• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pola Penggunaan Antibiotika Profilaksis

Pada Standar Pelayanan Medis Obstetri Ginekologi untuk Bedah Caesarea RS Panti Rini Yogyakarta tahun 2011, tidak tercantum prosedur penentuan golongan dan jenis antibiotika, dosis, rute, waktu pemberian, maupun durasi pemberian antibiotika profilaksis. Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter pemberi resep, tidak ada acuan khusus yang digunakan oleh dokter maupun rekomendasi dari apoteker dalam penentuan hal-hal yang terkait pola peresepan

antibiotika profilaksis tersebut. Peresepan antibiotika profilaksis dilakukan secara empiris dan berdasarkan keahlian dokter penulis resep.

Antibiotika profilaksis yang paling efektif digunakan sebagai antibiotika profilaksis adalah cefazolin yang merupakan sefalosporin generasi I (ASHP, 2013). Rekomendasi lainnya yang dapat digunakan adalah sefalosporin generasi II, salah satunya yaitu cefuroxime (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Cefuroxime menjadi antibiotika profilaksis yang paling banyak diterima oleh pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta dengan presentase 40,8%. Pilihan antibiotika profilaksis yang diterima pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014 dapat dilihat pada Tabel V.

Menurut salah satu dokter penulis resep, selain bukti empiris, yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan antibiotika profilaksis untuk SC adalah hasil skin test (uji alergi). Banyak pasien yang saat di uji alergi memberikan hasil negatif alergi terhadap cefuroxime. Dokter tersebut menambahkan, cefuroxime sering dipilih karena mampu mengatasi bakteri yang biasa menginfeksi pada bekas luka sayatan operasi sesar. Cefazolin tidak menjadi pilihan pertama oleh dokter pemberi resep dengan alasan harganya yang lebih tinggi dibanding cefuroxime. Harga cefazolin per vial (1g) yaitu sekitar Rp 85.000,00, sedangkan harga cefuroxime per vial (750 mg) yaitu sekitar Rp 45.000,00-Rp 60.000,00 (MIMS, 2015).

Selain golongan sefalosporin, antibiotika jenis ampicillin juga digunakan pada beberapa kasus (14,8%). Ampicillin diketahui memiliki efikasi yang sama dengan antibiotika golongan sefalosporin generasi I dan II. Golongan antibiotika

tersebut merupakan spektrum luas yang memiliki aktifitas baik terhadap bakteri Gram negatif maupun bakteri Gram positif, namun ampicillin memiliki spektrum yang lebih sempit. Ampicillin tidak menjadi pilihan utama karena tidak dapat mengatasi bakteri yang memproduksi enzim betalaktamase yang dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika golongan ini. Penggunaan ampicillin akan lebih efektif bila dikombinasikan dengan golongan inhibitor beta-laktamase seperti, klavulanat dan sulbaktam (Hauser, 2013).

Tabel V. Antibiotika Profilaksis yang Diterima Pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta Periode Januari-Juni 2014.

Golongan Jenis Jumlah Kasus

(n=27)

Persentase (%) Tunggal

Sefalosporin generasi II Sefalosporin generasi III Penicillin Cefuroxime Cefotaxime Aminopenicillin 11 2 4 40,8 7,4 14,8 Kombinasi 2 Antibiotika Sefalosporin generasi I + Metronidazol Sefalosporin generasi II + Metronidazol Sefalosporin III + Metronidazol Penicillin + Metronidazol Kombinasi 3 Antibiotika Sefalosporin generasi II + metronidazole +

sefalosporin generasi III

Cefazolin + Metronidazol Cefuroxime + Metronidazol Cefotaxime + Metronidazol Ceftriaxon + Metronidazol Aminopenicillin + metronidazol Cefuroxim + Metronidazol + Cefditoren 1 2 3 2 1 1 3,7 7,4 11,1 7,4 3,7 3,7

Pada beberapa kasus, pasien menerima cefotaxime yang merupakan sefalosporin generasi III. Aktivitas cefotaxime kurang aktif terhadap kokus Gram postif dibanding dengan sefalosporin generasi I, tapi lebih aktif terhadap

Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta-laktamase. Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis bedah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Karena kemampuannya yang tidak sesuai untuk mencegah dan mengatasi bakteri yang biasa mengkontaminasi pada prosedur bedah, maka sefalosporin generasi III tidak digunakan sebagai profilaksis bedah (Hauser, 2013). Sefalosporin generasi III yang kurang aktif dibanding cefazolin dalam mengatasi staphylococci dan memiliki spektrum yang lebih lebar untuk mikroorganisme pada bedah elektif mengakibatkan penggunaannya sebagai profilaksis dapat meningkatkan risiko resistensi. Alasan lain yang menyebabkan sefalosporin generasi III tidak digunakan sebagai profilaksis yaitu karena harganya yang lebih mahal (McEvoy, 2005).

Sebagian besar pasien menerima terapi kombinasi antibiotika profilaksis. Kombinasi dua antibiotika kebanyakan berupa kombinasi sefalosporin dengan metronidazol. Kombinasi dua dan tiga antibiotika bertujuan untuk memperluas spektrum aktifitas. Metronidazol diberikan bila dicurigai terdapat bakteri anaerob yang mengkontaminasi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Kombinasi metronidazole, doxycycline, klindamisin, atau azithromisin dengan sefalosporin dan ampicillin memperluas spektrum aktifitas yang melawan bakteri yang biasanya ditemukan di endometrium dan daerah bedah. Dengan pemberian kombinasi ini, risiko infeksi setelah operasi (SSI maupun endomtritis) dan lama tinggal di rumah sakit lebih rendah dibanding pemberian sefalosporin generasi I atau II secara tunggal (ASHP, 2013).

