• Tidak ada hasil yang ditemukan

Information of Right Child

Dalam dokumen Pemberdayaan komunitas (Halaman 37-50)

Berlianti

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Pemberdayaan anak jalanan pada PKPA dan KKSP memiliki program yang sama jenisnya yaitu dibidang pendidikan non formal dan seni musik namun pada prakteknya pelaksanaannya berbeda. Hal ini disebabkan karena latar belakang anak dampingan pada kedua lembaga sangatlah berbeda. Anak dampingan PKPA seluruhnya masih sekolah dan tinggal bersama orangtua dan sedangkan anak dampingan KKSP mayoritas tidak sekolah dan tidak tinggal bersama orang tua.

Kata kunci : Studi komparatif, Pemberdayaan anak jalanan. Abstract

Empowerment of street children by PKPA and KKSP have the same type of program that is non-formal education and music, but different implementation in practice. This is because the background of children assisted at both institutions are very different. Child assistance PKPA whole school and still living with parents while majority of children assisted KKSP not school and not living with parents.

Keywords : comparative study, Empowerment of street children. Pendahuluan

Kemiskinan yang melanda kota-kota besar di Indonesia disebabkan oleh gejolak ekonomi yang semakin menyengsarakan masyarakat telah menimbulkan masalah-masalah baru yang cukup kompleks seperti makin banyaknya pengangguran, menjamurnya perumahan kumuh, munculnya anak-anak jalanan, dan lainnya. Ini juga diperparah oleh keadaan birokrasi pelayanan masyarakat yang

tidak berpihak kepada masyarakat bawah, bahkan lebih cenderung memojokkan masyarakat bawah.

Permasalahan yang melanda kota-kota besar di Indonesia begitu kompleks sehingga membuat pemerintah kesulitan untuk mengatasi masalah tersebut dengan cepat. Tidak siapnya pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut, membuka kesempatan baru bagi pelaku-pelaku sosial untuk mendirikan suatu lembaga untuk membantu pemerintah, khususnya dalam

mengatasi masalah-masalah sosial yang telah menjamur di perkotaan Indonesia. Dengan kesempatan ini berdirilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang pada awalnya nama lembaga tersebut adalah Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) yang bergerak di berbagai bidang dan kebanyakan memanfaatkan bantuan dari lembaga-lembaga asing.1

LSM di Indonesia memiliki berbagai macam karakter yang berbeda. Dilihat dari pembentukannya, setidaknya ada 4 kategori LSM, yaitu yang didirikan oleh aktifis mahasiswa, pejabat atau politisi yang menduduki jabatan di struktur pemerintahan (baik eksekutif atau legislatif), para dosen dan peneliti, dan yang dibentuk oleh aktifis organisasi sosial lainnya, termasuk aktifis organisasi keagamaan. Karakter LSM-LSM ini juga sangat beragam, karena dipengaruhi oleh paradigma dan ideologi yang mereka kembangkan sebelumnya. Tetapi kalau dilihat dari cara kerjanya, terkait dengan identifikasi generasi, LSM di Indonesia bisa dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu :

1. Generasi pertama: LSM yang selalu memberikan bantuan kepada masyarakat secara langsung atau masih bersifat karitif (amal).

2. Generasi kedua: selain melakukan bantuan langsung, LSM generasi kedua sudah memasukkan unsur-unsur pemberdayaan dalam programnya, misalnya pemberdayaan ekonomi.

3. Generasi ketiga: sering disebut sebagai LSM advokasi. LSM ini menitik beratkan kerjanya pada proses-proses advokasi untuk masyarakat, baik secara litigasi maupun non-litigasi.

4. Generasi keempat: LSM ini mencoba menggabungkan kegiatan pemberdayaan dan advokasi.2

Di tengah tumbuh suburnya perkembangan LSM, bukan berarti bisa menyelesaikan masalah yang menerpa bangsa ini, bahkan cenderung ada ungkapan yang menyatakan semakin banyak LSM maka semakin banyak pula permasalahan yang terjadi atau lebih parah. Bahkan ada yang menyatakan, LSM sengaja menciptakan masalah agar lembaga tersebut memiliki kegiatan dan melangsungkan

kehidupan lembaganya. Fakta memang menunjukkan bahwa banyak LSM didirikan untuk ikut menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, pelanggaran HAM, kekerasan, pendidikan, pemberdayaan anak jalanan, dan masalah sosial lainnya, tetapi masalah-masalah tersebut masih menjadi berita yang sering kita baca di berbagai media.

