• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indikasi dan Kontra-indikasi Penggunaan Akupunktur

Bab 2 Tinjauan Pustaka

3. Akupunktur

3.6. Indikasi dan Kontra-indikasi Penggunaan Akupunktur

1. Pengobatan Alternatif

1.1. Definisi

Pengobatan alternatif dapat didefinisikan sebagai suatu cara mencari pengobatan dengan memilih diantara dua atau beberapa kemungkinan untuk menyembuhkan penyakit (Depdiknas, 2005). Turana (2003) mendefinisikan pengobatan alternatif sebagai bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan cara, alat, atau bahan yang tidak termasuk dalam standar pengobatan kedokteran modern (pelayanan kedokteran standar) dan dipergunakan sebagai alternatif atau pelengkap pengobatan kedokteran modern tersebut.

1.2. Jenis-jenis

Nahin, Barnes, Stussman, Bloom (2009), dala pengobatan CAM dikategorikan menjadi 5 kategori, antara lain:

a. Alternative Medical System/ Healing System – non medis

b.

terdiri dari Homeopathy, Naturopathy, Ayurveda dan Traditional Chinese Medicine (TCM)

Mind Body Intervention

c.

terdiri atas Meditasi, Autogenics, Relaksasi

Progresif, Terapi Kreatif, Visualisasi Kreatif, Hypnotherapy, Neurolinguistik Programming (NLP), Brain Gym, dan Bach Flower Remedy.

Terapi Biologis terdiri dari Terapi Herbal, Terapi Nutrisi, Food Combining, Terapi Jus, Makrobiotik, Terapi Urine, Colon Hydrotherapy.

d. Manipulasi Anggota Tubuh

e.

terdiri atas Pijat/Massage, Aromatherapy, Hydrotherapy, Pilates, Chiropractic, Yoga, Terapi Craniosacral, Teknik Buteyko.

Terapi Energi

1.3. Cara Memilih Pengobatan Alternatif

Dari penelitian Supardi (1996) dikatakan bahwa sesorang yang sakit dalam studi pengambilan keputusan berobat biasanya akan mempertimbangkan 3 hal yang menjadi pertanyaan pokok: (a). Alternatif apa yang dilihat anggota masyarakat agar mampu menyelesaikan masalahnya, (b). Kriteria apa yang dipakai untuk memilih salah satu dari beberapa alternatif yang ada, (c). Bagaimana proses pengambilan keputusan untuk memilih alternatif tersebut.

Diantara salah satu respon seseorang terhadap pencarian pelayanan kesehatan atas sakitnya adalah dengan datang ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional atau alternatif (Notoadmodjo, 2003). Oleh karena diperlukan cara memilih pengobatan alternatif yang tepat dan memanfaatkannya secara cerdas. Hal ini perlu diketahui karena sebagaimana pengobatan konvensional, pengobatan alami juga bisa membahayakan jiwa. Beberapa hal berikut ini yang perlu diperhatikan adalah:

terdiri dari Akupunktur, Akupressur, Refleksiologi, Chi Kung, Tai Chi, Reiki, dan Prana healing.

a. Pilih pengobatan yang sesuai dengan masalah b. Pengobatan alamiah tidak sama dengan perdukunan c. Alamiah tidak berarti bebas efek samping

d. Jangan mengharapkan hasil segera

e. Sesuaikan pengobatan dengan gaya hidup f. Pola makan yang baik (CBN, 2004).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Memilih Pengobatan Alternatif

Menurut (Foster & Anderson, 1986; Turana, 2003; Dharmojono, 2001), ada banyak faktor yang berperan dalam pemilihan seseorang terhadap pengobatan alternatif, antara lain sebagai berikut:

2.1. Faktor Sosial

Setiap individu sejak lahir berada di dalam suatu kelompok (lingkungan), terutama lingkungan keluarga. Suatu kelompok dalam lingkungan ini akan membuka kemungkinan untuk dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain (Notoatmodjo, 2007).

