• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

B. Infeksi Pasca SC

Infeksi adalah masuknya mikroorganisme seperti bakteri, virus, dan jamur yang mampu menyebabkan trauma atau kerusakan pada tubuh atau jaringan. Mikroorganisme penginfeksi dapat muncul pada kulit atau jaringan lunak. Bakteri dapat menimbulkan beberapa efek patogennya dengan melepaskan beberapa senyawa, antara lain enzim (misalnya hemolisin, streptokinase, hialuronidase), eksotoksin yang dilepaskan terutama Gram positif (misalnya tetanus, difteri), atau endotoksin berupa lipopolisakaridase (LPS) dilepaskan dari dinding sel saat kematian bakteri (Grace dan Borley, 2007).

Infeksi pasca persalinan umum terjadi setelah operasi sesar. Infeksi dapat terjadi pada luka bekas sayatan operasi yang disebut dengan surgical site infection (SSI) yang ditandai dengan gejala inflamasi seperti, demam, kemerahan, nyeri, dan bengkak khususnya pada daerah bekas sayatan. Adanya nanah atau pus, purulen dari luka, ditemukannya bakteri yang diisolasi dari cairan tersebut, dan

kenaikan nilai leukosit dalam darah, khususnya netrofil juga menjadi tandab adanya infeksi (Singhal, 2014).

Sumber infeksi utama pada sebagian besar kejadian infeksi luka operasi adalah mikroorganisme endogen yang ada pada pasien itu sendiri. Semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan virus sampai dengan 3 juta kuman per sentimeter persegi kulit, namun tidak semua pasien memiliki koloni bakteri, jamur dan virus dalam jumlah berimbang. Setiap luka operasi akan terkontaminasi oleh mikroorganisme selama operasi, tetapi hanya sebagian kecil yang akan mengalami infeksi. Hal ini dikarenakan sebagian besar pasien memiliki pertahanan dalam mengendalikan dan mengeleminasi mikroorganisme penyebab infeksi (Guyton, 2007).

Dengan adanya sayatan bedah melalui kulit dan masuk ke jaringan subkutan, prekursor inflamasi manusia diaktifkan. Protein koagulasi dan trombosit pada awalnya diaktifkan sebagai bagian dari mekanisme hemostatik manusia, selanjutnya keduanya menjadi penanda timbulnya peradangan. Sel mast beserta protein pelengkap, bradikinin, prostaglandin, dan prekursor inflamasi lainnya diaktifkan. Efek dari faktor-faktor ini adalah vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal di lokasi sayatan bedah sehingga menyebabkan munculnya kemerahan

dan gejala hangat lokal. Prostaglandin sendiri menciptakan gejala nyeri pada daerah sayatan. Terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi lokal menyebabkan terbentuknya edema dan peningkatan ruang antara sel-sel endotel. Peningkatan permeabilitas vaskuler memfasilitasi akses fagosit pada jaringan lunak yang terluka, sementara edema menyediakan saluran cairan untuk navigasi fagosit melalui jaringan ekstraseluler. Produk aktivasi dari 5 peristiwa inisiasi (kemerahan, hangat, nyeri, bengkak, dan kehilangan fungsi) adalah hasil produksi sinyal chemoattractant spesifik, sementara sel-sel mast menghasilkan sinyal kemokin tertentu yang menarik neutrofil tertentu, monosit, dan leukosit ke daerah sayatan. Jadi, cedera jaringan dari sayatan telah memobilisasi fagosit ke dalam luka sebelum kontaminasi bakteri dari operasi terjadi. Proses ini merupakan pertahanan host bawaan sebelum kontaminasi intraoperatif terjadi, dan memberikan pasien keuntungan terhadap pertahanan infeksi (Fry, 2003).

Dalam beberapa jam setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang berasal dari jaringan yang meradang dan memicu beberapa reaksi. Pertama, produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut marginasi. Produk tersebut juga menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel kapiler dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari darah ke dalam ruang jaringan. Produk peradangan

lainnya juga menyebabkan kemotaksis netrofil menuju jaringan yang cedera. Dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat tersebut akan diisi oleh netrofil yang siap untuk membunuh mikroorganisme dan menyingkirkan bahan-bahan asing. Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akut yang berat, jumlah netrofil di dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi 15.000-25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia (Guyton, 2007).

Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang meradang dan membesar menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang meradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk berkembang ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang sangat banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh sebagai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Setelah beberapa hari hingga minggu, makrofag datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang meradang (Guyton, 2007).

Perjalanan infeksi baru dimulai jika ada jalur masuk (port d’entry). Lalu setelah melewati masa inkubasi yaitu waktu dimana agen infeksi masuk ke dalam tubuh sampai munculnya gejala awal infeksi maka penderita akan mengalami fase inflamasi akut. Makrofag dan netrofil yang merupakan hasil dari inflamasi serta antibodi yang hadir setelah bakteri menginfeksi mampu melisiskan bakteri dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibatkan fagositosis (Fry, 2003).

Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik, maka semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati.

Sesudah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran itu disebut pus (Guyton, 2007).

Berdasarkan tempat terjadinya, SSI diklasifikasikan menjadi tiga yaitu superficial incisional, deep incisional, dan organ/space. Superficial incisional SSI yaitu infeksi yang terjadi pada daerah sayatan namun hanya pada bagian kulit dan jaringan subkutan. Deep incisional SSI yaitu infeksi yang terjadi pada daerah sayatan hingga bagian jaringan dalam, seperti fasia dan lapisan otot. Organ/space SSI yaitu infeksi yang terjadi setiap bagian dari anatomi organ dan daerah selain sayatan yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi (Singhal, 2014).

Gambar 1. Surgical site infection berdasarkan tempat terjadinya infeksi (Singhal, 2014)

Risiko infeksi pasca operasi sesar selain SSI adalah endometritis. Endometritis merupakan infeksi pada lapisan rahim yang biasanya diidentifikasi dengan demam, malaise, takikardi, nyeri perut, nyeri pada uterus, terkadang lokia yang abnormal atau berbau busuk. Demam juga bisa menjadi satu-satunya gejala endometritis. Endometritis telah dilaporkan terjadi pada 24% pasien SC elektif dan 60% pada pasien SC non-elektif atau emergensi (ASHP, 2013).

Cairan vagina dengan flora bakteri ditarik ke dalam rahim ketika rileks antara kontraksi selama proses persalinan. Yang termasuk flora normal vagina tersebut yaitu streptokokus, enterokokus, laktobasil, diphtheroid, E.coli, spesies Bacteroides (misalnya, Bacteroides Vibius, B. fragilis), dan spesies Fusobacterium. Endometritis sering disebabkan oleh polimikroba biasanya streptokokus aerobik (terutama kelompok basil streptokokus dan enterokokus), aerob Gram negatif (terutama E.coli), basil anaerob Gram negatif (terutama B. bivius), dan kokus anaerob (spesies Peptococcus dan Peptostreptococcus) (ASHP, 2013).

Infeksi pada endometrium biasanya merupakan hasil dari infeksi yang berasal dari saluran kelamin yang posisinya lebih rendah dari endometrium. Endometritis lebih sering terjadi sebagai infeksi akut. Endometritis akut ditandai dengan adanya neutrofil dalam kelenjar endometrium. Endometritis kronis ditandai dengan adanya sel-sel plasma dan limfosit dalam stroma endometrium (Rivlin,2015).

Gejala dan tanda infeksi endometrium pada obstetrik diantaranya demam yang biasanya terjadi dalam waktu 36 jam setelah melahirkan. Selain itu, rasa

nyeri perut bagian bawah, takikardia, nyeri rahim, suhu oral 38°C dalam 10 hari pertama postpartum atau 38,7°C dalam 24 jam pertama postpartum. Dalam kasus yang parah, pasien mungkin akan septik (Singhal, 2014).

1. Faktor risiko

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi pasca bedah yaitu dari segi pasien (endogen) dan prosedur operasi (eksogen) (Kanji and Devlin, 2008). Tabel II. merupakan karakteristik pasien dan prosedur operasi yang dapat meningkatkan risiko infeksi pasca bedah.

Tabel II.Karakteristik pasien dan operasi yang dapat meningkatkan risiko infeksi pasca bedah (Kanji and Devlin, 2008)

Pasien Proses bedah

Usia Nutrisi

Penyakit Diabetes Perokok

Obesitas

Sudah terjadi infeksi terlebih dahulu Respon imun

Lama tinggal saat preoperasi Kolonisasi dengan mikroba resisten

Durasi pembersihan bedah Persiapan preoperatif Pencukuran daerah operasi Lama bedah

Antibiotika profilaksis Ventilasi ruangan operasi Sterilisasi alat-alat bedah Pemasangan implan prostetik Drainase bedah

Teknik bedah

Sistem klasifikasi luka operasi yang meningkatkan kemungkinan dan tingkat kontaminasi bakteri selama prosedur pembedahan dibagi menjadi empat kelas operasi, yaitu operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi, operasi terkontaminasi, dan operasi kotor. Operasi bersih yaitu operasi pada keadaan prabedah tanpa adanya luka atau operasi yang melibatkan luka steril dan dilakukan dengan memerhatikan prosedur aseptik dan antiseptik. Pada operasi ini, saluran pencernaan, saluran pernapasan, atau saluran kemih tidak dibuka.

Kemungkinan terjadi infeksi pasca bedah ini yaitu 2-4%. Operasi bersih terkontaminasi mirip dengan operasi bersih namun daerah saluran napas dan kemih terlibat dalam pembedahan. Operasi terkontaminasi yaitu operasi yang dikerjakan pada daerah dengan luka yang telah terjadi 6-10 jam dengan atau tanpa benda asing. Telah jelas terdapat kontaminasi karena saluran napas, cerna, atau kemih dibuka. Tindakan darurat yang mengabaikan prosedur aseptik-antiseptik termasuk dalam klasifikasi operasi ini. Kemungkinan terjadinya infeksi pada prosedur seperti ini 16-25%. Operasi kotor merupakan operasi yang melibatkan daerah dengan luka terbuka yang telah terjadi lebih dari 10 jam dan biasanya merupakan tindakan darurat (Darmadi, 2008).

Faktor risiko lain penyebab SSI setelah bedah sesar adalah penyakit sistemik, kebersihan yang buruk, obesitas, dan anemia. Faktor risiko endometritis diantaranya termasuk kelahiran sesar itu sendiri, pecahnya selaput pelindung rahim yang berkepanjangan, persalinan yang lama dengan berbagai pemeriksaan vagina, demam intrapartum, dan status sosial yang rendah. Membrane chorioamniotic berfungsi sebagai pelindung rahim dari infeksi bakteri. Pecahnya membran ini juga menjadi penyebab permukaan rahim mudah terinfeksi (ASHP, 2013).

2. Pencegahan

Perencanaan pra operasi dan teknik intraoperatif menjadi penting dalam pencegahan SSI. Meningkatkan nutrisi, penghentian merokok, penggunaan antibiotika yang tepat, dan teknik intraoperatif dapat ditingkatkan untuk

meminimalkan infeksi. Pencegahan yang dapat dilakukan sebelum terjadi infeksi pasca operasi antara lain operasi dilakukan sesingkat mungkin, prosedur operasi dilakukan dengan teknik aseptik-antiseptik, filtrasi terhadap udara pada kamar operasi, dan pemberian antibiotika profilaksis (Grace dan Borley, 2007; Pear, 2013).

Dokumen terkait