• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inisiatif Masyarakat di Sorong

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 184-191)

4.5 Inisiatif Lokal Masyarakat di Tiga Lokasi Studi

4.5.1 Inisiatif Masyarakat di Sorong

Kemunculan inisiatif lokal lahir dari pembelajaran terhadap situasi yang telah dan tengah terjadi. Inisiatif berarti munculnya kesadaran dalam diri masyarakat adat itu sendiri untuk menghadapi segala tantangan saat ini dan ke depan. Apabila hendak menariknya secara kronologis waktu, kemunculan persoalan tenurial telah terjadi sejak masa kolonial Belanda.

Pada tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda membentuk perkampungan di wilayah Kota Sorong. Pada tahun 1930-an, perusahaan minyak Belanda Nederlands

Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) merintis usaha pengeboran di

daerah Klamono. Pihak perusahaan memberikan “imbal jasa” kepada pemilik ulayat berupa 50 kilogram beras dan satu pucuk senjata Mouser buatan Jerman. Ketika NNGPM diambil-alih oleh Pertamina, kemudian marga pemilik ulayat menuntut agar penguasaan lahan dikembalikan. Sementara itu, Pertamina berpandangan bahwa “imbal jasa” yang dulu telah dilakukan oleh NNGPM merupakan pelepasan kepemilikan. Persoalan itu masih terus bergulir dan pemilik ulayat sedang memperjuangkan haknya (Isman, 2012: 100). Pada tahun 1970-an, pemerintah melaksanakan program transmigrasi dan pertanian di sekitaran Kota Sorong dan Aimas. Pada tahun 1990-an, pengusahaan hutan (HPH) oleh PT Intimpura bergerak ke arah tenggara Kota Sorong. Pada tahun 2000-an berlanjut kepada masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2010-an, gerakan-gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai masuk ke Kampung Malalilis.

Catatan kehadiran perusahaan HPH pada tahun 1990-an menunjukkan, masyarakat adat selalu menjadi pihak yang kemudian dirugikan. Artinya, yang terkena dampak adalah mereka yang berada di dalamnya. Mereka tidak tahu berapa luasan lahan ulayatnya dan tidak tahu sumber daya apa saja yang berada

177

di dalamnya. Akibatnya, mereka memperoleh penggantian dengan harga sangat rendah. Misalkan saja seperti yang terjadi pada Marga Su yang memiliki lahan ulayat di daerah Klayili. Ketika PT Intimpura masuk pada tahun 1990-an, Marga Su hanya menerima Rp 5 juta untuk jumlah pohon merbau yang tidak diketahui berapa banyaknya. Upaya protes telah dilakukan untuk membatasi gerak PT Intimpura hingga mengakibatkan anggota keluarga Su masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Setelah selesai beroperasinya PT Intimpura, kemudian berlanjut kepada perusahaan sawit PT HIP pada tahun 2000-an. Pelepasan ulayat marga Gilik Klasafet seluas 420 hektar dengan uang “imbal jasa” sebesar 8,5 juta rupiah dan uang “sirih-pinang” sebesar Rp 4 juta rupiah. Dalam kesepakatan pelepasan ulayat dengan PT HIP tidak terdapat keterangan berapa lama lahan tersebut dikontrak, dan status kepemilikannya pun tidak jelas.

Pada tahun 2010-an, beberapa LSM melakukan kegiatan untuk mengupayakan penguatan hak masyarakat adat melalui pemetaan partisipatif. Kegiatan LSM itu tidak serta-merta berjalan dengan mulus. Muncul kecurigaan bahwa pemetaan partisipatif itu nantinya akan merugikan si pemilik ulayat, seperti yang diungkapkan Oktovianus Ulala yang berusaha meyakinkan masyarakat,

“Ini LSM mereka datang ini untuk, bukan hanya untuk, bukan mau bawa kita punya hasil, tidak, mereka itu ada di pihak kita, mau bantu biar kita yang di depan, mereka yang di belakang, mereka bisa bantu kita, mereka juga keluarga toh”.

