• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering memandang hal-hal yang di luar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Munculnya waria sebagai

Dalam dokumen Pemberdayaan komunitas (Halaman 29-37)

fenomena sosial transsexual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada

umumnya. Kurangnya kepedulian pemerintah dalam menangani permasalahan waria tersebut,

membuat beberapa lembaga yang dikelola oleh pihak swasta turut serta dalam memberikan

program pembinaan terhadap waria-waria tersebut.

Kata kunci: Implementation, Program, Transsexual Abstract

In communities that have a social order often see things out of the ordinary as something deviant and violating norms. Emergence as a social phenomenon transsexual regarded as deviant behavior by society in general. Lack of government awareness to issues such transvestites, making some institutions managed by private parties like the Institute Kasih Rakyat located in Medan city participated in providing training programs for transsexual, transsexual who are in Pancur Batu regency Deli Serdang. The purpose of this research to obtain data and information directly, realistic and objective about the Implementation Program Development transsexual by Institution Kasih Rakyat.

Keywords: Implementation, Program, Transsexual Pendahuluan

Dalam masyarakat selama ini hanya dua kategori gender, yakni laki-laki dan perempuan. Maka, munculnya jenis seksual seperti waria

yang tidak mempunyai kejelasan posisi menjadi masalah karena dianggap berada di luar pola pengaturan sosial yang sudah baku. Dalam disiplin ilmu psikologi, dikenal beberapa gejala

kewariaan. Di antaranya, transeksualitas, yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Tranvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaiaan dari jenis kelamin lainnya. Sedangkan hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau tidak kedua-duanya.1

Dalam konteks ini, kaum waria akan dilihat sesama anggota masyarakat yang keberadaannya tidak selalu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja, melainkan juga dimensi psikisnya. Mereka juga mempunyai hak, baik dalam pendidikan, politik, serta hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering memandang hal-hal yang di luar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Penyimpangan diidentifikasi sebagai setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.2

Norma diciptakan dan menjadi pedoman bagi masyarakat melalui proses kesepakatan sosial yang merujuk pada tuntunan agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan meskipun sesungguhnya norma-norma tersebut mengalami pergeseran dan pada perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk penyimpangan perilaku sosial dianggap sebagai suatu kewajaran.

Munculnya waria sebagai fenomena sosial

transsexual dianggap sebagai perilaku yang

menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Pelaku transsexual di Indonesia disebut dengan istilah waria pria), wadam (wanita-adam), banci atau bencong. Norma kebudayaan hanya mengakui dua jenis kelamin secara obyektif, yaitu pria dan wanita. Jenis kelamin itu sendiri mengacu kepada keadaan fisik alat reproduksi manusia. Kelly berpendapat bahwa mengenai jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus berperilaku sebagai pria (berperilaku maskulin) dan wanita harus berperilaku sebagai wanita.3

Pandangan dari aspek psikologi mengatakan bahwa transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasaan seksual.4 Di lain pihak, pandangan sosial beranggapan bahwa akibat dari penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya.

Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara yang tepat untuk mencegahnya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu pengertian waria (transsexual), yang berbeda dengan homoseksual (perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis) atau transvestisme (suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya). Walaupun hal tersebut juga merupakan bagian dari suatu kelainan seksual. Seorang transsexual khususnya seorang waria hanya akan bahagia apabila diperlakukan sebagai seorang wanita. Mereka akan mencari teman atau populasi yang keadaannya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh, sebagaimana layaknya individu yang normal.

