• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan komunitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemberdayaan komunitas"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 12, Nomor 1, Juni 2013 ISSN 1412-6133

P

emberdayaan komunita

S

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember

Diterbitkan oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Dewan Pengarah

Prof. Dr. Haryono Suyono (Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraam Sosial) Prof. Dr. Badaruddin, M.Si (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

Hairani Siregar, S.Sos, M.SP (Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU)

Pemimpin Redaksi

Drs. Matias Siagian, M.Si., Ph.D

Dewan Redaksi

Prof. Dr. Risnawati Sinulingga, M.Th Drs. Edward, M.SP

Drs. Bengkel Ginting, M.Si Dra. Tuti Atika, M.SP Agus Suriadi, S.Sos, M.Si Mastauli Siregar, Sos, M.Si Husni Thamrin, S.Sos, M.SP

Dra. Berlianti, M.SP

Penelaah/Mitra Bebestari Pada Edisi Ini

Drs. Tata Sudrajat, M.Si (Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia) Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos., M.Si (Ketua Umum Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia)

Rudi Saparuddin, S.Sos, M.Si (Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Pekerja Sosial) Prof. M.Arif Nasution, MA (Guru Besar Sosiologi Universitas Sumatera Utara Medan)

Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA (Guru Besar Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara Medan) Prof. Dr. Adi Fahruddin (Guru Besar Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Dr. Didiet Widiowati, M.Si (Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung) Dra. Inon Beydha, M.Si, Ph.D (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara Medan)

Alamat Penyunting dan Tata Usaha:

Jalan Prof. A. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan, 20155

Telepon (061) 8211965, Fax (061) 8211633

Pemberdayaan komunitaS adalah Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial yang bertujuan melakukan

kajian kritis terhadap masalah-malsalah kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat,

didasarkan atas kajian empirik, teoritis, dengan multi perspektif.

Jurnal Ilmu Kesejahteraan

Sosial

▸ Baca selengkapnya: sebutkan agen pemberdayaan komunitas

(2)

Volume 12, Nomor 1, Juni 2013 ISSN 1412-6133

P

emberdayaan komunita

S

DAFTAR ISI

Editorial

Abu Huraerah

Matias Siagian

Mastauli Siregar

Berlianti

Tonny Hendra

Nadeak

Sahawiah

Abdullah

Perjalanan Panjang Pengakuan Pekerjaan Sosial sebagai

Profesi di Indonesia...

Strategi Kebijakan Penanggulangan Masalah Kemiskinan di

Indonesia...

Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja di

Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota

Medan...

Implementasi Program Pembinaan Waria oleh Lembaga Kasih

Rakyat di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang....

Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan pada Pusat

Kajian Perlindungan Anak dan Pusat Pendidikan dan

Informasi Hak Anak...

Perbedaan Biaya Produksi dan Produktivitas Bawang Merah

Pada Lahan Sawah dan Kering dengan Sistem Rotasi dan Non

Rotasi...

Kebijakan Profesionalisme Pekerja Sosial di Indonesia...

1 - 2

3 - 13

14 - 26

27 - 34

35 - 47

48 - 54

55 - 64

Jurnal Ilmu Kesejahteraan

Sosial

Redaksi menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak

lain. Naskah diketik dengan spasi rangkap pada kertas A4, panjang 10 – 22 halaman

sebanyak 3 (tiga) eksemplar. Naskah yang masuk dievaluasi oleh Dewan Redaksi dan

Penelaah/Mitra Bebestari. Dewan Redaksi dan Penelaah/Mitra Bebestari dapat melakukan

perubahan pada naskah yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud

dan isinya.

(3)

Perjalanan Panjang Pengakuan Pekerjaan Sosial

sebagai Profesi di Indonesia

Sejak dibentuknya Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial pada tahun 2011 yang lalu, perjalanan sejarah profesi pekerja sosial di Indonesia berubah dari yang semula masih sebatas wacana menjadi sesuatu yang nyata. Walaupun pemerintah telah mengakui pekerjaan sosial sebagai suatu profesi melalui pemberian sertifikat yang ditandatangani langsung oleh Menteri Sosial Republik Indonesia, namun profesi pekerjaan sosial belum layak disejajarkan dengan profesi lain yang sudah mapan, seperti dokter, bidan, apoteker, dan lain-lain.

Dalam membidani Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia sudah berupaya melibatkan seluruh

stakeholders yang berkaitan dengan bidang ilmu

kesejahteraan sosial dan aktifitas pekerjaan sosial, seperti Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI), Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI), Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), pihak institusi pengguna lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan pekerja sosial baik dalam maupun luar negeri, namun banyak pihak beranggapan, bahwa upaya yang dilakukan masih memerlukan perbaikan.

Dalam rangka memulai tugasnya melakukan sertifikasi bagi pekerja sosial, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mengalami banyak kendala. Secara umum kendala tersebut sangatlah wajar, karena komisioner lembaga baru tersebut dituntut menciptakan segala sesuatunya, bukan meneruskan apa yang telah ada sebelumnya. Dalam membangun profesi pekerjaan sosial, profesi yang baru ini harus dilihat dalam dua konteks, yakni dalam konteks profesi yang sama di seluruh dunia, dan dalam konteks dunia profesi di Indonesia.

Berkaitan dengan konteks pertama, maka Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mencoba melakukan komparasi dengan profesi pekerjaan sosial di beberapa negara yang lebih maju atau lebih dahulu merintis dan memapankan profesi

pekerjaan sosial, seperti Philipina, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam konteks ini, ternyata pembangunan profesi pekerjaan sosial di Indonesia telah ketinggalan antara 25 hingga 45 tahun. Sebagai negara sedang berkembang yang senantiasa mengalami keterbatasan anggaran, tentu tidak mudah bagi Indonesia, dalam hal ini Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial untuk mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain. Artinya, dengan keterbatasan anggaran, tidaklah mungkin ketertinggalan antara 25 hingga 45 tahun tersebut dapat dikejar dalam tempo 5 hingga 10 tahun.