Faktor sosial disebabkan pengaruh informasional yaitu pengaruh agar informasi yang diperoleh dari orang lain diterima sebagai fakta, sehingga dengan pengaruh tersebut individu mempunyai dua sumber informasi mengenai kenyataan: pengalaman sensorik pribadi dan laporan serta perilaku orang-orang yang berada disekitarnya (Deutch & Gerard, 1955 dalam Maramis, 2006). Salah satu faktor yang mendasari terjadinya interaksi sosial adalah sugesti yaitu pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu sehingga orang tersebut mengikuti pandangan / pengaruh

tersebut tanpa berpikir panjang. Sugesti akan lebih berhasil bila yang memberi sugesti adalah orang berwibawa atau yang memiliki tipe otoriter (Sunaryo, 2004).

Dalam penelitian yang dilakukan Varghese (2004) disebutkan bahwa pengaruh sosial memang sangat kompleks salah satunya adalah pengaruh orang lain atau sugesti teman memiliki angka 11,59% dari alasan pemilihan pengobatan alternatif. Hal ini terlihat pada fenomena sosial di sebagian masyarakat bahwa perilaku mencari dan memelihara kesehatan pada pengobatan alternatif tersebut sudah mendapatkan pembenaran bahkan saling merekomendasikan si sakit pada pengobatan alternatif (Foster & Anderson, 1986).

Kelman (1961, dalam Maramis 2006) menetapkan tiga macam proses pengaruh sosial: kepenurutan (compliance), identifikasi dan internalisasi.

Kepenurutan terjadi bila kita menyesuaikan diri dengan suatu usaha

memengaruhi, tetapi hanya pada tingkat perilaku dan bila sendirian tetap pada sikap dan pandangan kita sebelumnya. Identifikasi terjadi bila kita menerima sikap dan kepercayaan orang lain agar terjadi suatu ‘relasi yang baik dengannya’ tanpa memperhatikan kehadiran fisik mereka (yaitu apakah mereka dapat memonitor perilaku kita atau tidak). Internalisasi terjadi bila sikap dan pendapat yang dimasukkan betul-betul menjadi kepunyaan kita. Kita menerima itu secara mendasar dan seutuhnya, karena isinya yang menjadi terintegrasi dengan sistem nilai kita.

2.2. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan seperti keuangan, perindustrian, dan

perdagangan (Depdiknas, 2005). Dalam penelitiannya, Varghese (2004) menyebutkan bahwa 13,04% responden menyatakan pengobatan alternatif dipilih karena alasan murah. Mahalnya obat-obatan modern dan tingginya biaya fasilitas kedokteran canggih menjadi alasan masyarakat mencari jenis pengobatan alternatif, pengobatan modern mensyaratkan kemampuan ekonomi yang memadai. Faktor ekonomi mempunyai peranan besar dalam penerimaan atau penolakan suatu pengobatan. Faktor ini diperkuat dengan persepsi masyarakat bahwa pengobatan alternatif sedikit membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu (Foster & Anderson, 1986). Kedokteran konvensional sangat tergantung dari teknologi yang mahal untuk memecahkan masalah kesehatan, meskipun kadang pula hal tersebut tidak efektif (Turana, 2003).

Kedokteran modern menjadi identik dengan unpersonal dan high cost medicine yang hanya terjangkau oleh sekelompok kecil masyarakat dan kedokteran modern tersebut belum mampu secara meyakinkan manangani masalah penyakit degeneratif seperti masalah penuaan, kanker, diabetes, hipertensi. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat dan minat pencari pertolongan terhadap pengobatan konvensional (Turana, 2003).

2.3. Faktor Budaya

Budaya merupakan suatu pikiran, adat-istiadat, kepercayaan, yang menjadi kebiasaan masyarakat (Depdiknas, 2005). E.B. Taylor, Bapak Antropologi budaya, mendefinisikan budaya sebagai “ keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat (Mulyana & Rakhmat, 2003). Kluckhon (1949 dalam Maramis 2006) mendefinisikan bahwa kebudayaan atau kultur merupakan keseluruhan cara hidup manusia sebagai warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya.