Selanjutnya timbul masalah lain, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini antara lain disebabkan oleh fakta, bahwa tidak semua waria memiliki bakat dan keterampilan yang memadai untuk bertahan hidup, sehingga cara yang mereka lakukan adalah menjajakan diri dalam dunia pelacuran. Kondisi ini merupakan dilema tersendiri bagi waria. Di satu sisi, masyarakat tidak membuka kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria. Sedangkan di sisi lain, seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, pandangan masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi. Ironisnya, pada saat yang lain diam-diam, masyarakat juga tidak memiliki kestabilan diri dan tidak dapat menerima kritikan dari orang lain mengenai dirinya.5

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

Tidak adanya kepedulian dan solusi dari pemerintah dalam menyelesaikan masalah penyimpangan transeksualitas di Indonesia, jelas terlihat antara lain dari tidak adanya program pemberdayaan bagi mereka. Program-program pemberdayaan waria yang ada saat ini masih dipegang oleh berbagai organisasi dan LSM dalam dan luar negeri.

Bukti nyata dari tidak adanya kepedulian pemerintah, bisa kita lihat dari fakta di lapangan. Salah seorang waria yang biasa mencari penghidupan di pinggiran jalan, mengaku kalau dirinya selalu saja ‟diuber-uber‟ Trantib. Tindak kekerasan dan pemerasan, baginya sudah menjadi hal yang biasa. Seandainya pun berhasil ditangkap, hal itu tidak membawa pengaruh baik sama sekali untuk diri dan kaumnya.6

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang yang menjadi lokasi binaan Lembaga Kasih Rakyat. Program pembinaan diberikan kepada 112 orang waria yang sekaligus menjadi populasi penelitian. Dengan menggunakan teknik simple random

sampling ditentukanlah sampel sebanyak 22

orang.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran angket dan melakukan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan ditabulasi kemudian dianalisis dengan menggambarkan, menjelaskan dan memberikan interpretasi.

Temuan dan Analisis

Sosialisasi Program Pembinaan

Lembaga Kasih Rakyat sering melakukan kunjungan-kunjungan ke masyarakat, dalam hal ini kepada kaum waria. Selain daripada itu Lembaga Kasih Rakyat juga melibatkan berbagai

stakeholders untuk ikut berdiskusi mengenai

permasalahan seperti seks menular, kesehatan reproduksi dan keterampilan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperoleh dan memberikan informasi yang lebih lengkap dan ditinjau dari berbagai aspek.

Menjadi tidak mengherankan kalau seluruh responden menyatakan bahwa mereka pernah mengikuti sosialisasi yang dilakukan oleh Lembaga Kasih Rakyat. Hal ini juga

memperlihatkan, bahwa dalam diri responden terdapat keinginan untuk memperoleh informasi tentang permasalahan seperti seks menular, kesehatan reproduksi dan keterampilan. Keinginan seperti ini terdapat pada seluruh responden, sehingga mereka mengikuti dan mengetahui sosialisai.

Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Lembaga Kasih Rakyat merupakan kegiatan yang rutin. Karena itu merupakan bagian dari visi lembaga. Dengan demikian responden dalam hal ini para waria dengan sendirinya akan terlibat dalam sosialisasi, karena lembaga tersebut secara rutin menginformasikan kepada masyarakat.

Tabel 1. Waktu Mengikuti Sosialisasi

No Waktu F % 1 2 Pagi Siang 9 13 40,9 59,1 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Tabel di atas menyatakan bahwa 59,1% waria yang mengikuti program pembinaan tersebut lebih menyukai sosialisasi itu dilakukan siang hari, karena responden memiliki waktu luang, walaupun waktu mereka padat tetapi di sela-sela waktu istirahat dapat dimanfaatkan untuk mengikuti sosialisasi. Sedangkan sebanyak 40,9% lainnya memilih pagi hari.

Alasan waria tersebut lebih memilih siang hari karena pada malam hari mereka beraktifitas sebagai pekerja seks komersial. Sedangkan yang memilih pagi hari karena pada siang hari mereka beraktifitas pekerjaan seperti salon, menjahit, berdagang dan lain-lain. Dengan demikian pemilihan waktu mengikuti sosialisasi didasarkan pada jenis kegiatan ekonomi mereka.