Berbagai situasi demikian menyadarkan sebagian masyarakat adat tentang pentingnya melakukan pemetaan partisipatif. Bukti kepemilikan berdasarkan adat saja tidak cukup kuat apabila harus berhadapan dengan negara yang menggunakan hukum dan undang-undang tertulis. Tidak cukup kuat apabila harus berhadapan dengan pihak perusahaan yang selalu memainkan strategi licik dan pandai memutar kata. Mereka membutuhkan kejelasan peta adat marga yang mendapat pengakuan dan jaminan dari negara.

Mereka membutuhkan kejelasan pengetahuan berapa luasan dan apa saja yang ada dalam lahan ulayatnya. Sebagian masyarakat adat melakukan refleksi terhadap masalah-masalah yang terjadi di masa lalu dan yang sedang terjadi sekarang ini. Mereka berusaha mengantisipasi masalah di masa depan apabila ada program pembangunan ataupun perusahaan yang akan masuk ke dalam wilayah ulayatnya. Jangan sampai masalah itu baru muncul ketika perusahaan telah masuk dan nantinya jadi bertengkar adu mulut. Bagaimanapun juga, tanpa ada pengakuan peta wilayah adat marga secara hukum formal, mereka pasti akan menderita kerugian yang nantinya juga ditanggung oleh anak-cucu mereka kelak.

Sejauh temuan lapangan yang dapat dikumpulkan, inisiatif lokal dari masyarakat adat, antara lain: kesadaran untuk melakukan pemetaan partisipatif, kesadaran untuk menghidupkan kembali sekolah adat (kambik), kesadaran untuk melakukan

178

sasi adat terhadap lahan ulayat demi menjaga keseimbangan ekologis, dan kesadaran untuk memperluas pengetahuan dengan mendirikan rumah baca. Beberapa inisiatif lokal tersebut memang tumbuh dari dalam diri masyarakat adat sendiri untuk kehidupan yang lebih baik kelak di masa depan.

Inisiatif Mengikuti Pemetaan Partisipatif

Pembicaraan mengenai lahan ulayat merupakan hal sensitif dan sakral, terlebih lagi kepada orang luar yang belum dikenal. Meski demikian, keadaan memang mengharuskan untuk mempertahankan lahan ulayat melalui pembuatan peta. Seorang warga Kampung Malalilis yang bernama Oktovianus Ulala mempunyai inisiatif kuat untuk mengikuti pemetaan partisipatif. Mulanya Okto mengikuti dan mempelajari kegiatan-kegiatan LSM yang ada di kampung. Lambat laun dia mulai memahami dan menyadari betapa pentingnya membuat peta marga untuk menghadapi masalah-masalah yang akan terjadi di kemudian hari. Okto juga sudah membicarakannya dengan anggota marga Ulala yang lain tentang pentingnya pembuatan peta untuk masa depan generasi selanjutnya.

Hasil wawancara dengan Okto menunjukkan bahwa pemertahanan lahan ulayat dari masuknya investasi sudah dilakukan oleh para tetua adat marga Ulala. Mereka menyadari bahwa sumber daya alam yang ada di dalam lahan ulayatnya tidak bisa tergantikan oleh nominal uang semata. Berapapun jumlah kekayaan materi, cepat atau lambat pasti akan habis. Sementara itu, sumber daya alam yang ada di dalam lahan ulayatnya telah menghidupi marga Ulala dari generasi ke generasi dan masih tetap ada hingga saat ini.

Marga Ulala Bertahan dari Gempuran Investasi

Pada tahun 1990-an, lahan ulayat marga Ulala di daerah Sayosa sempat akan dimasuki perusahaan pengolah kayu PT Intimpura. Pada waktu itu tetua adat marga diajak bertemu dengan pihak perusahaan di kantor PT Intimpura. Ayah dari Oktovianus Ulala yang bernama Edward Ulala menjadi tetua adat marga Ulala yang menemui pihak PT Intimpura di kantornya itu. Pihak perusahaan berusaha merayu Edward dengan segala macam cara dan bahkan telah menaruh uang 200 juta rupiah di atas meja. “Bapak, mau kita diberikan celah sedikit saja, ini Bapak 200 juta saya kasih”, kata pihak PT Intimpura.

