PASIR KUDA KECAMATAN BOGOR BARAT
YULIANA RADJA RIWU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
DenganinisayamenyatakanbahwatesisBioekologi Nyamuk Aedesspp. dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunya di Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Baratadalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Nopember 2011
ABSTRACT
YULIANA RADJA RIWU. BioecologyAedesspp. Mosquitoes and the Detection of Chikungunya Virus inPasirKuda Village, West Bogor Dictrict.Under direction of UPIK KESUMAWATI HADI, and SURACHMI SETYANINGSIH.
Chikungunya disease was one of the community health problems at PasirKuda Village with an attack rate of 2.96‰ in 2010. This research was done to study the mosquitoe ecology and to detect the presence of chikungunya virus (CHIKV) in Aedes spp. mosquitoes. Field surveys were done from December 2010 until August 2011 to collect mosquitoes and conduct interview to identify community knowledge, attitudes and practices (KAP) on chikungunya, and then in the laboratory to detect chikungunya virus in mosquito samples using Polymerase Chain Reaction (PCR) technique. The resultsshowed that Ae. aegypti breeding place was not in the collecting and saving water container inside the house, but was in another container outside, Ae. albopictus prefer to breed in natural water container and was categorized in moderate density. Ae.aegypti tend to bite and rest inside the house, while Ae. albopictus tend to bite and rest outside the house. Chikungunya virus was successfully detected only in the female Ae. aegypti which was collected on December 2010. The society’s knowledge about chikungunya prevention was categorized as moderate, however, it was not in line with their actions.
YULIANA RADJA RIWU. Bioekologi Nyamuk Aedesspp. dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunya di Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat.Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI, dan SURACHMI SETYANINGSIH.
Chikungunya merupakan salah satu
Penelitian ini bertujuan mempelajari habitat perkembangbiakan, perilaku dan kepadatan nyamuk Aedes spp.;Mendeteksi virus chikungunya dalam tubuh nyamuk; Mempelajari pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap pencegahan chikungunya. Penelitian dilakukan di RW 03 dan RW 04 Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, bulan Desember 2010 hingga Agustus 2011. Rancangan penelitian merupakan survey lapangan selama 4 bulan yang dimulai dari jam 06.00 sampai jam 18.00 (dua kali dalam seminggu), kemudian dilanjutkan deteksi keberadaan virus dalam tubuh nyamuk di laboratorium. Kegiatan survey dilakukan pada 124 rumah penduduk yang bersedia diperiksa di lokasi penelitian, dengan beberapa tahapan kegiatanyaitu: 1) Pengumpulan telur nyamuk; 2) Pengumpulan larva; 3) Penangkapan nyamuk dewasa; 4) Wawancara dan observasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat; 5) Deteksi virus chikungunya pada nyamuk.
Arbovirosis yang ditularkan oleh nyamuk genus Aedes dans erring menimbulkan Kejadian Luar Biasa(KLB) di berbagaidaerah.Khusus di Kota Bogor penyakit ini menyebar hampir di seluruh kecamatan, dengan Attack rate (AR) 1.35‰ (2008), 0.26‰ (2009) dan 0.33‰ (2010. Kasus chikungunya terakhir terjadi pada bulan September 2010 di Kelurahan Pasir Kuda dengan AR sebesar 2.96‰ (Dinkes Kota Bogor 2010). Penanggulangan yang paling efektif adalah pengendalian nyamuk vektor. Kegiatan pengendalian yang efektif harus berdasarkan pengetahuan yang benar tentang bioekologi nyamuk di alam
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan ekologi di lokasi studi sangat mendukung perkembangbiakan nyamuk Ae.aegyptidan Ae. Albopictus sebagai vector chikungunya maupun DBD. Ketersediaan tempat penampungan air baik TPA, bukan TPA maupun tempat penampungan alamiah sebagai habitat larva nyamuk Aedes spp. Dan terdapat 591 wadah penampungan yang diamati dan terdapat 147 wadah yang positif terdapat larva. Secara umum ABJ masih dibawah nilai minimal yang ditolerir oleh Kementrian Kesehatan (95%). Rendahnya ABJ di lokasi penelitian berhubungan dengan keadaan curah hujan dan juga perilaku masyarakat dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk sehingga memungkinkan banyak peluang untuk proses transmisi virus.Indeks larva juga menunjukkan
kepadatan yang sedang yang dilihat nilai HI dan BI di
nyamuk/orang/jam) sedangkan nyamuk Ae. albopictus lebih cenderung di luar rumah 07.00-08.00 (1.13 nyamuk/orang/jam) dan jam 15.00-16.00 (1.31 nyamuk/orang/jam). Perilaku beristirahat dari nyamuk Ae. aegypti juga lebih cenderung terjadi di dalam rumah (0.98 nyamuk/rumah) dibandingkan di luar rumah (0.01 nyamuk/rumah), sedangkan Ae. albopictus lebih cenderung beristirahat di luar rumah (0.03 nyamuk/rumah) daripada di dalam rumah (0.01 nyamuk/rumah). Dari hasil pemeriksaan PCR diketahui bahwa Ae. aegyptimerupakanvektorutamachikungunya di KelurahanPasirKuda. Pengetahuan, sikap masyarakat terhadap pencegahan chikungunya masih dikategorikan cukup baik (sedang) tetapi tidak sejalan dengan tindakan yang dilakukan.
© HakCiptaMilik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
BIOEKOLOGI NYAMUK
Aedes
spp. DAN DETEKSI
KEBERADAAN VIRUS CHIKUNGUNYA DI KELURAHAN
PASIR KUDA KECAMATAN BOGOR BARAT
YULIANA RADJA RIWU
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP : B252090011
Disetujui, KomisiPembimbing
Ketua
drh. UpikKesumawatiHadi, MS, Ph.D
Anggota
drh.SurachmiSetiyaningsih, Ph.D
Diketahui,
Ketua Program Studi
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
drh. UpikKesumawatiHadi, MS, Ph.D
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. DahrulSyah, M.Sc.Agr
AnugerahNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulisan karya ilmiah yang berjudul “Bioekologi Nyamuk Aedesspp. dan Deteksi Keberadaan Virus Chikungunya di Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor Barat” berhasil diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph.D, sebagai ketua komisi pembimbing dan drh.Surachmi Setiyaningsih, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis serta Dr. drh. Susi Soviana, M.Si yang bersedia menjadi penguji luar komisi. Terimakasih kepada Prof. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc., Dr. drh Ahmad Arif Amin, MS., Dr. drh. D.J. Gunandini, MS., drh.Supriyono, serta seluruh staf pengajar dan pegawai laboratorium Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan kepada penulis selama penyelesaianstudi. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Gustaf Oematan, M.Si sertaseluruh staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana yang telah memberikan ijin melanjutkan studi kepada penulis. Ungkapanterimakasih juga disampaikan kepada Bapak Lurah Pasir Kuda beserta sta fkhususnya IbuEka, Ibu Omsiah yang telah memberikan ijin dan membantu selama pelaksanaan penelitian. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Direktur PSSP (Pusat Studi Satwa Primata-IPB) beserta staf yang telah memberikan bantuan ekstraksi RNA virus chikungunya sebagai control positif yang digunakan dalam penelitian ini. Terimakasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada teman-teman yang sangat membantu selama pelaksanaan penelitian ini (drh.Usamah, Oky, Yanti, Anita, Farah dan Merista serta drhAminah), tetap semangat dalam penyelesaian studi dan sukses buat semuanya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada semua pihak, yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis baik secara moril maupun materiil yang turut berperan dalam penyelesaian karya ilmiah ini, terutama kepada kedua orang tua tercinta Bapak Daniel danIbu Juliana serta saudara terkasih K’ Okto, K’ Lina, Rut dan Rika, Bapak C.B Lisnahan, keluarga besar Lisnahan, keluarga besar Radja Riwu, keluarga besar Djami Raga, teman-temans eperjuangan (Yulidar, Samarang, Poppy, Suwardi dan Naswir), teman-teman Persekutuan Oikumene dan sahaba tpenulis yakni Emy, Alin, Kristin, Amel, Syul dan Diordia. Terimakasih dan penghargaan yang sangat mendalam kepada suami tercinta Fajar Lisnahan.STH dan anak tersayang Radianz Hazhael Lisnahan atas doa, kesabaran, dukungan dan pengorbanan bagi penulis selama menempuh pendidikan. Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun diharapkan bermanfaat bagi pembaca.
“Dalam kelemahanku kuasaMu menjadi sempurna” Tuhan memberkati.
Penulis dilahirkan di Raekore, NTT padatanggal 20 Juli 1982 dari Bapak Daniel Radja Riwu dan ibu Juliana Djami Raga, merupakan putrid ketig adari lima bersaudara.
Tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK Kupang) dan pada tahun 2001 masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Nusa Cendana. Penulis berhasil menyelesaikan jenjang Strata satu (S1) pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat dan mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.KM) tahun 2005.
x
1.4 Kerangka Konsep Penelitian……… 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Chikungunya………. 5
2.2 Virus Chikungunya………... 6
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)………. 8
2.4 Vektor Chikungunya ………... 11
2.5 Perilaku Masyarakat……….... 16
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 18
3.2 Rancangan Penelitian………... 19
3.3 Analisis Data……… 24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Habitat dan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk...…… …... 26
4.2 Kepadatan dan Perilaku Nyamuk………..…….. 40
4.3 Deteksi Virus chikungunya………... 52
4.4 Perilaku Masyarakat………... 54
xi
Halaman 1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972………. 25 2 Kepadatan larva berdasarkan jenis wadah penampungan di
Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 29 3 Kepadatan larva berdasarkan bahan wadah penampungandi
Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 32 4 Kepadatan larva berdasarkan warna wadah penampungandi
Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 32 5 Kepadatanlarva berdasarkan letak wadah penampungandi
Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 33 6 Jumlah dan jenis nyamuk dewasa yang tertangkapdi Kelurahan
Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 41 7 Kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictusdi Kelurahan
Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 42 8 Kepadatan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictusistirahatdi
Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 49 9 Nyamuk yang diperiksa dengan PCRdi Kelurahan Pasir Kuda
xii
Halaman 1 Skema struktur virus chikungunya……….. 6 2 Skema genom virus chikungunya prototype Afrika S27……….... 7 Lokasi penelitian………. 18 3 Comb scales larva Aedes aegypti dan Aedesalbopictus………... 26
Persentase jenis wadah yang diperiksa dan wadah positif larva nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember
2010 sampai Maret 2011... 27 4 Tanaman brimelia (wadah penampungan alamiah) yang positif
larva Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember
2010 sampai Maret 2011... 28 5 Angka Bebas Jentik (ABJ) bulananmasih dibawah nilai minimal
yang diperbolehkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu 95%... 35 6 Indeks larva per bulandi Kelurahan Pasir Kuda periode
Desember 2010 sampai Maret 2011... 36
7 Bretau index dan indeks curah hujan per bulandi Kelurahan Pasir
Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 37 8 Jenis nyamuk dewasa yaitu Aedes aegyptigravid dan Aedes
albopictus unfeed yang tertangkapdi Kelurahan Pasir Kuda
periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 41 9 Rataan kepadatan nyamuk umpan orang dan indeks curah
hujandi Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret
2011...
43
10 Rataan kepadatan nyamuk umpan orang dan kelembaban udaradi Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 44 11 Persentase nyamuk umpan orang di Kelurahan Pasir Kuda
periode Desember 2010 sampai Maret 2011... 46 12 Aktivitas menghisap darah Aedes aegyptidi Kelurahan Pasir
xiii
14 Ovitrap indexAedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode
Desember 2010 sampai Maret 2011... 50 15 Telur yang tertangkap dengan menggunakan ovitrap... 51 16 Hasil elektroforesis pada nyamuk di Kelurahan Pasir Kuda
xiv
Halaman 1 Kuesioner Perilaku masyarakat………... 68 2 Habitat larva nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda……... 74 3 Pengumpulan nyamuk Aedes spp. di Kelurahan Pasir
Kuda... 75 4 Identifikasi nyamuk dan ekstraksi RNA Virus chikungunya……. 76 5 RT-PCR dan elektroforesis………. 77 6 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember
2010……… 78 7 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Januari
2011……… 79 8 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Februari
2011……… 80 9 Data nyamuk dewasa di Kelurahan Pasir Kuda periode Maret
1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Chikungunya merupakan satu diantara Arbovirosis (Arthropode borne viral
diseases) yang disebabkan oleh virus dari Genus Alphavirus, Famili
Togaviridae(Strauss 1994).Arthropodeyang dilaporkan sebagai vektor adalah
Aedes furcifer, Ae.taylori, Ae.luteocephalus di Afrika (Diallo et al. 1999),Ae.
aegyptidan Ae. albopictusdi Asia(Kaur et al. 2006; Pialoux 2007; WHO 2008;
Lee et al. 2009; Eapen et al. 2010).Di Indonesia terdapat3 jenis nyamuk genus
Aedes yang umumditemukan yaituAe. aegypti,Ae.albopictusdan Ae. scutelaris,
tetapi yang dilaporkan sebagai vektor chikungunya adalahAe. aegyptidan
Ae.albopictusyang dikenal juga sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue
(Hadi & Koesharto 2006).Penularan pada manusia terjadi bila nyamuk menghisap
darah penderita chikungunya, kemudian nyamuk yang terinfeksi tersebut
menghisap darah manusia yang sehat.
Penyakit ini bersifat self limiting disease (sembuh sendiri), belum pernah
dilaporkan adanya kematian dan relatif kurang berbahaya serta tidak fatal
dibandingkan dengan penyakit demam berdarah dengue. Akibat yang ditimbulkan
cukup merugikan secara ekonomi karena penderita tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari sehingga menurunkan produktivitas. Gopalan et al. (2009)
melaporkanbahwa kerugian yang disebabkan penyakit chikungunya di India
berupakehilangan pendapatan rata-rata sebesar US $ 75 dengan hari kerja yang
hilang sebanyak ±35 hari,serta biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan yaitu
rata-rata US $ 83.3.
Gejala yang ditimbulkan pada penderita
adalah demam, nyeri sendi (arthalgia) terutama sendi pergelangan tangan dan
kaki, nyeri otot (myalgia) serta gejala lain seperti muntah, menggigil(Riyaz et al.
2010). Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa minggu, lebih dari 6
bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Karthikeyen & Deepa 2011).
Penyakitchikungunya diidentifikasi pertama kali di Tanzania (Afrika Timur)
pada tahun 1952 (Ross 1954) dan terus menimbulkan epidemi ke seluruh wilayah
Afrika, dan Asia (Lam et al. 2001). Tahun 2006 terjadi KLB antara bulan
al. 2007), tahun berikutnya terdapat 56.365 kasus dilaporkan dari 14 negara
bagian di India (
Penyakit chikungunya masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,
terutama di kota-kota besar.Khusus di Kota Bogor, penyakit ini juga merupakan
suatu masalah kesehatan masyarakat karena sering terjadi Kejadian Luar Biasa
(KLB). Berdasarkan data yang diperoleh, selama 3 tahun terakhir penyakit ini
juga menyebar hampir di seluruh kecamatan. Attack rate setiap tahun
berturut-turut yaitu 1.35‰ (1328 orang) tahun 2008, 0.26‰ (260 orang) tahun 2009 dan
bulan Januari sampai Oktober tahun 2010 0.33‰ (331 orang). Kasus chikungunya
terakhir terjadi pada bulan September 2010 di Kelurahan Pasir Kuda dengan
jumlah kasus sebanyak 41 orang atau 2.96‰ (Dinkes Kota Bogor 2010).
WHO 2008). Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali di
Samarinda tahun 1973, kemudian tahun 1980 menyerang penduduk di Kuala
Tungkal Jambi, tahun 1983 terjadi di Martapura, Ternate, dan Yogyakarta.
Penyakit ini muncul kembali tahun 2001 di Muara Enim, Sumatera Selatan, Aceh
dan Bogor,selanjutnya pada tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Jawa Barat dan
Sumatera Selatan. Secara epidemiologis sejak tahun 2000-2007, hampir seluruh
wilayah di Indonesia berpotensial terjadi KLB dan tercatat jumlah penderita
18.169 orang tanpa kematian (Depkes 2007).
Vaksin maupunobat untuk mencegah dan mengobati penyakit ini belum
ditemukan, sehingga penanggulangan yang paling efektif adalah pengendalian
nyamuk vektor. Strategi pengendalian vektor yang tepat harus dilakukan
berdasarkan pengetahuan yang benar tentang jenis vektor, bioekologi nyamuk
sebagai vektor yang meliputi perilaku berkembangbiak, istirahat dan menghisap
darah. Tingkat kerawanan penyebaran penyakit chikungunya di suatu wilayah
dapat diprediksi berdasarkan ketersediaan habitat dan kepadatan nyamuk Aedes
spp. Daerah yang mempunyai habitat potensial yang banyak, kepadatan populasi
nyamuk akan besar dan kemungkinan kejadian kasus chikungunya akan tinggi.
