• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDEKS MUTASI HAKIM

Dalam dokumen DAFTAR ISI Laporan Tahunan 2013 (Halaman 71-76)

BAB III PENELITIAN DAN

D. INDEKS MUTASI HAKIM

Indeks mutasi peradilan merupakan penelitian yang mengkaji kesesuaian antara aturan formal dan praktek yang terjadi di lapangan terkait dengan issue mutasi para Hakim. Dengan mengetahui secara riil melalui data empirik di lapangan, didapati beberapa pola yang terjadi pada setiap proses mekanisme mutasi hakim. Kegiatan ini pada dasarnya merupakan tindak lanjut dari penelitian pada tahun sebelumnya yang telah memotret peta problematika hakim di seluruh Indonesia. Setelah masalah kesejahteraan relatif dipecahkan pasca keluarnya PP No. 94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, maka berdasarkan hasil identifikasi penelitian tahun sebelumnya masalah berikutnya yang harus dipecahkan adalah persoalan mutasi.

Kegiatan Pengukuran Indeks Mutasi Hakim dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosio-legal. Dengan pendekatan tersebut, maka dilakukan 2 metode pengumpulan data, yaitu: a. kuantitatif; berupa survei yang menggunakan sampling dari Badan Peradilan yang berada dalam satu level dan sejenis, b. pendekatan kualitatif berupa observasi dan wawancara terhadap beberapa badan peradilan dan pelakunya yang dijadikan objek survei.

Indeks mutasi hakim dilaksanakan mulai bulan Maret sampai bulan November dengan total 17 sampling daerah, yaitu: Simeleu-Sinabang, Sabang, Medan, Kuala tungkal-Tj. Jabung, Kalianda, Pandeglang, Garut, Surabaya, Singkawang, Nunukan, Malinau, Tahuna, Ambon, Mataram, Praya, Atambua dan Abepura.

Beberapa diantaranya merupakan daerah (Nunukan, Kuala Tungkal, Garut, Surabaya, Mataram, dan Ambon) yang dijadikan sample dalam kegiatan penelitian problematika hakim yang dilakukan pada tahun 2012. Hal ini sengaja dilakukan karena tim peneliti telah mempunyai tingkat komunikasi yang intens dengan para hakim di sana sehingga bisa dijadikan acuan dalam memperdalam informasi yang ingin dicari dalam menjawab permasalahan penelitian. Sementara daerah lainnya (Simeleu, Tahuna, Atambua, Natuna, Singkawang, dan Abepura) merupakan sampling tambahan dengan kriteria daerah yang mempunyai keterbatasan akses transportasi, kesehatan, keamanan, perbatasan, stereotipe dan biaya daerah.

Dari sebelas pengadilan negeri obyek penelitian pada tahun 2013, ada 86 kuesioner yang terkumpul dan terisi. Adapun persebaran kuesioner pada sebelas PN obyek penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 37

Jumlah Responden Kuesioner

No Nama PN Jumlah Responden

1 PN Sinabang 7 2 PN Atambua 9 3 PN Medan 24 4 PN Ambon 4 5 PN Kalianda 1 6 PN Malinau 4 7 PN Mataram 3 8 PN Singkawang 5 9 PN Tahuna 5 10 PN Surabaya 17 11 PN Pandeglang 7 Jumlah 86

Kesimpulan utama di dalam indeks mutasi hakim menyatakan bahwa penegakan

fairness dan objektifitas dalam proses mutasi pada Hakim masih menjadi prioritas utama

dibandingkan dengan membentuk sistem baru. Selain itu Hasil Penelitian Indeks Mutasi Hakim memaparkan adanya temuan mengenai 3 klasifikasi besar dalam pola penempatan hakim, yaitu Pertama, Pola “Obat Nyamuk”; Kedua, Pola Tersebar; Ketiga, Pola Campuran. Masing-masing pola itu memiliki kondisi dan karakteristik yang berbeda.

Gambar 1

1. Pola “Obat Nyamuk”

Istilah pola “obat nyamuk” sudah banyak dikenal dan digunakan dikalangan hakim. Penggunaan istilah “obat nyamuk” terinspirasi dari obat nyamuk jenis batang yang berbentuk spiral, atau berputar mengelilingi satu pusat ordinat. Istilah itu digunakan untuk menyebut pola perpindahan yang lokasinya tidak berjauhan, bisa dalam satu pulau yang sama, bisa juga dalam provinsi yang sama, atau berbeda pulau dan provinsi tetapi lokasinya tidak berjauhan. Kecenderungan penempatan hakim dengan pola obat nyamuk terjadi dalam minimal 3 kali penempatan, bahkan ada hakim yang mengalami penempatan 8 kali berputar di Pulau yang sama. Sama dengan bentuk obat nyamuk, pola perpindahan ini juga memiliki titik pusat ordinat tertentu, walaupun titik ordinat itu belum tentu sama antara satu hakim dengan hakim lainnya.