Berkaitan dengan konteks kedua, maka Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial berupaya melibatkan pelaku profesi lain di Indonesia dalam merintis pengakuan pekerjaan sosial sebagai profesi. Dalam rangka usaha ini, dalam berbagai kesempatan, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial beberapa kali mengundang pengurus teras asosiasi tingkat pusat dari berbagai profesi yang lebih mapan, seperti profesi dokter, bidan, psikolog, perawat dan lain-lain. Bahkan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial akhir-akhir ini telah bekerja sama dengan institusi yang mengelola seluruh profesi yang ada di Indonesia, yakni Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Berbagai upaya yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial bertujuan agar segala hal yang berkaitan dengan pengakuan (formal) profesi pekerjaan sosial melalui pelaksanaan uji kompetensi benar-benar memenuhi standar. Tentu langkah awal yang dilakukan adalah menyusun standar kompetensi sebagai blue print. Apakah standar itu dapat ditemukan di lapangan atau diimplementasikan dalam praktik nyata oleh pelaku profesi pekerjaan sosial? Tentu pertanyaan ini hanya mungkin dijawab melalui berbagai unsur yang ada dan diterapkan dalam rangka pelaksanaan uji kompetensi bagi pekerja sosial sebagai peserta uji kompetensi.

(4)

Sudahkah kelulusan yang diperoleh pekerja sosial memenuhi standar jika disejajarkan dengan pelaku profesi yang sama di berbagai negara yang lebih maju seperti yang disebutkan sebelumnya? Sudahkah kelulusan yang diperoleh pekerja sosial sudah memenuhi standar jika disejajarkan dengan pelaku profesi lain yang lebih mapan di Indonesia seperti profesi dokter, bidan, psikolog, perawat dan lain-lain? Tentu kedua pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh karya nyata pekerja sosial, khususnya mereka yang telah dinyatakan lulus pada uji kompetensi dan telah memiliki sertifikat profesi pekerjaan sosial.

Untuk itu, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mendorong asosiasi pekerja sosial, yakni Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia untuk pro aktif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pekerja sosial yang telah memiliki sertifikat. Hanya melalui monitoring dan evaluasi ini, dapat terdeteksi bagaimana kiprah para pekerja sosial dalam menjalankan

profesi pekerjaan sosial. Wujud nyata dari kiprah ini tentu adalah apa yang dirasakan oleh klien setelah mendapat sentuhan dari pekerja sosial. Apakah mereka merasakan bahwa sentuhan para pekerja sosial mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi? Apakah sentuhan para pekerja sosial mampu membangun rasa percaya diri dan kemampuan klien sehingga sebelum dilakukan terminasi para klien dengan nyata mampu memecahkan masalahnya sendiri?

Hasil monitoring dan evaluasi inilah yang menjawab dua pertanyaan: Apakah mereka layak menyandang profesi pekerja sosial? Apakah mereka layak memiliki sertifikat sebagai pekerja sosial? Jawaban atas kedua pertanyaan ini menjadi modal bagi Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia untuk memberikan rekomendasi kepada Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial: apakah sertifikat tersebut masih layak dimiliki atau justru harus ditarik kembali. Untuk itu, saatnya bagi kamu, wahai para pekerja

sosial untuk membuktikannya. (Matias Siagian)

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(5)

Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

di Indonesia

Policy Strategy of Tackling Poverty in Indonesia

Abu Huraerah

Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pasundan Bandung

Abstrak

Sebagai suatu masalah yang berdimensi luas, kemiskinan harus dipandang sebagai masalah kompleks atau multi dimensi. Oleh karena itu, pemecahan masalah kemiskinan harus dilakukan melalui pendekatan multi dimensi. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah kemiskinan dituntut memiliki komitmen yang kuat, dan pelaksanaan komitmen tersebut perlu menerapkan strategi yang didukung pendekatan multi disiplin. Kecenderungan pemerintah yang hanya memandang kemiskinan sebagai masalah ekonomi semata adalah menjadi salah satu penyebab kegagalan penanganan masalah kemiskinan. Bagaimanapun juga pemecahan masalah kemiskinan bukan sekadar pemberian bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Masyarakat harus dipandang lebih sebagai subyek daripada obyek, dan mereka harus diberi kesempatan mewarnai kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan. Pemerintah tidak boleh mendominasi perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya sebagai fasilitator, sehingga strategi dan pendekatan penanggulangan kemiskinan benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat.

Kata kunci: kemiskinan, fasilitator, strategi, penanggulangan. Abstract

Poverty is a complex problem , because it has wide dimension. So, the problem solving poverty need to be done through multi approach dimension. Government as party that most take responsibility in poverty problem tackling peosecuted own commitment that is strong, and implementation commitment need to apply strategy that supported by multi approach discipline. Tendency government that only look poverty as economic problem it is become one of problem handling failure cause poverty. However problem solving poverty not just subsidization in framework meet poor need community. Community should be viewed more as subyek of object, and they should granted by chance tint policy and poverty tackling strategy. Government cannot dominate planning, implementation until poverty tackling evaluation, but only as facilitator, until strategy and really appropriate poverty tackling approach with condition and need community.

Keywords: poverty, facilitator, strategy, poverty tackling. Pendahuluan

Kemiskinan merupakan konsep yang berdimensi ganda (multidimensional), yaitu

dimensi ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat

(6)

digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks adalah dalam arti luas, tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Berdasarkan konsepsi tersebut, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2.100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan jumlah pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.

Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri si miskin, yang secara

langsung maupun tidak langsung mempengaruhi akses si miskin terhadap sumber daya yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraannya.

Teori “kemiskinan budaya” (cultural

poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis,

misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul dari dalam diri si miskin (faktor internal), sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal, yang datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan antara lain adalah birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin untuk dapat bekerja.

Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional itu kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya.

Komitmen Pemerintah

Pemerintah sebagai pelaksana amanat kedaulatan rakyat tentu memiliki tanggung jawab dalam mensejahterakan masyarakat. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari prinsip negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana ditegaskan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Salah satu implementasinya adalah tanggung jawab Pemerintah dalam mengatasi kemiskinan. Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut Pemerintah telah merumuskan, menetapkan dan mengimplementasikan berbagai program. Misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No. 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(7)

Penanggulangan Kemiskinan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan masalah kemiskinan secara berkelanjutan di desa-desa miskin. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensional, juga telah diluncurkan program pengentasan kemiskinan, yaitu Program Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).

Belum lagi di sejumlah provinsi, sebagai daerah otonom, masing-masing juga menetapkan dan mengimplementasikan program pengentasan kemiskinan. Pemda DKI Jakarta misalnya, mengeluarkan program khusus dalam menggalang potensi masyarakat untuk menangani masalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui Instruksi Gubernur mengenai pembentukan “Kelompok Kerja Kesejahteraan Sosial Usaha Masyarakat (Pokja Kesuma)” di tingkat kelurahan. Kemudian pada tahun 2002 yang lalu, Pemda DKI Jakarta mengeluarkan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK), yaitu program pemberdayaan masyarakat yang secara khusus menyediakan bantuan masyarakat dengan pendekatan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).

