• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Infeksi nosokomial

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat dinamis.Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab meningkatnya angka kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit adalah infeksi nosokomial, yang dikenal pertama kali pada tahun 1847 oleh Semmelweis dan sampai sekarang tetap menjadi masalah yang cukup menyita perhatian rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia (WHO, 2002).

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani,dari kata nosos yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat atau rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita-penderita yang sedang dalam proses pelayanan rumah sakit (Darmadi, 2008), dan infeksi nosokomial terjadi lebih dari 48 jam setelah pasien masuk rumah sakit (Prabu et al., 2006).

Sedangkan menurut WHO infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, yang terjadi 48 jam setelah masuk rumah sakit, 3 hari setelah pulang dari rumah sakit, sampai 30 hari setelah operasi, ketika pasien dirawat untuk penyakit non infeksi . Infeksi nosokomial atau yang sekarang disebut juga sebagai infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan atau Health-care Associated Infection (HAIs) dapat juga didefinisikan sebagai infeksi yang didapat oleh pasien selama perawatan di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya setelah pasien masuk rumah sakit dalam kurun waktu 48 – 72 jam , pada saat itulah penularan saling silang itu bisa terjadi. Infeksi ini tidak hanya terjadi 11

kepada pasien, tetapi dapat juga terjadi pada semua tenaga kesehatan yang bekerja didalamnya serta pengunjung rumah sakit (WHO, 2002).

Proses terjadinya penyakit infeksi adalah akibat adanya interaksi segitiga epidemiologi, sering dikenal dengan istilah trias epidemiologi dan merupakan konsep dasar yang memberikan gambaran tentang hubungan antara tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit dan masalah kesehatan lainnya, yaitu host (penjamu), environment (lingkungan), dan agent (bakteri) (Maryani dan Mulyani, 2010).

Infeksi nosokomial disebabkan oleh patogen yang mudah menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada pasien rumah sakit dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah , sehingga mereka kurang mampu untuk melawan infeksi. Dalam beberapa kasus, pasien mengalami infeksi karena kondisi / atau fasilitas kesehatan di rumah sakit yang buruk, atau karena staf rumah sakit tidak mengikuti prosedur yang tepat seperti cuci tangan yang baik dan benar (WHO,2009).

2.2 Bakteri.

Penemuan mikroskop oleh Antony van Leeuwenhoek pada tahun 1683 (Gupte, 1990), telah membuka tabir ternyata kuman/mikroorganisme berada di mana-mana, di air, tanah, udara, benda-benda, bahkan di tubuh manusia, termasuk pada telapak tangan. Keberadaan kuman-kuman yang tidak kasat mata tersebut seringkali membuat kita tidak sadar akan bahaya yang dapat ditimbulkan. Tubuh manusia secara terus menerus terpapar berbagai mikroorganisme yang sebagian besar merupakan bakteri, namun ada juga jamur dan mikroorganisme lain.

Keberadan mikrorganisme tersebut dibuktikan dengan adanya berbagai penelitian, bahkan salah satu penelitian membuktikan bahwa sabun yang digunakan untuk mencuci tangan dapat terkontaminasi oleh bakteri, padahal penggunaan sabun dimaksudkan untuk mengurangi jumlah bakteri yang ada di tubuh kita termasuk pada telapak tangan (Gal et al., 2004).Pada

keadaan normal dan sehat, organisme tersebut tidak berbahaya bahkan dapat bermanfaat bagi manusia yang dapat dikenal sebagai flora normal atau komensal.

Flora normal adalah mikroorganisme yang menempati suatu daerah tanpa menimbulkan penyakit pada inang yang ditempati.Tempat paling umum dijumpai flora normal adalah tempat yang terpapar dengan dunia luar yaitu kulit, mata, mulut, saluran pernafasan atas, saluran pencernaan dan saluran urogenital.Kulit normal biasanya ditempati bakteria sekitar 10.2–10.6 CFU/cm2 (Trampuz & Widmer, 2004).Flora normal yang menempati kulit terdiri dari dua jenis yaitu flora normal atau mikroorganisme sementara (transient microorganism) dan mikroorganisme tetap (resident microorganism).

