonokusumo.

Hasil penelitian ini baik suhu maupun kelembaban udara berada dibawah keadaan yang optimal untuk perkembangbiakan larva, namun larva dapat hidup dengan baik karena pada saat pengumpulan larva dari lapangan diperoleh semua stadium larva sampai pupa, sehingga diasumsikan bahwa larva dapat bertahan hidup pada keadaan yang tidak optimal. Dan kemungkinan waktu yang diperlukan larva untuk berkembang menjadi dewasa memerlukan waktu yang lebih lama dari yang seharusnya.Dalam penelitian ini tidak bisa dilihat berapa lama waktu yang diperlukan larva untuk berkembang menjadi pupa maupun dewasa.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup larva nyamuk yaitu tingkat keasaman atau pH air.Perbedaan sifat kimiawi air berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva Ae.aegypti. Larva Aedes dapat hidup pada air dengan pH antara 5.8-8.6 (Chan et al. 1971).Demikian juga dengan penelitian Hidayat et al. 1997 menemukan bahwa larva nyamuk dapat hidup pada pH 5.0-9.0, tetapi lebih banyak diperoleh pada air dengan pH netral (7) dibanding dengan pada pH asam atau basa. Semakin rendah pH air (asam) atau semakin tinggi pH (basa) semakin sedikit pula larva nyamuk yang diperoleh dan jumlah larva nyamuk diperoleh paling sedikit pada pH 5.

Hasil pengukuran derajat keasaman air pada wadah positif di lokasi penelitian berkisar pada pH 4.0-6.0.Hasil ini berbeda dengan penelitian Umar & Don-Pedro (2008) bahwa kelangsungan hidup maksimal dari larva nyamuk

Ae.aegypti yaitu pada pH 6.5-8.0.Pada pH yang lebih rendah ataupun lebih tinggi

akan mempengaruhi proses fisiologi larva yaitu transportasi oksigen terganggu sehingga meningkatkan mortalitas (angka kematian) dalam waktu 24 jam setelah menetas. Keadaan tersebut erat kaitannya dengan pembentukan enzim sitokrom oksidase di dalam tubuh larva yang berfungsi dalam proses metabolisme. Tinggi

rendahnya kadar oksigen terlarut dalam air akan berpengaruh terhadap proses pembentukan enzim tersebut. Pada pH rendah (keadaan asam)kadar oksigen terlarut lebih tinggi daripada pH tinggi (keadaan basa). Dalam suasana asam pertumbuhan mikroba makin tinggi sehingga kebutuhan oksigen makin meningkat, akibatnya kadar oksigen terlarut akan berkurang, sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva nyamuk. Hal ini menunjukkan bahwa larva nyamuk Aedes di lokasi penelitian mampu beradaptasi pada kondisi air dengan pH dibawah normal, karena stadium larva yang ditemukan di lapangan berbeda-beda setiap wadah mulai dari larva instar 1 sampai dengan stadium pupa.

4.2Kepadatan dan Perilaku Nyamuk

Dokumen terkait