Di balik masalah akuntabilitas LSM, ada banyak cerita sukses pembangunan komunitas yang sudah dilakukan LSM, yang kemudian dijadikan model pembangunan di beberapa tempat di Indonesia. Kesuksesan ini semakin memperkuat kedudukan, penghargaan dan peran LSM sebagai salah satu aktor pembangunan. Sehingga apa yang diamanatkan kebijakan dan strategi pembangunan, bahwa pelaksanaan pembangunan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan para pengusaha (pengusaha besar, menengah dan kecil), tetapi juga masyarakat yang antara lain diwakili LSM.

Di Kota Medan perkembangan LSM juga tumbuh subur tetapi bukan berarti permasalahan-permasalahan sosial di kota Medan sudah berkurang, malahan terus bertambah dan apabila kita bandingkan jumlah LSM dan masalah sosial yang ada di Kota Medan terdapat korelasi positif dan kenyataan ini tentu tidak baik dalam mengatasi masalah sosial, karena seyogianya LSM itu ada untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi pemerintah. Artinya hubungan korelasinya harus negatif, yaitu semakin banyak LSM maka masalah sosial yang eksis akan semakin sedikit.

Contoh yang paling dekat dengan kita adalah semakin bertambahnya jumlah anak jalanan di Kota Medan walaupun sudah banyak berdiri LSM yang bergerak dalam pemberdayaan anak jalanan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk miskin perkotaan 2007 tercatat 47,11 persen dari 1.768 juta jiwa. Hal inilah salah satu penyebab perkembangan anak jalanan. Walaupun pada dasarnya bukan hanya masalah ekonomi dan kemiskinan yang menyebabkan mereka turun ke jalan, tetapi juga karena keinginan mereka sendiri untuk merasakan kebebasan tanpa banyak aturan norma dari orang tua.3

Anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang berumur di bawah 18 tahun yang

36

menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan aktifitas di jalanan, atau di tempat-tempat umum lainnya seperti terminal bis, stasiun kereta api, pasar, tempat hiburan, pusat perbelajaan, atau taman kota. Aktifitas mereka biasanya bervariasi, dari sekadar menghabiskan waktu bersama teman sebaya, sampai menjalani hidup (tidur, makan, dan lain-lain) dan mencari penghidupan di jalanan.

Namun pada umumnya adalah mencari uang dengan cara mengasong, mengamen, memulung, mengemis, menyemir sepatu, menjadi kuli pasar, dan lainnya. Variasi aktifitas ini sangat beragam tergantung pada jenis kelamin dan usia anak. Selain itu aspek spasial kota yang mencakup tata ruang dan pola penggunaan tanah untuk aktifitas ekonomi juga turut menentukan keberadaan anak jalanan dan jenis pekerjaan anak. Karenanya setting masing-masing kota memberikan peluang yang berbeda pada anak-anak miskin untuk menjadi anak-anak jalanan.4

Sebagian dari anak jalanan menganggap bahwa mereka lebih baik bekerja dan mencari uang jajan daripada mereka pergi ke sekolah, apalagi anak jalanan mendapatkan uang yang cukup besar dari hasil bekerja di jalanan, sehingga berdampak pada ketidakinginan untuk kembali ke habitat “normal” seperti pada umumnya anak seusia mereka, misalnya kembali ke sekolah. Anak jalanan lebih menikmati bermain dan mencari uang di jalanan dan menganggap jalanan sebagai tempat tinggalnya.5

Jalanan bukanlah tempat yang baik bagi anak-anak dan remaja, karena di jalanan anak lebih mudah dipengaruhi untuk berbuat hal-hal negatif seperti narkoba, mencopet dan merampok, belum lagi pelecehan seksual yang dialami anak-anak jalanan. Jalanan juga bisa mengubah perilaku dari sianak untuk bersikap lebih keras dan kejam, hal ini didorong kerasnya persaingan dan kehidupan diantara penghuni jalanan.6