Kepadatan populasi nyamuk dialam tidak terlepas dari perilaku masyarakat
berhubungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Nyamuk Aedesspp.pada umumnya berkembangbiak pada air bersih yang
tidak berhubungan langsung dengan tanah serta terlindung dari cahaya matahari.
dari nyamuk Aedes spp. dan larva juga pernahditemukan di kolam yang
berhubungan langsung dengan tanah (Sitorus 2004) dan air comberan (Sayono &
Amalia 2009). Pengujian laboratorium juga ditemukan bahwa air terpolusi juga
dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk Ae. aegypti
(Hadi et al. 2006). Penelitian yang berhubungan dengan jenis vektor dan
bioekologi nyamuk dialam khususnya nyamuk Aedes spp.di Kelurahan Pasir Kuda
belum pernah dilakukan. Berdasarkan pertimbangan tersebut peneliti tertarik
melakukan penelitian yang berjudul ”Bioekologi Nyamuk Aedes spp.dan Deteksi
Keberadaan Virus Chikungunyadi Kelurahan Pasir Kuda Kecamatan Bogor
Barat”.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari habitat perkembangbiakan,
perilaku dan kepadatan nyamuk Aedes spp.;Mendeteksi virus chikungunya dalam
tubuh nyamuk; Mempelajaripengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat terhadap
pencegahan chikungunya.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasilpenelitian ini akan menjadi informasi dasar untuk perencanaan
pengendalian vektor chikungunya, dan sebagai dasar sistem kewaspadaan dini
untuk mencegah terjadinya KLB chikungunya.
1.4 Kerangka Konsep Penelitian
Pengendalian vektor chikungunya yang efektif harus didasarkan pada
pemahaman yang benar tentang bioekologi nyamuk Aedes spp.sebagai tersangka
vektor. Bioekologi vektor yang dimaksud meliputi habitat perkembangbiakan
nyamuk, perilaku dan kepadatan nyamuk, serta mengetahui jenis nyamuk sebagai
vektor dengan deteksi virus chikungunya dalam tubuh nyamuk. Keberadaan
nyamuk di lapangan sangat berkaitan erat dengan perilaku masyarakat dalam
mendukung upaya PSN, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit
Keterangan:
: diteliti : tidak diteliti
Bioekologi Nyamuk Aedes spp.:
Tempat Perkembangbiakan:
• Jenis Wadah
• Bahan Wadah
• Warna Wadah
• Angka Jentik
Perilaku Nyamuk:
• Perilaku Bertelur
• Perilaku Menghisap Darah
• Perilaku Istirahat
Perilaku Masyarakat:
• Pengetahuan
• Sikap
• Praktek/Tindakan
Deteksi Virus Chikungunya dari Nyamuk
2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Chikungunya
Chikungunya merupakan satu di antara Arbovirosis (Arthrophode borne
viral diseases) yang disebabkan oleh virus dari Genus Alphavirus, Famili
Togaviridae.Awalnya virus ini merupakan jenis virus yang menyerang primata di
savana Afrika.Satwa primata yang bertindak sebagai inang definitifnya adalah
Papio sp. danCercopithecus sp. Siklus sylvatic di antara satwa primata tersebut
ditularkan oleh nyamuk Aedes spp.yaitu Ae.africanus, Ae. furcifer, Ae. taylori, Ae.
luteocephalus,Ae. cordelierri, Ae. opok. Selain menyerang primata, virus ini juga
menyerang jenis mamalia lain serta burung (Strauss 1994;Diallo et al 1999
Chikungunyaberasal dari bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita,
yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung, mengacu pada postur
penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia). Nyamuk dapat
mengandung virus chikungunya pada saat menggigit penderita yang sedang
viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul. Virus
tersebut berada di kelenjar liur nyamuk berkembangbiak selama 8-10 hari,
kemudian ditularkan lagi kepada orang yang sehat melalui gigitan nyamuk Aedes
spp.yang mengandung virus tersebut. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah
demam mendadak yang muncul tiba-tiba bisa mencapai 39-40
).
o
Studiyang dilakukan pada 107 orang penderita chikungunya di India
ditemukan bahwa 100% demam, 85.04% arthalgia, muntah 32.71%, edema
30.84%, myalgia 28.97%, menggigil 28.03%, nyeri punggung 20.56%, sakit C dan disertai
dengan menggigil yang tidak berlangsung lama, nyeri pada persendian (terutama
sendi lutut, pergelangan, jari kaki dan tangan serta tulang belakang), nyeri otot
pada otot bagian leher, bahu dan anggota gerak, ruam (kemerahan di kulit) bisa
terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-papular. Lokasi kemerahan di
daerah muka, hidung dan sekiarnya, badan, abdomen, tangan, dan kaki, pada bayi
sering juga ditemukan kelainan kulit yang berupa vesikel dan bullae (Riyaz et al
2010). Gejala tambahanadalah sakit kepala, kemerahan pada konjungtiva,
pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher, mual, muntah, kadang-kadang
kepala 19.62%, rash (kemerahan di kulit) 13.08%, luka di mulut 1.82%, pusing
3.75% dan diare 2.82%. Nyeri sendi bisa bersifat sementara selama beberapa
minggu, lebih dari 6 bulan dan bahkan ada juga yang menetap (Karthikeyen &
Deepa 2011).
2.2 Virus Chikungunya
Demam chikungunya disebabkan oleh virus chikungunya (CHIKV). Virus
ini termasuk dalam genus Alphavirus atau “group A” antrophode borne viruses
CHIKV adalah virus RNA yang mempunyai selubung luar membran lipid
(envelope), berbentuk spherical dan pleomorphic, dengan diameter ± 70 nm
(Kelvin 2011).Pada permukaan envelope terdapat tonjolan-tonjolan glikoprotein,
yang terdiri dari 2 glikoprotein berbentuk heterodimer (Gambar 1).Genom virus
terdiri dari 1 molekul RNA untai tunggal sepanjang 11.805 nukleotida yang
dibungkus oleh kapsid(Nucleocapsids)isometrik berdiameter 40 nm.Pada
genomnya terdapat 2 buah Open Reading Frame (ORF) yang mengkode
poliprotein nonstruktural dan struktural.
dari famili Togaviridae. Selain CHIKV terdapat juga anggota Alphavirus lainnya
yang dapat menyebabkan demam, ruam, dan artralgia, yaitu virus O’nyong-nyong,
Mayaro, Barmah Forest, Ross River, dan Sindbis, CHIKV paling dekat
hubungannya dengan virus O’nyong-nyong, walaupun secara genetik berbeda.
Gambar 1 Skema struktur virus chikungunya
(ViralZone
Poliprotein nonstruktural berfungsi untuk replikasi virus yang terdiri dari
nsP1, nsP2, nsP3, dan nsP4, sedangkan poliprotein struktural terdiri dari C
(capsid) dan E (envelope) E3, E2, 6K, E1. Kedua ORF tersebut diapit oleh
sebuah 5’ dan 3’ nontranslated region (NTR) pada kedua ujungnya (Khan et al.
2002; Akahata 2010). Gen protein nonstruktural (7425 nukleotida) yang diawali
dengan start codon triplet (ATG) pada posisi 77-79 dan diakhiri dengan stop
codon triplet (TAG) pada posisi 7499-7501, sementara gen protein struktural
(3735 nukleotida) menempati posisi 7567-11301 genom seperti terlihat pada
Gambar 2 (Khan et al. 2002).
CHIKV ditemukan dalam kelenjar tubuh nyamuk vektor seperti saluran
pencernaan, ovari, jaringan syaraf, kemudian bermigrasi ke rongga tubuh lainnya
dan masuk ke kelenjar ludah nyamuk. Virus akan keluar dari tubuh nyamuk atau
dipindahkan ke dalam tubuh manusia pada saat nyamuk tersebut menghisap darah
manusia. Kemampuan virus bereplikasi pada berbagai strain nyamuk sangat
bervariasi, yakni antara 1046–1074 PFU setiap nyamuk. CHIKV di dalam tubuh
manusia akan berkembang biak di jaringan kulit, kemudian menyebar ke hati,
persendian, darah dan susunan saraf pusat (SSP). Virus dapat menyerang semua
usia, baik anak-anak maupun dewasa. Di dalam tubuh manusia virus memerlukan
masa inkubasi selama 2-4 hari sebelum menimbulkan gejala penyakit (Schwartz
& Albert 2010).