Flora transien terdiri atas mikroorganisme non patogen atau potensial patogen yang tinggal di kulit atau mukosa selama kurun waktu tertentu (jam, hari atau minggu), berasal dari lingkungan yang terkontaminasi atau dari pasien.Flora ini pada umumnya tidak menimbulkan penyakit (mempunyai patogenisitas lebih rendah) dan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan flora tetap. Pada kondisi terjadi perubahan keseimbangan, flora transien dapat menimbulkan penyakit (Trampuz & Widmer, 2004; Jawetz et al., 2005).

The Association for Professionals in Infection Control (APIC) memberi- kan pedoman

bahwa mikroorganisme transien adalah mikroorganisme yang dapat diisolasi dari kulit, tetapi tidak selalu ada atau menetap di kulit. Mikroorganisme transien, yang terdiri atas bakteri, jamur, ragi, virus dan parasit, terdapat dalam berbagai bentuk, yang dapat terjadi kontak dengan kulit. Biasanya mikro-organisme ini dapat ditemukan di telapak tangan, ujung jari dan di bawah kuku. Kuman patogen yang mungkin dijumpai di kulit sebagai mikroorganisme transien adalah

Escherichia coli, Salmonella sp, Shigella sp, Clostridium perfringens, Giardia lamblia,virus Norwalk dan virus hepatitis A (Synder, 1988).

Flora tetap adalah flora yang menetap di kulit pada sebagian besar orang sehat yang ditemukan di lapisan epidermis dan di celah kulit (Synder, 1988). Flora tetap terdiri atas mikroorganisme jenis tertentu yang biasanya dijumpai pada bagian tubuh tertentu dan pada usia tertentu pula, jika terjadi perubahan lingkungan mereka akan segera dapat kembali seperti semula(Jawetz et al., 2005). Flora tetap yang paling sering dijumpai adalah Staphylococcus

epidermidis dan stafilokokkus koagulase negatif lainnya, Corynebaterium dengan densitas

populasi antara 10.2-10.3 CFU (Coloni Forming Unit)/cm2 (Trampuz & Widmer, 2004).

Flora tetap tidak bersifat patogen, kecuali Staphylococcus aureus, bakteri ini dapat menyebabkan penyakit jika telah mencapai jumlah 1.000.000 atau 10.6 per gram, suatu jumlah yang cukup untuk memproduksi toksin (Synder, 2001). Jenis dan jumlah mikroorganisme tetap bervariasi dari satu individu ke individu lainnya dan berbeda di antara regio tubuh. Sebagian besar mikroorganisme tetap tidak berbahaya (Synder, 1988; dan Strohl et al., 2001). Flora transien akan mati atau dapat dihilangkan dengan dicuci , sedangkan flora tetap yang sering dijumpai di bawah kuku, sulit dihilangkan. Flora tetap akan selalu ada dan bertahan hidup apalagi tempat tersebut menyediakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan mikroba.

2.2.1. Bakteri pada tangan manusia.

Bakteri yang ditemukan pada tangan tenaga medis dan paramedis adalah Staphylococcus

epidermidis, Staphylococcus saprophyticus, Staphylococcus aureus, Serratia liquefacients, Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter aerogenes, Citrobacter freundii, Salmonella sp, Basillus cereus, dan Neisserria mucosa. (Pratami et al., 2013).

2.2.2. Bakteri penyebab infeksi nosokomial.

Sebagian besar mikroorganisme yang bertanggung jawab untuk infeksi rumah sakit dan mikroba yang memiliki kapasitas / kemampuan untuk menyebabkan infeksi pada pasien yang

dirawat di rumah sakit adalah 90% disebabkan oleh bakteri, sedangkan sisanya disebabkan mikobakteri, virus, jamur atau protozoa. Bakteri yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah ; Staphylococcus aureus, Streptococcus spp., Bacillus cereus, Acineto-bacter spp., Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, Legionella dan Escherichia coli, Proteus mirabilis,

Salmonella spp., Serratia marcescens, Kleb-Siella pneumoniae. Yang umumnya dilaporkan

adalah E.coli, Staphylococcus aureus, enterococci dan P.aeruginosa, tapi berdasarkan data,

Escherichia coli dan Staphylococcus aureus adalah yang paling sering / paling banyak sebagai

penyebab infeksi nosokomial (Zulkarnain, 2009 ; Bereket et al., 2012).

