HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS
GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN
AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Oleh HENDRA YUDI 037 012 007/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS
GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN
AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
HENDRA YUDI 037 012 007/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
Nama Mahasiswa : Hendra Yudi Nomor Pokok : 037 012 007
Program Studi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi Dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, MSi) Ketua
(Dr. Sutarman, MSc) (Ir. Etti Sudaryati, MKM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Dr. Drs. Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc.)
Telah diuji
Pada tanggal : 12 Maret 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, MSi
Anggota : 1. Dr. Sutarman, MSc
2. Ir. Etty Sudaryati, MKM
3. dr. Ria Masniari Lubis, MSi
PERNYATAAN
HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL BUDAYA DENGAN
STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 24 BULAN DI KECAMATAN
MEDAN AREA KOTA MEDAN TAHUN 2007
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar Kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Maret 2008
ABSTRAK
Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa dan sebagai modal pembangunan. Karena itu, sudah sewajarnya perlu adanya upaya peningkatan kualitas manusia yang dimulai sejak dalam kandungan dari keluarga. Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orang tua harus lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga agar memenuhi standar gizi yang memadai. Faktor sosial budaya sangat berpengaruh pada perawatan anak dalam keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Masalah gizi balita di kota Medan dari hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006 adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2 persen gizi lebih. Pada Kecamatan Medan Area masih dijumpai kasus gizi kurang, dengan keadaan masyarakat yang heterogen.
Berdasarkan fakta yang ada maka dilakukan survei dengan disain Cross Sectional Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu di Kecamatan Medan Area. Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kecamatan Medan Area yang berjumlah 2960 orang, dengan sampel sebanyak 107 keluarga, dimana masing-masing sampel tersebut diwakili oleh ibu rumah tangga sebagai responden penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah disiapkan dan pengukuran status gizi (BB/U) dengan menggunakan timbangan digital.
Hasil pengumpulan data, menunjukan dimana hasil uji kai kuadrat diketahui bahwa pendidikan ibu (p=0,011), pekerjaan ibu (p=0,031) dan pengetahuan ibu (p=0,026) memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Sedangkan pendidikan ayah (p=0,395), pekerjaan ayah (p=0,211), penghasilan keluarga (p=0,294) dan tradisi/kebiasaan (p=408) tidak memiliki hubungan dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan. Dari perhitungan yang didapat berdasarkan penelitian tersebut, maka terlihat bahwa masih terdapat masalah gizi yang tidak baik yang disebabkan kurangnya pengetahuan tetang kesehatan dan gizi, untuk itu disarankan kepada petugas puskesmas dan posyandu untuk meningkatkan pelaksanaan pemantauan pertumbuhan balita dan meningkatkan penyuluhan dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang kesehatan dan gizi, sehingga informasi tersebut dapat dipahami oleh masyarakat khususnya kaum ibu sebagai orang yang berhubungan langsung terhadap pertumbuhan status gizi balita.
ABSTRACT
The children of Indonesia are the generation responsible for continuing the national aspiration and development. Therefore, their family needs to attempt to improve their quality even when they are still being carried by their respective mothers. The importance of paying attention to the nutrient in children under five years old requires their parents to more understand the family menu arrangement in order to meet the adequate standard of nutrient. The sicio-cultural factor is very dominant in treating children in a family that it brings an impact to the health status and nutrient status of children of 6 – 24 months old. Based on the result of Pemantauan Status Gizi (Nutrient Status Monitoring) done by the Health Service of Sumatera Utara Province in 2006, the nutrient problem in children of 6 – 24 months old in the city of Medan was children with less nutrients (23,8%), poor nutrient (9%), and excessive nutrient (2%). A case of less nutrient and heterogeneous community is still found in Medan Area sub district.
The population of this survey study with cross-sectional design is 2960 children of 6 – 24 months old originally from the families living in Medan Area sub district and 107 children were selected as the samples for this study. Each sample was represented by a housewife as a respondent for this study. The data for this study were obtained through interviewing the respondents based on the questionnaires distributed to them and the nutrient status (Body Weight/Age) of the children was measured through digital weighing scale.
The result of the chi-square test shows that mothers` education (p = 0.011), mothers` occupation (p = 0.031), and mothers` knowledge(p = 0.026) have relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. Fathers` education (p =0.395), fathers` occupation (p = 0.211), family income (p = 0.294) and tradition/belief (p = 0.408) do not have any relationship with the nutrient status of the children of 6 – 24 months old. This result of this study reveals that the problem of poor nutrient caused by the less knowledge on health and nutrient still exists, therefore, it is suggested that the officer/ personnel of puskesmas
(Community Health Center) and posyandu (Integrated Service Post) improve the implementation and monitoring of the growth of children of 6 – 24 months old and increase the number of extension in providing the community with the information on health and nutrient that the information can be well understood by the community especially the mothers who are directly related to the growing process of nutrient status of children of 6 – 24 months old.
KATA PENGANTAR
Sebelum dan sesudahnya penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nyalah penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ” Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ”
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari
berbagai pihak dan oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing
serta Bapak Dr. Sutarman, MSc dan Ibu Ir. Etti Sudaryati, MKM selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan fikiran dalam
membimbing mulai dari penyusunan proposal hingga selesai penulisan tesis ini,
demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Ibu dr. Ria Masniari Lubis,
MSi dan Ibu Dra. Jumirah, Apt. M.Kes atas kesediaan waktu, tenaga dan fikiran
sebagai Tim penguji tesis ini. Disamping itu penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor USU.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
3. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS sebagai Ketua Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.
4. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascasarjana USU.
5. Kapala Dinas Kesehatan dan Kepala Balitbang Kota Medan beserta jajarannya
yang telah memberi izin dan membantu penulis dalam melaksanakan penelitian
ini.
6. Pegawai puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Medan Area Kota Medan
dan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.
7. Seluruh Staf Dosen Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Pascasarjana USU.
8. Rekan-rekan Mahasiswa Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara tahun 2003 serta semua pihak yang telah
memberikan sumbangan pemikiran dan dorongan dalam penulisan tesis ini.
Demikian juga kepada Alm. Ayahanda tercinta Misdi Haryanto dan Ibunda
tercinta Musiyah serta kepada Istri tercinta Masnura dan ketiga putera tersayang
dambaan hati Mhd. Ihsan Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal
Habwandi yang telah banyak membantu dalam hal memahami, menghibur dan mau
mengerti, memberikan dorongan moril maupun materil mulai dari mengikuti
Untuk itu semua, penulis tidak dapat membalasnya semoga Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuannya dan penulis
berharap tesis ini bermanfaat bagi pengambil keputusan dibidang kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, Maret 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama Hendra Yudi dilahirkan di Kelumpang, dengan Ayah bernama
Misdi Hariyanto dan Ibu bernama Musiyah, merupakan anak kedua dari sembilan
bersaudara, menganut agama Islam. Telah menikah dengan Masnura dan telah
dikarunia 3 (tiga) orang putera yang masing-masing bernama Mhd Ihsan
Habwandi, Chaidir Ali Habwandi dan Mhd. Iqbal Habwandi, sekarang menetap di
Jalan Pukat Banting IV No. 46-B Kelurahan Bantan Kecamatan Medang Tembung
Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.
