Step III – Management III.1 Disease notification
INFEKSI VIRUS HERPES SIMPLE
Famili virus herpes mengandung double stranded DNA, terdapat dua bentuk HSV 1 dan 2. HSV 1 menyebabkan ginggivostomatitis, faringitis sedangkan HSV 2 menimbulkan herpes genital. Infeksi terjadi secara primer melalui kontak langsung dengan lesi terinfeksi. Neonatus terinfeksi melalui kanal vaginal saat persalinan. Infeksi post natal menyebar ke orang lain melalui mencium atau menyentuh bayi.
Sekitar setengah dari ibu hamil terinfeksi primer adalah asimptomatik, 20% dengan vulvo vaginitis dan servisitis dan kurang dari 30% dengan lesi karakteristik vesikuler dan lesi ulkus di genital. Gejala pada bayi meliputi lesi kulit berupa vesikel, vesikobulosa, ulkus, pustule. Lesi pada susunan saraf pusat berupa kalsifikasi, encephalomalacia, ventriculomegaly, microcephaly, perdarahan, kejang, meningoencephalitis dan
hypertonia/spasticity. Lesi pada mata berupa keratoconjungtivitis, chorioretinitis, katarak dan lepasnya retina.
Spesimen untuk diagnosis diambil dari urine, saliva dan sekresi nasofaring, dipertimbangkan terinfeksi bila terdapat IgM HSV, PCR HSV dari cairan otak dan kultur HSV positip dari lesi. Terapi menggunakan acyclovir intravena (20 mg/kg) diberikan selama 14-21 hari dengan pemantauan sel-sel darah dan hidrasi adekuat diperlukan untuk meminimalisasi komplikasi pada ginjal.
Tabel 2. Teknik diagnostik TORCH
TORCH serologi kultur histopatologi PCR
Toxoplasmosis - ++++ + +
Rubella virus infection - ++++ +++ +++
Cytomegalo virus infection ++++ + - +
Herpes simplex virus infection +/- +++ - +
Syphilis infection +++ + - +
KESIMPULAN
TORCH merupakan sekumpulan infeksi yang pada kehamilan menyebabkan gangguan kongenital pada janin. Diagnosis dini pada kehamilan sangat penting dalam mencegah timbulnya komplikasi pada janin.
DAFTAR RUJUKAN
Yadav RK, Maity S, Saha S. A review on TORCH: groups of congenital infection during pregnancy. Journal of Scientific and Innovative Research 2014; 3 (2): 258-264
Rorman E, Zamir CS, Rilkiis I, et al. Congenital toxoplasmosis-prenatal aspect of Toxoplasma gondii infection. Reprodtoxicol 2006; 21: 458-472
Cytomegalovirus infection in pregnancy-SOGC Clinical Practice Guide No 240, 2010 Whitley R, Corey L, Arvin A, et al. Changing presentation of herpes simplex virus infection in neonates. J Infect Dis 1998; 158:109-116
Brown ZA, Selke SA, Zeh J, et al. Acquisition of herpes simplex virus during pregnancy. N Eng J Med 1997; 337:509-515
Unusual Manifestation Of Dengue Infection Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Diperkirakan sekitar 500 000 kasus DBD memerlukan perawatan rumah sakit setiap tahun, terutama anak-anak dan dewasa muda. Angka kematian (case fatality rates –CFR) mencapai 2.5%, namun bisa mencapai dua kali lebih tinggi. Tanpa pengobatan yang tepat, CFR DBD dapat melebihi 20%. Dengan terapi suportif yang modern dan intensif CFR dapat diturunkan menjadi kurang dari 1%. Dengue merupakan penyakit Arbo virus pada manusia yang bersifat endemik dan belakangan ini menjadi masalah kesehatan masyarakat secara global. Sekitar 2.5 milyar penduduk yang hidup di perkotaan daerah tropik dan subtropik berisiko terinfeksi dengue karena pewabahan bisa terjadi sewaktu- waktu .
