• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Kasus Pelepasan Lahan Ulayat Gilik Klasafet

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 134-137)

4.1 Temuan Permasalahan di Wilayah Sorong

4.1.2 Pembelajaran Kasus Pelepasan Lahan Ulayat Gilik Klasafet

Pengusahaan hutan PT Intimpura telah masuk terlebih dahulu sejak tahun 1990-an. Setelah itu 14 tahun kemudian, tepatnya tahun 2004 perusahaan sawit PT Henrison Inti Persada (HIP) mulai beroperasi di daerah Klamono yang berada di lahan ulayat milik Marga Gisim. Pegawai PT Intimpura yang sebelumnya berhasil mendapatkan izin masuk dari para pemilik ulayat atas pengusahaan hutan, kemudian direkrut oleh PT HIP untuk mengemban tugas yang sama yaitu Bu Meri. Masuknya PT HIP di Klamono menandakan keberhasilan mendapatkan tanda tangan dari pemilik ulayat Marga Gisim.

PT HIP kemudian berusaha memperluas perkebunan kelapa sawitnya ke arah tenggara di mana itu merupakan lahan ulayat milik Marga Gilik Klasafet. Lukas Gilik mengatakan bahwa ia telah menolak masuknya sawit ke dalam arealnya selama sekitar satu tahun. Apabila melihat dari tanggal kesepakatan pelepasan ulayat dengan PT HIP, itu berarti upaya penolakan telah berlangsung sejak tahun 2005-an. Pada tahun itu pula PT HIP melakukan upaya-upaya pendekatan untuk mendapatkan tanda tangan dari tetua adat marga Gilik Klasafet.

Salah satu upaya itu ialah dengan mengadakan pertemuan di Hotel Waigo Kota Sorong selama dua hari. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh pegawai PT HIP, anggota DPR dan tetua adat Marga Gilik Klasafet dan Klasibin Klawilis. Pihak pemerintah menerangkan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta pemilik ulayatnya. Pihak perusahaan menerangkan bahwa contoh-contoh peningkatan kesejahteraan itu sudah terbukti dengan adanya perkebunan kelapa sawit di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pihak perusahaan kemudian mengajukan uang ganti rugi sebesar Rp 8 juta sebagai uang imbal jasa atau uang “ketuk pintu”, dan menjanjikan akan memenuhi apa saja permintaan pemilik ulayat, seperti: biaya sekolah anak, rumah, mobil, dan barang mewah lainnya. Bernadus Gilik tidak setuju dan meminta agar pimpinan PT HIP yang langsung menemuinya, kemudian mengajukan tawaran Rp 50 milyar untuk ganti rugi pelepasan lahan bagi masing-masing marga. PT HIP tidak setuju dengan tuntutan Bernadus dengan menyatakan bahwa harga yang ditawarkan sudah menjadi harga pasaran pada umumnya, dan buktinya Marga

127

Gisim juga mau menerima. Bernadus tetap menolak dengan menyatakan bahwa beda marga beda aturan mainnya. Setelah melalui perseteruan selama dua hari, alhasil pertemuan di Hotel Waigo tidak menghasilkan kesepakatan antara PT HIP dan pemilik ulayat.

Eks-pegawai PT Intimpura itu terus berupaya untuk mendapatkan tanda tangan dari pemilik ulayat. Meminta tolong kepada Marga Gisim untuk mendekati Marga Gilik agar mau tanda tangan. Marga Gisim pun kemudian merayu dan mendesak Marga Gilik agar mau menerima kesepakatan. Lambat laun pegawai perusahaan mengetahui celah di mana sasarannya diarahkan kepada Lukas Gilik yang buta huruf dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Sampai pada tahun 2006, kemudian PT HIP berhasil memperoleh cap ibu jari Lukas Gilik untuk pelepasan lahan ulayat seluas 420 hektar. Kejadian tersebut berlangsung di kantor PT Intimpura. PT HIP juga menunjukkan surat pelepasan lahan ulayat yang telah mendapat persetujuan dari Marga Klasibin Klawilis. Lukas Gilik menyatakan bahwa dia sebenarnya hanya menyetujui untuk “ketuk pintu” dan bukan untuk pelepasan ulayat.

Penolakan Lukas Gilik terhadap masuknya sawit ke dalam lahan ulayatnya ditunjukkan dengan penghentian beroperasinya alat berat yang akan melakukan penggusuran lahan. Beberapa kali Lukas Gilik melakukan penolakan tersebut, sampai pada akhirnya pihak perusahaan menunjukkan surat kesepakatan pelepasan ulayat yang di dalamnya terdapat sidik ibu jarinya. Setelah itu, Lukas Gilik sudah tidak bisa menahan lagi masuknya sawit ke dalam wilayahnya. Bahkan ketika Lukas Gilik hendak menahan masuknya alat berat yang akan menggusur tempat keramatnya (kofok), beliau tidak bisa menahannya karena penggusuran tersebut dikawal oleh aparat keamanan. Mengetahui surat kesepakatan itu, Bernadus Gilik menyatakan protes bahwa seharusnya semua anggota Marga Gilik Klasafet dilibatkan dalam proses kesepakatan tersebut. Bernadus Gilik juga tidak mampu bertindak lebih jauh karena yang menyepakati itu adalah tetua adat yang menjadi kakaknya sendiri.

Sekitar 12 tahun setelah menyepakati pelepasan ulayat itu, Lukas Gilik menyatakan penyesalannya yang teramat mendalam. Dia telah kehilangan segalanya. Lahan warisan leluhur yang seharusnya dia jaga untuk para keturunannya kelak, kini telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit. Keyakinan spiritual tentang roh para moyang penghuni tempat keramat, juga tak tahu kemana rimbanya. Alam batin dan pikirannya tak mampu menahan benturan demi benturan dari gerak perubahan dunia di sekelilingnya yang melaju sedemikian cepat dan hebat. Dia ingin sejahtera dan ingin kehidupan yang lebih baik sama dengan manusia mana pun di belahan lain bumi ini. tetapi dia tak pernah tahu akan dibawa ke mana segala yang ia punya, hingga akhirnya kini ia merasa menjadi budak di atas tanahnya sendiri. Lukas Gilik hanya bisa menjadikan dirinya sebagai contoh, dan berpesan

128

kepada pemilik ulayat lainnya untuk tidak melepaskan lahannya kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.

“Soal apa yang ini jadi pengalaman untuk kita pemilik itu. Saya mewakili pemilik itu mengenai kelapa sawit. Kelapa sawit ini tong rasa ini bagus. Pertama itu dia bikin kita macam senang. Sekarang ini kita menderita. Itu makanya, orang lain dari marga lain itu jangan, yang itu orang Papua, yang ini jangan ambil lagi. Kalau sudah begini, jangan, jangan, stop, jangan masuk lagi. Sama saja dengan, apa ini, kita seperti tikus saja di tanah sendiri. Saya pernah dapat tahan anak itu 3 bulan. Itu makanya orang lain, marga lain, jangan masukkan kebun ini lagi, kelapa sawit ini lagi, stop”.

“Dulu itu bukan saya miskin. Orang miskin butuh apa. Saya tinggal di sa pu tempat kok. Orang Papua tidak bisa miskin. Minum air di mana saja bisa. Sekarang tong minum air tanah. Dulu orang tua itu, air begini dong minum. Kita yang minum air tanah saja takut. Perusahaan ini kita takut. Dulu orang tua tanam itu, tanah itu subur. Sekarang racun itu, kasih mati apa pupuk itu, semua sudah tercemar.” (Hasil wawancara dengan Lukas Gilik)

Kasus pelepasan lahan ulayat marga Gilik Klasafet kepada PT HIP menunjukkan bahwa tidak adanya kejelasan atau transparansi mengenai informasi penting di dalamnya. Tidak ada keterangan mengenai status lahan ulayat paska pelepasan, apakah lahan tersebut telah berpindah kepemilikan ataukah menggunakan sistem kontrak lahan. Kalaupun menggunakan sistem kontrak, tidak ada keterangan sampai kapan lahan ulayat tersebut akan dikontrak. Proses investasi global yang menyasar kepada masyarakat adat seolah bermain di bawah tangan. Artinya, pemilik dianggap tidak memiliki kekuasaan apapun untuk menentukan masa depan ulayatnya. Lebih jauh Alex Klasibin memaparkan dirinya juga menuntut kejelasan status dan kontrak ulayatnya paskamengetahui bahwa PT HIP telah berpindah sahamnya pada Nobel Group. Ironisnya lagi, negara tidak hadir sebagai saksi penengah dalam surat kesepakatan pelepasan ulayat tersebut. Ketiadaan negara pastinya akan mempersulit posisi pemilik ulayat ketika di kemudian hari terjadi masalah dengan PT HIP.

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, yaitu tentang kehadiran sejarah sirtu. Ketika program-program pembangunan jalan mulai masuk. Disitulah rentan terjadi masalah klaim lahan ulayat. Persoalan tersebut disadari oleh Dance Ulimpa sebagai, “konflik orang timbul di Moi itu karena masalah orang Moi sendiri”. Lebih jauh, Alex Klasibin menerangkan bahwa sebenarnya tata batas kepemilikan ulayat itu sudah jelas. Hanya karena lahan ulayat milik marga yang berdekatan itu potensi ekonominya tinggi, maka terjadilah pengklaiman lahan yang sebenarnya bukan miliknya.

Silas Kalami juga menegaskan bahwa batas lahan ulayat tidak pernah berubah. Silas Kalami sering menangani masalah-masalah pengklaiman lahan ulayat. Masalah itu muncul karena ada orang yang mengaku sebagai pemilik lahan kemudian menjual

129

lahan tersebut. Seringkali ada marga yang nasibnya “gontang-gantung”. Artinya, dia sudah tidak memiliki lahan ulayat karena: (1) tidak mempunyai benda pusaka bukti kepemilikan lahan, dan (2) lahan ulayat yang dulunya mengalami konflik peperangan dan belum terjadi perdamaian. Marga yang “gontang-gantung” tersebut kemudian ikut “makan susu” di lahan ulayat marga lain yang memiliki kedekatan hubungan marga. Artinya, pemilik ulayat memberikan izin pemanfaatan lahan kepada marga yang “gontang-gantung” itu. Hingga di kemudian hari, marga yang “gontang-gantung” itu mengklaim bahwa lahan yang diolahnya adalah miliknya dan kemudian menjualnya. Masalah-masalah demikian sering terjadi dan pemilik lahan yang sah akan menempuh jalur penyelesaian secara adat.

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 134-137)