Penderita mengalami viremia yang tinggi dalam 2 hari pertama sakit,
dengan jumlah virus 108 virus/ml darah.Viremia berkurang pada hari 3 atau
ke-4 demam, dan biasanya menghilang pada hari ke-5, tetapi dapat terjadi sampai
beberapa bulan tergantung daya tahan tubuh penderita (Schwartz dan Albert
2010).Silent infection dapat terjadi walaupun sangat jarang yaitu penderita tidak
menunjukkan gejala penyakit tetapi dapat menjadi sumber penularan (Schwartz
dan Albert 2010).Antibodi yang timbul dari penyakit ini membuat penderita kebal
terhadap serangan virus selanjutnya, sehingga perlu waktu panjang bagi penyakit
ini untuk merebak kembali.Infeksi akut ditandai dengan timbulnya IgM terhadap
IgG antichikungunya yang diproduksi sekitar 2 minggu sesudah infeksi (Schwartz
dan Albert 2010).
International Committee on Taxonomy
of Viruses (ICTV)2010sebagai berikut:
: Chikungunya Virus (CHIKV)
Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil
dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953.CHIKV pertama kali
disolasi oleh Ross pada kejadian epidemik dengue di wilayah Newala, Tanzania
pada tahun 1953. Strain Asia merupakan genotipe yang berbeda dengan virus asal
Afrika. Pemeriksaanvirus dalam tubuh nyamuk antara lain dilakukan dengan
mengisolasi virus chikungunya dengan biakan atau dengan teknik Polymerase
Chain Reaction (Depkes 2007).
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, merupakan suatu
dengan proses replikasi DNA dalam sel, dan bisa menghasilkan lebih dari sejuta
kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA
yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi.Pada
dasarnya, PCR mampu mengenali dan memperbanyak (amplifikasi) segmen DNA
sasaran walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah.Reaksi amplifikasi sangat
bergantung dari keberadaan enzim polymerase sebagai katalisator, terutama yang
tahan panas.Enzim yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah
polimerase DNA Taq (Taq polymerase) yang diisolasi dari bakteri tahan panas
thermus aquatic (Sudjadi 2008).
Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi 3 tahapan yaitu: Pertama
melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA melalui proses
denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara menaikkan suhu
sampai 95°C, sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses
denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi
rantai tunggal;Kedua adalah anneling atau pemasangan dua rantai primer pada
kedua rantai DNA tersebut. Primer merupakan oligonukleotida yang berfungsi
sebagai pemancing amplifikasi molekul DNA, yang terdiri atas dua macam yaitu
forward dan reverse. Primer forward mengawali amplifikasi cetakan DNA ke
arah kanan dengan arah sintesis dari ujung 5’P ke 3’OH, sebaliknya primer
reverse mengawali amplifikasi cetakan DNA ke arah kiri. Dengan adanya kedua
primer tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang PCR berlangsung.
Primer terdiri dari 18-24 deret basa nukleotida dan biasanya dapat dipasangkan
dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang
akan dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai dengan kebutuhan primer
tersebut, dan dilakukan dengan cara menurunkan suhu antara
37-60°C;Ketigaadalahextension atau perpanjangan. Pada proses ini
deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan dalam
pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18-24 deret basa nukleotida
akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di dNTP dan kemudian
menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh
adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja optimum pada suhu 72°C.
pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri bebas sampai enzim DNA
polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer. Setelah siklus PCR berakhir,
proses final extension dilakukan selama 5-15 menit pada suhu yang lebih rendah
dari ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA telah terbentuk
sepenuhnya. Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan
DNA sesuai kebutuhan (Sudjadi 2008).
2.4 Teknik PCR Untuk Mendeteksi Virus Chikungunya
Sampel yang digunakan pada PCR adalah DNA yang diekstrak dari sel atau
jaringan. Amplifikasi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai
template atau cetakan, sehingga pada sampel RNA perlu dilakukan proses
transkripsi balik (reverse transcription) atau RT-PCR. Pada metode RT-PCR,
pertama-tama RNA akan diubah menjadi DNA dengan menggunakan enzim
reverse transcriptase, menghasilkan komplemen DNA (cDNA). RNA virus dapat
di isolasai dari plasma, serum atau jaringan tubuh lainnya, dan nyamuk
vektor.Pemeriksaan molekuler dengan menggunakan RT-PCR khususnya telah
dikembangkan untuk mendeteksi beberapa Arbovirus termasuk virus chikungunya
(Hasebe et al. 2002; Pastorino et al. 2005; Carletti et al. 2007). Pada saat terjadi
wabah chikungunya tahun 2005-2006 di La Reunion, peneguhan diagnosa
dilakukan menggunakan teknik RT-PCR yang menarget gen E1 dengan primer
CHIKV forward, (5’ GCCTGGACACCTTTCGAC 3’) dan CHIKV reverse,
(5’AATTCTAATACGACTCACTATAGGGGCTCTTACCGGGTTTGTTGC 3’)
oleh Telles et al. (2009). Studi di Comoros oleh Sang et al. (2005) berhasil
mendeteksi CHIKV pada pool nyamuk dewasa yang dipisahkan sesuai spesies,
jenis kelamin dan tempat (10-15 nyamuk/pool) dengan teknik RT-PCR
menggunakan pasangan primer forward
(5’TGCGCGGCCTTCATCGGCGACTAC 3’) dan primer revese
(5’CCAGGTCACCACCGAGAGGG 3’), yang spesifik terhadap gen E1 berhasil
mendeteksi CHIKV pada 7 pool nyamuk Ae. aegypti.Pada wabah di Thailand,
Thavara et al. (2009) berhasil mendeteksi CHIKV menggunakan primer
forwardCHIK-F3 (5’ACGCAATTGAGCGAAGCAC 3’) dan primer revese
danAe. Albopictus. Rohani et al. (2005) menggunakan primer spesifik terhadap
gen protein nonstruktural (nsp1) yaitu primer forward CHIKnsP1-S (5’
TAGAGCAGGAAATTGATCCC 3’) dan primer revese CHIKnsP1-C (5’
CTTTAATCGCCTGGTGGTAT 3’), berhasilmendeteksi CHIKV dari nyamuk
Ae. aegyptipada wabah di Malaysia.
2.5 Vektor Chikungunya
Vektor dominanpenyakit chikungunya pada umumnya adalah nyamuk
NyamukAedes spp.dewasa dapat dibedakan dari jenis nyamuk umum
lainnya dengan melihat ujung abdomen (perut) meruncing, mempunyai sersi yang
menonjol, lalu bagian lateral dadanya terdapat rambut postspicular dan tidak
mempunyai rambut spikular.Klasifikasi ilmiah dari nyamuk Aedesmenurut
Christopher 1960adalah:
Famili Culicidae Subfamili Culicinae, Genus Aedesyaitu Ae.furcifer, Ae. taylori,
Ae. luteocephalus di Afrika (Diallo et al. 1999), di Asia Ae. aegyptidan Ae.
albopictus (Kaur et al. 2006; Pialoux 2007; WHO 2008; Lee et al. 2009; Eapen et
al. 2010). Di Indonesia ada 3 jenis nyamuk genus Aedes yang umum ditemukan
yaituAe. aegypti,Ae.albopictusdan Ae. scutelaris, tetapi yang dilaporkan sebagai
vektor chikungunya adalah Ae. aegyptidan Ae.albopictusyang dikenal juga
sebagai vektor penyakit Demam Berdarah Dengue (Hadi & Koesharto 2006;
Depkes 2007).
2.5.1 MorfologiAe. aegyptidan Ae. albopictus
Secaramorfologis kedua spesies nyamuk tersebut sangat mirip, tubuhnya
merupakan sisik yang menempel di luar tubuh nyamuk. Perbedaan keduanya
terletak pada strip putih yang terdapat di bagian skutumnya,Ae. aegyptiberwarna
hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit oleh dua
garis lengkung berwarna putih. Sementara skutum Ae. albopictusyang juga
berwarna hitam hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Demikian
juga menurut Hadi& Koesharto (2006), corak putih pada dorsal dada atau
punggung Ae.aegypti berbentuk seperti siku yang berhadapan (lyre-shaped),
sedangkan pada Ae.albopictus berbentuk lurus ditengah-tengah punggung (median
stripe).