Bapak Edward yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal dan buta huruf itu kemudian berusaha bertahan, “Bapak punya uang tetapi tanah itu saya punya, hasil saya punya, Bapak punya uang Rp 200 juta belum apa-apa, uang itu cukup untuk kau, saya punya anak tiga, saya tidak mau terima satu rupiah pun, nanti saya punya kayu habis, nanti ke depan saya pu anak-anak mau makan apa”. Menghadapi kerasnya pertahanan Bapak Edward, pihak perusahaan pun kembali merayu, “Bapak tidak bisa ini sedikit kah, nanti Bapak mau apa saja nanti kami kasih”.

179

Bapak Edward berusaha mencari cara untuk segera mengakhiri pertemuan itu. Kalau terlalu lama di kantor ini, nanti lama-lama perusahaan ini akan terus merayu-rayu lagi. Demi menyudahi semuanya, Bapak Edward berkata, “uang Bapak punya, tapi saya bukan sendiri, saya punya keluarga, nanti Bapak punya uang di sini dulu, nanti saya balik satu dua minggu saja, nanti saya kasih tahu sama keluarga dulu, pertemuan dengan keluarga”. “Itu sudah kalau begitu sudah kami tunggu waktu,” tanggapan pihak perusahaan. Setelah Bapak Edward menutup pintu kantor, sembari melangkah pulang menuju rumah, dalam benaknya dia mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya kepada perusahaan itu. Hingga sampai saat ini lahan ulayat Marga Ulala di Sayosa belum pernah ada perusahaan yang masuk. Sebelum Bapak Edward meninggal, beliau selalu berpesan kepada anak-anaknya agar mempertahankan budaya Moi. Mempertahankan sumber daya alam yang ada di dalam lahan ulayat Marga Ulala. Sumber daya alam itulah yang terus mengalirkan “air susu” pemberi kehidupan sejak masih kecil hingga akhir hayat. Edward terus berpesan agar tetap menjaga alam dan memperingatkan kepada anak-anaknya untuk tidak mengizinkan masuknya perusahaan.

Pesan Bapak Edward tersebut begitu meresap ke dalam sanubari para anaknya. Terlebih kepada Okto, meski ia bersama anak dan istrinya kini hidup dalam keadaan serba sulit karena telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak dua tahun yang lalu dari PT HIP. Okto tetap berinisiatif kuat mempertahankan lahan ulayat Marga Ulala dengan mengikuti pemetaan partisipatif. “Pokoknya LSM apa saja, yang penting saya mau bikin peta batas”, kata Okto.

Di tengah keengganan pemilik ulayat lainnya, Oktovianus Ulala terus bersemangat mengajukan diri untuk mengikuti pemetaan partisipatif. Okto sudah membicarakan hal tersebut dengan anggota Marga Ulala hendak mengikuti pemetaan partisipatif. Okto tidak bisa terus-terusan mengajak dan menyadarkan pemilik ulayat lainnya untuk ikut pemetaan partisipatif karena itu sepenuhnya merupakan hak pemilik. Okto mengkhawatirkan apabila dia terlalu mencampuri hak pemilik ulayat lainnya nanti justru menimbulkan masalah. Kendala yang sering terjadi pada kegiatan LSM yang mengadakan pemetaan partisipatif ialah belum adanya kesepakatan dari seluruh anggota marga.

Inisiatif Menghidupkan Kembali Sekolah Adat Suku Moi (Kambik)

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa agama budaya Suku Moi tidak mengajarkan pemanfaatan sumber daya alam melebihi kebutuhan subsistensi. Pelanggaran terhadap hal tersebut akan memperoleh honge (sanksi adat) yang sangat keras. Berikut ini penuturan dari Dance Ulimpa,

“apa langkah-langkah dewan adat untuk ke depan untuk menjaga ini, jawabannya hanya satu, kalau kita kembali ke aturan semula aturan kultur, aturan yang memang baku sejak purbakala, “orang yang merusak