Nilai-nilai budaya yang dominan pada diri individu sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Selanjutnya, kepribadian tersebut akan menentukan pola dasar perilaku manusia, termasuk perilaku dalam hal memilih pengobatan (Notoatmodjo, 2007). Dalam hal ini budaya dipengaruhi oleh suku bangsa yang dianut pasien, jika aspek suku bangsa sangat mendominasi maka pertimbangan untuk menerima atau menolak didasari pada kecocokan suku bangsa yang dianut.

Semua kebudayaan mempunyai cara-cara pengobatan, beberapa melibatkan metode ilmiah, yang lain melibatkan kekuatan supranatural dan supernatural. Dalam beberapa kebudayaan, orientasi adalah pada masa kini, bukan pada masa depan, dan pasien mungkin tidak menyelesaikan pengobatan jangka panjang ketika gejala-gejala yang menonjol telah hilang. Dalam suatu masyarakat di mana kesembuhan dianggap berhubungan dengan tingginya harga yang dibayar untuk pengobatan, maka kepercayaan pada kedokteran barat yang tersedia gratis atau murah menjadi kurang (Maramis, 2006).

Pengobatan alternatif tradisional masih digunakan oleh sebagian besar masyarakat bukan hanya karena kekurangan fasilitas pelayanan kesehatan formal yang terjangkau oleh masyarakat , tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor sosial budaya dari masyarakat tersebut (Turana, 2003). Disamping itu hal ini sesuai

dengan apa yang dikemukakan oleh Foster & Anderson (1986) bahwa sistem medis adalah bagian integral dari masyarakat.

2.4. Faktor Psikologis

Manusia merupakan makhluk bio-psiko-sosio-kulutural-spiritual, dan unsur-unsur ini saling mempengaruhi. Pendekatan psikologis yaitu yang berkenaan dengan proses mental baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku (Depdiknas, 2005). Kebutuhan akan hal tersebut menurut Kessler & Rees L dalam Turana (2003) dapat dipenuhi oleh pengobat alternatif sehingga pasien lebih dapat mengontrol penyakitnya.

Aspek psikologis akan mempengaruhi emosi yang berhubungan erat dengan keadaan jasmani (Notoatmodjo, 2007). Peranan sakit merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan, karena itu berbagai cara akan dijalani oleh pasien dalam rangka mencari kesembuhan maupun meringankan beban sakitnya, termasuk datang ke pelayanan pengobatan alternatif (Foster & Anderson, 1986). Kenyamanan diperoleh pada saat pengobatan karena tidak menggunakan peralatan yang menyakitkan. Misalnya, patah tulang, tidak perlu diamputasi atau digips (Notoatmodjo, 2007).

2.5. Faktor Kejenuhan terhadap Pelayanan Medis

Proses pengobatan yang terlalu lama dari pengobatan medis menyebabkan si penderita bosan menerima peran sebagai pasien, dan ingin segera mengakhirinya, oleh karena itu dia berusaha mencari alternatif pengobatan lain yang mempercepat proses penyembuhannya ataupun hanya memperingan rasa

sakitnya (Foster & Anderson, 1986). Menurut Turana (2003) dari sudut pandang pasien bukan suatu hal yang penting mengenai dasar ilmiah. Pengguna dari pengobatan alternatif ini biasanya pula sudah mencoba pengobatan konvensional yang tidak menyembuhkan penyakitnya.

2.6. Faktor Manfaat dan Keberhasilan

Varghese (2004) menyatakan keefektifan dari pengobatan alternatif menjadi alasan yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan pengobatan alternatif. Suatu hal dikatakan berhasil apabila mendatangkan hasil atau perubahan ke arah yang diharapkan (Depdiknas, 2005). Pernyataan ini juga didukung oleh Turana (2003) adanya beberapa manfaat umum dari pengobatan alternatif baik secara psikologis dan sosial yang tidak terpengaruh dengan keberadaan pengobatan modern, yaitu: mengurangi stres dan kecemasan akibat ketidakpastian penyakit, biaya yang rendah dan menyenangkan, penguatan dan keterlibatan langsung pasien dalam penanganan penyakitnya.