2.5.2 Bioekologi Aedes spp.
NyamukAe. aegypti dan Ae. albopictus hidup di lingkungan sekitar
manusia. Ae.aegyptiterutama hidup di dalam dan sekitar rumah di daerah
perkotaan (urban). Hal serupa juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di
Sudan oleh Abdalmagid& Alhusein (2008). Tempat perindukan (breeding place)
dari nyamuk ini biasanya ada didalam atau sekitar rumah dalam radius 100 meter
dari rumah.Kebiasaan hidup stadium pradewasa Ae.aegyptiadalah pada bejana
buatan manusia yang berada di dalam maupun di luar rumah. Tempat perindukan
yang disukai pada umumnya adalah air bersih, tempat yang tidak terkena cahaya
matahari langsung dan tidak berhubungan langsung dengan tanah (Surtess 1967a),
tetapi pada tahap penelitian laboratorium nyamuk ini juga dapat meletakkan
telurnya pada pada air tercemar yaitu air sabun (Sudarmaja & Mardihusodo 2009).
Tempat perindukan tersebut antara lain terdapat di bak mandi, guci tempat
penyimpan air minum, kaleng bekas, pecahan botol,ban bekas, drum bekas, vas
bunga, talang air dan lain-lain yang berisi genangan air jernih. Demikian juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasyimi &Soekirno (2004) di dapatkan
bahwa larva nyamuk Ae.aegyptipaling banyak ditemukan pada tempayan (66,7%),
drum (32,6%), bak mandi sebesar 18,8% dan paling sedikit ember (5,4%). Selain
itu penelitian terhadap nyamuk ini juga dilakukan di Sudan dan ditemukan juga
bahwa larva nyamuk ini juga dapat hidup di lubang batu dan pot (Abdalmagid
&Alhusein 2008).Ae.albopictus lebih menyukai tempat perindukan yang alami di
pisang, tunggul bambu kaleng, kantung plastik bekas, di atas lantai gedung
terbuka, talang rumah, bambu pagar, kulit buah seperti buah rambutan, tempurung
kelapa, ban bekas dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih
dan lain-lain (Sembel 2009).
Beberapa faktor yang mempengaruhi terhadap perletakan telur nyamuk
tersebut antara lain jenis wadah, warna wadah, air, suhu, kelembaban dan kondisi
lingkungan setempat. Hal yang sama juga dilaporkan oleh (Hadi & Koesharto
2006), nyamuk Ae.aegyptiberkembang biak dalam tempat penampungan air yang
tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, tempayan, drum, vas bunga dan barang
bekas yang dapat menampung air hujan, demikian juga dengan nyamuk Ae.
albopictus, tetapi lebih banyak terdapat diluar rumah. Nyamuk Ae.
aegyptimemiliki organ kemoreseptor dan mekanoreseptor, sehingga dapat
mengetahui tempat untuk meletakkan telur, tempat makanan, mengenal sesama
jenis, membedakan musuh atau menemukan lawan jenis. Dengan organ
fotoreseptor yang ada pada mata majemuknya Ae.aegypti dapat membedakan
warna.Dari beberapa kajian diketahui bahwa nyamuk Ae.aegypti, terutama yang
betina lebih menyukai benda atau obyek yang berwarna gelap daripada yang
terang, baik untuk beristirahat atau bertelur dari nyamuk betina, seperti yang
dilaporkan oleh Sutrees (1967b).
Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp. berupa genangan-genangan
air yang tertampung di suatu wadah yang disebut kontainer dan bukan pada
genangan-genangan air di tanah, yang terdiri dari; a)Tempat penampungan air
(TPA), misalnya tangki air, bak besar, bak mandi, bak WC, drum, tempayan,
ember dan jambangan; b) Bukan tempat penampungan air (Non TPA), yang
terdiri atas barang-barang bekas (kaleng bekas, ban bekas, botol bekas, pecahan
piring, pacahan gelas, pecahan mangkok, bekas aquarium, bekas kolam ikan dari
semen, bekas TPA, bekas tempat mengaduk semen, tempat penadah air
dispenser), saluran air (talang, saluran air hujan, got semen, saluran WC, lubang
kran, bak meter) dan lain-lain (vas bunga, pot tanaman, helm, kolam di taman,
patok besi/plastic dan perangkap semut); c) Kantainer alamiah, misalnya potongan
jatuh, kulit keong, lubang pada batu, sejenis tumbuhan kantong semar(Depkes
2007).
KepadatannyamukAedes spp.dapat diperoleh dengan mengumpulkan larva
atau nyamuk dewasa. Pengumpulan larva diperoleh dengan melakukan survei
jentik dengan metode single larva dan visual. Single larva dilakukan dengan
mengambil satu larva di setiap tempat penampungan air yang ditemukan larva
untuk diidentifikasi lebih lanjut, sedangkan caravisual yaitu dengan melihat ada
atau tidaknya larva di setiap penampungan air tanpa mengambil larvanya.
Kemudian dapat dihitung kepadatan larva Aedes spp. dengan melakukan
pengukuran index larva(Depkes 2007)sebagai berikut: a) Angka Bebas Jentik
(ABJ) yaitu persenrase rumah yang tidak ditemukan larva dibandingkan dengan
seluruh rumah yang diperiksa; b) Angka rumah atau House index (HI) merupakan
persentase rumah yang positif diperoleh adanya larva Aedes spp.;c) Container
index (CI) merupakan persentase tempat penampungan air atau kontainer yang
positif diperolehadanya larva; d) Breteau index (BI) yaitu jumlah wadah atau
tempat perindukan yang positif dengan larva Aedes spp. yang ditemukan pada 100
rumah yang diperiksa.
NyamukAe. aegypti dan Ae.albopictusdewasa mempunyai perilaku makan
yang sama yaitu menghisap nectar dan cairan tanaman sebagai sumber energinya.
Selain energi, nyamuk betina juga membutuhkan pasokan protein untuk keperluan
produksi dan proses pematangan telurnya yang diperoleh dari cairan darah inang.
Di dalam proses memenuhi kebutuhan protein untuk proses pematangan telurnya
ditentukan oleh frekuensi kontak antara vektor dengan inang. Ae.aegyptidiketahui
bersifat antropofilik (Siriyasatien et al.2010). Hasil penelitian di Thailand
menunjukkan bahwa Ae.aegyptihampir sepenuhnya (99%,) menghisap darah
manusia, namun beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
Ae. aegyptimempunyai inang selain manusia yaitu binatang peliharaan seperti
anjing, kucing, sapi dan kuda. Ae.albopictusyang dikenal sebagai vektor kedua
virus DBD tersebut diasumsikan sebagai pemakan yang lebih umum
dibandingkan dengan Ae. aegypti. Fakta lain menunjukkan bahwa di daerah
tertentu nyamuk Ae. albopictushanya menjadikan manusia sebagai inang
inang dan preferensi vektor terhadap inang tersebut menentukan status spesies
tersebut sebagai vektor utama penyakit.
Nyamuk betina dewasa menghisap darah manusia (antropofilik) untuk
mematangkan telur pada siang hari baik di dalam rumah maupun di luar
rumah.Perilaku
PerilakunyamukAedes spp.sama
menghisap darah pada pagi hari sampai sore hari (lebih suka pada
jam 08.00-12.00 dan jam 15.00-17.00). Untuk mendapatkan darah yang cukup,
nyamuk betina sering menghisap darah lebih dari satu orangdalam satu siklus
gonotropik dengan jarak terbang sekitar 100 meter, tetapi dilaporkan juga kedua
jenis nyamuk ini mampu terbang dengan mudah dan cepat dalam mencari tempat
perindukan dengan radius 320 meter. Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk
betina perlu istirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telur (Agoes
2009).Kepadatan nyamuk dewasa dilakukan dengan menghitung: a) Biting atau
Landing Rate, yaitu angka yang menunjukkan jumlah nyamuk Aedes spp.betina
yang tertangkap dengan umpan orang per jam penangkapan per orang; b) Resting
Rate yaitu angka yang menunjukkan jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap
pada penangkapan nyamuk hinggap atau istirahat (Depkes 2007).
seperti perilaku nyamuk pada umumnya,
mempunyai 2 cara beristirahat yaitu istirahat yang sebenarnya yaitu selama waktu
menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu pada waktu
sebelum dan sesudah mencari darah pada tempat lembab, teduh dan aman.
