• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Data Hasil Penelitian

5.1.2 Informan Kunci 2

Nama : Awalunsyah Al-Fajzri

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 23

Pendidikan Terakhir : SMK

Pekerjaan : Guide / Pemandu wisata

Agama : Islam

Informan kunci kedua dalam penelitian ini adalah Awalunsyah Al-Fajri, bersuku Jawa, beragama Islam. A-Fajri saat ini berumur 23 tahun, pendidikan terakhirnya adalah SMK jurusan usaha perjalanan wisata. Al fajri merupakan

Al fajri selaku guide di Istana Maimoon adanya pedagang souvenir di sini sangat memberikan impact positif kepada wisatawan, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pengunjung yang memanfaatkan jasa dari sewa baju adat Melayu untuk swafoto di dalam Istana Maimoon.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….Kalau yang saya lihat dan perhatikan selama bekerja di sini tentu adanya pedagang souvenir di Taman Wisata Istana Maimoon sangat diutungkan kak bagi pihak Istana Maimoon dan begitu juga sebaliknya, karena yang menjadikan orang-orang ingin membeli souvenir adalah bangunan Istana Maimoon itu sendiri misalnya kebanyakan pengunjung atau wisatawan di sini menyewa baju adat Melayu yang ditawarkan oleh pedagang souvenir untuk foto di Taman Wisata Istana Maimoon ini. Nah jadi antara bangunan Istana Maimoon dengan baju pakaian adat inilah yang membuat wisatawan tertarik berlibur di sini selain dari segi sejarahnya.

Adanya pedagang souvenir di sini juga memberikan kontribusi untuk pelestarian dan perawatan Istana Maimoon melalui keuntungan yang mereka dapat karena dari pendapatan mereka nantinya juga ada biaya yang dialokasikan untuk Istana Maimoon…”

Selanjutnya, Al Fajri menambahkan bagaimana kondisi pedagang souvenir sejak di terpa pandemi Covid-19. Ia menuturkan bahwa sejak Istana Maimoon tutup tidak ada lagi aktivitas jual beli souvenir, terlebih hal tersebut juga diperparah karena para pedagang souvenir tersebut tidak memanfaatkan penjualan

secara online di media sosial atau platform belanja online, jadi ketika toko fisik tutup maka mereka tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“…. Sangat disayangkan memang kak melihat kondisi pedaganng souvenir selama pandemi Covid-19 ini, yaa.. kegiatannya bisa dikatakan mati total artinya benar-benar tidak bisa jualan di sini. Mungkin kalau pedagang lain di luar sana selama Covid-19 masih bisa tetap berjualan tapi kan kalau di sini mereka jualnya memang di dalam Istana Maimoonya jadi kalau Istana Maimoonya tutup mereka juga tidak bisa buka toko. Apalagi pedagang di sini ga ada yang jualan dari online jadi ya sangat bergantung sama jam bukanya Istana Maimoon kak…”

Selanjutnya, ketika peneliti bertanya terkait apa saja yang menjadi kendala pedagang souvenir selama masa pandemi Covid-19, saudara Al fajri menambahkan bahwa pedagang souvenir kesulitan untuk menarik perhatian pelanggan untuk membeli dagangan mereka. Walaupun Istana Maimoon telah dibuka sejak era new normal namun hal tersebut tidak kembali berlaku menjadi normal bagi pedagang souvenir, pasalnya walaupun terdapat pengunjung dan wisatawan yang datang namun kebanyakan dari pengunjung tersebut tidak begitu ramai yang membeli souvenir karna rata-rata pengujung tersebut hanya masyarakat lokal atau Kota Medan saja sehingga hal tersebut tetap membuat omzet dari para pedagang souvenir sangat turun drastis.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….Yang saya perhatikan kendala yang dihadapi oleh pedagang souvenir adalah omzetnya yang turun drastis kak dan setelah Istana Maimoon kita buka kembali pun masih tetap susah juga untuk menarik pengunjung buat membeli souvenirnya karena saya lihat sepi gitu yang mampir di toko para pedagang souvenir ini termasuk juga yang sewa-sewa baju pakaian adat, kalau sebelum pandemi Covid-19 sampai banyak yang mengantri buat nyewa dan foto, faktornya sih jelas karena sekarang pengunjung dari luar dan mancanegara lebih sedikit bahkan terlihat tidak ada lagi, lebih banyak masyarakat lokal atau sekitar kota Medan saja yang berkunjung kak… ” 5.1.3 Informan Utama I