Penelitian Verhoef et al, pada pasien tumor otak yang menggunakan pengobatan alternatif menunjukkan dua pertiganya menyatakan bahwa pengobatan tersebut bermanfaat. Secara umum pasien mengatakan bahwa tingkat ‘ energi ‘ meningkat dan merasa lebih sehat fisik dan mental. Pada sepertiga pasien mempunyai harapan yang tinggi bahwa pengobatan alternatif ini mampu mengecilkan dan menghilangkan tumornya. Penelitian Ernaldi bahar dkk, terhadap gangguan kesehatan jiwa pada anak dan remaja di Palembang menunjukkan bahwa orang tua penderita percaya bahwa pengobatan tradisional lebih kompeten dan mampu mengobati kesehatan jiwa anaknya.

Penelitian Kessler et al, pada pasien yang menderita ansietas dan depresi didapatkan data bahwa sebagian besar pasien menyatakan pengobatan alternatif sama berguna dengan pengobatan konvensional. Dalam suatu diskusi panel National Institut of Health (NIH) yang dihadiri oleh 23 ahli di bidang kedokteran perilaku, penanganan nyeri, ilmu jiwa, ilmu saraf dan psikologi ditemukan berbagai bukti kuat bahwa penggunaan teknik relaksasi dan terapi perilaku dapat mengurangi rasa nyeri dan masalah insomnia akibat berbagai kondisi penyakit. Diskusi Panel NIH pernah juga memberikan simpulan bahwa akupuntur efektif untuk mengurangi nyeri gigi, mual, muntah, nyeri kepala dan nyeri pinggang bawah (Turana, 2003).

2.7. Faktor Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata, telinga atau kognitif yang merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh seseorang yang didapat secara formal dan informal. Pengetahuan formal diperoleh dari pendidikan sekolah sedangkan pengetahuan informal diperoleh dari media informasi yaitu media cetak seperti buku-buku, majalah, surat kabar, juga media elektronika seperti televisi, radio dan internet (Purwanto, 1996).

Pengetahuan formal terkait dengan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang berbeda mempunyai kecenderungan yang tidak sama dalam

mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan mereka, hal ini yang juga dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan terhadap pengobatan (Notoatmodjo, 2003). Tingkat pendidikan yang masih rendah serta kurangnya informasi kesehatan yang diterima menyebabkan sebagian besar masyarakat kurang menyadari akan pentingnya kesehatan. Keadaan seperti ini membuat masyarakat berpedoman bahwa sehat adalah jika kondisi fisik / biologisnya masih mampu melakukan aktivitas dan gerakan yang normal seperti biasanya berarti dalam kondisi sehat, sedangkan konsep sakit adalah jika kondisi tubuh sudah tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (Foster & Anderson, 1986).

Terdapat beberapa sumber pengetahuan, yaitu (1). Kepercayaan berdasarkan tradisi, adat-istiadat dan agama adalah berupa nilai-nilai warisan nenek moyang. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan cenderung bersifat tetap (permanen) tetapi subjektif. (2). Otoritas kesaksian orang lain, sumber pengetahuan ini dari pihak-pihak pemegang otoritas kebenaran pengetahuan yang dapat dipercayai adalah orang tua, guru, ulama, orang yang dituakan. (3). Panca indera (pengalaman), sumber ketiga pengetahuan ini merupakan pengalaman indrawi. Kemampuan pancaindera ini sering diragukan kebenarannya. (4). Sumber yang keempat yaitu akal pikiran. Akal pikiran senantiasa bersifat meragukan, pengetahuan semu dan menyesatkan. (5) Intuisi merupakan sumber pengetahuan berupa gerak hati atau bersifat spiritual. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung (Suhartono, 2005).