Perilaku nyamuk berbeda tergantung jenisnya, ada nyamuk masuk ke rumah
hanya untuk menghisap darah lalu keluar, ada pula sebelum maupun sesudah
mengisap darah hinggap di dinding untuk beristirahat.Tempat yang lebih disukai
Ae.aegypti untuk beristirahat adalah di dalam rumah, yaitu yang mengantung dan
memiliki permukaan licin, seperti pakaian yang digantung, gorden atau alat-alat
rumah tangga, tempat yang gelap, berbau dan lembab. Demikian juga dengan
hasil penelitian yang dilakukan di Panama yang menemukan bahwa nyamuk
Ae.aegyptiberistirahat di kamar tidur, ruang keluarga, dankamar mandi (Perich et
al. 2000). Nyamuk Ae.albopictus lebih memilih beristirahat di luar rumah, seperti
rumput-rumputan dekat tempat perindukan yang tidak terpapar sinar matahari,
tanaman hias di halaman rumah (Agoes 2009),pendapat ini juga didukung oleh
2.6 Perilaku Masyarakat
Perilakumanusiapada hakikatnya adalah tindakan aktivitas manusia itu
sendiri yang dapat diamati langsung maupun tidak langsung oleh pihak luar.
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan individu, kelompok atau masyarakat. Bloom (1974) membagi perilaku
dalam 3 (tiga) domain (ranah) yakni : kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut
Notoatmodjo (2007), dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan
dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur
dari :
1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt
behavior). Pengetahuan dibagi dalam 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2007): a) Tahu
(know), artinya mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya; b)
Memahami (comprehension), Memahami artinya suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar; c) Aplikasi (aplication), artinya
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi yang sebenarnya; d) Analisis (analysis), artinya suatu kemampuan untuk
menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih
di dalam satu struktuk organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain; e)
Sintesis (synthesis), artinya suatu kemampuan seseorang untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada; f) Evaluasi (evaluation), artinya
kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
2 Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007) sikap adalah respons tertutup seseorang
terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan
emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Sikap relatif konstan
dan agak sukar berubah sehingga jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya
tekanan yang kuat. Pembentukan sikap dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
misalnya pengalaman pribadi, kebudayaan, orang yang berpengaruh, media
massa, institusi pendidikan maupun lembaga agama. Dengan perkataan lain, sikap
merupakan perubahan yang meniru perilaku orang lain karena orang lain tersebut
dianggap sesuai dengan dirinya.
3 Praktik atau tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan.Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata dibutuhkan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas.Tindakan adalah niat
yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak dan
memerlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan.Dari pandangan
biologis tindakan merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan. Tindakan mempunyai beberapa tingkatan: a) Persepsi (perception),
yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil; b) Respon terpimpin (guided response), yaitu tingkah laku yang
dilakukan sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan yang telah
dicontohkan; c) Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah dapat
melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan; d) Adopsi (adoption), yaitu tindakan yang sudah
berkembang dengan baik, sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran
3METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitiandilakukan di RW 03 dan RW 04 Kelurahan Pasir Kuda
Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor, bulan Desember 2010 hingga Agustus 2011.
Pemilihan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan sebaran kejadian
chikungunyayang berpusat di dua RW yaitu RW III dan RW IV, dan
masing-masing RW diambil 3 RT (Gambar 3). Wilayah penelitian memiliki kepadatan
penduduk yang tinggi dan wilayahnya berbatasan dengan perkebunan karet,
sehingga ada kemungkinan bahwa tempat perkembangbiakan nyamuk pada wadah
bukan TPA maupun wadah alamiah yang terdapat pada perkebunan karet di dekat
pemukiman penduduk.Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dan
memanfaatkan lahan disekitar perkebunan untuk ditanami tanaman, sehingga
memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya kontak dengan nyamuk.
3.2 Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam bentuk survei lapangan selama4 bulan,
kemudian dilanjutkan deteksi keberadaan virus dalam tubuh nyamuk di
laboratorium.Kegiatan survei dilakukan pada rumah penduduk yang bersedia
diperiksa di lokasi penelitian.Jumlahrumah minimalyang diperiksa dalam
penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n = N
Dari perhitungan tersebut diperoleh 124 rumah setiap bulan pengamatan.
Semua nyamuk yang tertangkap dari 124 rumah tersebut dijadikan sebagai sampel
dalam penelitian ini, dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu: 1) Pengumpulan
telur nyamuk; 2) Pengumpulan larva; 3) Penangkapan nyamuk dewasa; 4)
Wawancara dan observasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat; 5) Deteksi
virus chikungunya pada nyamuk.
3.2.1 Bagan Alur Penelitian
3.2.2 Pengumpulan Telur Nyamuk
Telurdikumpulkan menggunakan ovitrap yaitu berupa kaleng kecil yang
dicat warna hitam. Cara pemasangannya adalah mengisi kaleng ovitrap dengan air
sampai ± setengah (250ml), lalu masukkan kertas saring mengelilingi kaleng
ovitrap, kemudian disimpan di tempat-tempat gelap yang diduga sebagai tempat
persembunyian nyamuk, misalnya bawah kolong tempat tidur, bawah meja, atas
lemari dan sebagainya. Pengambilan ovitrap dilakukan 5 hari kemudian dan
selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dihitung jumlah telurnya. Telur yang
sudah di hitung tersebut tersebut ditetaskan di laboratorium dan dipelihara atau
rearing sampai dewasa. Dari data pengumpulan telur tersebut dapat dihitung
Ovitrap Index.Pemasangan ovitrap dilakukan 2 kali dalam seminggu pada rumah
penduduk yang tidak didapatkan larva maupun nyamuk dewasa.
3.2.3 Pengumpulan Larva Nyamuk
Pengumpulan larva nyamuk dilakukan dengan mengamati semua wadah
atau tempat penampungan air yang berada di dalam maupun di luar rumah
penduduk yang diperiksa. Tempat penampungan yang dimaksud berupa bak
mandi dan WC, ember, drum, tempayan, kaleng dan ban bekas, kelopak daun dan
lain-lain.Pengamatan ada atau tidaknya larva nyamuk dilakukan secara visual
dengan menggunakan alat bantu berupa senter dan pipet. Jika positif, maka larva
tersebut diambil dengan menggunakan cidukan atau gayung dan dipindahkan ke
dalam plastik dengan menggunakan pipet.Larva dari setiap wadah yang positif
dipisahkan, diberi label dan dibawake laboratorium untuk diidentifikasi.Kemudian
wadah positif tersebut dicatat jenis, bahan, dan warna.Kepadatan larvadari
lapangandihitungIndex Larvayaitu Angka Bebas Jentik (ABJ), House index (HI),
Container index (CI)dan Breteau index (BI). Pengumpulan larva dilakukan 2kali
seminggu selama 4 bulan dari jam 06.00 sampai jam 18.00.
3.2.4 PengumpulanNyamuk Dewasa
Nyamuk dewasa diperoleh dengan cara penangkapan menggunakan metode
HumanLanding Collection (HLC)atau umpan orang dan Resting Collection (RC).
rumah dan 1 orang lagi menangkap di luar rumah.Penangkapan nyamuk dengan
umpan orang dilakukan selama 20 menit per rumah dan 5 menit selanjutnya
menangkap nyamuk yang sedang istirahat. Tiap penangkap duduk dengan celana
digulung sampai lutut dan menunggu 20 menit untuk digigit nyamuk. Nyamuk
yang hinggap langsung ditangkap dengan aspirator dan dimasukkan dalam gelas
kertas atau paper cup dibedakan per rumah dan metode penangkapan, kemudian
dibawa ke laboratorium dan dimasukkan freezer -20°C.Keragaman spesies dan
kepadatan nyamuk yang tertangkap dihitung Landing Rate (LR), Man Biting Rate
(MBR), Resting Rate (RR).Pengumpulan nyamuk dewasa dilakukan 2 kali
seminggu selama 4 bulan dari jam 06.00 sampai jam 18.00.
3.2.5 Identifikasi Nyamuk
Nyamuk yang telah dikumpulkan tersebut, diidentifikasi sesuai kunci
identifikasi Depkes (2008).Nyamuk dipisahkan berdasarkan jenis, waktu, lokasi
pengambilan dan dimasukkan kedalam tabung eppendorf sebanyak 5-25 ekor per
tabung, laludimasukkan freezerdengan suhu -80°C sampai dilakukanRT-PCR.
