• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN PUTUSAN HAKIM TAHUN 2013

Dalam dokumen DAFTAR ISI Laporan Tahunan 2013 (Halaman 64-67)

BAB III PENELITIAN DAN

A. PENELITIAN PUTUSAN HAKIM TAHUN 2013

Pada tahun 2013 metode baru diintroduksikan dengan tujuan peningkatan kualitas analisis penelitian. Metode tersebut memfokuskan sasarannya dalam memotret dan memetakan adanya gap atau biasa disebut dengan disparitas yang seringkali terjadi pada putusan Hakim. Disparitas dalam putusan hakim adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian karena berpotensi untuk menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dengan mengkaji hal tersebut harapannya dapat membantu para hakim untuk mengidentifikasi sekaligus mengevaluasi hasil putusan mereka dan diperbaiki kedepannya.

Penelitian Putusan Hakim 2013 menghasilkan beberapa temuan dan 132 laporan penelitian, yang terdiri dari:

1. 120 laporan penelitian untuk 5 (lima) putusan di tingkat pengadilan pertama dan 5 (lima) putusan pengadilan tingkat berikutnya), antara lain:

Tabel 32

Jumlah Putusan Yang Diteliti

No. Jenis Perkara Jumlah Putusan Diteliti

1. Korupsi 40 Putusan

2. Narkotika 10 Putusan

3. Kekerasan Anak 10 Putusan

4. Pailit 30 Putusan

5. Merek 10 Putusan

6. Perceraian 10 Putusan

7. Agraria 10 Putusan

Jumlah 120 Putusan

Temuan utama yang terdapat dalam Penelitian Putusan tahun 2013, yaitu: 1. Disparitas Putusan Korupsi

Telah terjadi disparitas hakim secara horisontal yaitu antara sesama putusan pengadilan tipikor tingkat pertama dan juga antara sesama putusan pengadilan tipikor tinggi, serta antara sesama putusan Mahkamah Agung. Disparitas vertikal juga terjadi antara Pengadilan Tipikor Tingkat Pertama dengan Pengadilan Tipikor tingkat selanjutnya terhadap Pasal 3 dan 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Implikasi hukum terhadap disparitas penafsiran atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah timbulnya penjatuhan hukuman yang berbeda-beda. Apabila putusan didasarkan pada penafsiran restriktif hakim atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka tampak dalam beberapa putusan, pengadilan menjatuhkan pidana penjara minimal berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang jauh lebih ringan dari ancaman pidana minimal dalam Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika ini terjadi terus menerus, maka tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku dan akan diikuti pelaku lain, sehingga hal itu akan membahayakan bagi kredibilitas Pengadilan Tipikor, akibat ketidakpercayaan masyarakat.

2. Disparitas Putusan Narkotika

Terdapat tiga hal penting yang dijadikan hakim sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang dapat menimbulkan disparitas dalam penerapan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta yaitu (1) dengan dasar pertimbangan yuridis seperti dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa, barang bukti (berat/ringannya), fakta-fakta di persidangan, keyakinan hakim dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika, (2) dasar pertimbangan non yuridis seperti akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa dan jenis perkara (Splitzing) serta (3) hal-hal yang memberatkan terdakwa seperti perbuatan terdakwa tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika, terdakwa tidak menyesali perbuatannya dan tidak kooperatif dalam persidangan, kemudian hal-hal yang meringankan terdakwa seperti terdakwa sopan dan kooperatif di persidangan, masih berusia muda dan menyesali perbuatannya.

3. Disparitas Putusan Kekerasan Terhadap Anak

Pada perkara ini telah ditemukan bahwa hakim dalam menguraikan pertimbangan hukumnya terhadap pemenuhan unsur-unsur, seperti dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dari tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa dari beberapa putusan masih

4. Disparitas Putusan Pailit

Terjadi perbedaan pemaknaan yang cukup signifikan terkait konsep-konsep hukum yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Perbedaan pemaknaan (disparitas divergen) tersebut terjadi baik secara horisontal di antara sesama putusan pengadilan niaga maupun sesama putusan Mahkamah Agung, maupun antar-putusan secara vertikal.

5. Disparitas Putusan Merek

Dalam prakteknya disparitas putusan secara horizontal tingkat pengadilan niaga terdapat pada penerapan hukum materiilnya sedangkan disparitas putusan secara horizontal tingkat kasasi terjadi pada penalaran hukum. Sementara itu, disparitas vertikalnya terjadi dalam penarapan hukum materiil.

6. Disparitas Putusan Perceraian.

Ada 4 hal temuan yang pokok kajian terkait dengan disparitas terhadap putusan perekara perceraian, yaitu:

a. Dalam kaitan hukum formal, ditemukan tidak adanya sumber hukum formal lainnya di luar undang-undang, misalnya doktrin dan/atau yurisprudensi yang dijadikan dasar dalam pertimbangan hakim melakukan pemeriksaan/penilaian alat bukti dibeberapa putusan.

b. Ketiadaan konsep utama yang dielaborasi oleh hakim dalam pertimbangan hukum dan pencantuman dasar hukum selain undang-undang yang digunakan untuk mengelaborasi pertimbangan putusan menunjukkan bahwa hakim kurang cermat dan lemah di dalam menggali konsep dan dasar hukum tersebut.

c. Diajukannya kembali putusan hakim tingkat pertama ke tingkat banding pada putusan menunjukkan bahwa putusan hakim tingkat pertama belum meraih kemanfaatan yang dimiliki oleh para pihak.

d. Dilihat dari segi penalaran hukum, masih belum nampak dengan jelas pola penalaran hukum hakim di dalam penerapan hukum acara, hukum material, dan filosofi penjatuhan sanksi.

e.

7. Disparitas Putusan Sengketa Tanah

Dalam beberapa pengadilan yang dikaji, terdapat persoalan dalam penerapan hukum baik hukum formil dan materiil. Persoalan terkait penerapan hukum formil yang sering terjadi terutama berupa pelanggaran asas putusan yang penting sebagaimana diatur dalam Pasal 178 HIR, pelanggaran ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, serta pelanggaran ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Dari sisi hukum materiil, dalam putusan tidak ditemukannya adanya penerapan hukum materiil yang elaboratif serta masih kurangnya penalaran hukum yang argumentatif padahal aspek hukum materiil ini sangat erat kaitannya dengan asas keadilan (justice). Tidak hanya itu, beberapa putusan, justru asas keadilan tidak dipertimbangkan dan terdesak oleh aspek kepastian hukum yang diutamakan oleh hakim sebagai dasar dalam putusannya.

Dalam dokumen DAFTAR ISI Laporan Tahunan 2013 (Halaman 64-67)

Dokumen terkait