Antibiotika profilaksis untuk pasien SC di RS Panti Rini diberikan baik melalui intravena maupun oral. Dapat dilihat pada Tabel VI., pola rute pemberian antibiotika profilaksis pada pasien SC di RS Panti Rini periode Januari-Juni 2014 menunjukkan bahwa hampir semua pasien menerima antibiotika profilaksis secara intravena. Antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena yaitu sebagian cefuroxime, sebagian metronidazole, cefotaxim, ampicillin, cefditoren, cefazolin, dan ceftriaxon. Pemberian secara intravena dinilai ideal karena antibiotika akan lebih cepat terdistribusi dalam serum dan jaringan dibanding per oral. Selain itu, antibiotika akan mudah mencapai konsentrasi yang tinggi dalam darah dan lokasi sayatan (ASHP, 2013). Umumnya, antibiotika profilaksis yang diberikan secara oral adalah antibiotika yang dikombinasikan dengan antibiotika lain yang diberikan secara intravena. Antibiotika profilaksis yang diberikan secara oral yaitu metronidazole (5 kasus) dan cefuroxime (1 kasus).

Tabel VI. Pola cara pemberian antibiotika profilaksis pada pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014

Antibiotika Profilaksis Cara

Pemberian

Jumlah Kasus

Persentase (%)

Cefuroxime, cefotaxim, ampicillin, cefditoren, cefazolin, dan ceftriaxon , metronidazole Metronidazole, cefuroxime Intra vena Per oral 26 6 96,3% 22,2% Catatan: Dalam satu kasus bisa terdapat lebih dari satu jenis antibiotika dengan cara pemberian yang berbeda-beda.

Pada Tabel VII. disajikan dosis antibiotika profilaksis yang diterima pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014. Dapat dilihat bahwa semua antibiotika profilaksis diberikan dengan dosis berulang, bukan dosis tunggal. Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam

jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotika dengan dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotika harus mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Tabel VII. Pola dosis antibiotika profilaksis pada pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014

Jenis Dosis Cefuroxime iv Cefuroxime oral Cefotaxime iv Ampicillin iv Cefditoren iv Cefazolin iv Ceftriaxon iv Metronidazol oral Metronidazol infus 1g 2x/hari 250 mg 2x/hari 1g 2x/hari 1,5g 3x/hari 200 mg 2x/hari 1 g 2x/hari 1 g 2x/hari 500 mg 3x/hari 1 plb (500 mg) 3x/hari

Rekomendasi waktu pemberian antibiotika profilaksis yaitu 30-60 menit sebelum operasi (ASHP, 2013). Antibiotika profilaksis untuk pasien SC di RS Panti Rini ada yang mulai diberikan sebelum operasi, saat operasi, dan setelah operasi. Pola waktu pemberian untuk pasien SC di RS Panti Rini periode Januari-Juni 2014 disajikan pada Gambar 2.

Dari Gambar 2. dapat diketahui bahwa antibiotika profilaksis pada pasien SC paling banyak diberikan pada saat operasi dan 61-120 menit setelah operasi. Pada pasien yang menerima antibiotika profilaksis setelah operasi menunjukkan kurangnya efektifitas antibiotika profilaksis dalam melindungi pasien dari infeksi bakteri selama operasi berlangsung hingga selesai sehingga risiko terjadinya infeksi meningkat. Bila pemberian antibiotika profilaksis yang terlalu awal juga dapat menyebabkan konsentrasi antibiotika yang tidak memadai

dalam jaringan. Efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari bakteri penyebab infeksi menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi postpartum pun meningkat (ASHP, 2013; Sullivan, et al., 2007).

Pada kasus 7, pasien diberikan kombinasi cefuroxime, cefditoren, dan metronidazole. Dari rekam medik, diketahui bahwa kombinasi ketiganya diberikan bersamaan yaitu 12 jam setelah operasi. Pemberian kombinasi 3 antibiotika dengan dosis tinggi dalam waktu bersamaan ini tidak lazim. Sehingga ada kemungkinan bahwa ada catatan rekam medik khususnya informasi tentang waktu pemberian yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Rekomendasi durasi pemberian antibiotika profilaksis yaitu 24 jam setelah operasi (ASHP, 2013). Pola durasi pemberian antibiotika profilaksis pada pasien SC di RS Panti Rini periode Januari-Juni 2014 disajikan pada Gambar 3. Durasi pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dengan rekomendasi hanya sebesar 7,4%. Sebagian besar antibiotika profilaksis diberikan selama 24-48 jam

60 menit

60 menit

Gambar 2. Pola waktu pemberian antibiotika profilaksis pada pasien SC di RS Panti Rini Yogyakarta periode Januari-Juni 2014

Catatan: Dalam satu kasus bisa terdapat lebih dari satu jenis antibiotika dengan waktu pemberian yang berbeda-beda.

7,4 3,7 3,7 25,9 33,3 22,2 33,3 3,7 25,9 0 20 40 60 80 >240 menit 240-121 menit 120-61 menit £ 60 menit Saat Operasi £ 60 menit 61-120 menit 121-240 menit 8-12 jam Persent ase k asus ( %)

Waktu pemberian dosis pertama

>240 menit Saat Operasi 8-12 jamSesudah operasi Sebelum operasi

(70,4%). Durasi pemberian antibiotika profilaksis yang panjang berisiko meningkatkan resistensi. Selain itu, penghentian antibiotika setelah 24 jam akan mencegah penambahaan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien (ASHP, 2013; Bhattachan, Baral, and Gauchan, 2013).

Dokumen terkait