2.8. Persepsi tentang Sakit dan Penyakit

Persepsi adalah pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera. Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda, meskipun mengamati terhadap objek yang sama, sama halnya dengan persepsi seseorang tentang sakit (illness) dan penyakit (disease) juga berbeda-beda. Persepsi dapat merubah perilaku seseorang, termasuk perilaku kesehatan. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya), maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut (Notoatmodjo, 2007).

Becker (1979 dalam Notoatmodjo 2007) mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan yaitu: perilaku sehat dan perilaku sakit. Perilaku sehat (health behavior) merupakan hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Sedangkan perilaku sakit (the sick role behavior) merupakan segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit.

Penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Jadi penyakit bersifat objektif. Sedangkan, sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit. Fenomena subjektif ini ditandai dengan tidak enak (Sarwono, 1993).

3. Akupunktur

3.1. Definisi

Kata akupunktur berasal dari bahasa Yunani, yaitu acus yang berarti jarum dan punctura yang berarti menusuk. Di dalam bahasa Inggris menjadi to puncture, sedangkan kata asal dalam bahasa Cina adalah cenciu. Kata tersebut kemudian diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi akupunktur atau tusuk jarum. Sebagai suatu sistem pengobatan, akupunktur dapat didefenisikan sebagai suatu pengobatan yang dilakukan dengan cara menusukkan jarum di titik-titik tertentu pada tubuh pasien. Maksudnya adalah agar pasien sehat kembali (Dharmojono, 2001).

Saputra (2005) mendefinisikan akupunktur sebagai suatu cara pengobatan yang memanfaatkan rangsangan pada titik akupunktur untuk memengaruhi aliran bio energi tubuh berdasar pada filosofi keseimbangan hubungan antara permukaan tubuh dan organ melalui sistem meridian yang spesifik. Dalam satu meridian terdapat beberapa titik akupunktur yang

dimanfaatkan sebagai pintu masuk rangsangan ke dalam meridian (Mann, 1974 dalam Saputra 2005).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa akupunktur merupakan suatu pengobatan yang dilakukan dengan cara menusukkan jarum di titik-titik tertentu pada tubuh melalui sistem meridian yang spesifik yang bertujuan untuk mengembalikan sistem keseimbangan tubuh sehingga tubuh sehat kembali.

3.2. Sejarah Akupunktur

Perkembangan Akupunktur di Luar Negeri

Ilmu akupunktur merupakan ilmu pengobatan yang berasal dari negara Cina dan telah dikenal sejak 4000-5000 tahun yang lalu. Menurut buku Huang Ti Nei Ching (The Yellow Emperror’s Classic of Internal Medicine) ilmu akupunktur sudah mulai dikenal sejak zaman batu, di mana digunakan jarum batu untuk menyembuhkan penyakit (Saputra, 2005).

Perkembangan ilmu akupunktur di Cina dimulai pada zaman Cun Ciu Can Kuo (770-221 SM). Pada zaman ini ilmu akupunktur berkembang dengan menggunakan bahan dari batu berubah ke bambu, dari bambu ke tulang, dan kemudian perunggu (Dharmojono, 2001).

Baru pada masa pertengahan abad XX, ilmu akupunktur bangkit dengan mengadakan penyesuain terhadap tuntutan zaman serta perkembangan ilmiah zaman modern. Di negara Cina, praktik akupunktur tidak saja dilakukan oleh akupunkturis (pengobatan Cina) saja akan tetapi dokter-dokter lulusan Fakultas Kedokteran Cina juga melakukan praktik serupa. Bahkan, ilmu akupunktur merupakan sebuah mata pelajaran dalam perguruan tinggi kedokteran di negara tersebut. Sejak tahun 1958 mulai diintensifkan riset dalam bidang ilmu pengobatan akupunktur. Pada tahun 1968 mulai diadakan riset penggunaan ilmu akupunktur dalam pembedahan sebagai anestesi (Saputra, 2005).