Pendidikan dimulai dari SD Negeri 064021 Helvetia Medan pada tahun
1974 - 1980, selanjutnya ke SMTP MTs Swasta Perguruan NU Sekip Medan pada
tahun 1980 - 1983, kemudian mengikuti sekolah keguruan pada PGAN Tanjung
Pura pada tahun 1983 – 1986, setelah itu melanjutkan ke Perguruan Tinggi IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung pada tahun 1987 – 1992 dan pada Tahun 2003 –
2008 mengikuti studi sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.
Sebelum menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah
Provinsi Sumatera Utara, pernah mengajar pada Perguruan Swasta Alwasliyah
Binjai pada tahun 1992 – 1994. pada tahun 1994 – 2004 diangkat menjadi PNS
sebagai staf pada Subbid Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat pada Bidang
Sosial Budaya Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan sekarang menjabat Kasubbid
Kependudukan, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Perempuan pada Bidang Sosial
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... ... viii
RIWAYAT HIDUP ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 5
1.4. Hipotesis Penelitian ... 5
1.5. Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sosial Budaya ... 7
2.3 Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek
Sosial Budaya ... 14
2.4 Status Gizi Balita ... 18
2.5 Penilaian Status Gizi Balita ... 24
2.6 Landasan Teoritis ... 27
2.7 Kerangka Konsep... 31
BAB 3 : METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 33
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 33
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 35
3.5 Defenisi Operasional Variabel ... 37
3.6 Metode Pengukuran ... 39
3.7 Metode Analisis Data ... 40
BAB 4 : HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 41
4.1.1. Geografi Medan Area ... 41
4.1.3. Gambaran Mata Pencaharian ... 43
4.1.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita ... 44
4.1.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu ... 44
4.2. Gambaran Faktor Siosial Budaya ... 45
4.2.1. Pendidikan ... 45
4.2.2. Pekerjaan... 48
4.2.3. penghasilan ... 49
4.2.4. Suku/Etnis... 49
4.2.5. Tradisi/Kebiasaan ... 51
4.2.6. Pengetahuan ... 53
4.3. Status Gizi Anak Usia 6 – 24 Bulan ... 53
4.4. Tabulasi Silang Status Gizi dan Faktor Sosial Budaya... 55
BAB 5 : PEMBAHASAN... 60
5.1. Sosial Budaya Ibu dan Ayah ... 60
5.2. Status Gizi Anak ... 62
5.3. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi ... 63
5.3.1. Pendidikan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ... 63
5.3.2. Pekerjaan Ayah dan Ibu dengan Status Gizi ... 65
5.3.3. Penghasilan dengan Status Gizi ... 66
5.3.4. Tradisi/kebiasaan dengan Status Gizi ... 68
BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN
... 71
6.1. Kesimpulan ... 71
6.2 Saran ... 72
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas pada 15 Respnden ... 37
3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala ... 38
4.1. Keadaan Geografis Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di
Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……....……….. 41
4.2. Distribusi Penduduk berdasarkan Jumlah Keluarga dan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di
Kecamatan Medan Area Tahun 2006 ……….. 42
4.3. Distribusi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian di Wilayah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area
tahun 2006 ... 43
4.4. Jumlah Kelahiran dan Kematian Bayi dan Balita di Wilayah
Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area tahun 2006 ... 44
4.5. Cakupan Pemantauan Pertumbuhan Balita di Posyandu di Wilyah Kerja Tiga Puskesmas di Kecamatan Medan Area
tahun 2007... 45
4.6. Distribusi Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 ... 46
4.7. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ayah di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 46
4.8. Distribusi Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ... 47
4.9. Distribusi Katagori Tingkat Pendidikan Ibu di Kecamatan
4.10. Distribusi Kategori Pekerjaan Ayah di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 ... 48
4.11. Distribusi Katagori Pekerjaan Ibu di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 ... 48
4.12. Distribusi Kategori Penghasilan Keluarga di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 49
4.13. Distribusi Suku/Etnis Ayah di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ... 50
4.14. Distribusi /Etnis Ibu di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ... 50
4.15. Distribusi Tradisi/Kebiasaan di Kecamatan Medan Area
Kota Medan Tahun 2007 ... 51
4.16. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ayah dengan Tradisi/
Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 51
4.17. Tabulasi Silang Antara Suku/Etnik Ibu dengan Tradisi/
Kebiasaan di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007. 52
4.18. Distribusi Kategori Pengetahuan Ibu di Kecamatan Medan
Area Kota Medan Tahun 2007 ... 53
4.19. Distribusi Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di Kecamatan
Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 54
4.20. Distribusi Kategori Status Gizi Anak Usia 6 – 24 bulan di
Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 54
4.21. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pendidikan Ibu
dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 55
4.22. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tingkat Pekerjaan Ibu
dan Ayah di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007.. 56
4.23. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Penghasilan Keluarga
4.24. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Tradisi/Kepercayaan
di Kecamatan Medan Area Kota Medan Tahun 2007 ... 58
4.25. Tabulasi Silang Status Gizi dengan Pengetahuan di Kecamatan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Model Interelasi Tumbuh Kemban Anak ( Unicef) ….………... 24
2.2 Kurva klasifikasa Z score (Standar Deviasi)
Status Gizi (NHCS-WHO) ……….. 28
2.3. Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the World's Children 1998. Oxford Univ.
Press)………... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 bulan di Kecamatan Medan Area
Kota Medan ... 79
2. Master Data Status Gizi Anak Usia-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota Medan ... 83
3. Tabel Katagori Status Gizi Berdasarkan Indeks Berat Badan Menurut umur (BB/U) Anak Laki-laki dan Perempuan
Usia 0-60 Bulan ... 89
4. Uji Validitas dan Reliabilitas serta Hasil Uji Statistik Penelitian Hubungan Faktor Sosial Budaya Dengan Status Gizi Anak Usia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Upaya peningkatan kualitas manusia merupakan suatu proses yang panjang
dan berkesinambungan, harus dimulai sejak dini, yaitu sejak manusia masih dalam
kandungan. Mempersiapkan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sehat,
cerdas, terampil, produktif dan kreatif, yang akan meneruskan pembangunan
bangsa harus lebih memperhatikan aspek tumbuh kembang balita, sehingga dalam
jangka panjang tercipta kesehatan bangsa Indonesia secara nyata (DepKes RI,
1996).
Mempersiapkan kualitas balita dimulai dari keluarga, sebab keluarga
mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, antara lain sebagai kesatuan unit
ekonomi yang bertanggungjawab terhadap anggota keluarganya. Disamping fungsi
tersebut salah satu fungsi keluarga yang paling menonjol adalah sebagai pemelihara
dan sebagai wadah sosialisasi bagi generasi baru. Perlu diingat bahwa keluarga
harus dilihat sebagai suatu sistem interaksi antar individu yang secara timbal balik
akan mensosialisasikan dan saling mengatur para anggotanya (Yuliani, 2004).