Anak jalanan cenderung rawan terjerumus dalam tindakan yang patologis. Salah satu perilaku menyimpang yang populer adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti menghisap lem. Diperkirakan sekitar 65-70% anak yang seharian hidup dan mecari nafkah di jalanan menggunakan zat ini. Beberapa jenis lem yang dikomsumsi adalah lem kambing, uhu, cat

dan pembersih kuku, zat yang mudah menguap, baik itu tinner, ether, spritus, atau benjene adalah zat-zat yang biasa dihisap anak jalanan, seolah dengan itu mereka sudah menemukan pengganti narkotika. Perilaku atau gaya hidup anak jalanan yang tak kalah merisaukan adalah, mereka umumnya sudah aktif secara seksual dalam usia yang terlalu dini, sehingga beresiko hamil dan penularan penyakit menular seksual sangat tinggi.7

Data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Sumatera Utara tahun 2003 menunjukkan bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di kota Medan menduduki jumlah yang tertinggi yaitu, mencapai 2.526 jiwa (50.26%) dari seluruh anak jalanan yang berada di kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena kota Medan merupakan ibukota provinsi yang memiliki daya tarik yang lebih besar jika dibandingkan dengan ibukota kabupaten/kota lainnya. Alasan lain menunjukkan bahwa kota Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang berada di Provinsi Sumatera Utara.

Keberadaan LSM yang melaksanakan aktifitas menangani masalah anak jalanan seperti kekerasan pada anak dan pemberdayaan anak jalanan sudah cukup banyak namun dari perkembangan anak jalanan secara mata telanjang kita bisa melihat bahwa perkembangan anak jalanan masih belum mampu ditekan oleh lembaga yang menangani masalah anak, khususnya masalah anak jalanan, dimana setiap pusat kota dan di persimpangan lampu merah banyak kita lihat anak jalanan.

Di Kota Medan ada beberapa LSM yang aktif bergerak dalam pemberdayaan anak jalanan, di antaranya adalah Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak atau lebih dikenal dengan nama Yayasan KKSP. Masing-masing lembaga ini mempunyai divisi pemberdayaan anak jalanan yang memiliki konsep berbeda dalam menggali potensi anak-anak jalanan dan dengan lapangan yang berbeda juga, dimana diharapkan melalui program pemberdayaan anak jalanan dapat dikurangi dan dicegah sehingga tidak menjadi masalah yang terus berlanjut/meningkat dan minimal bisa menekan terjadinya tindak kekerasan pada anak jalanan.

PKPA dan KKSP, dalam pemecahan masalah perkembangan anak jalanan biasanya berkoalisi dan bekerjasama untuk melakukan advokasi dan menjalin komunikasi dengan LSM lainnya dan dengan pemerintahan dan juga dengan pihak swasta. Prinsip tersebut didasarkan atas sebuah kesadaran bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai jika mampu membangun satu pemahaman yang utuh di tataran komunitas dan pemerintah akan pentingnya kolaborasi untuk tujuan bersama.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat, untuk lokasi pemberdayaan anak jalanan yang difasilitasi oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak ada di Sanggar Kreatifitas Anak yang beralamat di Jalan TB. Simatupang Gang Wakaf Nomor 3 Pinang Baris Medan. Sedangkan untuk pemberdayaan anak jalanan yang difasilitasi oleh Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak terdapat di Rumah Musik yang berlokasi di jalan Djamin Ginting Gang Arihta Simpang Pos Padang Bulan.

Populasi penelitian ini adalah keseluruhan anak-anak jalanan yang menjadi anak dampingan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak sebanyak 118 orang (12 orang menjadi sampel) dan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak sebanyak 193 orang (20 orang menjadi sampel).

Untuk memperoleh data primer, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dilakukan berupa observasi, penyebaran angket dan wawancara. Ketiga teknik dan lat pengumpulan data tersebut diupayakan saling melengkapi sehingga data yang diperoleh selain lengkap juga akurat.

Sedangkan studi pustaka digunakan untuk memperoleh data sekunder. Data ini bersumber dari berbagai pihak yang konsisten dan berkaitan dengan fenomena pekerja anak, baik pemerintah maupun non pemerintah.

Selanjutnya data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis dengan menggunakan statitistik sederhana atau statistik deskriptif. Data disajikannya melalui tabel tunggal kemudian dianalisis dengan menggambarkan, menjelaskan dan memberikan interpretasi.