Tabel 2. Intensitas Mengikuti Program

Sosialisasi No Intensitas F % 1 2 3 4 1 kali 2 kali 3 kali > 3 kali 4 2 14 2 18,2 9,1 63,6 9,1 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas responden telah mengikuti sosialisasi sebanyak 3 kali atau lebih. Hal ini menunjukkan kepedulian dan ketertarikan mereka dalam program lembaga kasih rakyat tersebut.

Tabel 3. Bentuk Sosialisasi yang Dilakukan

No Bentuk F % 1 2 Seminar Konseling 10 12 45,5 54,5 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada 2 jenis sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga. Dalam hal ini ternyata keduanya mendapatkan respon yang hampir sama. Dimana sosialisasi dalam bentuk seminar diikuti oleh sebesar 45,5% dan yang tertarik dengan sosialisasi dalam bentuk konseling sebesar 54,5%.

Sosialisasi dalam bentuk konseling lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan bentuk seminar. Responden merasa lebih mudah mengerti dan bisa menjaga prinsip kerahasiaan bagi mereka yang mengikuti koseling tersebut. Selain itu bentuk sosialisasi ini juga dapat dilakukan kapan saja, sebab tidak ada waktu yang mengikat bagi responden.

Tabel 4. Tema Sosialisasi

No Tema F % 1 2 3 Pencegahan HIV/ Penyakit Kelamin Pelatihan Ketrampilan 13 5 4 59,1 22,7 18,2 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Data yang disajikan pada tabel 4 menunjukkan tema yang paling sering disosialisasikan adalah yang berkaitan dengan aktifitas/pekerjaan mereka sehari-hari sebagai PSK yaitu pencegahan HIV/AIDS dan penyakit kelamin, yakni mencapai 59.1%. Sedangkan 22,7% mengikuti sosialisasi dalam bentuk pelatihan.

Sebesar 18,2% responden mengatakan bahwasanya keterampilan hanya berupa sosialisasi saja bukan langsung mereka mendapatkannya.

Tabel 5. Pemahaman Sosialisasi Pembinaan

No Pemahaman F % 1 2 3 Memahami Kurang memahami Tidak memahami 17 4 1 77,3 18,2 4,5 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Mayoritas responden atau 77,3% menyatakan sudah memahami apa yang disosialisasikan pembinaan yang dilakukan. Sementara 22,7% responden menyatakan kurang/tidak memahami berbagai materi yang disosialisasi.

Hal ini juga tentu saja mempengaruhi pola pemikiran dan pemahaman mereka tentunya. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa belum sepenuhnya anggota binaan Lembaga Kasih rakyat memahami sosialisasi yang telah dilakukan.

Dengan demikian tentunya sosialisasi tersebut harus terus dilangsungkan, mengingat pemahaman terhadap hal tersebut penting untuk para responden.

Dari hasil wawancara langsung dengan responden, secara umum mereka mengetahui akan bahaya virus HIV/AIDS, akan tetapi pengetahuan yang dalam akan bahaya virus tersebut tidak sepenuhnya mereka ketahui, hal ini disebabkan karena daya ingat serta kehadiran mereka yang tidak selalu rutin pada saat lembaga melaksanakan sosialisasi.

Implementasi Program Pembinaan Waria oleh Lembaga Kasih Rakyat

Tabel 6. Mengerti Atau Tidak Terhadap Pendidikan Seks yang Sehat

No Kategori F % 1 2 Mengerti Kurang mengerti 18 4 81,2 18,8 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebahagian besar yakni 81,2% menyatakan bahwa mereka mengerti akan pendidikan seks yang sehat. Hanya 18,8% menyatakan bahwa mereka kurang mengerti terhadap pendidikan seks yang sehat.

Sebahagian besar responden yang mengatakan bahwa mereka mengerti akan pendidikan seks yang sehat, terlihat bahwa mereka lebih antusias pada saat mengikuti pelatihan dan keterampilan yang diadakan oleh lembaga tersebut.

Responden antusias mengikuti pelatihan dan keterampilan, karena mereka menganggap hal tersebut penting. Hal tersebut menjadi salah satu hal penunjang agar mereka mendapatkan pengetahuan, yang diharapkan bisa menjadi bekal dalam memenuhi kebutuhan.

Berbagai jenis pelatihan dan ketrampilan diberikan oleh lembaga kepada responden. Hal ini bukan hanya semata sebagai program, akan tetapi agar para responden dapat menjadikan pelatihan dan ketrampilan yang diberikan sebagai sumber mata pencaharian bagi mereka, sehingga diharapkan dapat meminimalisir mereka dari pekerjaan-pekerjaan yang lebih akrab dengan mereka sebagai PSK. Bervariasinya pemberian pelatihan dan ketrampilan ini juga di karenakan berbedanya bakat yang dimiliki para responden.

Tabel 7: Jenis Pelatihan dan Ketrampilan yang Diberikan No Kategori F % 1 2 3 4 Menjahit Salon Menganyam Memasak 6 12 2 2 27,3 54,5 9,1 9,1 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Data yang disajikan pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar 27,3% mengatakan bahwa menjahit adalah jenis ketrampilan yang pernah mereka terima. Kemudian 54,5% mengatakan mereka memperoleh ketrrampilan mengenai salon, 9,1% menganyam adalah ketrampilan dan 9,1% memasak.

Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan, bahwa mereka merasa tertarik

terhadap pelatihan dan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga kasih rakyat. Disamping sangat menambah pengetahuan bagi para responden, pelatihan dan ketrampilan yang diberikan ternyata sangat membantu menjadi mata pencaharian atau sumber penghasilan bagi para responden. Oleh karena itu mereka menjadi tertarik dan cenderung untuk mengikutinya apabila setiap kali pertemuan dilangsungkan.

Tabel 8 : Waktu Pelatihan

No Kategori F % 1 2 Sudah sesuai Kurang sesuai 16 6 72,8 27,2 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 8 dapat dinyatakan bahwa sebahagian besar responden yaitu 72,8% mengatakan bahwa waktu pelatihan dan ketrampilan yang dilaksanakan sudah sesuai, sedangkan 27,2% menyatakan kurang sesuai. Hal ini disebabkan rutinitas waktu pekerjaan mereka sama dengan waktu berlangsungnya pelatihan dan ketrampilan.

Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan, seluruh responden memperoleh uang pada saat mereka mengikuti pelatihan dan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga. Pemberian uang tersebut sebagai biaya pengganti transport bagi para responden ketika mereka mengikuti pelatihan dan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga.

Pemberian uang tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan program dan telah ditetapkan dalam anggaran. Tujuan dari pemberian itu sudah dipahami para waria, bahwa uang tersebut merupakan uang transport dalam mengikuti pelatihan dan keterampilan.

Tabel 9: Kecukupan Dana Pengganti

Transport Pelatihan No Kategori F % 1 2 3 Cukup Kurang Tidak cukup 6 4 12 27,3 18,2 54,5 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan data yang disajikan tabel 9 dapat dinyatakan bahwa hanya 27,3% yang mengatakan bahwa uang pengganti transport yang diberikan sudah cukup. Sedangkan sebesar 72,7% mengatakan bahwa uang yang diberikan kurang/tidak cukup. Beberapa responden pernah meminta untuk penambahan jumlah nominal yang biasa diberikan karena berbedanya daerah mereka tinggal, sehingga bila di bandingkan tentu tidak seimbang dengan responden yang menerima dengan jumlah yang sama akan tetapi berbeda dalam jumlah jarak tempuh dan biaya yang harus di keluarkan.

Tabel 10 : Ketersediaan Sarana dan

Prasarana Mengikuti Pelatihan

No Kategori F % 1 2 Ada Tidak tahu 15 7 68,2 31,8 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Tabel di atas menunjukkan sebesar 68,2% responden menyatakan bahwa pada saat pelatihan dan ketrampilan berlangsung lembaga menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Selain itu, terdapat 31,8% mengatakan tidak tahu. Hal tersebut dikarenakan selama ini terfokus kepada materi pelatihan, sehingga respoden tersebut tidak mengetahui kalau alat yang disediakan tersebut berasal dari pihak lembaga.

Tabel 11 : Kesesuaian Sarana dan Prasarana Pada Saat Mengikuti Pelatihan

No Kategori F % 1 2 3 Sudah sesuai Kurang sesuai Tidak sesuai 5 7 10 22,7 31,8 45,5 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Data pada tabel di atas menunjukkan hanya sebesar 22,7% yang mengatakan kalau sarana dan prasarana yang disediakan pada saat pelatihan dan ketrampilan sudah sesuai dan memadai. Sedangkan 77,3% mengatakan sarana dan prasarana yang disediakan kurang/tidak

sesuai seperti yang mereka harapkan. Misalnya, mesin jahit yang masih dengan mendayung atau dengan kaki.

Hasil wawancara dengan responden di dapat informasi bahwa masih terdapat kekurangan seperti tidak terpenuhinya alat-alat praktik yang dibutuhkan pada saat pelatihan dan ketrampilan diberikan. Sehingga responden harus secara bergilir untuk mendapat kesempatan melakukan praktik yang instruksikan ataupun diajarkan.

Tabel 12 : Penyampaian Informasi Mengikuti Pelatihan dan Ketrampilan

No Media F % 1 2 Telephone/HP Surat 9 13 41 59 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Data pada tabel di atas menunjukkan sebesar 41% menerima informasi akan diadakan pelatihan dan ketrampilan melalui telephone/HP, dan 59% mengatakan melalui surat yang disampaikan lembaga. Penyampaian informasi karena mereka anggota tetap yang sudah terdaftar sebagai anggota resmi lembaga.

Lembaga kasih rakyat tidak dapat memaksakan pertemuan wajib pelatihan keterampilan, karena keterbatasan waktu dari para waria. Mereka terhalang oleh pekerjaan, sehingga waktu mereka sangat terbatas untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Tabel 13 : Alasan Mengikuti Pelatihan dan Ketrampilan No Kategori F % 1 2 3 Menambah wawasan Menambah ketrampilan Lain-lain 6 14 2 27,3 63,7 9,0 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Tabel 13 menunjukkan bahwa sebesar 27,3% menyatakan alasan mengikuti kegiatan pelatihan dan ketrampilan karena ingin

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

menambah wawasan. Sebesar 63,7% mengatakan untuk menambah ketrampilan. Mereka menganggap bahwa ketrampilan yang diberi selain sesuai dengan bakat juga dapat dipergunakan sebagai sumber penghasilan mereka. Ada 9,0% mengatakan hanya ingin mengisi waktu luang. Mereka sebenarnya hanya ingin mengikuti sosialisasi tentang HIV/AIDS dan penyakit kelamin.

Tabel 14 : Minat Melakukan Seks Tidak Sehat Setelah Mengikuti Program

No Kategori F % 1 2 Tidak ada Biasa saja 19 3 86,3 13,7 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Tabel di atas menunjukkan 86,3% responden mengatakan tidak ada lagi minat atau keinginan untuk melakukan kegiatan seks yang tidak sehat yang selama ini mereka kerjakan setelah mereka mengikuti program yang diberikan. Keterampilan yang diperoleh telah mereka jalani dan mulai tekuni sebagai mata pencaharian dan sumber penghasilan. Sementara sebesar 13,7% mengatakan biasa saja. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan mereka masih sulit melepas kebiasaan dan penghasilan yang mereka peroleh dari kegiatan seks yang tidak sehat tersebut.

Tabel 15 : Efektifitas Tidaknya Program

No Kategori F % 1 2 3 Efektif Tidak efektif Biasa saja 17 1 4 77,3 4,6 18,1 Jumlah 22 100

Sumber : Data Primer

Berdasarkan tabel di atas dapat dinyatakan bahwa mayoritas responden atau sebesar 77,3% mengatakan bahwa program yang dilaksanakan sudah efektif, terlihat dari pekerjaan mereka setelah mengikuti program tersebut. Sebesar 4,6% mengatakan tidak efektif, dan 18,1% mengatakan biasa saja.