Pentingnya perhatian terhadap gizi pada balita menyebabkan orangtua harus
lebih mengerti dalam menyusun menu keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi
yang seimbang. Pengetahuan orangtua tentang gizi akan sangat berpengaruh pada
memberikan penyuluhan program keluarga sehat dengan tujuan membantu para
keluarga dan masyarakat bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri,
membantu pelayanan kesehatan dalam masyarakat, baik yang dikelola pemerintah
maupun swasta untuk menyediakan informasi dan pelayanan kesehatan yang
berkualitas, terjangkau serta mudah diakses berdasarkan kebutuhan masyarakat
yang bersangkutan, membantu masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada
untuk keperluan peningkatan kesehatan yang bersifat preventif (Dinas Kesehatan
Propinsi Sumatera Utara, 2003).
Selain itu, faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan balita dalam
keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan satatus gizi balita. Faktor
sosial budaya tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis,
tradisi/kebiasaan dan pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Dimana latar
belakang suku yang berbeda pada orangtua akan berdampak pada kebiasaan makan
balita yang berbeda pula. Di sisi lain orangtua yang mempunyai latar belakang
pendidikan yang baik akan lebih mudah menerima informasi kesehatan yang dapat
mendukung peningkatan status gizi balita. Demikian juga dengan tingkat
pendapatan keluarga dapat mempengaruhi status gizi balita. Pada keluarga yang
berpendapatan rendah mempunyai risiko 2 kali lebih besar memiliki balita berstatus
gizi kurang dibandingkan pada keluarga yang berpendapatan tinggi (Berg, 1989).
Status gizi yang diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau
sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari
yang masuk ke dalam tubuh seseorang, sehingga jika balita kekurangan gizi maka
dapat mengakibatkan status kesehatan balita yang buruk. Setiap balita yang
berstatus gizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10 – 13 poin. Pada tahun
1999 diperkirakan terdapat kurang lebih 1,3 juta balita bergizi buruk, berarti terjadi
potensi kehilangan IQ sebesar 22 juta poin, (Pemerintah RI dan WHO, 2000).
Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2000
menyebutkan sekitar 3-4 juta balita menderita kekurangan gizi, yaitu sebanyak 1,5
juta diantaranya bergizi buruk, sedangkan pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang
sebanyak 27,5 persen dan prevalensi gizi buruk sekitar 8,5 persen. Hal ini dapat
mengakibatkan mudahnya terkena diare, infeksi dan mengalami gangguan
pertumbuhan (upc@centrin.net.id,2007).
Permasalahan kesehatan masih banyak dijumpai di Kota Medan, diantaranya
masalah gizi pada balita. Hal ini terlihat dari hasil Pemantauan Status Gizi
(PSG) yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2006
untuk Kota Medan adalah 23,8 persen gizi kurang, 9 persen gizi buruk dan 2
persen gizi lebih. Angka ini masih dinyatakan bermasalah dan perlu penanganan
yang serius karena angka ini masih berada diatas angka prevalensi gizi kurang yang
diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005 -
2009 yaitu setinggi-tingginya gizi kurang mencapai 20 persen dan gizi buruk 5
persen.
Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang bersifat multi etnis
berbeda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2006 bahwa
masyarakat Kecamatan Medan Area memiliki keanekaragaman sosial budaya,
dengan jumlah penduduk sebesar 112.667 orang, dimana laki-laki sebesar 55.802
orang sedangkan perempuan sebesar 56.865 orang.
Data untuk suku bangsa yang terdapat di Kecamatan Medan Area, juga
terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa sehingga dapat dijadikan objek
penelitian dengan uraian sebagai berikut : suku Melayu sebanyak 6.444
orang, Karo sebanyak 607 orang, Simalungun sebanyak 248 orang,
Tapanuli/Toba sebanyak 8.330 orang, Madina sebanyak 6.831 orang, Pakpak
sebanyak 215 orang, Nias sebanyak 265 orang, Jawa sebanyak 18.919 orang,
Minang sebanyak 35.016 orang, Cina sebanyak 30.246 orang, Aceh sebanyak 3.240
orang, dan suku lainnya sebanyak 2.306 orang.
Pelayanan kesehatan kepada masyarakat Kecamatan Medan Area
mempunyai tiga puskesmas yaitu Puskesmas Kota Matsum, Puskesmas
Sukaramai dan Puskesmas Medan Area Selatan. dimana puskesmas Kota
Matsum mempunyai jumlah balita sebanyak 4.562 orang, puskesmas Sukaramai
mempunyai balita sebanyak 4.582 orang dan Puskesmas Medan Area Selatan
mempunyai balita sebanyak 2.696 orang. Sedangkan jumlah balita yang ditimbang
di puskesmas Kota Matsum sebanyak 3.735 orang, puskesmas Sukaramai balita
yang ditimbang sebanyak 3.070 orang sedangkan puskesmas Medan Area Selatan
balita yang ditimbang sebanyak 2.322 orang.
Puskesmas yang memiliki angka balita yang kurang gizi tertinggi adalah
diikuti puskesmas Sukaramai sebesar 2,64 % dan selanjutnya Puskesmas Medan
Area Selatan sebesar 0,56 persen. Puskesmas Kota Maksum memiliki jumlah balita
Bawah Garis Merah (BGM) 78 balita atau 2,09 persen dan Bawah Garis Titik-Titik
(BGT) 593 balita atau 15,88 persen, sedangkan Puskesmas Sukaramai BGM
sebanyak 6 balita atau 0,2 persen dan BGT 75 balita atau 2,44 persen, dan
puskesmas Medan Area Selatan terdapat BGM hanya 13 balita atau 0,56 persen
dan tidak terdapat balita BGT. (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan, 2006).
Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan faktor
sosial budaya dengan status gizi balita di wilayah Kecamatan Medan Area.
1.2. Perumusan Masalah
Masih dijumpai kasus anak gizi kurang di Kecamatan Medan Area yang
secara sosial budaya masyarakat bersifat heterogen, maka masalah dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah hubungan faktor sosial
budaya terhadap status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area Kota
Medan”.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran faktor sosial budaya
1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan faktor sosial budaya
(suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan
pengetahuan) dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan di Kecamatan Medan Area.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan masukan bagi
pemerintah khususnya bidang kesehatan agar lebih memahami hubungan faktor
sosial budaya dengan status gizi anak usia 6 – 24 bulan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dalam
kegiatan perencanaan program dan strategi penanggulangan gizi anak usia 6 –
24 bulan agar mempertimbangkan aspek sosial budaya.
c. Merupakan bahan informasi penting yang ditinjau dari sosial budaya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sosial Budaya
Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada
masalah sosial yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial
timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan
akibat tingkah lakunya. Masalah sosial tidak sama antara masyarakat yang satu
dengan yang lainnya karena adanya perbedaan dalam tingkatan perkembangan
kebudayaannya, sifat kependudukannya dan keadaan lingkungan alamnya
(Munandar, 1992).