Setelah itu, muncul kembali program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), yang kemudian dilanjutkan dengan program penanggulangan kemiskinan yang beberapa tahun terakhir ini digulirkan, yang cukup populer dengan nama PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)-Mandiri. Belum lagi, beraneka ragam program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan di setiap departemen/kementerian serta di setiap provinsi maupun kota/kabupaten.

Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, namun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap saja tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Perubahan nasib dari kondisi kemiskinan yang mereka alami selama ini kepada kehidupan yang lebih layak, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, pasti ada yang salah

dalam strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut.

Kesalahan Strategi Kebijakan

Penanggulangan Kemiskinan

Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan memperlihatkan dengan jelas beberapa kekeliruan, antara lain :

Pertama, masih berorientasi pada aspek

ekonomi dari pada aspek multidimensional. Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Fenomena kemiskinan sangat beraneka ragam, tidak hanya meliputi dimensi ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan dimensi budaya dan dimensi struktural atau politik. Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lain-lain. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural akan miskin dalam bidang material (ekonomi).

Kedua, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) dibandingkan dengan produktivitas. Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan mampu memunculkan dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk melakukan ikhtiar dan berupaya bagaimana mengatasi kemiskinan yang dihadapinya. Mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Dengan demikian, jangan berharap mereka akan menjadi produktif. Padahal program penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif.

Ketiga, lebih memposisikan masyarakat

miskin sebagai obyek dari pada subyek.

(8)

Masyarakat miskin diposisikan sebagai obyek, yaitu kelompok yang dijadikan sasaran perubahan, bukan sebagai subyek yakni sebagai pelaku perubahan. Jika mereka diperlakukan sebagai obyek, berarti menjadikan mereka sebagai manusia pasif. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan.

Keempat, pemerintah masih sebagai

penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerap kali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Tindakan seperti ini justru mengabaikan potensi (sekecil apapun potensi itu) yang dimiliki masyarakat miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya adalah mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Paradigma baru mengenai identifikasi orang miskin lebih menekankan „apa yang dimiliki orang miskin‟ ketimbang „apa yang tidak dimiliki orang miskin‟. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.1

Penanggulangan Kemiskinan Kurang Efektif

Dalam realitasnya menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan belum membawa hasil yang maksimal. Kemiskinan semakin bertambah dan beban rakyat pun semakin berat saja. Sudah saatnya semua elemen bangsa ini ikut proaktif memikirkan solusi atas masalah kemiskinan yang bagaikan penyakit akut, tidak hanya menghujat dan mencari siapa yang salah. Persoalan kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama. Aparat pemerintah mulai dari pengambil kebijakan hingga petugas operasional di lapangan, legislatif, media massa, serta komponen masyarakat secara keseluruhan.

Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diidentifikasikan beberapa faktor yang menyebabkan strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan itu tidak efektif, selain kesalahan paradigmatik penanggulangan kemiskinan di atas, juga disebabkan antara lain:

Pertama, kurangnya koordinasi antar

institusi yang terlibat dalam penanganan masalah kemiskinan, adanya ketidakseragaman indikator

kemiskinan, tidak validnya data kemiskinan serta masih ditemukannya indikasi KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam penyaluran bantuan program penanggulangan kemiskinan. Kurangnya koordinasi antar institusi yang menangani masalah kemiskinan tersebut menyebabkan pelaksanan program berjalan lambat dan cenderung sendiri-sendiri. Masing-masing institusi melaksanakan programnya sendiri, sehingga efektivitas program penanggulangan kemiskinan tidak tercapai. Sudah saatnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan menciptakan suatu program yang terintegrasi dan saling bersinergi dalam menangani masalah kemiskinan.

Kedua, pangkalan data jumlah penduduk

miskin masih lemah. Pangkalan data yang berfungsi sebagai data dasar bagi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan belum mampu menyediakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor, seperti:

1) Perbedaan indikator kemiskinan dari masing-masing sektor atau departemen atau kementerian yang mengeluarkan data kemiskinan menimbulkan banyaknya versi data kemiskinan. Hal ini menyebabkan kekacauan pelaksanaan program-program penggulangan kemiskinan.

2) Adanya sikap ego sektoral di kalangan institusi pengelola data, yang senantiasa menganggap data yang mereka hasilkan sebagai data yang paling akurat dan benar. Menyebabkan tidak adanya proses pemeriksaan silang terhadap data lintas sektoral.

3) Masyarakat tidak dilibatkan secara aktif, terutama masyarakat miskin, pada setiap proses pendataan, mulai dari penentuan indikator sampai pada penetapan siapa yang tergolong miskin.

Ketiga, tidak adanya sinergisme program

penanggulangan kemiskinan yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan sebagai akibat dari masih adanya ego sektoral dan tumpang tindihnya tugas pokok dan fungsi antar-SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Dalam struktur kewenangan pemerintahan sekarang, ujung tombak penanggulangan kemiskinan adalah pemerintah daerah. Pemerintah pusat lebih berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(9)

guna mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk mewujudkan efektivitas pemerintah daerah dalam penggulangan kemiskinan dengan dukungan aktif para pemangku kepentingan (stakeholders) diperlukan perbaikan sistem koordinasi melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) daerah.

Keempat, program penanggulangan kemiskinan masih diwarnai adanya indikasi KKN dalam penyaluran bantuan untuk keluarga miskin, baik oleh oknum aparat maupun oleh masyarakat sendiri. Hal ini tentu saja menyebabkan program penanggulangan kemiskinan menjadi salah sasaran. Alih-alih mengurangi beban masyarakat miskin, program tersebut justru sering memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Peranan masyarakat, LSM, legislatif, media masa dituntut untuk lebih aktif dalam hal pengawasan pelaksanaan program, sehingga kebocoran yang selama ini terjadi bisa dikurangi atau diminimalisir.

Strategi Kebijakan yang Seharusnya Diterapkan Pemerintah

Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan kemiskinan di atas, maka strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah sebagai berikut:

pertama, karena kemiskinan itu adalah masalah

yang bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi, melainkan juga memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomik. Oleh karena itu, strategi pengentasan kemiskinan hendaknya juga diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lain-lain. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis.