2.3 Pencegahan infeksi nosokomial.

Mencuci tangan dengan sabun merupakan salah satu upaya pencegahan penyakit. Hal ini dilakukan karena tangan seringkali menjadi agen yang membawa kuman dan menyebabkan patogen berpindah dari satu orang ke orang lain baik dengan kontak langsung ataupun kontak tidak langsung .Tangan yang bersentuhan langsung dengan kotoran manusia dan binatang, ataupun cairan tubuh lain (seperti air ludah, ingus) dan makanan/minuman yang terkontaminasi saat tidak dicuci dengan sabun dapat memindahkan bakteri, virus, dan parasit pada orang lain yang tidak sadar bahwa dirinya sedang ditulari (WHO. 2009).

Diperkirakan 40 persen infeksi nosokomial disebabkan oleh kebersihan tangan yang buruk. Petugas rumah sakit dapat secara signifikan mengurangi jumlah kasus dengan mencuci tangan secara teratur. Pencegahan infeksi noso- komial adalah tanggung jawab semua individu dan pemberi layanan kesehatan, banyak penekanan telah dilakukan pada prosedur terkait staf, terutama tentang kebersihan tangan karena dengan mencuci tangan merupakan intervensi penting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial disamping sarung tangan, baju, dan masker .WHO telah mencanangkan setiap tanggal 15 Oktober sebagai Hari Mencuci

Tangan Pakai Sabun Sedunia, yang diikuti oleh 20 negara di dunia, salah satu diantaranya adalah Indonesia (WHO, 2009).

Pentingnya membudayakan cuci tangan pakai sabun secara baik dan benar juga didukung oleh World Health Organization (WHO). Data WHO menunjukkan setiap tahun rata-rata 100 ribu anak di Indonesia meninggal dunia karena diare. Kajian WHO menyatakan cuci tangan memakai sabun dapat mengurangi angka diare hingga 47%. Data dari Subdit diare Kemenkes juga menunjukkan sekitar 300 orang diantara 1000 penduduk masih terjangkit diare sepanjang tahun. Penyebab utama diare adalah kurangnya perilaku hidup sehat di masyarakat, salah satunya kurangnya pemahaman mengenai cara cuci tangan dengan sabun secara baik dan benar menggunakan air bersih yang mengalir (Kemenkes.RI., 2010).

Sebuah penelitian menemukan bahwa mencuci tangan dengan sabun secara teratur dan menggunakan masker, sarung tangan, dan pelindung, lebih efektif untuk menahan penyebaran virus ISPA seperti flu dan SARS. Penelitian ini menyatakan bahwa mencuci tangan dengan air dan sabun adalah cara yang sederhana dan efektif untuk menahan virus ISPA, mulai dari virus flu sehari-hari hingga virus pandemik yang mematikan (Isaa & Cairncross, 2007). Penelitian lain menyatakan bahwa perbandingan bayi yang dirawat oleh petugas kesehatan yang tidak mencuci tangan dengan sabun lebih signifikan, lebih sering, dan lebih cepat terkena patogen S.

aureus dibandingan dengan bayi yang dirawat oleh petugas kesehatan yang mencuci tangan

dengan sabun (Paul et al., 2011).

Mencuci tangan adalah tindakan yang sangat sederhana, namun efektif dalam pencegahan dan pengendalian infeksi karena secara statistik telah membuktikan bahwa mencuci tangan adalah langkah yang paling penting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi. Pusat Pencegahan Infeksi dan Pengendalian Penyakit jelas mengamanatkan bahwa semua personil

kesehatan harus melakukan dekontaminasi tangan saat merawat pasien. Membersihkan tangan merupakan pilar dan indikator mutu dalam mencegah dan mengendalikan infeksi, sehingga wajib dilakukan oleh setiap petugas rumah sakit. Membersihkan tangan dapat dilakukan dengan mencuci tangan dengan air mengalir atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol (Hernandes, 2014).

Dokumen terkait