Teori sosial yang diartikan sebagai usaha mengerti hakikat masyarakat,
memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan manusia sebagai
suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang
lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmaja, 1986).
Keluarga adalah unit satuan masyarakat yang terkecil dan sekaligus
merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam
hubungannya dengan perkembangan individu, sering dikenal dengan sebutan
primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai
macam bentuk kepribadiannya dalam masyarakat. Tidak dapat dipungkiri
penerus keturunan saja, banyak hal-hal mengenai kepribadian yang dapat
diyakini dari suatu keluarga yang pada saat-saat sekarang ini sering dilupakan
orang. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seorang individu
sering kali dilepaskan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal-hal
semacam inilah yang sering menimbulkan masalah-masalah sosial, karena
kehilangan pijakan.
Budaya sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang
berarti daya dari budi, karena itu harus dibedakan antara budaya dengan
kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa,
dan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa tersebut (Widagdho,
1993).
Budaya dapat dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi perlakuan dan
tindakan-tindakan sosial manusia, atau sebagai pola-pola bagi kelakuan
manusia. Di dalam masyarakat, manusia mengembangkan kebudayaannya. Ada
yang diterima dan ada yang tidak, atau diterima secara selektif karena
berkenaan dengan nilai-nilai moral dan estetika, sistrem-sistem penggolongan,
benda-benda, berbagai hal lainnya yang diperlukan hidupnya. Kesemuanya ini
merupakan masalah sosial, yang didalamnya masyarakat berada dalam suatu
proses perubahan sosial dan kebudayaan yang cepat (Munandar, 1992).
Budaya berisi norma-norma sosial, yakni sendi-sendi masyarakat yang
bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan
keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai
kebiasaan-kebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai
turun-temurun (Shadily, 1984).
Pada dasarnya individu selalu berada dalam situasi sosial. Situasi sosial
yang merangsang individu sehingga individu bertingkah laku disebut situasi
perangsang sosial atau social stimulus situation (Ahmadi, 1999).
Situasi perangsang sosial ini digolongkan menjadi 2 (dua) golongan besar,
yaitu :
a. Orang lain, yang dapat berupa :
1). Individu-individu lain sebagai perangsang.
2). Kelompok sebagai situasi perangsang, yang dapat dibedakan lagi atas :
hubungan intragroup, hubungan intergroup.
b. Hasil kebudayaan yang dibedakan :
1). Kebudayaan materil (materiil culture).
2). Kebudayaan non materil (non materiil culture).
Persoalan kurang gizi disebabkan karena tidak tersedianya zat-zat gizi
dalam kualitas dan kuantitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
yang dikonsumsi, dan makanan yang dikonsumsi pada gilirannya amat
ditentukan oleh kebiasaan yang bertalian dengan makanan. Kebiasaan makan
dan segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan telah ditanamkan sejak awal
pertumbuhan manusia yang berakar dalam setiap kebudayaan manusia. Oleh
sebab itu, berbicara mengenai kebiasaan makan berarti juga berbicara mengenai
kebudayaan masyarakat.
Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan memungkinkan untuk melihat
berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai
perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya
perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai
konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya
dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan
mempengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto,
1980).
Dengan adanya pernyataan di atas, dapat menimbulkan pertanyaan
tentang mengapa satu keluarga mengkonsumsi jenis makanan bergizi
sedangkan keluarga lainnya tidak. Disamping faktor ekonomi, faktor sosial dan
budaya sangat menentukan dalam hal ini. Karena kebiasaan makan, nilai-nilai
dan kepercayaan terhadap makanan, cara memasak, merupakan konsep yang
diciptakan masyarakat berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
2.2. Indikator Sosial Budaya
Kondisi sosial adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial
dan menempatkan seseorang pada posisi tertentu dalam struktur sosial
masyarakat (Soekanto, 1997). Untuk melihat kondisi sosial seseorang maka
perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pekerjaan, pendapatan dan pendidikan
(Koentjaraningrat, 1993).
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intlektual dan artistik
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek, yang didalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia,
2008).
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai
kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,
kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, mialnya pola-pola prilaku
yang menjadi suatu kebiasaan, bahasa, peralatan hidup, tradisi, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Wikipedia, 2008).
Selain faktor-faktor tersebut, ada juga faktor lain yang sering diikut sertakan
oleh beberapa ahli dalam melihat kondisi sosial seseorang yakni perumahan,
kesehatan dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat. Selanjutnya pekerjaan
adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual kepada orang
lain atau ke pasar guna memperoleh uang sebagai pendapatan bagi seseorang
sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian
pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni :
Pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni sebagai berikut (Suroto, 1992):
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan
c. bagi masyarakat dan perseorangan sebagai imbalan atas pengorbanan
energinya.
d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan
e. Pekerjaan merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia
makhluk Tuhan.
Pendapatan adalah sesuatu yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pekerjaan
sampingan dan dari pekerjaan sub sistem dari semua anggota rumah tangga
(Mulyanto, 1995).
Sedangkan pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :
a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan.
b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya
dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan
berlangsung seusia hidup.
c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan
cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini
tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah
yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan
kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah.
Banyak aspek yang dapat menggambarkan kondisi sosial seseorang, seperti
pendapatan yang rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok
dan martabatnya, perumahan yang tidak sesuai dengan standar kesehatan dan
lain sebagainya (Soediharjo, 1993).
Setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki system
klasifikasi makanan yang didefenisikan secara budaya. Setiap kebudayaan
memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana
makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaiman mendapatkan makanan,
bagaiman makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan
bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan
dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986).
Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan
yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan social, makanan sebagai ungkapan dari
kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam
bahasa. Masing-masing kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan
yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk
siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam
kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya
dan merupakan baian dari cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap
2.3. Indikator Tingkat Kehidupan Dengan Meninjau Aspek Sosial Budaya
Tujuan pembangunan nasional adalah untuk membangun manusia Indonesia
seutuhnya, tujuan ini tidak terlepas dari pengertian bahwa manusia disatu pihak
merupakan pemegang peranan dalam pembangunan nasional (subjek) tetapi
sekaligus merupakan sasaran strategis pembangunan nasional itu sendiri yang
dapat menikmati kehidupan yang layak sesuai dengan asas keadilan sosial.