Kedua, untuk meningkatkan kemampuan

dan mendorong produktivitas, maka strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar

masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking) serta informasi pasar. Ketiga, melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan.

Keempat, strategi pemberdayaan. Kelompok agrarian populism yang dipelopori kelompok pakar dan aktivis LSM, menegaskan bahwa masyarakat miskin adalah kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya. Oleh karena itu, jalan keluar yang diusulkan dalam rangka memberantas kemiskinan adalah pemberdayaan (empowerment). Dalam kaitan ini, Ginandjar Kartasasmita menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat setidak-tidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik tolak bahwa setiap manusia dan masyarakat memilki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan (3) memberdayakan pula mengandung arti melindungi. Artinya, bahwa dalam proses pemberdayaan, harus dicegah terjadinya proses melemahkan pihak yang sudah lemah.2

Untuk proyeksi ke masa depan sangat dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam mengatasi kemiskinan. Strategi penanggulangan kemiskinan seperti yang dipaparkan di atas, adalah perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam setiap program pengentasan kemiskinan sebagai upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Hal ini perlu dilakukan, agar kita tidak terbiasa “terjebak” dalam bias-bias penanggulangan kemiskinan.

Kritik terhadap Implikasi Kebijakan

Sikap skeptis berbagai kalangan terhadap implikasi kebijakan didasarkan pada pemahaman Dye dan beberapa pakar yang juga mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mengetahui kebijakan yang dibuat. Menurut

(10)

Dye (1981), ada sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam studi evaluasi kebijakan, yang belakangan dideskripsikan sebagai eksperimentasi kebijakan:

Pertama, penentuan apa tujuan yang

akan dicapai oleh program. Siapa kelompok target dan apa efek yang diharapkan dari implementasi program itu? Pemerintah seringkali menghendaki tujuan yang bertentangan untuk memuaskan berbagai kelompok sekaligus. Ketika tidak ada kesepakatan mengenai tujuan program dan kebijakan, maka studi evaluasi kebijakan akan diperhadapkan pada konflik kepentingan yang besar.

Kedua, sejumlah program dan kebijakan

lebih memiliki nilai simbolis. Program dan kebijakan tersebut tidak secara aktual mengubah kondisi kelompok target, melainkan semata-mata menjadikan kelompok tersebut merasa bahwa pemerintah “memperhatikan”.

Ketiga, agen pemerintah memiliki kepentingan

tetap yang kuat dalam “mencoba” apakah program yang diimplementasikan itu membawa dampak positif. Administrator seringkali melakukan percobaan untuk mengevaluasi dampak program yang dibuat bagaikan mencoba membatasi atau merusak programnya atau mempertanyakan kompetensi administrator. Keempat, agen pemerintah biasanya memiliki investasi besar – organisasi, finansial, fisikal, dan psikologikal – pada program dan kebijakan yang sedang dikerjakan. Kelima, sejumlah studi empiris mengenai dampak kebijakan yang dikerjakan oleh agen pemerintah mencakup sejumlah gangguan terhadap kegiatan program yang sedang berjalan. Keenam, evaluasi program memerlukan pembiayaan, fasilitas, waktu, dan pegawai yang mana agen pemerintah tidak ingin berkorban dari program yang sudah berjalan. Studi dampak kebijakan, seperti halnya sejumlah penelitian, membutuhkan dana untuk membiayai. Studi itu tidak dapat dilakukan dengan baik, hanya bagaikan kegiatan ekstrakurikuler atau paruh waktu. Penyiapan sumber daya untuk studi tersebut berarti pengorbanan sumber daya program yang tidak ingin dilakukan oleh administrator.3

Selain sikap skeptis di atas, administrator pemerintah dan pendukung progam memikirkan berbagai cara untuk

memberikan alasan mengapa temuan negatif dampak kebijakan harus ditolak. Begitu pula ketika menghadapi fakta empiris bahwa program yang diunggulkan tidak berguna atau kontra-produktif, pihak tersebut menyatakan : (1) efek program tersebut bersifat jangka panjang dan tidak dapat diukur pada saat sekarang; (2) efek program tersebut menyebar dan bersifat umum, tidak ada keriteria tunggal atau kesesuaian indeks untuk mengukur apa yang dicapai; (3) efek progam tidak jelas dan tidak dapat diidentifikasi dengan ukuran kasar atau statistik; (4) fakta yang ditemukan mengenai tidak adanya perbedaan orang yang penerima pelayanan dan orang yang tidak menerima berarti bahwa progam itu tidak intensif dan mengindikasikan perlunya lebih banyak mengeluarkan sumber daya program tersebut; (5) kegagalan mengidentifikasi sejumlah sejumlah efek positif suatu program dapat menandai ketidaksesuain atau bias dalam peneltian, bukan pada program.

Berdasarkan uraian di atas, dapat bahwa sikap skeptis teoritisi dan praktisi seperti itu tidak sepenuhnya dapat diterima, karena realitas yang ditemukan di lapangan justru “berbeda”. Perbedaan dan bukti nyata dapat dipahami berdasarkan dampak kebijakan publik secara teori dan sejumlah praktek berikut ini.

Dampak Kebijakan

Dampak kebijakan adalah keseluruhan efek yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 1981). Anderson (1984) mengemukakan semua bentuk manfaat dan biaya kebijakan, baik yang langsung maupun yang akan datang, harus diukur dalam bentuk efek simbolis atau efek nyata. Output kebijakan adalah berbagai hal yang dilakukan pemerintah. Kegiatan ini diukur dengan standar tertentu. Angka yang terlihat hanya memberikan sedikit informasi mengenai outcome atau dampak kebijakan publik, karena untuk menentukan outcome kebijakan publik perlu diperhatikan perubahan yang terjadi dalam lingkungan atau sistem politik yang disebabkan oleh aksi politik. Pengetahuan mengenai jumlah dana per kapita yang digunakan untuk siswa dalam sistem persekolahan atau untuk kasus lainnya, tidak dapat memberikan informasi mengenai efek

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(11)

persekolahan terhadap kemampuan kongnitif, afektif, dan psikomotorik siswa.4

Menurut sebagian pakar (Dye, 1981; Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan, yakni :

Pertama, dampak kebijakan terhadap

situasi atau kelompok target. Obyek yang dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas. Misalnya masyarakat miskin (berdasarkan keriteria tertentu), para pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah yang termarjinalkan, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran tersebut dijadikan fokus masa analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami bahwa kebijakan kemungkinan membawa konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Faktanya, implikasi atau dampak kebijakan berbagai program penanggulangan kemiskinan (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan lain sebagainya) dengan sasaran orang miskin di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat misalnya melalui upaya program tersebut di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, kemudahan akses masyarakat terhadap akses pendanaan-informasi-pasar-jaringan, kemudahan akses terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat miskin, peningkatan kualitas hidup masyarakat yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial, prasarana da sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan lainnya.