3.2.6 Deteksi Virus Chikungunya Pada Nyamuk
Pemeriksaanvirus chikungunya dalam tubuh nyamuk di lakukan terhadap
semua nyamuk hasil penangkapan dari lapangan dengan RT-PCR. Kegiatan yang
dilakukan meliputi: 1) Ekstraksi RNA virus; 2) Pengujian RT-PCR
Ekstraksi RNA Virus
Ekstraksi RNA virus diawali dengan menggerus nyamuk menggunakan
pestle kemudian ditambahkan media (BA1) sesuai jumlah nyamuk. Sebanyak
10-25 nyamukditambahkan BA1 1ml; 5-10 nyamukditambahkan BA1 500 µl; dan
bila kurang dari 5 nyamukditambahkan BA1 250µl. Gerusan diaduk sampai larut,
setelah itu sentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit, kemudian
140 µl supernatan diambil untuk ekstraksi RNA virus dengan tahapan sebagai
berikut: Pertama, sebanyak 560 lysis mix yang terdiri atas 560 µl AVL dan 5.6µl
RNA-carrierdimasukkan ke dalam tabung eppendorf1.5ml, lalu ditambahkan
sampel 140µl, kemudian vortexselama 15 detik, setelah itu di inkubasi dalam
tersebut ditambahkan ethanol sebanyak 560µl, lalu vortex selama 15 detik dan
sentrifuse 5 detik; Ketiga, sebanyak 630µl larutan tersebut dipindahkan ke dalam
spin column yang terpasang pada collection tube, dan sentrifuseselama 30 detik,
kemudian collection tube dibuang dan diganti dengan collection tubeyang baru
(langkah tersebut diulangi sampai campuran habis);Keempat, selanjutnya
ditambahkan 600µl AW1, lalusentrifuseselama 30 detik, dancollection tube
dibuang sertadiganti, kemudian ditambahkan lagi 600µl AW2, lalu
sentrifuseselama 30 detik, lalu collection tube dibuang dan diganti, setelah
itusentrifusedengan kecepatan maksimum 1 menit dengan tujuan untuk
mengeringkan, collection tube dibuang dan spin column dipindahkan ke
eppendorf 1.5 ml.Kemudian ditambahkan buffer AVE 60µl (tepat ditengah tanpa
menyentuh dinding atau filter),lalu didiamkan selama 3 menit
dansentrifusedengan kecepatan 10.000 rpm selama 1 menit.Hasil ekstraksi RNA
tersebut dapat langsung digunakan sebagai templateRT-PCR atau dapat simpan
pada suhu -80°C bila tidak digunakan.
RT-PCR
DeteksiRNA virus chikungunya dengan menggunakan pasangan
Primermenggunakan Primer forward CHIKnsP1-S dengan sekuens
5’-TAG-AGC-AGG-AAA-TTG-ATC-CC-3’ dan Primer reverse CHIKnsP1-C dengan
sekuens 5’-CTT-TAA-TCG-CCT-GGT-GGT-AT-3’ (Rohani et al.
2005).Sebelum di lakukan RT- PCR, perlu disiapkan campuran PCR Master Mix
PCR di atas cold block dalam biosafety cabinetuntuk volume/reaksi 12.5µl, yang
terdiri atas beberapa reagen sebagai berikut: dH20 1.25 µl, 2x buffer6.25 µl,
Primer forward (200 pmole) 0.25 µl, Primer reverse (200 pmole) 0.25 µl, Enzyme
0.25 µl. Masukkan 8.5 µl campuran PCR kedalam masing-masing tabung PCR
dan ditambahkan 4 µl template untuk setiap sampel.Tabung tersebut ditutup rapat
dan disentrifuse, kemudian tempatkan pada mesin PCR untuk
amplifikasi.Amplifikasi dilakukan pada total volume/reaksi 12.5 µl menggunakan
Superscript III one-step RT-PCR kit (Invitrogen) dengan 200 pmol primers dan 4
µl template RNA.Kondisi PCR diawali dengan tahapreverse traskripsi pada suhu
48°C selama 30 menit, yang diikuti dengan 35 siklus denaturasi pada 94°C selama
menit serta diakhiri ekstensi final pada 72°Cselama 7 menit (Rohani et al. 2005;
Thavara et al. 2009).
Elektroforesis
Produk amplifikasi selanjutnya diseparasi pada 1% gel agarose. Gel agarose
1% dibuat dengan cara mencampurkan 1 gram agarose dengan 100ml TAE buffer,
kemudian dipanaskan pada microwave sampai larut, diaduk rata dan didinginkan
pada air mengalir sampai hangat. Selanjutnya ditambahkan 5 µl etidium bromida
(0.5 µl/10 ml agarosa) kemudian diaduk rata. Gel tersebut dimasukkan ke dalam
cetakan, dibiarkan dingin dan mengeras (±30 menit). Setelah agarose mengeras,
dimasukkan ke dalam tangki (chamber) elektroforesis yang berisi buffer
TAE.Berikutnya disiapkan 1 µl loading dye (6x), ditambahkan produk PCR 5 µl
dan diaduk sampai merata di atas kertasparafilm, kemudian dimasukkan ke dalam
sumuran pada gel agarose, lalu masukkan pula berturut-turut5 µl Ladder DNA 1
kb diletakkan sesuai kebutuhan,5 µl kontrol negatif dan 5 µl kontrol positif pada
sumur-sumur berikutnya.Kontrol positif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi
master mix yang dicampur dengan RNA virus chikungunya yang diperoleh dari
Pusat Studi Satwa Primata Institut Pertanian Bogor (PSSP-IPB).Kontrol negatif
adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan
RNAase-free water. Elektroforesis dengan arus listrik 120 Vselama 45 menit,
DNA akan bergerak dari kutup negatif ke kutub positif.
Visualisasi
Setelah dielektroforesis, gel agarose diletakkandi atas transluminator ultra
violetuntuk melihat hasil amplifikasi. Pita molekul yang terlihat pada gel agarose
menandakan adanya segmen DNA. Pita DNA tersebut kemudian dibandingkan
dengan pita yang ada pada kontrol positif dan Ladder atau marker.
3.2.7 Survai Perilaku Masyarakat
Kegiatansurvaipengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat dalam
melakukan pencegahan terhadap penyakit chikungunya diperoleh dengan cara
wawancara terhadap penduduk dengan panduan kuesioner terstruktur (Depkes
diwakili oleh satu orang) berusia lebih dari 15 tahun dan bersedia untuk
diwawancarai.
3.3Analisis Data
Semua data yang diperoleh baik data bioekologi maupun hasil pemeriksaan
keberadaan virus dianalisis secara deskriptif dan analitik serta disajikan dalam
bentuk narasi, tabel dan grafik dengan program exel dan SPSS.
Parameterukuran laju populasi nyamuk larva Aedesspp.dengan menghitung
indeks larva yaitu ABJ, HI, CI, BI.ABJ (Angka Bebas Jentik) adalah persentase
rumah penduduk yang tidak ditemukan larva nyamuk. HI (House Index) adalah
persentase rumah yang ditemukan larva dari seluruh rumah yang diperiksa. CI
(Container Index) adalah persentase wadah yang ditemukan jentik dari seluruh
wadah yang diperiksa.BI(Bretau Index) adalah jumlah wadah yang ditemukan
larva nyamuk dalam 100 rumah yang diamati.
Rumus :
ABJ = Jumlah rumah yang tidak diperoleh larva
X 100 Jumlah rumah yang diperiksa
HI = Jumlah rumah positif larva
X 100 Jumlah rumah yang diperiksa
CI = Jumlah wadahpositif larva
X 100 Jumlah wadah yang diperiksa
BI = Jumlah wadahpositif larva
X 100 Jumlah rumah yang diperiksa
Kepadatan populasi nyamuk (Density Figure, DF) diperoleh dari gabungan
dari HI, CI dan BI dinyatakan dalam skala 1-9 (Tabel 1), dengan 3 kategori yaitu
DF=1: kepadatan rendah, DF= 2-5: kepadatan sedang dan DF= 6-9:kepadatan
Tabel 1 Kepadatan populasi larva nyamuk menurut WHO 1972
Kepadatan nyamuk dewasa dihitung dengan indeks nyamuk yaitu Landing
Rate (LR), Man Biting Rate(MBR), dan Resting Rate (RR).LR adalahkepadatan
nyamuk Aedes spp. yang tertangkap sedang menghisap darah manusia sebagai
umpan. MBR adalah kepadatan nyamuk umpan orang per hari. RR adalah
kepadatan nyamuk yang sedang istirahat pada setiap rumah yang
dikunjungi.Kepadatan telur nyamuk dapat dilihat dengan menghitung Ovitrap
Index (OI) dan Jumlah telur nyamuk per ovitrap.Data pengetahuan, sikap dan
perilaku masyarakat di nilai berdasarkan jumlah jawaban yang benar dari hasil
wawancara dengan kategorikan menjadi 3 kategori yaitu: 1) Baik: >70; 2) Cukup
atau sedang: 40-70; 3) Kurang: <40.