Manifestasi klinis infeksi dengue berspektrum luas, mulai dari infeksi ringan dan bersifat asimtomatik sampai gejala klinis yang berat dan fatal. Anak-anak dengan infeksi dengue sering menunjukkan undifferentiated febrile illness dan adanya ruam kulit makulopapular. Gejala berupa ISPA juga sering, terutama faringitis. Infeksi dibawah usia 15 tahun sering asymptomatic (tanpa gejala) atau mild symptomatic (gejala ringan). Dengue klasik lebih sering pada anak yang lebih besar, adolescent atau dewasa muda, sedang pada dewasa jarang asimptomatik. Demam mendadak tinggi disertai sakit kepala berat terutama retro- orbital, mialgia dan arthralgia, mual, muntah dan adanya ruam kulit. Ada tiga fase dalam perjalanan infeksi virus dengue yaitu : fase febril, fase kritis dengan diawali adanya warning sign dan fase recovery. Gejala infeksi dengue yang tidak biasa atau unusual juga semakin sering di laporkan dari berbagai belahan dunia.
Saat sebelum munculnya wabah, seringkali terjadi korban kasus yang meninggal karena ketidak-tahuan dan kurangnya kewaspadaan masyarakat dan petugas medis sehingga penanganan kasus terlambat. Disamping karena luasnya spektrum klinis infeksi dengue dan perjalanan penyakit yang sangat dinamis, adanya manifestasi klinis yang jarang atau unusual juga dapat menjadi penyebab kematian. Berikut ini akan dibahas beberapa unusual manifestastation infeksi dengue yang dilaporkan kejadiannya dari berbagai belahan dunia.
Klasifikasi infeksi dengue menurut WHO
Begitu dinamisnya penyakit dengue menyebabkan WHO harus mengadakan merevisi terhadap kriteria klinis yang dipakai sebelumnya dan revisi ini bertujuan untuk memperbaiki penangannya sehingga dapat menurunkan angka kematian. Klasifikasi WHO tahun 1997 merujuk infeksi dengue yang simtomatik, sehingga infeksi dengue diklasifikasi atas demam dengue (DF), demam berdarah dengue (DHF) dan dengue syok sindrom (DSS). Pada tahun 2009, klasifikasi DF menjadi dengue with or without warning signs dan severe dengue.
Karena penyebaran virus dengue terjadi sangat cepat dan mengenai semakin banyak populasi, maka semakin banyak dilaporkan manifestasi klinis yang tidak spesifik. Karena itu pada tahun 2011, WHO membuat revisi lagi, sehingga klasifikasi dengue menjadi DF, DHF without shock or with shock (DSS) dan expanded dengue syndrome. Berdasarkan derajat beratnya DHF di bagi atas DHF grade I, DHF grade II, DHF grade III dan DHF grade IV- DSS. Expanded dengue syndrome adalah klasifikasi baru yang ditambahkan sebagai manifestasi klinis infeksi dengue yang unusual yang mengenai berbagai sistim dan organ termasuk gastro intestinal, hepar, neurologikal, paru dan ginjal. Target mekanisme imunopatologi infeksi dengue adalah sel-sel endothel. Ciri spesifik dari penyakit ini adalah permeabilitas vaskuler yang meningkat, dan gangguan koagulasi. Keduanya dapat menjelaskan timbulnya berbagai gangguan sistemik yang terdapat pada sebagian besar kasus.
Berbagai manifestasi klinis unusual bisa meliputi berbagai organ, antara lain:
Ensefalopathy dan gangguan neurologis lain, gagal hati, gangguan kandung empedu dan pankreas, gagal ginjal, dual infection dan kondisi2 tertentu, seperti retinopathy, hemoragik diatesis, dll.
Suatu penelitian prospektif tahun 2011 – 2013 di India, mendapatkan manifestasi klinis yang tidak biasa pada 115 dari 175 kasus rawat inap (66%). Gejalanya berupa hepatitis (70%), pleural effusion (11%), gagal ginjal akut (10%), komplikasi neurologi (ensefalitis- 7,4%), miokarditis (9%), dan perdarahan ulkus peptikum (3,4%). Penelitian tersebut menemukan virus dengue serotipe 2 paling sering ditemukan pada kasus-kasus unusual tersebut. Disamping itu dari berbagai negara semakin banyak yang melaporkan manifestasi unusual sebagai laporan kasus antara lain kelumpuhan ke-empat ekstremitas yang terjadi secara mendadak, dan mengalami kesembuhan total sesuai dengan perjalanan infeksi dengue. Ada juga manifestasi unusual sebagai komplikasi dari gangguan elektrolit seperti hiponatremia atau hipokalemia. Dilaporkan juga kasus kehilangan penglihatan mendadak akibat adanya retinopathy dan neuritis optika pada infeksi dengue. Kasus-kasus lain dibicarakan juga pada simposium ini.
Diagnosis konfirmasi
Selain kelainan hematologi yang biasa ditemukan pada infeksi dengue seperti lekopenia dengan atipikal limfositosis >15%, trombositopenia < 100.000/mm3, hemokonsentrasi dan gangguan koagulasi. Pada kasus-kasus berat bisa ditemukan PPT dan APTT memanjang dan FDP meningkat, komplemen menurun, asidosis, albumin menurun, AST/ALT meningkat dan gangguan elektrolit serum. Untuk konfirmasi, Isolasi virus dengue, deteksi RNA virus dengue dengan cara RT-PCR, serologis IgG dan IgM baik dengan Elisa atau rapid test dan NS1-Ag perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis terutama pada klinis yang tidak spesifik.
Penanganan
Pada manifestasi kasus dengue yang tidak biasa, penanganan ditujukan pada kelainan organ dan fungsi organ yang terkena, dan menjaga dan mempertahankan fungsi organ- organ vital. Apabila perlu dan memungkinkan dirawat di ruang intensif dengan penanganan secara intensif dengan memberikan terapi suportif yang adekwat. Sesuai kasusnya, mungkin juga diperlukan operasi atau hemodialisis setelah diagnosis ditegakkan. Pada DHF perlu penanganan klinis dan perawatan yang hati-hati, berdasarkan pengalaman, sehingga dapat menyelamatkan penderita DHF, sehingga angka kematian dapat ditekan sampai mencapai kurang dari 1%. Jadi disamping penanganan terhadap gangguan organ yang manifest, penanganan juga harus tetap mengacu perjalanan klinis infeksi dengue berdasarkan waktunya.
Ringkasan
Manifestasi unusual infeksi dengue perlu dikenali karena laporan-laporan menunjukkan semakin meningkatnya kejadian ini. Manifestasi unusual bisa berat dengan gangguan fungsi organ dan kegagalan organ, kadangkala merupakan komplikasi dari gejala klinis yang berat. Tapi sebagian kasus manifest sebagai gangguan organ yang bersifat ringan dan sedang yang akan sembuh sendiri sesuai perjalanan klinis penyakit dengue.
Referensi
WHO Guideline on dengue infection
WHO handbook of management of dengue infection
Khalil MA, Sarwar S, Chaudry MA, Maqbool B, Khalil Z, Tan J, Yaqub S, Hussain SA. Acute Kidney injury in dengue virus infection. Clin Kidney J. 2012 Oct;5(5):390-4. doi: 10.1093/ckj/sfs117
Nimmannitya S, Thisyakorn U, Hemsrichart V. Dengue haemorrhagic fever with unusual manifestations. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1987 Sep;18(3):398-406. Hendarto SK, Hadinegoro SR. Dengue encephalopathy. Acta Paediatr Jpn. 1992 Jun;34(3):350-7.
Nadarajah J, Madhusudhan KS, Yadav AK, Gupta AK, Vikram NK. Acute hemorrhagic encephalitis: An unusual presentation of dengue viral infection.
Indian J Radiol Imaging. 2015 Jan-Mar;25(1):52-5. doi: 10.4103/0971-3026.150145
Manish Gutch, Avinash Agarwal, and Amrendra Amar. Hypokalemic quadriparesis: An unusual manifestation of dengue fever.
J Nat Sci Biol Med. 2012 Jan-Jun; 3(1): 81–83. doi: 10.4103/0976-9668.95976
Soegeng Soegijanto, Helen Susilowati, Kris Cahyo Mulyatno, Eryk Hendriyanto, Atsushi Yamanaka. The unusual manifestation and the update management of dengue viral infection. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease, Vol 3, No 1 (2012)
M. Neeraja, V.Lakshmi, V.D. Teja, Vanjari Lavanya, F.N. Priyanka, K.Subadha, M.M. Parida, P.K. Dash, Sashi Sharma, P.V.L. Rao, Gopal Reddy. Unusual and rare manifestations of dengue during a dengue outbreak in a tertiary care hospital in South India. Arch Virol (2014) 159: 1567 – 1573. Doi: 10.1007/soo705-014-2010-s
Respon Imun Pasien HIV/AIDS terhadap Mycobaterium Tuberkulosis I Ketut Agus Somia, Ketut Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak
Mycobacterium tuberculosis yang terinhalasi dan mencapai rongga alveolus akan dihancurkan makrofag. Apabila tidak, M. tuberculosis akan bereplikasi dalam makrofag dan menginfeksi makrofag lain. Makrofag akan membawa kuman TB ke kelenjar getah bening regional dan menyebarluaskan M. tuberculosis ke seluruh tubuh. Kebanyakan lesi pada periode TB primer di dalam dan diluar paru-paru bersifat pembentukan reaksi granulomatosa asimptomatik oleh sel limfosit T dalam 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer. Lesi TB primer dapat dikenali pada foto thoraks sebagai fokus granuloma yang disebut Fokus Ghon dan kalsifikasi kelenjar getah bening ipsilateral yang disebut Kompleks Ranke. Tes tuberkulin (TST: Tuberculin skin test) pada periode TB laten asimptomatik ini memberikan hasil yang positif. Secara umum 5% penderita TB laten akan mengalami reaktifasi menjadi TB aktif setelah 2 tahun TB primer dan 5% lagi setelahnya. Pada penderita HIV, reaktivasi berlangsung lebih cepat, sekitar 8% pertahun, dan bila penderita dalam keadaan imunospuresi berat saat TB primer maka akan menjadi TB aktif dalam beberapa minggu atau bulan.
Pada infeksi HIV secara umum terjadi beberapa gangguan berupa disfungsi sel T CD4, deplesi selektif sel T spesifik terhadap M tbc, sel T CD8 spesifik terhadap M. Tbc. Disfungsi sel T CD4 pada infeksi HIV akan mempengaruhi fungsi sel B, sel T sitotoksik, sel NK (Natural Killer) dan makrofag; yang diperlukan dalam mengatasi infeksi TB. Fungsi makrofag yang terganggu menyebabkan hambatan pembentukan granuloma sehingga TB menyebar melalui kelenjar getah bening ke seluruh bagian tubuh. Sehingga pada pasien HIV jarang dijumpai pembentukan kavitas dan nekrosis perkejuan. Penelitian in vitro dan in vivo menemukan bahwa sel makrofag di alveolus juga dapat terinfeksi virus HIV, sehingga menyebabkan rentannya alveolus mengalami infeksi TB. Hal inilah ang menyebabkan infeksi TB lebih mudah terjadi walapun jumlah M. tuberculosis dalam droplet yang menginfeksi sedikit.
Kepustakaan
1. Kwan CK, Ernst JD. HIV and Tuberculosis: a Deadly Human Syndemic. Clin. Microbiol. Rev. 2011, 24(2):351.
Tatalaksana Demam Tifoid
I Ketut Agus Somia, Ketut Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar
Abstrak
Demam demam tifoid dan paratifoid (demam enterik, demam tifoid) merupakan penyakit infeksi sistemik ditandai dengan demam yang menetap dan gangguan abdominal. Untuk pendekatan pengobatan, secara klinis demam tifoid dapat dikelompokkan menjadi dengan dan tanpa komplikasi. Berikut akan dibahas tentang pengobatan demam tifoid.
Pengobatan demam tifoid dalam beberapa tahun terakhir menjadi lebih rumit akibat dari perkembangan dan penyebaran S. typii yang resisten terhadap ampisilin, trimetoprim- sulfametoksazol, dan kloramfenikol. Timbulnya resistensi terhadap fluoroquinolones telah menimbulkan lebih banyak tantangan tentang pemilihan jenis antibiotika.
Antibiotika pada demam tifoid tidak komplikasi Pola
kepekaan
Terapi optimal Alternative
Antibiotic Dosis
harian Mg/kg
Hari Antibiotic Dosis
harian Mg/kg
Hari
Peka Fluoroquinolon 15 5-7 Chlorampenicol
Amoxicillin TMP-SMX 50-75 75-100 8-40 14-21 14 14 Multidrug resisten Fluoroquinlone atau cefixime 15 15-20 5-7 7-14 Azitromycin atau Cefixime 8-10 15-20 7 7-14 Quinole resisten Azitromycin atau ceftriaxone 8-10 75 7 10-14 Cexime 20 7-14
Terapi Antibiotika pada demam tifoid berat
Terapi parentral optimal Alternative
Pola kepekaan
Antibiotic Dosis
harian Mg/kg
Hari Antibiotic Dosis
harian Mg/kg
Hari
Peka Fluoroquinolon 15 10-14 Chlorampenicol
Amoksisilin TMP-SMX 100 100 8-40 14-21 14 14
Multidrug Fluoroquinolon 15 10-14 Ceftriaxon atau
Cefotaxime 60 80 10-14 Quinole resistance Ceftriaxone atau Cefotaxime 60 80 10-14 Fluoroquinolon 20 7-14
Mekanisme Resistensi Antibiotika I Ketut Agus Somia, Ketut Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Trofik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar Bali
Latar Belakang
Infeksi merupakan penyebab utama penyakit sepanjang sejarah umat manusia. Salah satu aspek yang terjadi semenjak ditemukan antibiotik, disamping dapat teratasinya masalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, disisi lain terjadi bakteri yang menjadi resisten terhadap antibiotik.