Temuan dan Analisis

Program Pemberdayaan yang Dilaksanakan Sebelum membahas program yang dijalankan oleh lembaga adalah sangat penting bagi kita untuk mengetahui karakteristik responden. Untuk itu pada tabel 1 berikut disajikan kharakteristik responden.

Tabel 1. Usia Responden

No Umur PKPA KKSP F % F % 1 2 3 10-12 13-15 16-18 3 9 0 25 75 0 3 6 11 15 30 55 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 1 dapat diketahui bahwa usia responden berada di antara 10 sampai 18 tahun. Data tersebut memberikan informasi kepada kita bahwa pada batasan usia inilah yang merupakan usia yang tergolong rawan menjadi korban eksploitasi dari berbagai pihak. Justru dengan pengetahuan atas fakta inilah, maka Yayasan KKSP menggariskan suatu kebijakan dan secara mayoritas berusia 16-18 tahun dan yang berusia inilah terlihat selalu mendampingi anak dampingan yang lebih muda.

Tabel 2. Status Sekolah

No Jawaban PKPA KKSP F % F % 1 2 Masih Sekolah Tidak Sekolah 12 0 100 0 12 8 60 40 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Sekolah merupakan salah satu institusi dari lembaga pendidikan dalam rangka meningkatkan mobilitas sosial masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itulah pemerintah mendirikan sekolah-sekolah agar bisa memfasilitasi keinginan anak-anak untuk mengenyam pendidikan di sekolah.

Anak dampingan PKPA seluruhnya masih bersekolah. Tampaknya ini dipengaruhi

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

oleh posisi anak yang masih tinggal bersama orang tua mereka dan mereka ini turun ke jalan setelah pulang sekolah.

Berbeda dengan anak dampingan KKSP ada 40% yang tidak sekolah, dimana mereka tidak tinggal bersama orang tua lagi sehingga lebih sering tinggal di Rumah Musik yang difasilitasi oleh KKSP.

Tabel 3. Tinggal Bersama Orang Tua

No Jawaban PKPA KKSP F % F % 1 2 Bersama Tidak Bersama 12 0 100 0 11 9 55 45 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Anak jalanan dampingan PKPA seluruhnya tinggal bersama orang tua yang mayoritas berada di sekitar terminal Pinang Baris. Mereka turun ke jalan setelah pulang sekolah. Dengan demikian besar kemungkinan mereka terjun ke jalanan karena mereka memang bermukim di sana dan setiap hari melihat fenomena yang ada di jalanan. Lama kelamaan mereka tertarik, karena mungkin bagi mereka ada aspek-aspek yang menarik bagi mereka perihal fenomena tersebut, secara instan dapat mereka nikmati walaupun dalam jangka panjang justru berdampak negatif terhadap masa depan mereka.

Sedangkan anak dampingan KKSP 45% tidak tinggal bersama orang tua. Dengan adanya rumah singgah (rumah musik) mereka lebih suka tinggal disana juga didukung jarak rumah singgah dengan Simpang Pos tempat mereka beraktifitas sangat dekat.

Tabel 4. Lama Bekerja Di Jalanan

No Jam PKPA KKSP F % F % 1 2 3 4 5 <3 3 - 5 6 - 8 9 - 11 > 11 3 5 3 1 0 25 41,6 7 25 8,33 0 2 10 5 3 0 10 50 25 15 0 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Lama anak bekerja di jalanan sangat variatif. Kebanyakan memiliki jam kerja diantara 3 sampai 5 jam. Buat dampingan PKPA hal ini dipengaruhi oleh waktu luang anak adalah ketika pulang sekolah dan akan kembali ke rumah masing-masing menjelang magrib.

Begitu juga dengan anak dampingan KKSP juga kebanyakan memiliki jam kerja 3 - 5 jam. Anak yang memiliki jam kerja ini adalah anak dampingan yang masih sekolah, mereka bekerja pulang sekolah, setelah agak malam yang rumahnya di Simalingkar biasanya langsung pulang sementara yang tinggal di rumah singgah masih ada yang tetap nongkrong di seputaran Simpang Pos, main Play Station 2. Biasanya anak yang memiliki 9 - 11 jam kerja adalah anak yang tidak memiliki rumah dan tidak memiliki hubungan teratur dengan orang tua.

