• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan metanol serum dan atau as format serum positif.

Dalam dokumen Proceeding Book BIDs-7 and BAMHOI-3. (Halaman 61-65)

Step III – Management III.1 Disease notification

OTHER SUPPORTIVE THERAPY OF SEVERE SEPSIS Blood product administration

A. Ayu Yuli Gayatri, Dewi Dian Sukmawati, Md Susila Utama, IK Agus Somia, Tuti Parwati Merat

4. Pemeriksaan metanol serum dan atau as format serum positif.

Pengukuran kadar metanol dalam darah sangat penting untuk konfirmasi diagnosis intoksikasi metanol dan mungkin bermanfaat dalam menilai respon terhadap terapi yang diberikan. Kadar metanol dalam darah diukur dengan cara gas chromatography pada laboratorium tertentu dan memerlukan waktu dari beberapa jam sampai hitungan hari. Pada keadaan yang tidak dapat dilakukan pengukuran kadar metanol dalam darah, penilaian terhadap anion gap dapat sangat bermanfaat. Asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi adalh khas untuk intoksikasi metanol.

Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa gas darah serial, pemeriksaan glukosa darah, elektrolit, pemeriksaan foto dada, funduskopi, dan MRI kepala.3,10

Diagnosis Banding 9

1. Intoksikasi obat : salisilat, ibuprofen, paraldehid, etilen glikol, isoniasid, arsenik, preparat besi.

2. Tanpa riwayat minum metanol meliputi ketoasidosis diabetik, pankreatitis, neprolitiasis, perdarahan subarahnoid, meningitis.

Penatalaksanaan 1,2,7,11

Prinsip utama penanganan intoksikasi metanol adalah mencegah berlanjutnya metabolisme metanol, koreksi abnormalitas metabolik dan terapi suportif. Metabolisme dapat dihambat dengan pemberian alkohol atau Fomepizole. Terapi suportif meliputi; koreksi asidosis dengan sodium bicarbonat, intubasi dan ventilasi mekanik serta eleminasi ekstrocorporeal melalui hemodialisis. Langkah langkah penatalaksanaan adalah sebagai

berikut; 1. Stabilisasi, meliputi: pembebasan jalan nafas, perbaikan fungsi jalan nafas

(ventilasi dan oksigen) dan perbaikan sistem sirkulasi darah 2. Resusitasi cairan yang agresif pada jam pertama penanganan

3. Dekontaminasi dan eleminasi gastrointestinal, dapat dilakukan dengan pengosongan lambung bila pemaparan < 60 menit. Induksi muntah tidak dianjurkan terutama pada pasien dengan kesadaran yang menurun. Kumbah lambung segera dilakukan setelah tertelan. Pada penderita koma/ penurunan kesadaran lindungi jalan nafas dengan posisi trandelenberg dan left lateral decubitus. Bila diperlukan,

pasien sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau dengan intubasi endotrakeal. Activated Charcoal dapat diberikan : 240 ml cairan dengan 30-50 g (0.5-1 g/kg BB) setiap 4 jam per oral/enteral

4. Pemberian Etanol infus dipertimbangkan pada pasien yang dicurigai mengkonsumsi metanol >20mg/dl. Etanol bersifat kompetitif inhibitor bagi alkohol dehidrogenase dengan afinitas 10-20 kali lebih besar pada alkohol dehidrogenase dibandingkan metanol. Hal ini dapat menunda waktu paruh metanol hingga 40 jam. Konsentrasi etanol dalam darah harus dipertahankan 100-150 mg/dl, melalui pemeriksaan etanol serum secara berkala. Selain melalui jalur parenteral, etanol dapat diberikan secara oral namun hanya pada pasien sadar dengan kelemahannya adalah variabilitas absorpsi etanol dan fluktuasi etanol dalam darah serta dapat menimbulkan gastritis. Kelemahan pemberian etanol parenteral adalah timbulnya tromboflebitis. Antidote lainnya adalah fomepizole/4-metilprizol yang bekerja mirip dengan etanol dan memeiliki kemampuan inhibitor yang lebih kuat daripada etanol namun tidak menimbulkan sedasi berat serta mempunyai waktu paruh yang lebih lama. Dosis 20 mg/kg berat badan perhari.

5. Diuresis paksa atau bila tersedia sarana hemodialisis merupakan pilihan yang lebih baik terutama bila pH< 7.2 dan tidak memberikan respon yang baik pada terapi, keadaan gagal ginjal, gangguan visual atau konsentrasi metanol dalam darah > 50 mg/dl.

6. Koreksis asidosis dengan pemberian sodium bikarbonat jika pH darah kurang dari 7.2

7. Pemberian asam folat 50 mg iv setaip 4-6 jam selama beberapa hari, sangat penting mengingat metabolisme asam format menjadi karbondioksida dan air tergantung dari ketersediaan asam folat dalam tubuh.

8. Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamin dengan dosis 2-5 mcg/kg BB/menit dan dapat dititrasi bila perlu.

Prognosis

Prognosis yang buruk bila terjadi asidosis metabolik berat.6 Kematian umumnya akibat gagal nafas, gangguan fokal susunan saraf pusat.2,3

Daftar Pustaka

1. WHO 2007. WHO Expert Committe on Problems Related to Alcohol Consumption. 2. Jeffrey A. Krut, Ira Kurtz, 2008. In: Toxic Alcohol Ingestions: Clinical Festures,

Diagnosis and Management. Clin J Am Soc Nephrol 3 p 200-225

4. England AG, Landry DR, 2001. In Toxicity Alcohols. Emedicine Journal. Vol. 2. No. 5. Available from http//www.emedicine.com/emerg/topic19.htm

5. Hildebrand Hanoch Victor*, Yenny Kandarini**, I Wayan Sudhana**, I Gde Raka Widiana**Jodi S. Loekman**, Ketut Suwitra**2010 Clinical Manifestations of Methanol Intoxication in Sanglah General Hospital, Denpasar, Bali

6. Zakharov S, Pelclova D, Urban P, Navratil T, Diblik P Kuthan P, et al.Czech mass methanol outbreak 2012: Epidemiology, challenge and clinical fitures. Clinical toxicology 2014;1-12

7. Susan B Masters. Alkohol. In: Betram G Katzung in Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah dan Editor Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Buku 2 Edisi 8. Penerbit Salemba Medika,2002.p.58-81

8. Likosky D, 2001. In : Rutchik JS, Talavera, Galves-Jimenes, N,et al. Editors. Methanol. Emedicine Journal. Vol.2. No. 11. Available from http//www.emedicine.com

9. Motoki Fujita et al, 2003. In : Methanol Intxication : Differential Diagnosis from Anion Gap- increased Acidosis. Advanced Medical Emergency and Critical Care Center, Yamagucy University Hospital, Internal Medicine Vol. 4 p. 750-754

10. Barbera N, Indorato F, Spitaleri A, Bosco A, Carpenteri M, Busardo F, et al. A Singular Case of survival after acute methanol poisioning: toxicological and neuroimeging findings. The American journal of forensic medicine and patology 2014;35(4):253-5

11. Brent J, McMartin K, Phliips S, Aaron C, Kulig K. 2001. Fomepizole for the Treatment of Methanol Poisoning. N Engl J Med ; 344:424-9