Nama : Handayani

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 52

Pendidikan Terakhir : S1

Pekerjaan : Penjual Souveir

Agama : Islam

Informan pertama yang peneliti wawancarai adalah Ibu Handayani atau di sapa Ibu Yani. Ibu Yani bersuku Minang beragama Islam dan berusia 52 tahun.

Pendidikan terakhir Ibu Yani adalah S1. Ibu Yani menuturkan bahwa ia bersama suaminya yang merupakan keturunan Sultan Deli sudah tinggal di komplek Istana Maimoon selama 35 tahun yaitu dari awal menikah hingga saat ini.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“……Kalau Ibu sudah berjualan di sini selama 4 tahun dek jadi mulai dari tahun 2017 sampai sekarang, kebetulan suami Ibu yang keturunan Sultan Deli makanya kami tinggal di sini dan ibu juga bisa jualan souvenir di sini.

Sebelum jadi pedagang souvenir pekerjaan ibu dulunya mengajar tapi karena sudah tua dan karna Ibu tinggal di Istana Maimoon jadinya Ibu memutuskan dan beralih untuk jualan souvenir di Taman Wisata Istana Maimoon aja karena dulu keuntungannya juga lumayan besar….”

Selanjutnya, peneliti bertanya terkait bagaimana pendapatan Ibu Yani selaku pedagang souvenir sebelum dan sesudah adanya Covid-19 dan apakah pendapatan tersebut dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari penurutan Ibu Yani mengatakan bahwa beliau mengalami penurunan bahkan penuruan tersebut mencapai 90%. Jika sebelum Covid-19 rata-rata pendapatan beliau dalam sehari bisa mencapai lebih dari sepuluh juta sedangkan saat ini hanya bekisar 100-200 ribu per hari.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….. Sebelum pandemi Covid-19 itu kita per hari biasanya bisa dapat 10 sampai 8 juta dek, belum lagi kalau ada acara-acara besar yang ngundang dan dihadiri pejabat atau orang penting itu omzetnya bisa dapat belasan juta.

Tapi kalau sekarang sejak Covid-19 ini susah kali pendapatannya, seret lah istilahnya. Sampai siang ini aja Ibu baru bisa dapat hanya 100 ribu dan

rata-ratanya per hari 100-200 ribu. Maksimal sih Alhamdulillah pernah dapat satu juta itu juga udah lumayan sekali di masa pandemi seperti sekarang ini, jadi untuk pendapatanya menurunnya hampir 90% dek ….”

Kemudian, ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana strategi yang di lakukan Ibu Yani selama masa pandemi Covid-19 dalam mempertahakan keberlangsungan hidupnya dan eksistensi usahanya. Ibu Yani menuturkan bahwa beliau terpaksa harus memberhentikan pekerja atau karyawannya yang selama bertahan-tahun telah bekerja untuknya, adapun pekerja yang dikurangi yaitu sebanyak 6 pekerja dari awalnya 7 pekerja, artinya kini hanya ada satu pekerja yang bekerja untuk Ibu Yani. Keputusan tersebut dipilih oleh Ibu Yani melainkan karena pendapatan yang diperolehnya sangat menurun bahkan juga berpengaruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurutnya dengan mengurangi pekerja yang bekerja maka untuk uang pengeluran keluarga akan berkurang dan bisa lebih menghemat biaya pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari.