Pembangunan seperti ini hanya mungkin terlaksana jika seluruh rakyat
mempunyai kemampuan dan kemauan yang cukup tinggi dan besar untuk
melakukan semua upaya yang diperlukan serta merasa perlu ikut serta karena
berkepentingan menangani hasilnya dengan pemerintah sebagai fasilisator dan
pendorong yang kuat. Motivasi yang paling besar bagi orang untuk ikut dalam
pembangunan adalah kesadarannya menangani berbagai kebutuhan hidup
materil dan spirituil yang harus dipenuhi serta harapannya bahwa dengan ikut
serta dalam pembangunan orang akan merasa memperoleh sarana yang
diperlukan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengalaman Indonesia selama dekade pembangunan enam puluhan maupun
tujuh puluhan ternyata cukup membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi
yang tinggi yang berarti pula peningkatan pendapatan nasional masih tetap
menyembunyikan kenyataan bahwa kepincangan sosial atau ketidakadilan
terutama terlihat dari semakin besarnya jurang kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah terhadap kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
Bagi negara yang berpenduduk banyak perluasan kesempatan kerja harus
dijadikan strategi pembangunan yang pokok karena pekerjaan merupakan salah
satu alat penting untuk meningkatkan mutu dan budaya manusia. Oleh
karenanya kesempatan kerja dan jumlah orang yang mempunyai pekerjaan
harus dijadikan pemeliharaan pekerjaan bukan hanya sebagai sarana saja
melainkan juga sebagai tujuan bukan hanya sebagai kewajiban melainkan
sebagai hak setiap umat manusia. Pengertian ini mencakup :
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan juga jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat dan perseorangan
sebagai imbalan atas pengorbanan energinya.
c. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri dan
penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan prestasinya.
d. Pekerjaan yang merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya adalah kewajiban dan haknya sebagai warga negara dan manusia
sebagai makhluk Tuhan.
Dari hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan dapat
seseorang. Dengan tingginya pekerjaan yang dimiliki seseorang, maka semakin
besar pula pendapatan yang diterima seseorang.
Kepincangan pembagian pendapatan merupakan salah satu tolak ukur yang
dapat membuktikan bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata
tetap menyembunyikan kenyataan bahwa tingkat kemiskinan masih tetap belum
dapat dikurangi atau berkurang (Sagir,1992).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan janganlah hanya
melihat tingkat laju pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran, tetapi juga harus
melihat keberhasilan pembangunan sosial, sehingga akan tercapai hasil
pembangunan yang sesungguhnya. Pada dasarnya faktor ekonomis dan faktor
non ekonomis seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, produktivitas dan
kesuburan merupakan suatu integrated system yang dapat digambarkan sebagai
berikut ;
a. Rendahnya pendapatan atau kemiskinan akan sangat mempengaruhi tingkat
kesehatan, nutrisi, tingkat pendidikan maupun kesuburan. Keluarga miskin
tidak mungkin dapat memenuhi kebutuhan pangan bernilai gizi maupun
kesehatan atau kehidupan yang sehat.
b. Keluarga miskin cenderung mengerahkan balita-balitanya untuk turut memikul
beban keluarga atau turut serta mencari penghasilan keluarga, sehingga
c. Dalam suatu keluarga miskin, angka kelahiran atau kesuburan lebih tinggi,
disertai angka kematian yang tinggi pula, baik sebagai akibat dari besarnya
keluarga dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan di hari tua,
maupun akibat kepercayaan bahwa masing-masing balita membawa rejekinya
masing-masing.
Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan
ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi.
Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi dari sejak bayi
tersebut boleh jadi merupakan pentgetahuan local atau indigenous knowledge,
sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995).
Walaupun pengetahuan mengenai apa yang dimakan, makanan untuk balita,
pengolahan makanan, penyajian makanan, dan sebagainya telah diperoleh
melalui sosialisasi dan enkulturasi dalam kebudayaan,
pengetahuan-pengetahuan tersebut senantiasa mengalami perubahan. Perubahan tersebut bisa
datang dari unsur-unsur faktual yang diperoleh melalui praktisi biomedis seperti
bidan desa, kader-kader posyandu, dari dokter, atau dari iklan-iklan televisi,
atau perubahan sebagai akibat berbagai pengalaman individu itu sendiri.
Dalam hal pentingnya kebutuhan-kebutuhan sosial negara-negara berkembang
pada umumnya masih terus mengalami pertumbuhan penduduk, dengan
keperluan hidup yang sifatnya sangat mendasar seperti pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Jika dulu ada kecenderungan
mengelompokkan pendidikan dan kesehatan dalam kategori kebutuhan sosial,
maka dalam pembangunan ekonomi negara-negara berkembang kedua jenis
kebutuhan dasar itu harus dianggap termasuk prioritas ekonomi yang utama,
sebab peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan amat
mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Indikator kehidupan budaya masyarakat yang dimiliki oleh sekelompok
manusia, suku dan sebagainya didasarkan pada suatu daerah/geografis turun
temurun yang biasanya tampak pada : cara berpakaian, jenis makanan yang
dikonsumsi, bahasa dan lain sebagainya. Khusus mengenai kebiasaan makan
suku pada suatu daerah biasanya terlihat dari jenis makanan yang mereka
konsumsi seperti sagu dan jagung, jadi tidak semua daerah/suku memakan nasi
sebagai makanan pokoknya (Berg, 1989).
Disamping itu ada budaya yang memperioritaskan anggota keluarga tertentu
untuk mengkonsumsi hidangan keluarga yang telah disiapkan umumnya kepala
keluarga, anggota keluarga lainnya menempati urutan prioritas berikutnya dan
yang sering kali mendapatkan prioritas terbawah adalah ibu-ibu rumah tangga.
Apabila hal yang demikian itu masih dianut dengan kuat oleh setiap budaya,
bersangkutan, maka dapat saja timbul distribusi konsumsi pangan yang tidak
baik diantara anggota keluarga (Suhardjo, 1989).
2.4. Status Gizi Balita
Berbicara mengenai gizi berarti membicarakan tentang makanan dalam
hubungannya dengan kesehatan dan proses dimana organisme menggunakan
makanan untuk pemeliharaan kehidupan, pertumbuhan, bekerjanya anggota dan
jaringan tubuh secara normal dan produksi tenaga (Berg, 1989).
Membahas mengenai masalah gizi, dapat digolongkan kepada tiga bagian
adalah sebagai berikut :
1. Gizi kurang, yaitu keadaan tidak sehat (patologik) yang timbul karena tidak
cukup makan dan dengan demikian konsumsi energi kurang selama jangka
waktu tertentu. Di negara-negara sedang berkembang, konsumsi pangan yang
tidak menyertakan pangan cukup energi, biasanya juga kurang dalam satu atau
lebih zat gizi esensial lainnya. Berat badan yang menurun adalah tanda utama
dari gizi kurang.
2. Gizi lebih, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan
makanan dan dengan demikian mengkonsumsi energi lebih banyak daripada
lebih. Kegemukan merupakan tanda pertama yang biasa dilihat dari keadaan
gizi lebih.
3. Gizi salah, yaitu keadaan patologik (tidak sehat) yang disebabkan oleh makanan
yang kurang atau berlebihan dalam satu atau lebih zat esensial dalam waktu
lama. Di negara-negara sedang berkembang jenis utama gizi salah yang
disebabkan kurang gizi dalam waktu yang lama adalah kombinasi salah gizi
energi-protein, anemia kurang besi, kurang vitamin A dan gondok.
Status gizi merupakan keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan dan penggunaan makanan. Susunan makanan yang memenuhi
status gizi tubuh, pada umumnya dapat menciptakan status gizi yang
memuaskan.
Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi individu dan distribusi makanan dalam
keluarga serta tingkat kesukaan individu. Konsumsi individu diperoleh dari
konsumsi pangan dalam rumah tangga, sedangkan konsumsi pangan dalam
rumah tangga dipengaruhi oleh persediaan pangan dan tingkat kesukaan.
Pangan yang ada dalam rumah tangga tergantung dari pendapatan rumah tangga
dan persediaan pangan, sedangkan persediaan pangan serta pendapatan
dipengaruhi oleh persediaan pertanian dan pembangunan daerah (Roedjito,
Status gizi adalah keadaan kesehatan yang diakibatkan oleh adanya interaksi
antara makanan, tubuh dan lingkungan hidup manusia. Status gizi diukur
dengan cara yaitu (Direktorat Bina Gizi, 1992).
a. Antropometri, yaitu mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas,
lemak dibawah kulit.
b. Klinik, yaitu pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh ahli medis, biasanya yang
melakukan adalah dokter.
c. Laboratorium, yaitu pemeriksaan darah, urine, tinja.
d. Dietetik, yaitu pemeriksaan jenis, jumlah, komposisi makanan yang dikonsumsi
oleh individu.
Pengukuran status gizi balita pada umumnya menggunakan antropometri yaitu
dengan cara mengukur tinggi badan atau menimbang berat badan. Berat badan
merupakan hasil peningkatan seluruh jaringan, tulang, otot, lemak dan cairan
tubuh, ukuran antropometri berat badan yang terbaik untuk status gizi dengan
keadaan tumbuh kembang pada waktu sekarang. Sedangkan tinggi badan
bertambah sesuai dengan kecepatan pertumbuhan balita karena itu tinggi badan
dapat dipakai sebagai petunjuk keadaan gizi balita untuk waktu yang lampau
(Soetjiningsih, 1994).
Status gizi yang ditentukan oleh keterbatasan dalam jumlah cukup dan dalam
kombinasi pada waktu yang tepat ditingkat sel semua zat-zat gizi yang
anggota badan. Oleh karena itu, pada prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua
hal sebagai berikut : (Persagi, 1990)
a. Terpenuhinya dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh.
b. Peranan faktor-faktor yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan
penggunaan zat-zat gizi tersebut.
Pengetahuan gizi seseorang merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi konsumsi pangan dan status gizinya, demikian juga pada
keluarga yang mempunyai pengetahuan tentang kebutuhan tubuh akan gizi, ia
akan dapat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsinya.
Pengetahuan gizi seseorang didukung dari latar belakang pendidikannya.
Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan berbagai keterbatasan dalam
menerima informasi dan penanganan masalah gizi dan kesehatan sekalipun di
daerah tempat tinggalnya banyak tersedia bahan makanan (sayuran dan buah)
serta pelayanan kesehatan yang memadai yang dapat menyampaikan informasi
tentang bagaimana mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Pendidikan gizi diperlukan karena kenyataan menunjukkan bahwa suatu
keadaan kesehatan tidaklah dipengaruhi oleh hanya satu faktor diantara
berbagai faktor yang ada, faktor perilaku manusia memegang peranan penting.
Pendidikan gizi bukan hanya memberikan informasi gizi secara formal tetapi
mempengaruhi pengetahuan, sikap dan kebiasaan agar individu, kelompok atau
masyarakat dapat memperbaiki sikap dan tingkah lakunya (Blum, 1972).
Dari hal di atas, diketahui bahwa pengetahuan masalah gizi merupakan faktor
penentu dalam melihat perkembangan dan ketahanan daya tahan tubuh balita.
Dimana daya tahan, perkembangan dan pertumbuhan (gizi) balita diperoleh dari
pengambilan makanan yang sehat dalam keluarga. Pelayanan kesehatan
makanan dan lingkungan juga diperoleh dari kepedulian seorang ibu dalam
rumah tangga. Hal ini tentunya di dapat melalui pendidikan, dimana pendidikan
hanya dapat diperoleh dengan adanya sumber penghasilan dan pengawasan
dalam rumah tangga yang meliputi : manusianya, ekonomi dan organisasi.
Kesemuanya ini didasarkan pada kebijakan dan susunan dasar pemikiran pada
struktur ekonomi dan potensi penghasilan yang diperoleh di dalam rumah
tangga. Untuk lebih jelasnya, faktor penentu dari perkembangan dan ketahanan
daya tahan tubuh balita digambarkan pada halaman berikut (Soetjiningsih,
Faktor Penentu dari Perkembangan dan Ketahanan Daya Tahan (Tubuh) TUMBUH –
KEMBANG ANAK
Kecukupan makanan Keadaan kesehatan
Ketahanan makanan
Pemanfaatan
Yankes dan Sanit. Asuhan Bagi Ibu dan
Pendidikan Keluarga
Keberadaan dan Kontrol Sumber
Daya keluarga : Manusia, Ekonomi
Super Struktur Politik dan Ideologi
Struktur Ekonomi
Potensi Sumber
2.5. Penilaian Status Gizi Balita
Pertumbuhan dan perkembangan balita dapat diartikan menyangkut semua
kemajuan yang dicapai oleh tubuh manusia baik dari segi jasmani, mental dan
intelektual, mulai dari masa konsepsi sampai dewasa. Pertumbuhan berarti
bertambah besar ukuran fisik sebagai akibat perbanyakan dan pembesaran sel
dalam tubuh manusia. Sedangkan perkembangan berarti meningkatnya
keterampilan dan fungsi yang kompleks dari seseorang.
Pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada balita jika dikaitkan dengan
gizi diperlukan tinjauan dari keadaaan gizi ibu sejak masa kehamilan. Masa
hamil seorang ibu membutuhkan zat gizi yang lebih besar dari biasanya karena
pada masa ini, zat gizi diperlukan bukan hanya untuk keperluan si ibu saja
tetapi juga janin yang sedang dikandungnya. Apabila pada masa hamil seorang
ibu kurang mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan kebutuhannya bisa berakibat
tidak baik bagi kesehatannya dan janin yang sedang dikandungnya (Departemen
Kesehatan RI, 1985).
Dalam menilai status gizi dapat dilakukan dengan empat cara yaitu (Supariasa
dkk, 2002):
a. Secara biokimia, yaitu melalui pemeriksaan darah, air seni, tinja sehingga dapat
diketahui tingkat kecukupan zat dan gizi seseorang.
b. Secara dietetika, yaitu survei konsumsi jenis dan jumlah makanan yang
c. Secara klinis, yaitu dengan pemeriksaan keadaan jasmani.
d. Secara antropometri, yaitu dengan mengukur berat badan, tinggi badan atau
merujuk bagian tubuh tertentu sepoerti lingkar lengan, lingkar kepala, tebal
lapisan lemak dan lain-lain.
Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di Indonesia adalah secara
antropometri. Pengukuran status gizi berdasarkan kriteria antropometri
mungkin mempunyai kelemahan-kelemahan, namun sampai saat ini dianggap
merupakan cara yang paling banyak, mudah serta praktis untuk dilakukan,
karena siapa saja dapat melakukannya dengan terlebih dahulu mendapat sedikit
latihan.
Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan
gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena terserang
penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan
yang dikonsumsi maka berat badan merupakan antropometri yang sangat labil.
Dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan
antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin berat badan berkembang
mengikuti pertambahan usia. Sebaliknya dalam keadaan yang tidak normal
terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu dapat berkembang
Berdasarkan sifat-sifat ini maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu
indikator status gizi dan karena sifatnya berat badan yang labil maka indeks
BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini.
Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan
kelemahan. Adapun kelebihannya adalah :
a. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum.
b. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek.
c. Dapat mendeteksi kegemukan.
Untuk menentukan klasifikasi status gizi menurut rekomendasi WHO (NCHS –
WHO) digunakan Z Score (Standar deviasi) sebagai batas ambang yang dibagi
menjadi empat klasifikasi yaitu (Supariasa, 2002):
a. Status gizi buruk bila < – 3SD.
b. Status gizi kurang bila ≥ -3SD dan < -2SD
c. Status gizi baik bila ≥ – 2SD dan < +2SD.
d. Status gizi lebih bila ≥ +2SD.
Baik
-3 -2 -1 +1 +2 +3
2.6. Landasan Teoritis
Penyebab langsung timbulnya gizi kurang pada anak adalah makanan tidak
seimbang dan penyakit infeksi. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh.
Dengan demikian timbulnya KEP tidak hanya karena kurang makan tetapi juga
karena penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang mendapat makanan cukup
baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP.
Sebaliknya anak yang tidak memperoleh makan yang cukup dan seimbang, daya
tahan tubuhnya(imunitas)dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah
diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan.
Akhirnya berat badan anak menurun. Apabila keadaan ini terus berlangsung, anak
menjadi kurus dan timbullah KEP. Sering ditanyakan apakah makanan atau
penyakit yang lebih dahulu menjadi penyebab KEP. Dalam kenyataan, keduanya
Penyebab langsung seperti diuraikan diatas timbul karena tiga faktor sebab
tidak langsung, yaitu (1) tidak cukup tersdia pangan atau makanan dikeluarga, (2)
pola pengasuhan anak yang tidak memadai, dan (3) keadaan sanitasi yang buruk
dan tersedia air bersih, serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga
faktor penyebab tidak langsung tersebut itu tidak berdiri sendiri tetapi saling
berkaitan.
Tidak cukupnya persediaan pangan dikeluarga menunjukan adanya
kerawanan ketahanan pangan keluarga. Artinya kemampua keluarga untuk
mencukupi kebutuhan pangan, baik jumlah maupun mutu gizinya, bagi seluruh
anggota keluarga belum terpenuhi. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan
ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri maupun dari pasar atau
sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi
dan kesehatan.
Pola pengasuhan anak adalah sikap dan prilaku ibu atau pengasuh lain dalam
hal kedekatannya denagn anak, memberi makan, merawat, menjag kebersihan,
memberikan kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh
pada tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebab anak
tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat
memudahkan terjadinya infeksi. Pola asuh anak berhubungan dengan keadaan ibu,
seperti kesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan
pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan sebagainya dari
si ibu atau pengasuh anak.
Akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan
kebersihan lingkungan besar pengaruhnya terhadap pengasuhan anak. Demikian
pengasuhan anak yang baik memerlukan pelayanan kesehatan yang seperti
imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,
pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu,
puskesmas, pratek bidan atau dokter, dan rumah sakit. Makin tersedia air bersih
yang cukup untuk keluarga serta makin dekat jangkauan keluarga terhadap
pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang
kesehatan dan gizi, makin kecil resiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi
termasuk KEP.
Ketiga faktor tidaklangsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pokok
masalah yang ada di masyarakat yaitu diberdayakannya sumber daya masyarakat,
terutama sumberdaya perempuan akibat kurangnya pendidikan, pengetahuan dan
keterampilan keluarga untuk dapat memecahkan masalah gizi keluarga dan
masyarakat. Ketidak berdayaan keluarga tersebut dimuka bersumber pada akar
masalah yang ada pada masyarakat yaitu kerawanan pangan dan kemiskinan yang
diakibatkan oleh kemunduran ekonomi negara sehingga banyak pengangguran,
meningkatkan harga terutama harga pangan (inflasi).
Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan
digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya
sebagaimana berikut (Soekirman, 2000):
Dampak Kekurangan Gizi
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Kurang pemberdayaan wanita Dan keluarga, kurang pemanfaatan
Sumberdaya masyarakat
Pokok Masalah di Masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan
Krisis Ekonomi,Politik Akar Masalah
(nasional)
2.7. Kerangka Konsep
Penelitian ini mengemukakan faktor sosial budaya yang berhubungan dengan
status gizi balita di dalam keluarga. Faktor sosial budaya yang terdapat dalam
penelitian meliputi pendidikan, pekerjaan, penghasilan, suku/etnis,
tradisi/kebiasaan, dan pengetahuan yang berhubungan dengan pola makan balita
pada keluarga baik kuantitas maupun kualitas yang selanjutnya juga dapat
berhubungan dengan status gizi balita. Dimana antara pendidikan, pekerjaan
dan penghasilan mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Ketiganya saling
mendukung satu sama lain, dalam arti apabila pendidikan yang dimiliki tinggi
biasanya akan memperoleh pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang memadai
akan memberikan penghasilan yang baik pula. Keterkaitan faktor sosial budaya
terhadap status gizi balita dalam keluarga sebagaimana yang telah disampaikan
pada awal penulisan ini dari berbagai leteratur, antara lain mengemukakan
bahwa kondisi sosial sering terkait dengan permasalahan perumahan, kesehatan
dan sosialisasi dalam lingkungan masyarakat serta merupakan interaksi yang
bersinggungan dalam lingkungan hidup manusia. Keterkaitan tersebut termasuk
juga menyangkut dari latar belakang pendidikan orangtua. Oleh karena itu
dengan pendidikan yang tinggi maka orangtua akan lebih mengetahui cara
merawat balita, sedangkan pekerjaan dan penghasilan yang baik dapat
mendukung pola makan balita yang diharapkan dapat meningkatkan status gizi
dan pengetahuan merupakan faktor penting lainnya dalam meningkatkan status
gizi balita. Faktor-faktor sosial budaya ini yang berhubungan dengan status gizi
balita dapat dilihat pada kerangka konsep sebagai berikut :
Status Gizi Balita ( Baik dan Tidak Baik)
Sosial Budaya
1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Penghasilan 4. Suku/Etnis 5. Tradisi/Kebiasaan 6. Pengetahuan
Pola Makan Balita Pada Keluarga (kuantitas/
Kualitas)
--- = tidak diteliti
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah survei dengan menggunakan disain Cross Sectional
Study, yaitu suatu pendekatan yang sifatnya sesaat pada suatu waktu dan tidak
diikuti terus menerus dalam kurun waktu tertentu (Notoadmojo, 2002).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Medan Area, dikarenakan pada
kecamatan ini banyak balita yang mengalami gizi kurang (Profil Dinas Kesehatan
Kota Medan, 2006). Sedangkan waktu penelitian dilaksanakan selama 9 (sembilan)
bulan, mulai bulan April - Desember 2007. Tahap-tahap penelitian ini dimulai dari
penelusuran pustaka, konsultasi, seminar proposal dan dilanjutkan dengan
penelitian di lapangan (pengumpulan data), analisa data dan penyusunan laporan
penelitian.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak
usia 6-24 bulan yang berasal dari keluarga yang tinggal dalam wilayah kerja
termasuk anak dari keluarga etnis China, dikarenakan tidak tercantum dalam data
Puskesmas maupun data posyandu.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah anak usia 6 – 24 bulan yang ditimbang dan ibu sebagai
responden yang diwawancarai, diambil dari populasi, dimana jumlahnya ditentukan
dengan menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu
populasi, yaitu (Sastroasmoro, 1995) :
Z ² PQ n =
d²
Keterangan : Z = deviat baku normal untuk (Z =1,96)
P = proporsi balita yang mengalami masalah gizi (50 %)
Q = 1-P (50 %)
d = ketepatan absolut yang dikehendaki (10 %)
n = jumlah sampel (97 keluarga)
Dari perhitungan rumus didapat jumlah sampel minimal 97 keluarga, dengan
memperkirakan 10 persen sampel yang keluar sewaktu pengolahan maka jumlah
sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 107 keluarga. Teknik pengambilan
sampel digunakan teknik Simple Random Sampling (pengambilan sampel secara
acak sederhana), yaitu memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota)
populasi untuk dipilih menjadi sampel. Sampel diambil dengan mengumpulkan
Medan Area. Kemudian nama diambil secara acak dengan menggunakan gulungan
kertas yang telah tertulis nama balita (sistem undian).