Di negara Korea, ilmu akupunktur diperkirakan masuk sejak 2000 tahun yang lampau. Dan pada tahun 1963, ilmuwan dari negeri tersebut yang bernama Prof. Kim Bong Han, ahli Biologi dari Universitas Pyong Yang telah meneliti dan

mendemonstrasikan secara histologis dan elektrobiologis tentang meridian dan titik akupunktur dalam teori yang disebut teori sistem Kyung Rak (Saputra, 2005).

Di negara Belanda, akupunkturis Wilhelem ten Rhyne, seorang dokter VOC mengungkapkan pengobatan rematik dengan akupunktur di dalam bukunya dan diterbitkan pada tahun 1683 di London (Saputra, 2005). Di negara Perancis, pada tahun 1863, Louise Berlioz mengungkapkan secara jelas dalam bukunya tentang ilmu akupunktur. Bahkan sebelum itu tahun 1816 Louise mempelajari penggunaan elektropuncture dan pada tahun 1825 electropuncture mulai digunakan untuk pengobatan gout, rematik, dan lain-lain (Saputra, 2005).

Di Amerika Serikat, ilmu akupunktur telah berkembang lama dalam lingkungan Cina Town di Kota San Francisco dan New York. Di Elstein Hospital dan Massachuset Hospital telah dilakukan penyelidikan mengenai anestesi dengan akupunktur. Demikian pula para dokter di Michigan’s State Hospital telah berhasil menggunakan akupunktur sebagai anestesi pada beberapa pembedahan antara lain pencangkokan kulit, eksisi tumor, operasi hernia, pencabutan gigi yang dilaporkan memuaskan (Saputra, 2005).

Perkembangan Akupunktur di Indonesia

Perkembangan akupunktur di Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara lain tidaklah tertinggal. Hidupnya cara pengobatan akupunktur di Indonesia seumur dengan adanya perantau Cina yang masuk ke negara Indonesia. Mereka membawa kebudayannya termasuk pengobatan akupunktur ke Indonesia. Hanya saja pada saat itu akupunktur masih berkembang di lingkungan mereka dan sekitarnya. Selanjutnya sejak tahun 1963, Departemen Kesehatan dalam rangka

melakukan penelitian dan pengembangan cara pengobatan timur termasuk akupunktur, atas instruksi Menteri Kesehatan waktu itu (Prof. Dr. Satrio), telah membentuk tim riset Ilmu Pengobatan Tradisional Timur. Maka sejak saat itu praktik akupunktur diadakan secara resmi di RS Cipto Mangunkusumo.

Dalam perkembangannya, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan akupunktur semakin meningkat, sehingga saat ini telah terbentuk pendidikan akupunktur untuk jenjang Diploma III (Ahli Madya Akupunktur) berdasar Kepmenkes RI No. 1277.Menkes/SK/VIII/2003 (Saputra, 2005).

3.3. Konsep Dasar Akupunktur

Ribuan tahun yang lalu, manusia memilki rasa keakraban bahkan menyatu dengan lingkungannya. Manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, baik secara fisik, perilaku, maupun pola pikirnya. Pemikiran para ahli pada saat itu tidak terlepas dari pola pikir tertentu, yaitu proses melahirkan kreasi-kreasi yang dipengaruhi oleh keadaan dan kaidah-kaidah alam sekitarnya, seperti matahari, bulan, bumi (tanah), pohon (kayu), api, air, angin, panas, dan dingin. Sehingga dasar pemikiran ilmu akupunktur juga bersumber dari interrelasi dari berbagai karakter benda alam (Dharmojono, 2001).

Aspek yin-yang di dalam tubuh

Teori yin-yang mengemukakan bahwa segala sesuatu di bumi ini terdiri atas dua hal yang berlawanan, yaitu yin dan yang. Yin-yang mempunyai pengertian alamiah bahwa sesuatu di alam semesta berdasarkan dua sifat, yaitu saling berlawanan, saling seimbang, saling menghidupkan dan tidak mutlak.

Dalam yin terdapat yang (gelap-terang). Dalam yang terdapat yin (terang-gelap). Selama tercapai keseimbangan (homeostasis) antara yin dan yang maka tubuh manusia dalam kondisi sehat (Saputra, 2005).