Selanjutnya Ibu Yani menambahkan bahwa, selain mengurangi pekerja strategi yang ditempuh Ibu Yani dalam mempertahankan hidup dan usahanya juga dengan memanfaatkan hasil tabungan hidup yang beliau tabung selama 4-5 tahun terakhir, hal tersebut dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena menurutnya lebih baik menggunakan tabungan tersebut dibandingkan dengan harus meminjam uang ke saudara atau bank. Ibu Yani juga telah lama mengenal budaya menabung untuk mempersipakan hal-hal yang tidak terguda di masa yang akan datang.

Dalam strategi bertahannya, selain melakukan pengurangan pekerja dan memanfaatkan tabungan yang beliau miliki, Ibu Yani juga mencoba untuk membuka usaha sampingan ketika Istana Maimoon ditutup beberapa bulan lamannya pada tahun 2020. Hal tersebut dilakukan Ibu Yani karena tidak memiliki pendapatan lain. Beliau menuturkan bahwa usaha souvenir ini dilakukan bersama suaminya, jadi saat usaha souvenirnya berhenti sampai waktu yang belum ditentukan maka Ibu Yani bersama suami juga sepakat memilih untuk membuka usaha depot air isi ulang.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….Karena pendapatan yang udah jauh berbeda, jadi Ibu terpaksa kurangin karyawan Ibu, tadinya Ibu punya tujuh orang karyawan atau pekerja yang kerja di sini tapi karena untuk saat ini susah dapat pendapatan masuk dan susah buat gaji mereka jadi dengan sangat terpaksa dan mau tidak mau ibu berhentikan karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga harus pinter-pinter mengaturnya dek apalagi untuk memberikan gaji ke karyawan kan.

Terus karena pendapatan dari jualan souvenir seret (berkurang) Ibu coba mutar otak cari cara gimana supaya tetap bisa punya pendapatan di luar ini, jadi Ibu bersama suami ibu coba buka usaha lain atau sampingan, terus ibu buka depot air isi ulang buat tambahan penghasilanlah karena memang waktu itu dari jualan souvenir ini ga bisa kita harapkan lagi. Tapi Alhamdulillah masa krisis kemarin ibu tidak ada melakukan pinjaman apapun. Tapi untuk kebutuhan sehari-hari terpaksa Ibu pakai uang tabungan

dari hasil nabung 4-5 tahun yang lalu, kita pakai sebagian buat makan sehari-hari dari pada harus berhutang atau buat pinjaman…”

Selain dari strategi di atas, Ibu Yani kemudian memanfaatkan jaringan sosial yang ia miliki dengan menawarkan barang-barang usahanya untuk di sewakan pada teman-temannya dan juga kepada relasi yang beliau punya serta memberikan diskon sebagai marketingnya.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….Biasanya saya juga menawarkan di luar Istana Maimoon jadi misalkan ada acara pesta atau acara lainnya bajunya kita sewakan dengan memanfaatkan kenalan atau teman-temn yang ibu kenal ya dengan dikasih diskonlah biar pada tertarik, karena dari pada bajuya kita simpan saja di toko sampai berbulan-bulan jadi lebih baik coba kita tawarkan ke luar gitu dek Karena waktu itu setelah masa apasi istilahnya new normal ya kalo kalau kata pemerintah itu lumayan banyak orang-orang yang buat acara pesta jadi dari situ saya coba manfaatkan…”

Selanjutnya, peneliti bertanya terkait apakah Ibu Yani melakukan penghematan seperti dalam hal pangan untuk mengurangi pengeluaran di masa pandemi Covid-19. Menurut beliau, Ia tidak melakukan penghematan atau pengurangan makan untuk sehari-hari, karena menurutnya pangan adalah salah satu kebutuhan yang utama jadi di masa pandemi atau tidak baliau tetap masak seperti biasa atau makan 3 kali sehari. Namun, hal lain yang dilakukan keluarga Ibu Yani adalah suaminya yang memutuskan untuk berhenti merekok selain

karena untuk mengurangi pengeluaran, hal tersebut juga dimanfaatkan untuk kesehatan suaminya yang semakin berumur.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“…. Kalau untuk makan, Ibu tetap masak seperti biasa ya makan juga masih 3 kali sehari atau kalau laper ya makan jadi bisa lebih dari 3 kali, kan yang namanya makan udah jadi kebutuhan utama kita buat hidup, buat tumbuh dan buat tetap sehat jadi ga ada yang Ibu kurang-kurangin. Tapi mungkin salah satu hidup hemat di keluarga Ibu untuk sekarang itu, Alhamdulillah selama Covid-19 ini suami Ibu mau berhenti merokok jadi selain bisa ngirit pengeluaran baik juga buat kesehatan suami Ibu…”