Tabel 5. Aktifitas di Jalanan

No Aktifitas PKPA KKSP F % F % 1 2 3 4 Mengamen Menyapu Angkot Menyemir sepatu Lain-lain 1 7 4 0 8,33 58,34 33,33 0 15 0 2 3 75 0 10 15 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Sebenarnya pekerjaan anak di jalanan merupakan pekerjaan yang murah dan tidak begitu memerlukan keahlian dan langsung mendapatkan imbalan seperti mengamen, menyapu angkutan kota, berjualan, menyemir, tetapi pekerjaan ini tergolong keras dan berbahaya bagi anak-anak karena dikerjakan di jalan raya yang ramai lalu lintasnya.

Anak jalanan dampingan PKPA kebanyakan aktif sebagai penyapu angkutan kota yang sedang parkir di Terminal Pinang Baris dan menyemir sepatu, hanya ada sebagian kecil yang mau mengamen. Jelas ini karena banyaknya angkutan kota yang selalu parkir di terminal.

Berbeda dengan anak dampingan KKSP 75% aktif sebagai pengamen di jalanan Simpang Pos. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya mobil berbagai jenis yang melewati Simpang Pos karena Simpang Pos merupakan jalur strategis keluar masuk Kota Medan dan saat traffic light

berwarna merah cukup lama sehingga sangat cocok untuk mengamen di jalanan Simpang Pos.

Tabel 6. Besar Penghasilan Dalam Sehari

No Rp PKPA KKSP F % F % 1 2 3 < 10.000 10.000- 20.000 > 20.000 3 9 0 25 75 0 4 11 5 20 55 25 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Penghasilan mayoritas anak jalanan adalah berkisar antara Rp 10.000 - Rp 20.000. Terdapat hanya sebesar 25% anak dampingan KKSP yang mempunyai penghasilan di atas Rp. 20.000. Pada umumnya mereka yang memperoleh pendapatan lebih besar adalah anak jalanan yang sudah berumur 17 tahunan. Di samping itu mereka memiliki pengalaman yang sudah cukup lama aktif di jalanan dibandingan dengan anak jalanan lainnya.

Tabel 7. Lama Menjadi Anak Jalanan

No Tahun PKPA KKSP F % F % 1 2 3 4 5 <1 1-2 2-3 3-4 >4 2 4 3 - 3 16,67 33,33 25 - 25 - 10 5 2 3 - 50 25 10 15 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Banyak faktor yang mengakibatkan anak terjun ke jalanan salah satunya adalah faktor keluarga, dimana banyak keluarga yang menggantungkan hidup bekerja di jalanan untuk mendapatkan sesuap nasi. Misalnya ibu yang bekerja sebagai pemulung atau pengumpul sisa makanan untuk pakan ternak babi.

Lama menjadi anak jalanan dampingan kedua lembaga sangat variatif tetapi mayoritas adalah kurang dari 1 tahun sampai 2 tahun. Hubungan Lembaga dengan Anggota

Situasi anak jalanan yang serba kekurangan membuat mereka sangat berbagi dengan sesamanya apabila mendapat bantuan dari

suatu lembaga atau organisasi tertentu. Terlihat dari jawaban yang hampir sama, yaitu bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa mereka mengetahui keberadaan lembaga dampingan adalah dari sesama anak jalanan. Di sini jelas memberikan informasi kepada kita terjadinya interaksi yang intensif sesama mereka.

Tabel 8. Mengetahui Adanya Lembaga

No Sumber PKPA KKSP F % F % 1 2 3 4 Sesama Ortu Peksos Lainnya 9 0 1 2 75 0 8,33 16,6 7 16 0 4 0 80 0 20 0 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Tabel 9. Status Anak Dampingan

No Status PKPA KKSP F % F % 1 2 3 Terdaftar Tidak Terdaftar Tidak tahu 11 0 1 91,67 0 8,33 20 0 0 100 0 0 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Keakraban terlihat begitu jelas terjalin antara anak jalanan dengan pendamping pada lembaga. Jadi tidak mengherankan jika semua anak mengaku sebagai anak dampingan lembaga yang ada.