Acute Febrile Illness

Susila Utama, Tuti Parwati Merati

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana-RSUP Sanglah Denpasar

PENDAHULUAN

Acute febrile illness (penyakit demam akut) terjadi sekitar 20-25% dari rawat inap di Indonesia dan menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Demam dapat dikaitkan dengan penyakit menular. Namun di negara-negara berkembang keadaan klinis demam biasanya terkait dengan etiologi infeksi. Meskipun beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari penyebab spesifik agen penyakit menular seperti demam berdarah, diare, atau penyakit influenza. Penelitian skala besar untuk mengidentifikasi penyebab penyakit demam di Indonesia belum dilakukan. Untuk mengidentifikasi etiologi penyakit menular, ada beberapa pemeriksaan penunjang yang akan diperlukan seperti pemeriksaan mikroskopis, kultur bakteri dan virus, molekul, antigen atau tes antibodi. Dokter sering membuat diagnosa hanya pada keadaan klinis, dimana diagnostik laboratorium masih kurang. Hal ini dikarenakan biaya pemeriksaan yang tinggi dalam melakukan pengujian diagnostik khusus, atau ketidakmampuan mayoritas pasien untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Hal ini dapat menyebabkan manajemen klinis yang tidak pantas dan penggunaan antibiotik yang tidak rasional, yang dapat berkontribusi untuk meningkatkan resistensi obat. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi penyakit demam dalam berbagai konteks di Indonesia. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui etiologi penyakit demam akut dan menggambarkan profil klinis penyakit demam akut. Tahun 1971-1972 oleh Anderson et al, dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan serologis dari pasien rawat inap dengan penyakit demam yang belum jelas penyebabnya . Dari hasil pemeriksaan tersebut infeksi Salmonella dan arbovirus menjadi etiologi utama yang paling banyak ditemukan, sedangkan leptospira, rickettsia, brucella dan infeksi toksoplasma ditemukan hanya pada beberapa pasien. Pada tahun 1978 oleh Olson et al, dilakukan Studi lain di Klaten, Jawa Tengah dan ditemukan alphavirus dan flavivirus sebagai etiologi demam. Pada tahun 1995, Suharti dkk menemukan bahwa dengue terdiri hanya 49% dari total klinis dicurigai kasus DBD di Semarang, Jawa Tengah. Etiologi lainnya termasuk rickettsia, hantavirus, leptospira, rubella, chikungunya, dan influenza. Pada tahun 2002-2003, Vollaard et al ditemukan tingginya prevalensi SalmonelIa typhi dan infeksi parathyphi (9% dan 3%) yang dikonfirmasi dengan kultur bakteri, pada pasien demam rawat jalan dan rawat inap di Jakarta. Pada tahun 2005-2006, Gasem dkk. menekankan pentingnya mempertimbangkan leptospira dan rickettsia infeksi pada pasien dengan demam akut di pusat-pusat kesehatan primer dan rumah sakit di Semarang. Selama periode yang sama

Suwandono et al, menegaskan bahwa dengue harus dipantau secara hati-hati, karena memberikan kontribusi 15% dari penyakit demam akut pada pasien yang melakukan perawatan di fasilitas kesehatan primer di Jakarta. Chikungunya memiliki prevalensi yang sama, tetapi tidak ada bukti dari endemisitas. Pada tahun 2000-2008 oleh Alisjahbana et al, sebuah studi observasional yang dilakukan pada pasien dewasa. Dalam studi tersebut didapatkan hasil etiologi demam yang berbeda-beda, masing-masing dengan proporsi: dengue 12%, influenza 10%, chikungunya 8%, dan tifus 2,4%. Tidak seperti di Jakarta, kasus chikungunya di Bandung ditemukan sepanjang tahun. Studi-studi ini dan surveilans influenza nasional juga terdeteksi dan muncul agen infeksi seperti virus zika di Klaten, hantavirus di Semarang dan Bandung, dan influenza subtipe H5N1 di banyak daerah. Meskipun sudah banyak studi yang telah dilakukan, namun sebagian besar kasus masih belum ditemukan etiologinya dengan pasti. Menurut Ellis et al., Leelarasamee et al, Brown et al, etiologi yang paling sering ditemukan pada studi ini juga merupakan etiologi atau agen penting yang ditemukan di Thailand, Myanmar, perbatasan Thailand dan Malaysia.

Dalam dokumen Proceeding Book BIDs-7 and BAMHOI-3. (Halaman 61-65)

Dokumen terkait