180

hutan kita bunuh dia”, dia mau melawan, persoalan adalah kalau di honge bunuh lagi, pemerintah mengatakan bahwa itu separatis, maka masuk penjara lagi, itu contoh-contoh yang muncul”

Dengan adanya sanksi yang sangat keras tersebut, para pendahulu Suku Moi tidak pernah melakukan eksploitasi berlebihan terhadap hutan. Masuknya agama Kristen pada awal abad ke-19 dan integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1969 berimplikasi pada lunturnya aturan adat tersebut. Agama memandang bahwa budaya Moi merupakan hal yang sesat, primitif, dan terbelakang. Sementara itu, pemerintah Indonesia memandang bahwa praktik-praktik adat merupakan tindakan separatis.

Titik klimaksnya terjadi pada tahun 1969-an dengan penghapusan kambik dan

honge oleh masyarakat adat Moi itu sendiri melalui kegiatan sakmesan (upacara

adat perdamaian) yang diselenggarakan di daerah Makbon. Kambik dan honge ibarat dua sisi mata uang, apabila salah satunya dihapuskan, maka sisi yang lain juga ikut terhapus. Begitu juga sebaliknya, apabila kambik dihidupkan kembali, maka honge juga ikut berlaku. Penghapusan aturan honge membuat tetua adat pemilik ulayat cenderung untuk melakukan eksploitasi berlebihan terhadap hutan karena sanksi adat sudah tidak berlaku. Justru ketika pada masa kambik dan honge masih berlaku, yang dipandang sebagai “masa kegelapan”, pada masa itulah kondisi hutan masih tetap terjaga dan lestari.

Ketika peneliti bertanya kepada Silas Kalami sebagai ketua LMA Malamoi, masih adakah harapan ke depan untuk kondisi hutan yang ada saat ini. “Harapan saya, pendidikan adat segera digelar,” jawab Silas. Pendidikan adat Suku Moi yang dimaksudkan adalah kambik. Penghidupan kembali kambik akan menjadi agenda pembahasan dalam sabalo (sidang adat) tertutup yang rencananya digelar November 2018 di Kalaben.

Dari penjelasan Silas Kalami, situasi yang mengharuskan (tingkat urgensi) kambik digelar kembali ialah maraknya penjualan kayu dan tanah oleh pemilik ulayat. Agama modern dianggap tidak mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman saat ini. Tetua adat lulusan kambik sebagai pemilik ulayat yang berpengaruh dalam marga justru telah melakukan pelanggaran adat. Pola yang sering terjadi ialah bermula dari penjualan kayu yang kemudian berlanjut pada penjualan lahan ulayat. Orientasinya sudah berubah, dari dulunya yang hidup dari alam, dan kini menjadi hidup dari menjual alam.

Para lulusan kambik tersebut dipandang telah berbuat “dosa” dan perlu untuk disucikan kembali. Dengan dibukanya kembali kambik, maka diharapkan kehidupan adat Suku Moi bisa kembali tertib. Para tetua adat yang melakukan pelanggaran akan disidang dalam rumah adat. Bahkan dapat pula dikenakan hukuman paling berat yaitu “pembersihan” yang dilakukan oleh “alam”.

181

Di sisi lain, Silas Kalami juga menyadari bahwa penghidupan kembali kambik akan menghadapi beberapa kendala. Jaman yang telah berubah dan berbeda, sudah tidak memungkinkan diberlakukan honge (sanksi adat) seperti zaman para tetua adat terdahulu. Dibutuhkan penyesuaian dengan keadaan sekarang. Institusi gereja juga diharapkan tidak menilai ajaran adat Moi sebagai ajaran yang sesat dan primitif. Pemerintah juga diharapkan tidak menuduh terhadap kegiatan-kegiatan adat di dalam hutan sebagai kegiatan separatis.

