BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Indikator Sosial Budaya
Kondisi sosial adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial masyarakat (Soekanto, 1997). Untuk melihat kondisi sosial seseorang maka perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pekerjaan, pendapatan dan pendidikan (Koentjaraningrat, 1993).
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intlektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia, 2008).
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, mialnya pola-pola prilaku yang menjadi suatu kebiasaan, bahasa, peralatan hidup, tradisi, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Wikipedia, 2008). Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor lain yang sering diikut sertakan oleh beberapa ahli dalam melihat kondisi sosial seseorang yakni perumahan, kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya pekerjaan adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual kepada orang lain atau ke pasar guna memperoleh uang sebagai pendapatan bagi seseorang sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni :
Pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni sebagai berikut (Suroto, 1992):
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan
c. bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan
energinya.
d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
e. Pekerjaan merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia makhluk Tuhan.
Pendapatan adalah sesuatu yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan dan dari pekerjaan sub sistem dari semua anggota rumah tangga (Mulyanto, 1995).
Sedangkan pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :
a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.
b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan berlangsung seusia hidup.
c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan
kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah. Banyak aspek yang dapat menggambarkan kondisi sosial seseorang, seperti pendapatan yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari, pendidikan yang rendah sehingga tidak dapat mengangkat harkat
dan martabatnya, perumahan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan lain sebagainya (Soediharjo, 1993).
Setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki system klasifikasi makanan yang didefenisikan secara budaya. Setiap kebudayaan memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaiman mendapatkan makanan, bagaiman makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986).
Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan social, makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam bahasa. Masing-masing kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya dan merupakan baian dari cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap komunitas (Helman, 1984).
2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional (subjek) tetapi sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial. Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan dalam pembagian pendapatan setiap individu justru semakin meningkat, hal ini
terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi. Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup :
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan energinya.
c. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat meningkatkan status sosial, kebiasaan, harga diri dan terutama pendapatan
seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar pula pendapatan yang diterima seseorang.
Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum dapat dikurangi atau berkurang (Sagir,1992).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai
berikut ;
a. Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun kesehatan atau kehidupan yang sehat.
b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga pendidikan balita-balita akan terlantar karenanya.
c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi, disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua, maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya masing-masing.
Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge,
sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995).
Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita, pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh melalui sosialisasi dan enkulturasi dalam kebudayaan, pengetahuan- pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi, atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri.
Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan sendirinya kebutuhan masyarakat semakin banyak mengenai serangkaian
keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial, maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama, sebab peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan amat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerah/geografis turun temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerah/suku memakan nasi sebagai makanan pokoknya (Berg, 1989).
Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga. Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya, sedangkan dilain pihak pengetahuan gizi belum dimiliki oleh keluarga yang
bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).