5.1.4 Informan Utama II

Nama : Sulaika

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 44 Tahun

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Penjual Souvenir

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Informan utama kedua dalam penelitian ini adalah Ibu Sulaika. Ibu Sulaika bersuku Jawa beragama Islam, berumur 44 tahun dan memiliki 3 orang anak. Pada saat melakukan wawancara dengan Ibu Sulaika, setelah perkenalan dan menanyakan informasi personal kemudian peneliti bertanya mengenai sudah

berapa lama Ibu Sulaika berjualan souvenir di Taman Wisata Istana Mimoon. Ibu Sulaika menjelaskan beliau sudah berjualan sebagai pedagang souvenir selama 4-5 tahun, pendapatannya dari berjualan souvenir di Istana Maimoon menurutnya sangat membantunya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya bahkan dari pendapatannya tersebut beliau bisa menabung.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“…. Saya dek berjualan di Istana Maimoon sudah lima atau empat tahunan lah, Alhamdulillah selama berjualan di sini pendapatan saya dalam berjualan aneka souvenir khas Medan di Taman Wisata Istana Maimoon ini bisa untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan sehari-hari bahkan dari pendapatan tersebut saya bisa menabung tapi ya itu dulu sebelum ada pandemi Covid-19 seperti sekarang ini….”

Selanjutnya peneliti bertanya kepada Ibu Sulaika terkait bagaimana pendapatan atau penghasilan Ibu Sulaika sebelum dan sesudah adanya pandemi Covid-19. Ibu Sulaika menuturkan bahwa pendapatnya sangat berkurang bahkan beliau menceritakan bagaimana agar para pedagang souvenir di Istana Maimoon dapat saling membantu satu sama lain agar tetap memiliki pendapatan sehari-hari.

Kemudian beliau mulai menjelaskan bagaimana sistem yang mereka gunakan untuk meratakan pendapatan antar sesama pedagang souvenir.

Berdasarkan penjelasan beliau, Ibu Sulaika mengatakan bahwa mereka harus bergilir memberikan pelanggan atau pengunjung satu sama lain jadi tiap-tiap pedagang nantinya akan memiliki sejumlah pengunjung yang sama, dengan

begitu tidak ada ketimpangan atau tidak ada pedagan souvenir yang tidak memiliki pendapatan sama sekali dalam sehari.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….Rata-rata sih pendapatan kita di sini semua sama-sama jauh berkurangnya, bahkan kita di sini antar sesama pedagang souvenir tuh pakai sistem bergilir dek, jadi misalkan saya dan yang sebelalah kanan toko saya udah dapat 5 pelanggan nah untuk pelanggan selanjutnya jika ada yang datang ke toko kita itu kita arahin ke toko sebelah kiri saya yang belum dapat pelanggan, seperti inilah cara kami selama pandemi Covid-19 ini agar pendapatannya bisa sama rata atau saling mendapat keuntungan, jadi kalau ditanya sebesar apa pengurngannya Covid-19 ya sama aja dengan pedagang souvenir yang lain di sini pasti sangat berpengaruh…”

Selanjutnya peneliti bertanya terkait apa saja kendala yang dihadapi Ibu Sulaika saat bejualan di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. kemudian Ibu Sulaika menjelaskan bahwa kendala yang sulit dihadapi yaitu tidak jauh berbeda dengan Ibu Yani, kendala yang paling dirasakan adalah turunnya omzet pendapatan dan sepinya pengunjung.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“…Untuk kendalanya saat ini yang pasti adalah pendapatan kita menurun dek, kentungan omzetnya turun drastis dari sebelumnya, dulu sebelum pandemi Covid-19 sehari pendapatnya bisa dapat sampai jutaan kalau sekarang paling

dapat biasanya 50-300 ribu aja, ya kita pedagang souvenir di sini sama semua kayak gini juga jadi barang souvenirnya pun banyak yang belum laku terjual, kayak yang ini semua tuh barang dari tahun lalu 2020 sampai sekarang masih ada karena emang sepi kali dek yang beli..”

Kemudian peneliti kembali bertanya yaitu mengenai strategi apa saja yang digunakan Ibu Sulaika dalam mempertahankan kebutuhan hidupnya sehari-hari dan usahanya di tengah krisis pandemi Covid-19. Ibu Sulaika menuturkan bahwa selain dari menggunakan sistem bergilir seperti di atas, startegi yang juga beliau terapkan adalah dengan menambahkan varian jenis produk yang dijual seperti misalnya menjual masker karena masker saat ini yang sering orang cari dan dibutuhkan. Selain itu, beliau juga mencoba membuka usaha lain yaitu membuka cathering. Hal tersebut dilakukan karena selain Ibu Sulaika suka memasak, pandapatan dari usaha cathering yang diperoleh juga membantu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“…..Saya sih strateginya untuk menjual produk lebih bervarian karena barang lama juga banyak yang belum terjual jadi hanya menambahkan beberapa jenis yang baru saja dan yang ringan jadi tidak terlalu berat modalnya, misalkan kalau dulu tidak ada yang menjual masker kain nah di sini saya coba jual walaupun bukan termasuk barang souvenir tapi ya itulah yang bisa ibu lakukan buat nambah pendapatan masuk, terus juga Ibu buat tempat hand sanitizer yang lucu-lucu, terus juga selama Istana Maimoon di tutup

beberapa bulan yang lalu sekitar 4 bulan lamanya saya coba usaha lain dengan buka usaha catheringan ya pokoknya saya kerjain apapun yang masih bisa saya lakukan di rumah untuk tetap terus memenuhi kebuthan keluarga sehari-hari…. “

Lebih lanjut, Ibu Sulaika menambahkan cara bertahan hidup yang beliau gunakana juga dengan menghemat biaya pengeluaran dengan tidak membeli baju lebaran seperti pada tahun-tahun sebelumnya serta mengurangi makan di luar bersama keluarga di mana hal tersebut sering dilakukan oleh keluarga Ibu Sulaika sebelum adanya pandemi Covid-19. Selain itu, dalam hal pendidikan Ibu Sulaika bersyukur bahwa anaknya mendapat beasiswa di kampusnya sehingga hal tersebut sangat membantu Ibu Sulaika mengurangi biaya pengeluaran keluarga.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“….Dengan keadaan yang seperti ini pasti kita juga mulai mencoba hidup menghemat dek, mulai adaptasi lagi sama keadaan yang ada jadi Ibu bilang ke anak-anak 2 tahun ini kita ga beli baju lebaran ya karna juga pasti lebaran gabisa kemana-mana dikarenakan Covid, terus ya Ibu juga bilang sekarang gabisa lagi sering-sering makan diluar apalagi malah saat ini justru ibu yang usaha cathering jadi ya makan dirumah aja supaya bisa lebih mengemat atau mengurangi kebutuhan yang tidak terlalu penting untuk dipenuhi. Dan Alhamdulillah anak Ibu yang pertama juga dapat beasiswa di kampusnya jadi sangat ngebantu Ibu lah untuk kebutuhan pendidikan anak Ibu…”

