• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah Nabire

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 173-178)

4.4 Selayang Pandang: Temuan Permasalahan di Wilayah Papua Lainnya

4.4.1 Wilayah Nabire

Kabupaten Nabire memiliki kondisi permasalahan khususnya lingkungan yang cukup kompleks dengan masifnya jenis investasi yang datang pada wilayah ini mulai dari HPH, perkebunan skala besar dan pertambangan. Datangnya investasi ini berpengaruh besar terhadap kondisi masyarakat adat pemilik wilayah maupun terhadap luasan tutupan hutan alam. Kasus-kasus perampasan tanah, pencemaran sampai kepada kehancuran hutan-hutan alam menjadi hal yang terus didengar. Penghancuran yang terjadi pada hutan-hutan alam ini berdampak besar terhadap ekologi maupun kehidupan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah yang kehidupannya bergantung terhadap hutan itu sendiri.

Sejarah masuknya investasi di Nabire dimulai dengan masuknya berbagai izin HPH pada hutan-hutan alam yang ada di sana. Merbau menjadi salah satu jenis kayu yang diburu dikarenakan harganya yang cukup mahal di pasaran.

166

Setelah HPH, datang lagi izin sawit yang sebenarnya diberikan pada wilayah-wilayah yang pernah dibebani izin HPH, sebagiannya pada hutan-hutan alam yang belum dibebani izin. Hampir seluruh izin sawit di Nabire bermasalah dengan masyarakat pemilik wilayah. Salah satu contoh yang terjadi saat ini adalah PT Nabire Baru dengan masyarakat Suku Yerisiam.

Selain sawit, pertambangan emas skala kecil yang cukup masif masuk di wilayah-wilayah masyarakat. Aktivitas ini diduga tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. Yang lebih merisaukan yakni tidak adanya kontrol terhadap pemakaian merkuri pada tambang-tambang ini. Selain itu, banyak terdapat tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja pada tambang-tambang tersebut.

Potret Kelembagaan dan Isu Utama di Nabire

Dari pengamatan selama di Nabire tidak terdapat organisasi masyarakat sipil (CSO) yang menangani secara khusus isu-isu masyarakat adat maupun lingkungan. Penanganan berbagai masalah yang terjadi biasanya dilakukan oleh CSO yang ada di Jayapura, Manokwari atau Jakarta. Rentang kontrol dan dukungan yang terlalu jauh menjadi salah satu hambatan untuk secara cepat merespon berbagai kasus yang terjadi di Nabire.

Terdapat beberapa lembaga yang saat ini aktif bekerja di Nabire yang bekerja khusus untuk isu-isu pangan, kesehatan, dan pendampingan terhadap anak. Beberapa lembaga tersebut di antaranya adalah: Primari, Trapesia, Kasih Papua, dan Kompak.

Lembaga-lembaga lain di Jakarta yang saat ini aktif bekerja di Nabire di antaranya: Pusaka, Greenpeace, FPP, Elsham. Sebagian besar terkonsentrasi pada satu wilayah, seperti kasus antara suku Yerisiam dengan PT Nabire Baru. Wilayah ini menjadi konsentrasi kerja-kerja CSO dari Jayapura, Manokwari, dan Jakarta seperti Walhi, Greenpeace, CRU, Pusaka, Elsham, dan FPP. Wilayah lain yang bermasalah di Nabire seperti wilayah Suku Wate yang berhadapan dengan izin HPH, PT Jati Darma Indah, pertambangan ilegal, izin eksplorasi PT Pasific Mining Jaya serta penebangan liar yang cukup masif dengan sasaran kayu Merbau tidak mendapatkan perhatian dari CSO.

CSO lokal seperti Trapesia dan Primari memfokuskan kerja pada isu-isu kesehatan masyarakat khususnya malaria dan HIV/AIDS. Secara umum disadari adanya keterkaitan antara masuknya investasi dengan penyebaran penyakit namun belum dilakukan kajian yang mendalam untuk hal tersebut. Salah satu yang menjadi kendala yaitu, di kedua CSO ini SDM yang memahami isu-isu lingkungan amat kurang sehingga kerja-kerja terkait lingkungan belum bisa dilakukan.

Selain CSO, lembaga lain yang memfokuskan kerja pada masalah yang terkait masyarakat adat dan lingkungan di Nabire yakni dari pihak Gereja Kristen Indonesia (GKI) Klasis Nabire. Gereja dirasakan punya pengaruh dan kekuatan dalam

167

mendampingi dan menyuarakan berbagai permasalahan yang terjadi sehingga keterlibatan gereja sangat diperlukan. Sampai saat ini sikap dan respon gereja terhadap permasalahan yang terjadi cukup baik dengan adanya satu divisi yakni KPKC (Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) yang bertugas mendampingi kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh umat. Divisi KPKC di Nabire saat ini untuk sementara memusatkan kerja memantau dan melakukan penguatan kepada masyarakat di Yerisiam terkait masalah tanah dan pelanggaran hak oleh perusahaan. Selain itu, di dalam organisasi GKI, kebijakan-kebijakan yang dibuat disesuaikan dengan kondisi umat saat ini seperti tema-tema khotbah mingguan yang mengangkat kasus-kasus yang terjadi hingga rekomendasi-rekomendasi yang diambil dalam persidangan Sinode terkait masalah umat dan lingkungan. Tantangan saat ini yang dihadapi Gereja di Nabire yakni kasus pelanggaran HAM dan cap separatis terhadap orang maupun lembaga yang banyak bersuara tentang HAM di Papua. Sehingga sebagai organisasi yang independen, Gereja harus jeli dalam melihat situasi dan kondisi untuk menyampaikan berbagai masalah tersebut.