Kedua, dampak kebijakan terhadap situasi

atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau

spillover, karena jumlah sejumlah outcome

kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas. Faktanya: dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program telah melibatkan secara langsung dan

tidak langsung berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru, penyuluh kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya.

Ketiga, dampak kebijakan terhadap kondisi

sekarang dan kondisi masa yang akan datang. Faktanya, dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program seperti di atas, telah menguatkan fondasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif kebijakan tersebut meneguhkan keinginan masyarakat dalam merespon gagasan otonomi daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun 1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti dengan undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004).

Keempat, biaya langsung kebijakan, dalam

bentuk sumber dana dan dana yang digunakan dalam program. Faktanya, berbagai lembaga donor (nasional dan internasional) telah merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan beberapa kesepakatan dalam program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai pihak seperti World Bank, UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kelima, biaya tidak langsung kebijakan,

yang mencakup kehilangan peluang melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam melakukan evaluasi kebijakan publik karena sebagian tidak dapat dikuantifikasi. Faktanya, tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan akan melibatkan berbagai pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya anak dan anggota keluarga dari masyarakat miskin yang dulunya turut membantu kegiatan orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti kesempatan membantu orang tuanya bekerja menjadi hilang atau berkurang.

Keenam, tentu saja, juga sulit mengukur

manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap komunitas. Faktanya, hal ini sesungguhnya dapat

(12)

dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya di bidang pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan melalui sikap dan perilaku sehat yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoritis, dampak kebijakan tidak sama dengan

output kebijakan. Karena itu menurut Dye

(1981), penting untuk tidak mengukur manfaat dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah semata mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah.

Garis Besar Aktivitas Kebijakan Sosial

Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006): “In short, social

policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people’s live by providing a range of income support, community services and support programs.”5

Artinya, secara singkat kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental).

Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Suharto, 2008).6

Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni

perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.7

a. Peraturan dan perundang-undangan. Pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendi-dikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan. b. Program pelayanan sosial. Sebagian

besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial (konseling, advokasi, pendampingan).

c. Sistem perpajakan. Dikenal sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan asuran sosial (social insurance) adalah dua bentuk jaminan sosial (social

security) yang dananya sebagian berasal

dari pajak.

Kebijakan sosial seringkali melibatkan program-program bantuan yang sulit diraba atau dilihat secara kasat mata (intangible aids). Karenanya, masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum, kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya diberikan bagi kelompok miskin atau rentan, adalah contoh kebijakan sosial.

Sebagai sebuah kebijakan publik, keputusan kebijakan sosial berada di tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun,

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(13)

sejalan dengan menguatnya embusan good governance, dalam proses perumusannya kebijakan sosial melibatkan tidak hanya „orang pemerintahan‟ saja. Melainkan pula para „pemain lain‟, mulai dari praktisi hingga akademisi; mulai dari kelompok populis (pegiat Ornop, Orsos) hingga kalangan spesialis (analis kebijakan, think

thank). Sementara, komunitas pembuatan kebijakan melingkupi banyak pihak yang melakukan riset atau terlihat dalam advokasi guna mendesakkan perubahan-perubahan kebijakan. Muncullah istilah policy-making

community yang menunjukkan bahwa pembuatan

kebijakan melibatkan banyak pihak dan lembaga, selain birokrasi dan departemen-departemen pemerintahan (Suharto, 2009).1

Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan obyek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Peran pekerja sosial dalam menghadapi fenomena perkembangan suatu negara sangat diperlukan dan peran serta aktif pula dalam bekerjasama dengan instansi kepemerintahan yang memang memiliki otoritas dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan.

Seperti yang terdapat dalam definisi di atas, kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di suatu negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang sangat dibutuhkan kontribusinya dapat pula berfungsi dengan berperan serta aktif ikut menentukan dan membuat perancangan kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam lingkup lokal melainkan dalam matra global. Pekerja sosial haruslah aktif dalam merespon situasi perubahan dan perkembangan kondisi global, sehingga dapat bersama dengan pemerintah melakukan rancangan yang efektif dalam mensejahterakan masyarakat.

Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen/kementerian pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi

lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto, 2007).8

Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi :

I. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan, yaitu pemerintah. II. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai

penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. III. Meneliti dan menginvestigasi problema

sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial.

IV. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya, misalnya: LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain.

Kesimpulan ringkas yang dapat kita petik dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial. Dalam hal ini, pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya. Hal ini disebabkan oleh fakta, bahwa masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Dengan demikian, tingkat pelanggaran yang mungkin terjadi dapat diantisipasi.

Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing,

(14)

kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tidak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas, seperti diungkapkan Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy, from Theory to

Practice, yaitu:

I. Direct-service practice, yang berkaitan

dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan;

II. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi; III. Administrative social work, yang

berkenaan dengan pokok persoalan. Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, di antaranya adalah: (1) mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat, (2) menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan

Adanya aspek yang tertera di atas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dengan semua perangkatnya, sejatinya memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik. Kemudian, bagaimana nantinya pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disuun dan diterapkan? Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3 (tiga) langkah yang bila hal tersebut berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut antara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of

Social Policy, yakni:

I. Pemerintah membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh: pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru;

II. Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki

perhatian terhadap suatu kondisi sosial. Contoh: kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi perdagangan atau mengundang investor dari negara lain. Kemudian, menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain.

III. Kebijakan sosial pemerintah yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan terfokus pada salah satu kelompok, tetapi pada kenyataanya justru mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain.9

Kesimpulan

1. Masalah kebijakan sosial adalah suatu permasalahan yang membutuhkan penanganan khusus, terpadu dan dilakukan secara kontinu dan konsekuen. Sebagian besar negara berkembang selalu memerhatikan aspek kebijakan sosial sebagai program andalan yang dapat menjadi perencanaan untuk melakukan kesejahteraan sosial.

2. Terlebih lagi adanya kebijakan sosial tidak mungkin lepas dari pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan lembaga pembuat kebijakan. Peranan yang harus menjadi tanggungjawab berbagai pihak dalam menyusun dan melakukan perencanaan sejatinya dapat dilakukan sebaik mungkin demi tercapainya kesejahteraan sosial.

3. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah.

4. Dalam menyusun, merancang, dan menerapkan suatu kebijakan sosial hendaklah memperhatikan tingkatan aktivitas sebagai berikut:

a. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(15)

sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah.

b. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. c. Meneliti dan menginvestigasi problema

sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial. d. Memberikan perlindungan atau advokasi

secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya, misalnya: LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain. 5. Pemerintah hendaknya memerhatikan strategi

kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kesalahan strategi penanggulangan kemiskinan berakibat pada tidak efektifnya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan.

Daftar Pustaka

1. Suharto, Edi. (2009). Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: LSP Press.

2. Kartasasmita, Ginandjar. (1997). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat.

Sarasehan DPD Golkar Tingkat I Jawa Timur 14 Maret 1997. Surabaya

3. Dye, Thomas R (1981). Understanding Public

Policy. New Jersey: Prentice Hall.

4. Anderson, James E (1984). Public Policy

Making. Boston: Houghton Miffin.

5. Bessant, Judith, Rob Watts, Dalton, Smith (2006). Talking Policy: How Social Policy in

Made. Crows Nest: Allen and Unwin.

6. Suharto, Edi (2008). Kebijakan Sosial

Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfa

Beta.

7. Midgley, James, Martin B (2000).

Introduction: Social Policy and Social Welfare. London: Catalyst.

8. Suharto, Edi (2007). Pekerjaan Sosial di

Dunia Industri. Memperkuat Tanggungjawab

Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Bandung: Refika Aditama. 9. Spicker, Paul (1998). Social Policy: Themes

and Approaches. London: Prentice Hall.

(16)

Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku

Remaja di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan

Medan Helvetia Kota Medan

Influence Transnational Broadcast to Teenage Behavior in

Helvetia Tengah Subdistrict of Medan Helvetia Medan

Matias Siagian

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Perkembangan teknologi yang begitu cepat antara lain mengakibatkan siaran transnasional telah menjadi bagian hidup dari remaja. Penelitian ini secara khusus mengkaji hubungan antara siaran transnasional terhadap perilaku menyimpang remaja. Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 – 21 tahun, yang berstatus sebagai penduduk Kelurahan Helvetia Tengah Kecamataan Medan Helvetia, Kota Medan, yang memiliki channel televisi kabel, yang dapat mengakses siaran televisi dari banyak negara sehingga sering menonton siaran-siaran yang lebih vulgar, seperti olahraga keras, percintaan dan seks, film kekerasan, yang jarang ada pada siaran televisi nasional. Hasil analisis data menyimpulkan bahwa aktivitas menonton siaran televisi asing oleh remaja adalah tergolong kategori tinggi, aktivitas melakukan atau menampilkan perilaku menyimpang remaja adalah tergolong kategori tinggi, dan terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas menonton dengan melakukan atau menampilkan perilaku menyimpang.

Kata kunci: Siaran transnasional, perilaku menyimpang. Abstract

Technology development that is so fast among others result transnational broadcast has become part live off teenage. This research especially looked into a relationship between transnational broadcast to behavior deviate teenage. This population research is teenage that aged 13 – 21 year, that live in Helvetia Tengah, sub district of Medan Helvetia, Medan city, that own channel cable TV, that can access telecasts from countries wealth until often watch events those are more bawdy, like hard exercise, romances and sex, film violence , that rare is on broadcast national television. Data analysis result conclude that activity watch foreign telecasts by teenage is appertain high category, activity make or featured behavior that deviate teenage is appertain high category, and occurred by relationship that significant between activity watch by doing or featured behavior that deviate.

Keywords: transnational broadcast, behavior that deviate. Artikel Penelitian

(17)

Pendahuluan

Akhir-akhir ini masyarakat di kota-kota besar di Indonesia dikejutkan dengan berita keberadaan geng motor dengan segala sepak terjangnya. Mereka pada umumnya terdiri dari remaja, yang sering mengendaraai sepeda motor secara bergerombolan. Dalam aksinya mereka sering melakukan berbagai aktivitas yang mengganggu ketenteraman umum, seperti mengganggu orang, menyerang orang, merampok warung/swalayan. Jika mereka mendapat teguran dari masyarakat maupun aparatur keamanan, mereka justru merasa terganggu dan protes. Penampilannya mengindikasikan bahwa mereka identik dengan suatu kerajaan lengkap dengan penguasanya, bahkan mereka memberlakukan sistem rekruitmen dengan prosedur yang tegas.

Perilaku dan tindakan mengejutkan juga sering dilakukan oleh sosok yang masih dikategorikan sebagai anak. Sebagai contoh, seorang yang masih duduk di bangku SD di Pangkalan Berandan, Langkat, Sumatera Utara melakukan penganiyaan terhadap teman sekolahnya. Oleh keluarga korban peristiwa tersebut bukan lagi dianggap sekadar peristiwa biasa dimana di antara anak-anak terlibat pertengkaran, kemudian berkelahi, dan dalam waktu singkat berdamai dan berteman kembali. Bagi keluarga korban, peristiwa itu dianggap sebagai perbuatan kriminal, sehingga pelaku pun dilaporkan ke polisi, dan polisi pun memproses laporan tersebut secara hukum. Sebagai konsekwensi logisnya, maka si anak kecil dianggap telah melakukan tindakan kriminal, sehingga berurusan dengan pengadilan dan dijatuhi vonis.1

Jika kita perhatikan lebih mendalam, akan kita ketahui bahwa remaja sekarang semakin atraktif dalam bersikap dan bertindak. Sebagai contoh, seorang remaja SMK menikam teman sekolahnya hingga meninggal dunia.2 Peristiwa tersebut membuka mata hati kita untuk lebih memperhatikan remaja dengan segala permasalahannya. Demikian halnya dengan seorang anak remaja yang dengan teganya memperkosa seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SD.3 Peristiwa ini menuntut perubahan persepsi kita terhadap penyimpangan perilaku remaja yang semula kita

anggap hanya sekadar kenakalan menjelma menjadi perbuatan kriminal.