5.1.5 Informan Utama III

Nama : Nila

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 35 tahun

Pendidikan Terakhir : SMA

Pekerjaan : Pedagang Souvenir

Agama : Islam

Suku Bangsa : Melayu

Informan utama ketiga dalam penelitian ini adalah Ibu muda bernama Ibu Nila. Diakui Ibu Nila bahwa beliau jualan souvenir di Istana Maimoon adalah melanjutkan usaha orang tua beliau sebelumnya. Menurutnya pendapatan yang diperoleh dari menjual souvenir di sini sangat menguntungkan yakni mencapai jutaan rupiah per hari apalagi jika ada hari tertentu seperti acara besar atau pada saat hari libur tiba, souvenir yang beliau jual juga sangat beragam dimulai dari barang-barang khas daerah seperti kain ulos, baju daerah, kain batik khas Samosir, gelang-gelang, peci khas Melayu, ukiran, kipas, gantungan kunci, cincin, kalung, alat musik tradisional Batak hingga penyedia sewa baju adat Melayu.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“ ….Alhamdulillah selama saya berjualan souvenir di sini sehari keuntungannya bisa jutaan rupiah per hari, tapi itu sebelum adanya Covid-19 ya. Apalagi kalau sedang musim liburan banyak yang membeli souvenir di sini dek. Kalau sudah ramai begitu, penjualan baju atau kain bisa mencapai

seratus potong sehari ludes dibeli. Belum lagi penjualan souvenir lainnya sehari saya bisa memperoleh di atas dari lima juta. Souvenir yang saya jual juga beragam mulai dari kain ulos, baju daerah, kain batik khas Samosir, gelang-gelang, peci khas Melayu, ukiran, kipas, gantungan kunci, cincin, kalung, alat musik tradisional Batak bahkan miniatur rumah adat Batak Toba dan tentunya juga meyewakan sewa baju Adat Melayu yang tarifnya berisar antara Rp 80.000 sampai Rp 120.000…”

Kemudian peneliti bertanya mengenai bagaimana perbedaan pendapatan selama menjadi pedagang souvenir sebelum dan sesudah adanya pandemi Covid-19. Ibu Nila menuturkan bahwa pendapatannya sangat jauh berbeda, jika sebelum adanya pandemi Covid-19 beliau bisa memperoleh omzet hingga jutaan rupiah yakni 10 juta, sedangkan untuk saat ini dimulai sejak awal pandemi hingga sekarang hanya mendapat ratusan ribu atau sekitar 100 – 300 ribu rupiah per hari bahkan pada saat Kota Medan masuk ke dalam zona merah beliau sama sekali tidak memiliki pendapatan dari berjualan souvenir karena Istana Maimoon ditutup selama beberapa bulan.

Berikut merupakan hasil wawancara peneliti yang peneliti cantumkan dalam tulisan:

“…. Seperti yang udah saya katakan tadi yaaa kalau di hari normal saya bisa dapat hampir 10 juta bahkan lebih dan bisa berbeda-beda di hari libur dan hari biasa. Jika dibandingkan dengan keadaan yang sekarang beda kali dek, apalagi awal-awal pandemi kita terus tutup sampai waktu yang tidak ditentukan jadi lumayan dilema gimana kelanjutan usaha ini…”

Kemudian peneliti bertanya terkait bagaimana kendala yang dihadapi Ibu Nila selaku pedagang souvenir di Istana Maimoon selama pandemi Covid-19. Ibu Nila menjelaskan bahwa kendala yang beliau hadapi yaitu meskipun Istana Maimoon sebagai obyek wisata Kota Medan telah dibuka kembali namun ternyata sangat sulit untuk mendapatkan pelanggan karena wisatawan yang datang sangat sepi dari sebelumnya. Apalagi pengunjung yang datang rata-rata adalah

Kemudian peneliti bertanya terkait bagaimana kendala yang dihadapi Ibu Nila selaku pedagang souvenir di Istana Maimoon selama pandemi Covid-19. Ibu Nila menjelaskan bahwa kendala yang beliau hadapi yaitu meskipun Istana Maimoon sebagai obyek wisata Kota Medan telah dibuka kembali namun ternyata sangat sulit untuk mendapatkan pelanggan karena wisatawan yang datang sangat sepi dari sebelumnya. Apalagi pengunjung yang datang rata-rata adalah

Dokumen terkait