Sebagai contoh hakim yang merasakan pola obat nyamuk adalah seorang Hakim PN Sinabang dengan penempatan sebagai berikut:

Gambar 2

Contoh Pola Obat Nyamuk

Hakim tersebut diatas sudah bertugas di 7 (tujuh) pengadilan negeri yang berbeda. Enam dari tujuh pengadilan negeri itu terletak di Pulau Jawa, bahkan 5 diantaranya adalah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, yang lokasinya relatif berdekatan. Sementara itu, satu tempat di luar Jawa adalah di Lampung yang akses transportasi ke

Adanya pola “obat nyamuk” disebabkan karena tiga alasan utama, yaitu adanya permohonan resmi dari hakim, adanya bantuan dari oknum pengambil kebijakan kepada sang hakim, atau adanya kebijakan hakim crash program.

a. Pola “Obat Nyamuk” berdasarkan permohonan

Pola tersebut biasa terjadi terhadap hakim yang secara resmi mengajukan surat permohonan untuk ditempatkan di tempat tertentu. Kesempatan untuk hakim mengajukan surat semacam itu memang diperbolehkan dan untuk sebagiannya dikabulkan.

b. Pola “Obat Nyamuk” berdasarkan bantuan pengambil kebijakan

Pola tersebut sudah lama terjadi, bahkan sampai akhirnya menjadi pengetahuan umum dikalangan para hakim. Namun, tidak banyak yang mempermasalahkan karena menganggap sudah “tahu sama tahu”. Bantuan yang dimaksud adalah kebijakan menempatkan seorang hakim di tempat tertentu, dimana kecenderungnannya di lokasi yang strategis atau dekat dengan keluarga. c. Pola “Obat Nyamuk” berdasarkan kebijakan crash program

Kebijakan Crash Program dikeluarkan pada saat banyak kerusuhan yang terjadi di wilayah konflik, seperti NAD, Ambon, dan Papua. Berdasarkan informasi dari beberapa hakim, kebijakan itu dibuat untuk mengisi kekosongan hakim di beberapa pengadilan negeri yang ditinggalkan hakim terdahulu karena takut. Hakim-hakim crash program ini merupakan putra-putri daerah setempat, yang sebelumnya bekerja di lingkungan peradilan dan kanwil Departemen Kehakiman.

2. Pola Tersebar

Pola tersebar menempatkan hakim pada rentang wilayah yang berjauhan. Dengan pola itu tidak hanya menempatkan hakim pada provinsi atau pulau yang berbeda, tetapi jaraknya juga jauh. Sebagai contoh hakim yang merasakan pola tersebar adalah seorang hakim Pengadilan Negeri Ambon dengan penempatan sebagai berikut:

Gambar 3 Contoh Pola Tersebar

Melihat dari contoh diatas, hakim tersebut sudah mengalami 7 kali penempatan. 6 dari 7 penempatannya terletak di pulau yang berbeda, hanya ketika pindah dari Fakfak ke Biak saja yang berada dalam satu pulau. Kondisi itu yang membuat hakim-hakim yang merasakan pola tersebar ini seperti dibuang. Beberapa hakim yang merasakan pola tersebar ini sempat diwawancara, mereka merasa tidak banyak dikenal atau memiliki kenalan para pemegang kebijakan di Mahkamah Agung.

Adanya pola tersebar tersebut dipengaruhi juga dengan adanya cara pandang bahwa seorang hakim harus tahu dan memiliki pengalaman bekerja atau menangani kasus-kasus hukum di berbagai daerah di Indonesia. Dengan pengalaman yang banyak, maka diharapkan hakim akan memiliki banyak pertimbangan dan referensi dalam memutus suatu perkara. Namun dengan Pola Tersebar secara otomatis biaya yang dikeluarkan lebih besar dibanding penempatan pada wilayah yang berdekatan. Selain itu, hakim juga akan menghadapi proses adaptasi yang cukup berat, karena dengan

3. Pola Campuran

Pola campuran merupakan perpaduan dari pola “obat nyamuk” dan pola tersebar. Perpaduan itu bisa terjadi karena masa kerja hakim yang sudah cukup lama, yaitu diatas 20 tahun. Sehingga ada masa sang hakim berputar di satu wilayah, tetapi ada kalanya sang hakim ditempatkan jauh dari wilayah penempatan semula. Sebagai contoh hakim yang merasakan pola campuran adalah seorang Hakim Pengadilan Negeri Medan dengan penempatan sebagai berikut:

Gambar 4 Contoh Pola Campuran

Dalam dokumen DAFTAR ISI Laporan Tahunan 2013 (Halaman 71-76)

Dokumen terkait