• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4. Informasionalisme dan Masyarakat Jaringan

Casttells memeriksa kemunculan masyarakat, kultur dan ekonomi yang baru dari sudut pandang revolusi teknologi informasi (televisi, komputer) yang dimulai di Amerika tahun 1970 dan memunculkan “Kapitalisme informasional” yang juga muncul adalah “masyarakat informasional” dan keduanya didasarkan kepada ‘informasionalisme”. Perkembangan dimana sumber utama produktivitas adalah kapasitas kualitatif untuk mengoptimalkan kombinasi dan penggunaan faktor-faktor produksi berbasis pengetahuan dan informasi (Castells, 1998:7). Penyebaran

informasionalisme, khususnya kapitalisme informasional, memunculkan gerakan masyarakat oposisional berdasarkan pada diri dan identitas (proses yang denganya aktor sosial mengenali dirinya sendiri dan menyusun makna terutama berdasarkan atribut kultural tertentu atau seperangkat atribut dengan mengesampingkan referensi pada struktur sosial lain yang lebih luas). Dalam analisis Catells adalah apa yang dinamakan paradigma teknologi informasi dengan empat karakteristik dasar yaitu :

1. Ini adalah teknologi yang bereaksi berdasarkan informasi. Karena informasi adalah bagian dari aktivitas manusia.

2. Semua sistem yang menggunakan teknologi informasi didefenisikan oleh “logika jaringan” yang membuatnya bisa mempengaruhi berbagai proses. 3. Teknologi baru sangatlah fleksibel, membuatnya bisa beradaptasi dan berubah

secara konstan.

4. Teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi berpadu dengan sistem yang terintergrasi.

Pada tahun 1980-an muncul ekonomi infomasional global baru yang semakin menguntungkan. Ekonomi itu bersifat informasional karena produktivitas dan daya saing dari unit-unit atau agen-agen dalam ekonomi ini (entah itu perusahaan, kawasan, atau bangsa-bangsa) secara mendasar tergantung kepada kapasitas mereka untuk menghasilkan, memproses dan mengaplikasikan pengetahuan informasi secara efesien (Castell, 1996:66). Ekonomi itu bersifat global karena ia mempunyai kapasitas untuk bekerja sebagai unit secara real time pada skala dunia. Ini untuk pertama kalinya menjadi mungkin dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi, dan ekonomi ini adalah informasional bukan hanya berbasis informasi.

Mengiringinya bangkitnya ekonomi informasional global ini adalah kemunculan bentuk organisasional baru perusahaan jaringan (network enterprise). Diantara ciri perusahaan tersebut adalah fleksibel, sistem manajemen baru, model organisasi horizontal, bukan vertikal, dan jalinan perusahaan besar. Akan tetapi yang lebih penting adalah komponen fudamental dari organisasi adalah serangkaian jaringan. Inilah yang membuat Castell mengatakan bahwa bentuk organisasi baru telah muncul sebagai karakteristik dari ekonomi global/informasional, yakni perusahaan jaringan yang didefenisikan sebagai bentuk perusahaan spesifik yang sistem alatnya terdiri dari interseksi dari segmen-segmen sistem tujuan otonom. Perusahaan jaringan adalah perwujudan dari kultur ekonomi informasional global, dan ini memungkinkan terjadinya transformasi tanda-tanda (signal) ke komoditas melalui proses pengetahuan. Akibatnya, sifat dari pekerjaan ditransformasikan (misalnya, individualisasi lewat hal-hal seperti waktu yang cair Flex-time) meski sifat sesungguhnya dari transformasi ini berbeda dari satu bangsa ke bangsa lain.