Disamping itu yang membuat anak jalanan memberitahu tentang adanya lembaga dampingan adalah disebabkan lembaga juga Semua anak jalanan terdaftar pada lembaga yang ada, hanya ada 8,33% orang yang tidak tahu apakah dia terdaftar sebagai anak jalanan atau tidak. Hal ini disebabkan bahwa menyuruh mereka untuk mengajak anak jalanan lainnya untuk mengikuti program-program pada lembaga. responden merasa tidak terlalu sering mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga pendampingan.

Dari tabel di atas terlihat bahwa kebanyakan anak sudah mengenal lembaga pendampingan selama 1-2 tahun, bahkan ada

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

anak yang mengenal sudah lebih dari 3 tahun. Melihat fakta tersebut kelihatannya lembaga masih sangat sulit untuk menarik mereka agar tidak lagi menjadi anak jalanan. Walaupun kedua lembaga sudah berusaha melalui berbagai program pemberdayaan dan dengan cara masing-masing, tetapi kelihatan hasilnya masih kurang maksimal.

Tabel 10. Lama Menjadi Anak Dampingan

No Tahun PKPA KKSP F % F % 1 2 3 4 5 <0,5 0,5 -1 1-2 2-3 >3 0 4 5 0 3 0 33,33 41,67 0 25 5 4 10 0 1 25 20 50 0 5 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Tabel 11. Fasilitas Rumah Singgah

No Tersedia PKPA KKSP F % F % 1 2 Tersedia Tidak 7 5 58,33 41,67 18 2 90 10 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Kedua lembaga menyediakan fasilitas rumah singgah yang diberi nama SKA PKPA dan rumah musik “the bamBoes” oleh KKSP. Namun ada anak dampingan yang tidak mengetahui tentang adanya fasilitas tersebut karena jarang ke rumah singgah. Selesai bekerja di jalanan biasanya anak-anak ini langsung pulang dan mereka inilah yang masih memiliki orang tua aktif dan masih bersekolah.

Rumah singgah/musik “the bamBoes” sudah memiliki fungsi sebagai rumah singgah yang baik dan dapat dimanfaatkan anak jalanan dengan baik. Bahkan di antaranya banyak yang tinggal/menetap di rumah sana. Setiap anak yang tinggal di sana hidup seperti sebuah keluarga dimana masing-masing punya jadwal kegiatanan dan wajib memberikan kontribusi seribu rupiah perhari untuk keperluan operasional.

Rumah singgah SKA PKPA lebih kelihatan seperti sebuah kantor, dan tidak ada anak dampingan yang tinggal di sana. Semua

anak dampingan PKPA masih tinggal bersama orang tua masing-masing, sehingga ada anak yang tidak tahu tentang adanya fasilitas tersebut.

Tabel 12. Informasi Mengenai Program

Pelayanan Anak Jalanan Oleh Lembaga No Jawaban PKPA KKSP F % F % 1 2 Tahu Tidak tahu 11 1 91,67 8,33 19 1 95 5 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Program-program yang dilakukan lembaga sudah diketahui oleh hampir keseluruhan anak dampingan. Walaupun ada yang tidak mengetahui, tetapi dapat dinyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh lembaga mendapat respon positif dari anak anak jalanan. Hal ini memperlihatkan bahwa kedua lembaga tersebut sangat serius dalam upaya pemberdayaan anak jalanan.

Pelayanan Pendidikan Non Formal

Pelayanan pendidikan yang dijalankan lebih kepada pendidikan non formal. Pendampingan dilakukan menjaga agar anak tetap sekolah.

Tabel 13. Penyediaan Fasilitas Pendidikan Non Formal No Penyediaan PKPA KKSP F % F % 1 2 Tersedia Tidak tersedia 11 1 91,67 8,33 17 3 85 15 Jumlah 12 100 20 100 Sumber : Data Primer

Berbagai fasilitas yang diberikan di antaranya adalah pemberian alat tulis, buku tulis, buku bacaan. Fasilitas-fasilitas yang disediakan sangat berguna untuk menunjang program pendidikan non formal bagi anak. Fasilitas ini juga berfungsi sebagai penarik minat anak agar mau belajar dan berkreasi di rumah singgah yang sebenarnya tujuannya berguna untuk mengurangi jam anak berada di jalan.

Dalam dokumen Pemberdayaan komunitas (Halaman 37-50)