Hasil penelitian Gerbner yang dimuat dalam artikel yang ditulis oleh Hawkin dan Pingree dengan judul Television’s Influence On

Social Reality yang dimuat dalam mengindikasikan adanya korelasi positif antara banyaknya menonton televisi perhari dengan prevalensi terhadap kekerasan (dengan menggunakan kontrol variabel pendidikan, jenis kelamin, umur, ras). Kesimpulan yang sama juga diperoleh Gerbner ketika dalam penelitiannya menggunakan variabel kontrol yang lain, yakni jenis kelamin, umur, membaca koran, dan pendidikan ayah. Demikian halnya ketika dalam penelitiannya menggunakan umur, kelas,

achievement dan pengalaman menjadi korban

sebagai variabel kontrol juga diperoleh kesimpulan yang sama.4

Hubungan antara film yang ditonton dengan pembentukan imagi juga dikemukakan oleh Slamet Rahardjo Djarot, seorang sutradara film kesohor. Dalam makalah seminarnya, Djarot mengemukakan bahwa pendapat pakar film Ingmar Bergman dan Alfred Hitchcock yang dikenal dengan ucapannya, bahwa membuat film berarti membentuk imagi. Lebih dalam lagi, Djarot mengemukakan, bahwa secara teknis sinematrografis, bahasa televisi adalah bahasa medium shot sebagai resiko ukuran layarnya yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan layar bioskop. Kesan yang ditimbulkan oleh format medium shot adalah adanya penggarisbawahan dan biasanya suatu penggarisbawahan menuntut adanya perhatian yang lebih dan untuk kepentingan itu setiap shot yang tampil di layar televisi harus memiliki daya pikat yang tinggi. Penggunaan format medium

shot harus diperhitungkan, karena jarak yang

diciptakannya menimbulkan kesan bahwa kita telah berada di antara masalah.5

Hawkins dan Pingree mengemukakan bahwa pengaruh televisi dalam pembentukan realitas sangat kompleks. Muatan siaran televisi berkontribusi nyata dalam konstruksi realitas sosial. Bagaimanapun juga, siaran televisi cepat atau lama secara jelas berpengaruh terhadap konstruksi realitas sosial, mungkin saja sangat dalam, baik secara langsung maupun tidak langsung yang terbentuk dalam interaksi yang

(18)

variatif dari lingkungan maupun institusi-institusi.6

Simanjuntak (1992) mengemukakan, menurut teori panduan, salah satu teori yang menjelaskan latar belakang kenakalan remaja menegaskan, bahwa faktor penyebab kenakalan remaja dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal meliputi kepribadian, jenis kelamin dan kedudukan dalam keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah kemudian dibedakan antara interpersonal environment dan cultural environment. Secara

khusus, faktor interpersonal environment

meliputi disharmoni keluarga, perlindungan yang berlebihan, pendidikan yang kurang baik. Adapun cultural environment meliputi lingkungan sekolah, media komunikasi massa dan disorganisasi sosial.7

Pada masyarakat kota-kota besar, tampaknya pengaruh faktor eksternal semakin dominan. Kondisi mana diakibatkan oleh perubahan sosial yang demikian cepat dan cenderung radikal baik dalam sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem budaya. Kondisi ini merupakan konsekwensi logis dari pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan, sehingga tatanan yang mengental sejak jaman penjajahan dipaksa untuk berubah, baik dalam norma maupun peran. Sebagai contoh, seseorang yang selama ini pedagang bisa saja dipaksa menganggur akibat digusur pembangunan, pedagang menjadi bupati, priyayi tiba-tiba menjadi pedagang, sedangkan petani menjadi buruh.

Harus diakui, akibat pembangunan senantiasa bermata dua, yakni berdampak positif dan negatif. Terlebih pembangunan tidak selamanya berimbang dan konsekwen. Misalnya, pembangunan yang demikian pesat yang diikuti pertumbuhan yang demikian cepat tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur maupun kesadaran hukum masyarakat. Kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan yang umum di kota-kota besar saat ini. Pagi hari masyarakat kota dipaksa mendapat sarana angkutan berdesak-desakan untuk mengejar tiba di sekolah dan tempat bekerja tepat waktu. Sepanjang jalan kita sering berhadapan dengan berbagai pihak yang memiliki identitas sebagai

preman. Kita sering dipaksa untuk ikut gaya dan aturan mereka.

Kehidupan masyarakat berjalan terus. Saat sore dan malam hari tiba, penduduk kota tiba kembali di rumah setelah lelah dalam kesehariannya. Mereka yang beruntung dalam

hidupnya dapat dengan nyaman menikmati

berbagai fasilitas, seperti alat pendingin udara dengan berbagai kamar dan ruang rumah yang lapang. Sedangkan bagi mereka yang kurang beruntung dipaksa bernafas dalam suasana ruang sesak. Sebagian dari mereka yang tiba di rumah tidak mendapati anggota keluarga lain secara lengkap, karena anggota keluarga lain masih sibuk dengan urusan sendiri.

Dalam berbagai kondisi yang ada, setelah tiba di rumah, sangat jarang dari masyarakat kota langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pada umumnya mereka mengisi waktunya dengan menonton televisi. Ketika mulai menonton televisi apa yang terjadi? Menonton televisi berarti memasuki tatanan global, dengan sistem yang didominasi oleh pusat imperial, terutama Amerika Serikat, yang dengan dayanya yang adi senantiasa mengontrol aliran modal, barang dan jasa baik dengan internal, sesama bangsa maju dan bangsa yang dianggap pinggiran sistem seperti Indonesia. Negara-negara besar seakan-akan mendukung dengan ikhlas pembangunan negara-negara yang berada di pinggiran sistem, padahal sesungguhnya tidak. Pembangunan negara-negara pinggiran yang sering diidentifikasi dan mengidentifikasi diri sebagai negara dunia ketiga bagi mereka hanya sebagai pendukung dan memperkuat dominasi bangsa-bangsa maju dan memelihara ketergantungan negara-negara pinggirian.