Dari wawancara yang dilakukan para responden yang mengatakan biasa saja menginginkan adanya tambahan kegiatan ataupun jenis pelatihan lainnya, sehingga lebih menambah pengetahuan, wawasan serta keterampilan mereka.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil paparan dan analisis data peneliti merumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan program pembinaan cegah tangkal HIV/AIDS yang dilakukan lembaga kasih rakyat kepada waria berlangsung dengan baik. Lembaga Kasih Rakyat dalam hal ini memiliki sumber daya manusia, anggaran serta ketersediaan sarana yang baik dan memadai untuk mendukung kegiatan tersebut.

2. Terdapat antusias dari para waria untuk mengikuti pembinan yang diberikan, sehingga mereka mengerti dan memahami pendidikan seks sehat, wawasan tentang infeksi menular seksual, dan penggunaan alat pengaman atau kondom serta bagaimana menjaga kesehatan reproduksinya.

3. Dalam melaksanakan programnya, Lembaga kasih rakyat senantiasa berpedoman pada strategi dan tujuan pelaksanaan yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni dalam rangka meningkatkan pendidikan dan informasi masyaarakat tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seks, kesehatan reproduksi serta menjadi pusat pembinaan bagi para waria.

4. Pelaksanaan program pembinaan keterampilan yang diberikan Lembaga kasih rakyat kepada para waria dalam bentuk keterampilan di bidang salon, tata rias dan menjahit telah memberikan dampak positif dalam bentuk perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik dalam kehidupan mereka. Hal tersebut terlihat dari peningkatan penghasilan para waria rata-rata diatas Rp. 500.000 sampai Rp. 2.000.000.

Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah disajikan, peneliti mengajukan rekomendasi sebagai berikut:

1. Waria merupakan kelompok masyarakat yang juga warga negara yang sah serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain, namun kenyataannya, mereka sangat jarang atau hampir tidak pernah mendapat perhatian dari Pemerintah. Oleh karena itu, semestinya Pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah memberikan perhatian khusus kepada kelompok tersebut, dan secara khusus mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan mereka, baik di APBN maupun APBD masing-masing daerah. 2. Antusian dan keseriusan kelompok waria

dalam mengikuti program sosialisasi yang dilakukan menunjukkan mereka sebenarnya mudah untuk diajak dan dilibatkan dalam pelaksanaan berbagai program. Oleh karena itu mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengajukan aspirasi mereka berkenaan dengan apa saja yang mereka butuhkan untuk dirumuskan sebagai kebijakan.

3. Pemerintah perlu mengumpulkan NGO-NGO yang selama ini memberikan perhatian kepada kelompok waria, agar diketahui

bagaimana kondisi nyata mereka, apa masalah yang mereka hadapi serta apa kebutuhan yang mereka harus penuhi. Melalui pertemuan tersebut, pemerintah belajar dalam menyusun dan menetapkan kebijakan serta program yang paling tepat bagi kelompok waria.

Daftar Pustaka

1. Nadia, Z. (2005). Waria Laknat atau Kodrat. Galang Press: Yogyakarta.

2. Horton, P.B. (1999). Sosiologi. Erlangga: Jakarta.

3. Koeswinarno. (2005). Hidup Sebagai Waria. : Kanisius: Yogyakarta.

4. Supraktiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku

Abnormal. LKIS Pelangi Aksara: Yogyakarta.

5. Calhoun, J. F dan Accoella, J. R. (1995).

Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi III. Diterjemahkan oleh Satmoko. IKIP Semarang Press: Semarang.

6.Nurdiyansah.(2007).http://Bulan/06/tgl21/time/ 015504/idnews/795921/idkanal/10.htm.Diaks es Tanggal 16 oktober 2012,pukul 13:00 WIB.

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan

Dalam dokumen Pemberdayaan komunitas (Halaman 29-37)