Castell juga mendiskusikan kemunculan (yang menemani perkembangan multimedia yang merupakan perpaduan dari media massa dan komputer) dari kultur virtualitas riil sebuah sistem dimana realitas itu sendiri seluruhnya ditangkap, dibenamkan dalam setting imaji virtual, di dunia khayalan, dimana kemunculan bukan hanya pada layar yang melaluinya pengalaman dikomunikasikan. Berbeda dengan masa lalu yang didominasi oleh “ruang tempat” kini telah muncul di dunia yang lebih banyak didominasi oleh proses ketimbang lokasi fisik (meski lokasi ini jelas masih ada). Demikian juga, kita telah memasuki era waktu tanpa batasan waktu (timeless time).

2.4.1. Pencarian Identitas

Era globalisasi dan informasi sebagai sebuah wacana dan fakta tidak saja membawa kita pada multikompleks perubahan di bidang ekonomi, budaya dan politik. Globalisasi informasi juga mengajak kita untuk berpetulang ke dalam multipemahaman bagaimana dunia ini direkrontruksi. Globalisasi menyediakan sebuah tempat yang lapang bagi kontruksi identitas, pertukaran benda dan simbol, dan pergerakan antar tempat (atau dunia real time ala cyberspace) yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi yang juga menawarkan sebuah percampuran dan pertukaran kebudayaan dan identitas. Secara umum istilah identitas sering kali diasosiasikan dengan “jati diri” manusia. Identitas dalam hal ini menyangkut aspek-aspek yang melingkupi eksistensi seseorang atau lebih dalam lagi merepresentasikan dirinya secara utuh. Identitas merupakan konstruksi psikologis manusia terutama karakter yang menunjukan bahwa dia adalah jiwa yang unik (Slouka, 2005:154).

Dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat translokal (Pieterse 1995). Kebudayan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam term tempat, tetapi akan lebih baik jika di konseptualisasikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, demikian halnya dalam memahami budaya cyberspace sebagai bagian dari globalisasi informasi dan komunikasi, tentunya cyberspace menyajikan suguhan wacana yang tidak saja merupakan counter culture peradaban. Alih-alih menjadi tandingan budaya dunia nyata. Cyberspace malah lebih mampu menciptakan “silent majorities” untuk mengatakan bahwa masyarakat kontemporer lebih suka

menghabiskan waktu di depan komputer yang selalu bereksplorasi dari satu identitas, melalui perjalanan di dunia maya. Dengan begitu, permasalahan identitas yang sering kali didengungkan melalui berbagai ruang publik kembali perlu ditelaah ulang. Di saat ini kita harus melangkah ke “dunia lain” yang demikian berbeda, dunia yang di dalamnya seluruh pengalaman, seluruh aktivitas, dan seluruh jiwa raga kita bersatu dan bergerak secara simultan menembus ruang dan waktu pada saat yang sama. Inilah Cyberspace, dunia tempat segalanya dimulai. Slouka menulis dan ini baru permulaan yang terjadi saat beragam avatar itu menenggelamkan diri ke dalam cyberspace sungguh merupakan peristiwa yang fenomenal. Di sana, para pengacara sibuk membuka kantor, koran, editor, dan wartawan mulai bermunculan. Orang-orang menikah dan bercerai, tak ketinggalan para maling, dan untuk menjadi diri tertentu, para avatar itu akan mempertukarkan dan mengganti bagian-bagian tubuhnya agar pas dengan identitas barunya. Tentunya ini membuka peluang baru bagi bisnis “tukar kepala” dan oleh karenanya juga membuka peluang operasi baru bagi maling, mula- mula maling itu mendekati para pendatang baru yang masih polos dan berpura-pura menawarkan bentuk kepala yang lebih menarik, saat bujuk rayu itu mengenai sasaran si polos maka ia akan melepaskan kepalanya untuk ditukarkan dengan yang lain.

Dibaliknya kemelut indentitas akhir-akhir ini diibaratkan sebagai penjelmaan dari malaikat dan iblis sekaligus, sebab semua wacana identitas bergerak di satu ruang yang satu sama lain berinteraksi dan bahkan saling menetralisasi. Identitas dibangun sebagai fungsi dari proses konsumsi komuditas massa yang menyertainya, dan dengan demikian, identitas tidak bersifat statis lagi.

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait