• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

C. Antibiotika Profilaksis

1. Prinsip Penggunaan

Agar hasil terapi antibiotika profilaksis bedah dapat maksimal, maka penggunaannya sebaiknya mengikuti prinsip-prinsip penggunaan antibiotika sebagai profilaksis berdasarkan pedoman dan penelitian-penelitian terdahulu. Secara umum, prinsip penggunaan antibiotika profilaksis menurut Anderson, et al. (2014) dan Doherty and Way (2006) adalah sebagai berikut:

a. Antibiotika yang dipilih efektif mampu mengatasi tipe kontaminasi yang terkait.

b. Penggunaan antibiotika hanya digunakan pada prosedur dengan risiko infeksi. c. Pemberian antibiotika harus sesuai dosis dan waktu pemberian. Antibiotika

diberikan dalam waktu 1 jam sebelum pembedahan (2 jam diperbolehkan untuk vankomisin dan fluoroquinolon).

d. Dosis dihentikan dalam waktu 24 jam setelah operasi, sebelum terjadi risiko munculnya efek samping yang lebih besar dibanding keuntungannya. Pemberian dosis lebih dari 24 jam setelah operasi berkontribusi terhadap terjadinya resistensi bakteri.

e. Dosis dapat diulang bila prosedur operasi terlalu panjang atau adanya kehilangan darah yang berlebihan selama operasi. Dosis diulang jika sudah mencapai 2 kali waktu paruh antibiotika.

Antibiotika yang digunakan untuk profilaksis dipilih yang paling aman dan efektif sesuai prosedur bedah. Dasar pemilihan jenis antibiotika untuk tujuan profilaksis menurut Kanji and Devlin (2008) dan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011), yaitu:

a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada prosedur operasi. Bakteri ini dapat berasal dari endogen (dari flora normal pasien sendiri) atau eksogen (dari kontaminasi selama prosedur bedah).

b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri. c. Toksisitas rendah.

d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi. e. Bersifat bakterisidal.

f. Harga terjangkau.

Pada beberapa kondisi, pasien diberikan antibiotika lebih dari satu jenis jenis yang disebut antibiotika kombinasi. Tujuan dari pemberian antibiotika kombinasi yaitu memberi efek sinergis dengan meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik, dan memperlambat serta mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten. Antibiotika kombinasi dapat memperluas spektrum aktifitas sehingga dapat mengatasi infeksi yang disebabkan oleh polibakteri. Antibiotika kombinasi juga diberikan dengan indikasi abses intraabdominal, hepatik, infeksi campuran aerob dan anaerob, dan sebagai terapi empiris pada infeksi berat (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Kombinasi antibiotika yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotika. Penggunaan

antibiotika bersamaan dengan antibiotika lainnya dapat menimbulkan atau meningkatkan toksisitas yang bersifat aditif atau superaditif. Untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif, diperlukan pengetahuan jenis infeksi serta data mikrobiologi terkait antibiotika (Cunha, 2010).

Agar terapi profilaksis optimal, maka antibiotika profilaksis harus diberikan dalam dosis yang adekuat. Dosis yang digunakan adalah dosis maksimum. Dosis minimum tidak efektif karena tidak mampu mencapai konsentrasi dalam darah yang dibutuhkan saat pembedahan dimulai. Administrasi harus diulang intraoperatif jika operasi masih berlangsung 2 kali waktu paruh antibiotika profilaksis yang digunakan setelah dosis pertama untuk memastikan antibiotika masih cukup adekuat untuk mencegah infeksi sampai pada proses penutupan luka. Pemberian ulang antibiotika juga diindikasikan bila saat operasi terjadi kehilangan darah yang berlebihan yaitu berkisar antara >1000-1500 mL (ASHP, 2013; Ongom and Kijjambu, 2013).

Diperlukan penyesuaian dosis berdasarkan berat badan pasien, atau indeks massa tubuh (BMI) khususnya untuk pasien obesitas. Dengan pemberian antibiotika dengan dosis yang sama, konsentrasi antibiotika pada serum pasien dengan BMI yang tinggi lebih rendah dibanding pada pasien dengan BMI yang lebih rendah. Untuk pasien dengan BMI yang tinggi perlu mendapat dosis ganda. Penyesuaian ini diperlukan pada pasien dengan BMI >35 (ASHP, 2013; SOGC, 2010).

Pemilihan jenis, serta waktu dan durasi pemberian antibiotika profilaksis untuk kasus SC perlu mendapatkan perhatian khusus. Hal tersebut tidak hanya

mempertimbangkan risiko keamanan ibu melainkan juga keamanan janin/bayi. Faktor lain yang menjadi perhatian adalah terkait dosis, rute pemberian, dan adanya resistensi dan/ atau alergi terhadap antibiotika yang digunakan. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan farmakodinamik dan farmakokinetik dari tiap antibiotika (Ongom and Kijjambu, 2014; Doherty and Way, 2006).

Profilaksis yang efektif harus bisa mengantarkan antibiotika pada daerah sayatan sesaat sebelum terjadi kontaminasi. Kadar antibiotika profilaksis dalam darah dan jaringan harus mencapai kadar hambat minimum (KHM) untuk mencegah terjadinya infeksi saat dan selama pembedahan. Ada dua rekomendasi waktu pemberian antibiotika profilaksis yang berbeda pada kasus SC. Beberapa penelitian menunjukkan sebaiknya waktu pemberian antibiotika profilaksis ditunda, bukan sebelum operasi dimulai seperti pada prosedur operasi lainnya, tetapi baru diberikan segera setelah tali pusar dipotong. Alasan utama penundaan administrasi adalah menghindari penekanan flora normal pada bayi yang baru lahir yang bisa mendorong terjadinya resistensi bakteri. Timbul pula kekhawatiran bahwa antibiotika tersebut berpotensi menutupi infeksi neonatal, sehingga evaluasi sepsis pada neonatal menjadi sulit. Data yang lebih modern mendukung administrasi antibiotika profilaksis sebelum sayatan bedah untuk melindungi pasien terhadap risiko infeksi. Hasil penilaian terapi cefazolin 2 g dosis tunggal sebagai profilaksis yang diberikan sebelum prosedur SC dan yang diberikan setelah tali pusar dipotong memberikan perbedaan yang tidak signifikan (ASHP, 2013, Ongom and Kijjambu, 2013).

Antibiotika profilaksis pada SC sebaiknya diberikan 30-60 menit sebelum operasi dimulai. Pemberian antibiotika profilaksis yang terlalu awal dapat menyebabkan konsentrasi antibiotika tidak memadai dalam jaringan saat dan selama operasi berlangsung. Efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari bakteri penyebab infeksi pun menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi postpartum akan meningkat. Begitu pula pada pasien yang baru menerima antibiotika profilaksis setelah operasi. Tidak ada antibiotika profilaksis yang dapat melindungi pasien dari infeksi bakteri selama operasi berlangsung hingga selesai (ASHP, 2013; Sullivan, et al., 2007).

Rekomendasi durasi pemberian antibiotika profilaksis yaitu maksimal 24 jam setelah pembedahan. Hal ini dikarenakan belum ditemukan bukti mendukung bahwa perpanjangan durasi antibiotika profilaksis memberikan manfaat yang baik. Kekhawatiran justru muncul karena durasi yang panjang terkait dengan munculnya resistensi (ASHP, 2013).

Dokumen terkait