3.4. Metoda Pengumpulan Data
Sebelum data dikumpulkan, terlebih dahulu kuesioner diuji validitasnya
dengan melakukan uji realibilitas pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Setelah diketahui kusioner layak diajukan, selanjutnya dilakukan pengumpulan
data.
Pengumpulan data dilakukan untuk jenis data :
1. Data Primer.
Dikumpulkan melalui wawancara langsung kepada responden dengan
menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Data primer yang
dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independent dan variabel
dependen. Wawancara dilakukan dengan mengunjungi rumah responden yang
dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat yang telah diberikan
pelatihan sebelum ke lapangan.
Data status gizi balita dikumpulkan dengan melakukan pengukuran berat
badan dan mencatat data anak usia 6 – 24 bulan. Berat badan diukur dengan
memakai alat ukur timbangan digital dengan tingkat ketelitian 0,1 kg.
2. Data Sekunder.
Dikumpulkan dari laporan bulanan, triwulan dan tahunan di Puskesmas
atau instansi terkait lain yang berkenaan dengan data-data gambaran daerah
penelitian.
Adapun usaha reabilitas dan validitas data yang dikumpulkan adalah sebagai
berikut :
a. Validitas alat ukur seperti timbangan.
b. Pengukuran dilakukan dua kali seperti penimbangan berat badan, pengukuran
tinggi badan
c. Melatih enumerator atau pengumpul data dalam pengumpulan data, misal
melatih cara menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, menyamakan
persepsi tentang kuesioner.
d. Uji kuesioner di luar sampel penelitian. (hasil uji pada Lampiran 2)
Berdasarkan hasil uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan responden
diluar sampel penelitian diperoleh r-tabel = 0.514 dari N=15 orang dan taraf
signifikansi 95% ternyata skore tiap pertanyaan lebih dari nilai r-tabel. Hal ini
menunjukan bahwa semua kuesioner valid dan layak diajukan kepada sampel
penelitian dan tidak dibutuhkan revisi kembali, sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Pada 15 Orang Responden
No. Pertanyaan Total Keterangan
Pengetahuan1 .778** Valid
.001 0.778 > 0.514
3.5. Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ini, terdapat berbagai variabel yang akan diukur dengan
memperjelas gambaran variabel dalam penelitian, maka disusunlah definisi
operasional variabel sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel, Alat Ukur dan Skala
Varibel Sub Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala
Pendidikan Tingkat pendidikan
orang tua yang didapat secara formal seperti SD, SLTP, SLTA, PT
Kuesioner Ordinal
Pekerjaan Jenis pekerjaan orang
tua yang meliputi PNS/TNI/Polri, karyawan swasta, wiraswasta, buruh, dll.
Kuesioner Ordinal
Penghasilan Tingkat pendapatan
yang didapat keluarga setiap bulannya, yang dihitung berdasarkan rupiah
Kuesioner Ratio
Tradisi/kepercayaan Kepercayaan terhadap ada tidaknya makanan pantangan pada balita
Kuesioner Ordinal
Suku/etnis Suku bangsa orang tua
yang terdiri dari Jawa, Batak Toba, Karo,
Pengetahuan Segala sesuatu yang
diketahui ibu tentang kesehatan dan gizi
Kuesioner Ordinal
Status gizi
Keadaan keseimbangan
gizi yang diukur dari indeks antropometri (berat badan disesuaikan dengan usia)
3.6. Metode Pengukuran
a. Pendidikan, dikategorikan menjadi :
1. tinggi, jika orang tua sampai pada pendidikan SLTA dan PT
2. rendah, jika SD dan SLTP
b. Pekerjaan, dikategorikan menjadi :
1. pekerjaan tetap, jika jenis pekerjaan PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta.
2. pekerjaan tidak tetap, jika wiraswasta, buruh, dan Ibu Rumah tangga.
c. Penghasilan, dikategorikan menjadi :
1. penghasilan diatas atau sama dengan rata-rata
2. penghasilan dibawah rata-rata
d. Tradisi/kepercayaan, dikategorikan menjadi :
1. ada pantangan makanan
2. tidak ada pantangan makanan
e. Pengetahuan, dikategorikan menjadi (Notoadmojo, 2005) :
1. baik, jika pertanyaan benar ≥ 75%
2. kurang baik, jika pertanyaan benar < 75%
f. Status gizi dikategorikan dengan mengambil batasan Z-score NCHS-WHO,
dimana data diolah dengan menggunakan perangkat lunak yaitu dengan program
1. baik, jika batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status gizi baik (≥ -2
SD sampai ≤ +2 SD).
2. tidak baik, jika ada dalam batasan Z-score NCHS-WHO masuk dalam status
gizi kurang ( < -2 SD sampai > -3 SD), status gizi buruk (≤ 3 SD), dan status
gizi lebih (> +2 SD).
3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang distribusi
frekuensi responden, maka dilakukan analisis deskriptif/univariat. Analisis ini
digunakan untuk memperoleh gambaran pada masing-masing variabel yang
meliputi suku/etnis, tradisi/kebiasaan, pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
pengetahuan pada orang tua yang memiliki anak usia 6 – 24 bulan, serta status
gizinya.
3.7.2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat akan dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
faktor sosial budaya (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan) dengan