Beberapa hal yang menjadi tantangan dalam kerja terkait isu-isu lingkungan di Nabire yakni kurangnya sumber daya manusia pada CSO di Nabire. Selain itu juga adanya peran oknum militer dalam mendukung (backing) aktivitas-aktivitas ilegal. Sehingga berisiko tinggi untuk melakukan pemantauan pada wilayah-wilayah tersebut. Cap separatis sering digunakan untuk mengalihkan isu atau dengan tujuan melegalkan sikap represif dari militer kepada masyarakat/lembaga yang menyuarakan HAM dan isu lingkungan. Selain itu ada juga isu keterlibatan oknum dari lembaga-lembaga adat yang mendukung investasi perusak hutan dan lain-lain.

Kondisi Umum Hutan di Nabire

Secara umum kondisi hutan di Nabire mengalami tekanan yang cukup besar sejak masuknya investasi ekstraktif di tempat ini. Perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu penyebab pembukaan hutan dalam jumlah besar. Di Yerisiam saja, 37.000 hektar tanah masyarakat yang sebagian merupakan hutan alam dibuka untuk perkebunan kelapa sawit PT Nabire Baru. Di bagian timur Nabire, 28.817 hektar dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit PT Sawit Makmur Abadi. Selain itu operasi HPH sudah cukup lama dilakukan di sini sejak tahun 2000-an. Saat ini perusahaan HPH yang masih beroperasi yakni PT Jati Darma Indah (JDI) yang memproduksi kayu bulat yang beroperasi di wilayah Suku Wate. Di wilayah Suku Wate, selain ada HPH, terdapat pertambangan emas yang sangat masif terjadi. Aktivitas tersebut dilakukan pada lokasi yang berstatus kawasan hutan. Selain itu penggunaan bahan kimia seperti merkuri dalam ekstraksi emas tidak terkontrol dengan baik sehingga bisa saja terjadi pencemaran lingkungan khususnya sungai yang kemudian bisa berdampak buruk pada kehidupan masyarakat.

168

Perusakan hutan di Nabire terjadi bukan saja akibat investasi ekstraktif yang masuk. Program nasional seperti jalan Trans Papua yang menghubungkan Wasur-Nabire menjadi sarana dalam mempercepat eksploitasi hasil hutan kayu secara berlebihan. Sepanjang jalan Wasur-Nabire akan sangat mudah menemukan tumpukan-tumpukan kayu merbau yang ditebang kemudian dikumpulkan dekat dengan jalur jalan agar mudah diangkut ke Nabire. Masyarakat sering menyebutnya dengan kayu bantalan yang berukuran 10 cm x 16 cm, 16 cm x 16 cm atau 20 cm x 20 cm. kayu-kayu bantalan ini kemudian diangkut ke sawmill yang berada sekitar pinggiran kota Nabire. Menurut informasi dari salah seorang warga di Watisore Distrik Yaur, sejak pembukaan jalan trans Papua, kayu yang keluar dari arah Wasur menuju Nabire dalam sehari bisa mencapai 20-30 truk.

Dari pengamatan lapangan yang dilakukan di sekitar Distrik Yaur sampai ke Yaur, terdapat beberapa titik penumpukan kayu Merbau yang sudah berbentuk balok/kayu bantalan dengan ukuran bervariasi mulai 16 cm x 16 cm sampai 20 cm x 20 cm. Tumpukan ini tepat di sisi jalan raya saat melintas dari Yaur ke Nabire. Pada beberapa lokasi terdapat tenda-tenda kecil tempat tinggal para operator

chainsaw yang mayoritas adalah para pendatang. Modus yang digunakan mirip

dengan yang terjadi pada berbagai tempat di Papua. Para pengusaha membeli dari masyarakat yang punya ulayat kemudian mendatangkan operator chainsaw dan penarik kayu. Setelah itu kayu hasil tebangan dalam bentuk balok-balok tersebut diangkut ke sawmill. Satu kubik kayu merbau hanya dihargai Rp 300.000-Rp 500.000, dan akan dibayarkan setelah proses sortiran terakhir di sawmill.

169

Dari pengamatan lapangan, terdapat kurang lebih 12 titik penumpukan kayu merbau yang berada tepat di sisi kiri kanan jalan raya. Sebagian besar titik (sembilan titik) penampungan tersebut berada di Areal Penggunaan Lain (APL) sedangkan tiga titik berada pada kawasan Hutan Produksi. Jumlah titik pengamatan tersebut merupakan hasil pengamatan selama dua hari.

Kemungkinan ada lebih dari 12 titik penumpukan kayu jika pengamatan dilakukan dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian dapat diketahui juga jumlah kayu yang keluar dari hutan-hutan sepanjang jalan Wasur – nabire.

Gambar 70 Tumpukan Kayu Merbau di Dekat Jalan Wasur - Nabire

170

Sekitar 15 Km dari Kota Nabire terdapat log pond PT JDI yang cukup dekat dengan Bandara Nabire yang baru dibangun. Terdapat dua pos penjagaan pada perusahaan ini yang dijaga oleh Brimob yakni di dekat jalan raya (pada titik pertemuan jalan perusahaan dengan jalan raya) serta pada jalan masuk log pond. Akses masyarakat sangat terbatas dalam wilayah ini, termasuk ketika hendak masuk kedalam log pond yang dijaga dengan ketat dan melintasi pos penjagaan.

4.4.2 Wilayah Merauke – Boven Digoel

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 173-178)