Inisiatif Memberlakukan Sasi Adat di Hutan

Di Kampung Siwis, Dance Ulimpa terkenal sebagai orang yang “keras” apabila menyangkut kelestarian lingkungan. Kondisi hutan di lahan ulayat yang beliau miliki di bagian perbukitan yang terletak di sebelah timur Kampung Siwis keadaannya masih tetap lestari. Beliau berinisiatif untuk memberlakukan sasi adat terhadap wilayahnya yang terletak di perbukitan. Mengingat bahwa posisi kampung berada di daerah lembah berdataran rendah, kalau sampai hutan di perbukitan rusak maka akan berdampak tingginya potensi bencana banjir. Terlebih apabila musim hujan tiba, Sungai Warsumsum yang terletak di barat laut Kampung Siwis sering meluap.

Sasi adat (egek) ialah larangan adat untuk memanfaatkan suatu kawasan yang bertujuan melindunginya sampai batas waktu tertentu. Kawasan yang telah disasi berlaku larangan untuk berburu hewan dan mengambil hasil hutan. Untuk menerapkan sasi adat maka harus dilaksanakan ritual adat terlebih dahulu untuk menutup kawasan tersebut. Demikian pula nantinya juga akan diadakan ritual adat apabila hendak membuka kawasan yang telah disasi.

Meski masyarakat Distrik Klaso berhasil mempertahankan ulayatnya dari perkebunan kelapa sawit PT Mega Mustika Plantation, namun Dance tetap saja resah terhadap perilaku sebagian masyarakatnya yang tidak mencintai alamnya sendiri. Hutan di sebelah barat laut Kampung Siwis telah diolah kayunya oleh pemilik ulayatnya. Padahal dulunya kawasan tersebut telah disasi oleh para tetua adat yang kini telah meninggal. Belum ada ritual pembukaan sasi, tetapi hutan tersebut telah dimanfaatkan oleh pemiliknya. Dance Ulimpa sebagai Kepala Dewan Adat Kalaben sekaligus juga sebagai Kepala Distrik Klaso tidak bisa berbuat banyak karena hak pemanfaatan hutan merupakan kewenangan pemilik ulayat.

Dance menyadari, jika praktik pengrusakan hutan itu tetap dibiarkan, nantinya akan merembet sampai ke perbukitan. Oleh karena itu, beliau mengambil langkah inisiatif untuk mensasi hutan yang ada di perbukitan. Sekaligus juga untuk menaikkan wibawa adat Moi dengan menegakkan aturan-aturannya. Tidak peduli hutan yang ada di perbukitan itu bukan lagi masuk ulayatnya, Dance bersikeras untuk tetap mensasinya. Bahkan saat ini pun dia telah berkonflik dengan pemilik ulayat di perbukitan yang tidak sejalan dengan inisiatifnya itu. Beliau menjelaskan,

182

apabila hutan di kawasan perbukitan tidak disasi, maka semua perkampungan di lembah ini nantinya akan mati tenggelam ketika musim penghujan tiba.

Apabila melihat posisi hutan di Kampung Siwis secara geografis, maka posisinya memainkan peranan penting bagi penyelamatan hutan tersisa di bagian timur laut dari Kota Sorong. Kalau skalanya

diperbesar, maka hutan di Siwis memegang peranan penting untuk kelestarian hutan di Papua Barat bagian utara. Belajar dari pengalaman sebelumnya mengenai efek “riak air” dan pola penjualan lahan, apabila perusahaan sawit sampai bisa masuk dan marak terjadi penjualan ulayat, maka dampaknya akan merembet hingga ke arah timur laut.

Inisiatif Mendirikan Rumah Baca

Pendirian rumah baca merupakan program dari Dewan Adat Kalaben dengan menggerakkan para pemuda Kampung Siwis. Desain bangunan rumah baca merupakan rumah adat khas Suku Moi yang keseluruhan bahan berasal dari alam. Rencana koleksi bukunya meliputi pengetahuan masyarakat Moi dalam memanfaatkan dan mengolah hasil alam seperti menganyam noken, memasak olahan sagu dan keterampilan lokal lainnya. Ketika peneliti mengamati kegiatan pemuda di kampung, mereka begitu antusias membaca koran meski tanggal terbitnya sudah lewat. Keinginan yang kuat para pemuda untuk membaca, nantinya juga akan memperluas pengetahuan mereka tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan.

Gambar 77 Kondisi hutan milik Marga Malak Gitili yang akan disasi

183

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 184-191)