Menurut Dharmojono (2001), dalam ilmu akupunktur dikenal 12 organ. Enam organ berkarakter yin dan enam organ lainnya berkarakter yang. Organ berkarakter yin dikenal sebagai organ chang, sedangkan organ berkarakter yang disebut fu. Kedua organ dalam tersebut, dinamakan chang fu. Yang termasuk organ chang fu sebagai berikut:

Organ chang : Paru-paru (Lung= LU), Jantung (Hearth= HT), Hearth capsule

(HC), Limpa (Spleen = SP), Hati (Liver = LR), Ginjal (Kidney = KI), Perikardium (PC). Organ fu: Usus besar (large intestine = LI), Usus kecil (small intestine = SI), Sanciao (three energizer = TE), Lambung (stomach = ST), Kantung empedu (gall blader = GB), Kandung kemih (bladder = BL)

Hukum lima unsur dalam Akupunktur

Salah satu teori pengobatan dalam akupunktur adalah hukum lima unsur, karena kondisi seimbang maupun sakit tidak bersifat linear, tetapi mempunyai kompleksitas secara dinamis. Teori lima unsur dalam pengobatan tradisional dapat diartikan sebagai fenomena fisiologis maupun patofisiologis dalam kedokteran modern. Energi dalam teori lima unsur, yaitu: Kayu- Api- Tanah- Logam- Air yang bersirkulasi saling menghidupi, membatasi, penindasan, dan penghinaan. Di mana semua unsur tersebut saling berinteraksi dan berusaha menimbulkan suatu harmoni dalam tubuh untuk menjaga keseimbangan energi untuk mencapai kondisi sehat (Saputra, 2005).

Dharmojono (2001) mengungkapkan terdapat lima unsur pokok yang mutlak dibutuhkan makhluk hidup yang terdiri dari: bahan makanan, energi, tempat dan lingkungan hidup, atmosfer atau udara, dan air. Dengan pergerakan lima unsur merupakan salah satu komponen dalam sistem homeostasis di dalam tubuh. Keadaan yang seperti ini akan tercapai apabila berada di bawah pengaruh dua aspek kekuatan yin-yang yang seimbang dan dinamis pula.

3.4. Jenis Akupunktur dan Alat yang Digunakan dalam Akupunktur

Pada awalnya, alat-alat yang digunakan untuk merangsang titik-titik akupunktur secara tradisional adalah benda-benda tajam (jarum metal). Saat ini, alat-alat ynag digunakan telah berkembang pesat sesuai dengan inovasi baru dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, yaitu dengan penggunaan rangsangan panas (moksa, TDP, sinar merah). Rangsangan yang menggunakan aliran gelombang listrik adalah elektro akupunktur (electro acupuncture), elektro stimulator (electro stimulation), dan elektru punktur (electro puncture). Rangsangan lain yang digunakan adalah rangsangan dengan sinar laser, gelombang ultrasonik, dan magnet. Rangsangan dengan menggunakan cairan, larutan kimiawi atau obat disebut juga akuapunktur (aquapuncture) (Dharmojono, 2001).

3.5. Meridian dan Titik-titik Akupunktur

Meridian adalah suatu sistem lintasan abstrak yang membentuk jala-jala tempat qi mengalir secara teratur, berkala, berirama dan membentuk aliran siklus yang tertutup. Diketahui bahwa qi adalah penggerak dan tanda kehidupan maka

seseorang yang dikatakan sehat apabila qi menga lir di dalam meridian secara teratur, berirama, dan membentuk siklus tertutup (Dharmojono, 2001).

Dharmojono (2001) menyebutkan pembagian meridian dan titik-titik akupunktur. Terdapat 12 meridian organ dan 2 meridian istimewa unilateral, sebagai berikut:

a. Meridian Paru-paru (Lung - LU)

Meridian LU terdiri dari 11 meridian yang titik-titiknya tersebar mulai dari

Dokumen terkait