Meningkatnya bakteri yang resistensi antibiotik diakibatkan oleh kombinasi akibat dari karakteristik mikroba, tekanan seleksi akibat pemakaian antibiotik, serta perubahan sosial dan teknis yang meningkatkan transmisi organisme yang resisten. Ancaman dari peningkatan organisme resisten diperlukan tindakan bersama untuk mencegah munculnya dan penyebaran strain mikroorganisma yang resisten.
Berikut akan dibahas secara ringkas tentang mekanisme resistensi antibiotika, dengan harapan pemahaman ini dapat mencegah dan mengatasi berkembanganya mikroorganisme yang resisten.
Cara kerja antibiotik
Tiga kondisi yang diperlukan oleh antibiotik untuk bisa menjadi efektif terhadap bakteri adalah i) kepekaan antibiotic terhadap target yang ada dalam sel, ii) antibiotik harus dapat mencapai sasaran dalam jumlah yang cukup, dan iii) antibiotik harus tidak bisa diinaktivasi atau dimodifikasi. Untuk memahami mekanisme resistensi diperlukan pemahaman tentang dimana dan bagaimana antibiotika bekerja. Secara umum cara kerja antibiotic meliputi 1. Mempengaruhi sintesis didinding sel (b-lactam seperti: penicillins dan
cephalosporins, Glycopeptides seperti: vancomycin,teicoplanin, oritavancin; Telavancin)
2. Mempengaruhi sintesis asam nukleat Macrolide. (Aminoglycosides, Chloramphenicol, Tetracyclines dan oxazolidinones)
3. Menghambat jalur metabolic (Rifampicin, Quinolones, sulfonamides and trimethoprim)
Mekanisme resistensi antibiotik
Secara umum mekanisme terjadinya resistensi dapat terjadi melalui:
1. Inaktivasi antibiotik : terjadi inaktivasi molekul antibiotik yang aktif secara langsung. 2. Modifikasi sasaran antibiotic: terjadi perubahan sensitivitas terhadap antibiotik
dengan cara modifikasidari sasaran kerja antibiotik
3. Efflux pump dan perubahan permeabilitas membran luar (OM): terjadi penurunan konsentrasi antibiotic tanpa modifikasi senyawa itu sendiri;
4. Bypass Sasaran: beberapa bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik spesifik dengan cara melewati inaktivasi oleh enzim tertentu yang menjadi sasaran kerja antibiotik.
Gambar 1. Aspek genetic dan biokimia mekanisme resistensi antibiotik
Kepustakaan
Senka Dzidic, Jagoda Suskovic, Bla`enka Kos.: Antibiotic Resistance Mechanisms in Bacteria: Biochemical and Genetic Aspects. Antibiotic Resistance in Bacteria, Food Technol. Biotechnol. 46 (1) 11–21 (2008)
Vaccination Model for Adult and Its Importance I Ketut Agus Somia, Ketut Tuti Parwati Merati
Divisi Penyakit Trofik dan Infeksi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana – RSUP Sanglah Denpasar Bali
Abstrak
Terdapat beberapa alasan yang sangat penting mengapa populasi dewasa memerlukan imunisasi:
1. Menurunnya imunitas pada orang dewasa oleh karena belum mendapat imunisasi pada anak-anak atau mendapat imunisasi yang tidak lengkap.
2. Beberapa gaya hidup, hobi, jenis pekerjaan dan aktivitas berwisata pada orang dewasa yang meningkatkan risiko menderita penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.
3. Terdapatnya kondisi medis tertentu (terutama penyakit kronis) yang meningkatkan risiko terinfeksi penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi, yang dapat menyebabkan komplikasi serius pada penyakit dasar yang diidap.
Beberapa jenis vaksin yang tersedia yang direkomendasikan untuk orang dewasa dapat diunduh dari situs CDC (centers for Disease Control)
http://www.cdc.gov/vaccines/schedules/downloads/adult/adult-schedule.pdf yang rutin