Secara teoritis, perusahaan multi nasional dan komunikasi transnasional melakukan fungsi yang sama dengan fungsi yang dijalankan tentara imperial pada abad ke 18 dan 19. Perusahaan multi nasional dan komunikasi transnasional datang, melihat, dan menduduki, lalu memanipulasi keinginan, kebutuhan, serta membuat negara dunia ketiga percaya bahwa pembangunan hanya akan dapat berhasil melalui sistem global yang mereka ciptakan dan sedang berlaku.8

Rembesan informasi global ini mendominasi televisi kita, terutama televisi

Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013

(19)

swasta dimana lebih separoh jam tayangnya berisi program dari luar, yang justru menawarkan model kehidupan yang berbeda dan serba baru. Negara maju sangat lihai dalam menjual kebudayaan populer, bahkan mampu meyakinkan masyarakat dari negara-negara sedang berkembang, bahwa masalah yang ada hanya dapat dijawab oleh Rambo, Superman, Batman, dan lain-lain produk mereka.

Depari mengemukakan bahwa televisi dan CD/DVD adalah media pandang dengar yang memadukan antara bahasa lisan, bahasa tulisan, gambar yang bergerak, warna, animasi dan sound

effect menjadi satu-kesatuan. Potensi televisi

lebih besar dibandingkan dengan radio maupun media cetak karena sifatnya yang pandang dengar. Dalam literatur dewasa ini, pengaruh televisi dan CD/DVD makin banyak dibicarakan. Hal tersebut disebabkan oleh sifatnya, sehingga mendapat kedudukan yang demikian sentral dalam kehidupan masyarakat perkotaan.9

Kehadiran televisi kabel merupakan salah satu unsur kemajuan di bidang teknologi informasi dan entertain. Wallace mengemukakan, pembangunan yang sedang berjalan saat ini senantiasa dihiasi ketimpangan antara kemajuan fisik dengan kemajuan mental dan moral. Masyarakat menerima begitu saja kemajuan itu, tanpa dipersiapkan secara moral dan mental, sehingga banyak muncul penyimpangan-penyimpangan mental dan moral.10

Erat kaitannya dengan apa yang dikemukakan Wallace, perilaku menyimpang remaja atau kenakalan remaja merupakan penyimpangan moral. Dalam konteks ini penyimpangan tersebut menggunakan norma sebagai kriteria. Oleh karena itu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat merupakan penyimpangan perilaku.

Gerald mengemukakan bahwa teknologi komunikasi cenderung menjadikan masyarakat itu sama, padahal kondisi nyata masyarakat itu berbeda, terutama dari tingkat kemajuan yang dialami. Melalui teknologi komunikasi, masyarakat tradisional dapat menerima berbagai unsur dari masyarakat modern. Termasuk di dalamnya adalah masyarakat dari negara sedang berkembang dapat menerima berbagai unsur

modern dari masyarakat yang ada di negara-negara maju. Akibatnya, unsur-unsur baru tersebut seakan-akan memaksa masyarakat tradisional tersebut menerimanya sebagai suatu pola baru yang dianggap lebih ideal, padahal sering justru mengakibatkan gangguan terhadap sistem kehidupan mereka.11

Hardin (2003) mengemukakan bahwa teknologi yang menyajikan informasi seperti televisi, film, internet mengakibatkan seseorang memasuki dunia baru, tetapi sekaligus meninggalkan dunia lama, seperti keluarga. Seseorang semakin menjauhi diri dari institusi keluarga, semakin besar pengaruh teman, karena banyak muatan informasi yang diperoleh dianggap kurang tepat untuk didiskusikan dengan keluarga, seperti orangtua dan saudara. Akibatnya terbuka peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak diharapkan orangtua.12

Metode Penelitian

Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif, yang bertujuan menggambarakan fenomena penggunaan media internasional sebagai variabel bebas dan perilaku remaja sebagai terikat, serta pengaruh penggunaan media internasional terhadap perilaku remaja. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan.

Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 – 21 tahun, yang berstatus sebagai penduduk Kelurahan Helvetia Tengah Kecamataan Medan Helvetia, Kota Medan, yang memiliki channel televisi kabel, yang dapat mengakses siaran televisi dari banyak negara sehingga sering menonton siaran-siaran yang lebih vulgar, seperti olahraga keras, percintaan dan seks, film kekerasan, yang jarang ada pada siaran televisi nasional.

Sangat sulit mengetahui berapa jumlah populasi penelitian ini, karena kepemilikan channel televisi kabel seperti indovision dan astro tidak dilaporkan kepada pihak pemerintah setempat. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak mungkin diterapkan teknik penarikan sampel yang termasuk random. Peneliti menerapkan teknik penarikan sampel snow ball, yang merupakan salah satu jenis teknik penarikan sampel non random. Dalam hal ini, selain menggunakan pengguna channel televisi kabel

Gambar

Tabel 1. Jenis Televisi Kabel/Channel yang                Digunakan  No  Jenis Channel  F  %  1  2  Indovision Astro  18 7  72 72  Jumlah  25  100
Tabel 4. Anggota    Keluarga     yang     Paling                 Dominan       dalam       Memutuskan                 Penggunaan Televisi Kabel
Tabel 7. Thema  Siaran  Televisi  Asing yang                 Disukai Untuk Ditonton Responden
Tabel 10. Pengetahuan   Orang  Tua tentang                    Jenis   Siaran   Televisi  Asing  yang                   Ditonton Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat pengaruh dari masing-masing individu dalam mempengaruhi keputusan seorang ibu hamil dalam menjaga kesehatan serta tingkat

Indonesia yang diukur menggunakan persen memberikan korelasi negatif dan signifikan terhadap indeks harga saham gabungan dengan koefisien sebesar 0.164718 yang berarti bahwa

Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, produksi kedelai bersifat inelastis terhadap perubahan harga di tingkat petani karena memiliki nilai |E| <1.. Sifat inelastis ini

Proses penciptaan komposisi musik “Boru Panggoaran” ini terinspirasi dari kisah kehidupan anak perempuan yang kemudian diangkat menjadi sumber ide dan gagasan. Hal

Bila node tersebut mempunyai nilai 1 lebih dari satu pada posisi yang bersangkutan, akan dilakukan random untuk nilai mana yang akan bernilai 1. Dan apabila pada posisi

Sejumlah kriteria untuk proses pembuatan keputusan dalam memilih karyawan SPG untuk produk rokok yang telah ditetapkan adalah performance, comunicating style, body

96 SONI ANGGARA SAPUTRA PONTIANAK BARAT JL.KOM.YOS SUDARSO GG.JERUJU III DALAM B/E NO.81 97 SONIA QADARIAH PONTIANAK BARAT JL. KOM YOS SUDARSO GG. ALPOKAT INDAH JALUR 3 98 SY.