Rumus :
LR = Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap umpan orang Jumlah penangkap x jam penangkapan
MBR = Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap umpan orang Jumlah hari x jumlah umpan orang
RR=
Jumlah nyamuk Aedes spp.tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap Jumlah rumah yang dilakukan penangkapan
OI = Jumlah ovitrappositif telur
X 100 Jumlah ovitrapyang diperiksa
Kepadatan telur = Jumlah telur
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Habitat dan Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes spp.
Wadah yang diamati selama penelitian berlangsung sebanyak 591 wadah
dari 483 rumah yang diperiksa. Sebagian besar (92.96%) rumah yang diperiksa
mempunyai minimal 1 (satu) tempat penampungan dan hanya 7.04% rumah yang
tidak memiliki tempat penampungan air. Penduduk yang tidak memiliki tempat
penampungan ini menggunakan air langsung dari sumur di dalam rumah sehingga
tidak tidak memiliki tempat penampungan air. Keberadaan tempat perindukan
sangat berperan dalam kepadatan nyamuk Aedes spp., karena semakin banyak
tempat perindukan yang sesuai maka populasi nyamuk Aedes spp. semakin padat
sehingga peluang nyamuk untuk kontak dengan manusia dan menularkan berbagai
penyakit lebih besar. Faktor yang mempengaruhi peletakan telur nyamuk tersebut
antara lain jenis wadah, warna wadah, bahan dasar wadah, letak wadah, dan
kondisi lingkungan (ketersediaan habitat potensial, curah hujan, pH air, suhu dan
kelembaban udara).
Hasil identifikasi dari seluruh larva nyamuk yang ditemukan pada semua
wadah yang diperiksa di lapangan ada 2 spesies nyamuk Aedes yaitu Ae. aegypti
dan Ae. albopictus. Kedua larva nyamuk tersebut secara morfologi dapat
dibedakan dari bentuk comb scales. Larva Ae.aegypti mempunyai comb scales
yang tajam dan bergerigi berbentuk trisula, sedangkan larva Ae. albopictus dengan
gerigi yang halus atau fringe (Gambar 4).
Gambar 4Comb scales larva Ae. aegypti berbentuk trisula (1) dan Ae. albopictus
dengan gerigi yang halus atau fringe (2).
4.1.1 Jenis Wadah
Wadahatautempat penampungan yang dimiliki oleh masyarakat di lokasi
penelitian dibagi menjadi 3 kategori wadah yaitu Tempat Penampungan Air
(TPA), bukan TPA dan Penampungan Alamiah. TPA merupakan wadah buatan
manusia yang digunakan penduduk menampung air untuk keperluan
sehari-hari.Bukan TPA yaitu wadah produktif buatan manusia yang berpotensi besar
untuk tempat perindukan nyamuk tetapi wadah tersebut tidak digunakan oleh
penduduk untuk keperluan sehari-hari.Tempat penampungan alamiah yaitu tempat
alamiah yang bisa dimanfaatkan oleh nyamuk sebagai tempat meletakkan
telurnya, misalnya kelopak daun, lubang pohon dan sebagainya.Beragamnya
tempat penampungan air sangat berpotensi bagi nyamuk Aedes spp.untuk
berkembangbiak.
Gambar5menunjukkan bahwa jenis wadah yang paling banyak ditemukan
yaitu TPA sebesar 541 buah (91.54%), bukan TPA sebanyak 47 buah (7.95%) dan
tempat penampungan alamiah sebanyak 3 buah (0.51%). Kepadatan larva paling
tinggi ditemukan pada tempat penampungan alamiah (100%), diikuti oleh wadah
bukan TPA (89.36%) dan yang paling rendah adalah wadah TPA yaitu
(18.85%).Keberadaan wadah penampungan alamiah dan wadah bukan TPA
sangatberpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk nyamuk Aedes spp.
Gambar 6 Tanaman Bromelia (wadah penampungan alamiah) yang positif larva
Aedes spp. di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai
Maret 2011.
Wadah alamiah yang ditemukan di lapangan yaitu pada tanaman di halaman
rumah penduduk. Semua tanaman yang ada diamati, tetapi hanya 3 tanaman dari
jenis tanaman yang sama (bunga bromelia) yang terdapat air pada kelopak
daunnya dan ketiga tanaman tersebut yang positif diperoleh larva nyamuk
(Gambar 6).Walaupun jumlah tanaman yang ditemukan positif hanya 3 tanaman
tetapi setiap kelopak daun pada tanaman tersebut didapatkan positif larva nyamuk
Aedes spp. sehingga wadah alamiah di lokasi penelitian merupakan wadah
potensial untuk perkembangbiakan larva nyamuk.Setelah diidentifikasi di
laboratorium larva nyamuk yang di peroleh dari tamanan tersebut semuanya larva
Ae.albopictus.
Tabel 2menunjukkan KepadatanlarvaAe.aegypti paling tinggi yaitu pada
wadah bukan TPA (40.43%), wadah TPA (14,97%) sedangkan pada wadah
alamiah tidak diperoleh selama penelitian. Kepadatan larva Ae.albopictus paling
tinggi yaitu pada wadah alamiah (100%), kemudian wadah bukan TPA (40.43%)
dan yang paling rendah yaitu pada wadah TPA (3.51%). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tempat yang paling berpotensi untuk perkembangbiakan larva
nyamuk Ae.aegyptidi Kelurahan Pasir Kuda adalah pada wadah bukan TPA,
sedangkan tempat perkembangbiakan larva Ae. albopictus pada wadah alamiah.
Demikian juga denganpenelitiandi Singapura yang pernah dilaporkan oleh Chan et
al. (1971) bahwa di daerah perkotaan habitat nyamuk Ae. aegyptidan Ae.
Tabel 2 Kepadatan larva nyamuk berdasarkan jenis wadah penampungan di Kelurahan Pasir Kuda periode Desember 2010 sampai Maret 2011
Jenis Wadah
Bak mandi/WC 333 56.35 16.52 2.10 0 18.62
Ember 182 30.80 9.34 4.40 1.10 14.84
Drum 11 1.86 27.27 18.18 0 45.45
Tempayan 15 2.54 40 13.33 0 53.33
Σ TPA 541 91.54 14.97 3.51 0.37 18.85
Bukan TPA
Barang bekas 14 2.37 35.71 64.29 0 100
Vas Bunga 11 1.86 36.36 54.55 9.09 100
Aquarium 6 1.02 33.33 0 16.67 50
Kubangan 3 0.51 33.33 0 66.67 100
dispenser 2 0.34 100 0 0 100
Tempat minum burung 2 0.34 50 50 0 100
Tempat siram bunga 2 0.34 50 50 0 100
Talang air 2 0.34 50 50 0 100
Penutup Sumur 2 0.34 100 0 0 100
Kolam 3 0.51 0 33.33 0 33.33
Σ bukan TPA 47 7.95 40.43 40.43 8.51 89.36
Alamiah
Kelopak daun (bunga) 3 0.51 0 100 0 100
Σ Alamiah 3 0.51 0 100 0 100
Total 591 100 16.92 6.94 1.02 24.87
Wadah TPA yang paling banyak digunakan oleh masyarakat adalah bak
mandi/WC (56.36%), namun kepadatanlarva paling tinggi pada tempayan
(53.33%), drum (36.36%), bak mandi/WC (18.62%).Ketiga jenis wadah ini
merupakan wadah yang potensial untuk memfasilitasi perkembangan nyamuk
Aedes spp. menjadi dewasa. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian Ishak et al. (2009) di Sulawesi Selatan yang menemukan bahwa
tempayan atau gentong merupakan wadah TPA yang dominan ditemukan larva.
Namun berbeda dengan hasil penelitian Hadi et al. (2006) di desa Cikarawang
juga menemukan bahwa wadah yang dominan ditemukan larva Aedes adalah
tangki air (33.3%). Perbedaan ini disebabkan karena masyarakat dikedua lokasi
mempunyai kebiasaan yang berbeda dalam menampung air dan sumber air yang
digunakan. Sebagian besar mayarakat di lokasi penelitian menggunakan air dari