• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wilayah Merauke – Boven Digoel

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 178-184)

4.4 Selayang Pandang: Temuan Permasalahan di Wilayah Papua Lainnya

4.4.2 Wilayah Merauke – Boven Digoel

Kondisi investasi yang masif di Papua sebagian besar terdapat di Kabupaten Merauke dalam skema industrialisasi pangan dan energi. Proyek MIFEE menjadi salah satu bentuk investasi yang kemudian berdampak terhadap ekologi dan manusia Papua khususnya orang Marind dan Anim sebagai masyarakat asli Merauke. Proyek MIFEE sebagai bentuk kebijakan pemerintah di jaman Susilo Bambang Yudhoyono masih berlanjut sampai pada pemerintahan saat ini dalam bentuk perluasan lahan sawah yang mencapai 1,2 juta hektar di Distrik Kurik, Merauke. Luas lahan yang dialokasikan untuk mencapai target tersebut sangat ambisius. Sementara, di lapangan banyak hal menjadi masalah ketika hendak menjawab rencana tersebut. Salah satu masalah yang ditimbulkan yakni sebagian lahan yang dialokasikan merupakan hutan alam yang kemudian dikonversi menjadi lahan sawah untuk merealisasikan target itu.

Tidak hanya di Kabupaten Merauke, di Kabupaten Boven Digoel juga hal yang sama sedang terjadi. Penguasaan lahan yang tidak sepadan antara masyarakat asli dan investor menyebabkan adanya ketimpangan penguasaan alat produksi. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit dari group-group besar menguasai ratusan ribu hektar tanah di wilayah perbatasan Kabupaten Boven Digoel-Merauke. Bupol, Muting dan Asiki menjadi wilayah-wilayah dikenal masyarakat karena merupakan

171

daerah perkebunan kelapa sawit di dua kabupaten ini dengan berbagai masalah yang terjadi.

Secara umum, kondisi hutan wilayah selatan (Meruake dan Boven Digoel bagian selatan) banyak yang sudah berubah fungsinya baik untuk pembangunan jalan, infrastruktur, pencetakan sawah dan perkebunan kelapa sawit skala besar. Kondisi hutan yang masih cukup baik berada di bagian utara Boven Digoel seperti pada wilayah-wilayahnya suku Kombay dan Koroway serta hutan gambut pada daerah Mappi. Walaupun demikian, kondisi hutan yang masih terjaga tersebut pada sebagian wilayahnya pernah menjadi konsesi-konsesi perusahaan HPH.

Saat ini, kondisi pengrusakan hutan alam mulai terjadi di daerah Koroway saat aktivitas pertambangan emas illegal mulai masif masuk ke daerah tersebut khususnya pada daerah-daerah sepanjang sungai.

Kondisi Kelembagaan dan Isu Utama

Di Merauke secara umum, hanya terdapat beberapa lembaga yang fokus untuk isu-isu lingkungan dan masyarakat adat yakni WWF, Perkumpulan Silva Papua Lestari (PSPL) dan SKP KAMe yang bekerja aktif di sana. Selain itu ada juga Yayasan Pusaka sebagai lembaga dari luar yang cukup konsisten bekerja di tingkatan tapak masyarakat Merauke khususnya untuk isu-isu investasi dan hak masyarakat adat. Kondisi saat ini, beberapa hal menjadi prioritas kerja kerja lembaga-lembaga di Merauke misalnya untuk advokasi kebijakan (Perda Masyarakat Adat, KLHS, RTRW dll), kampanye dan pendampingan di tingkat tapak untuk masyarakat. Fokus wilayah kerja juga meliputi Merauke dan beberapa kabupaten sekitarnya.

Advokasi kebijakan sementara dilakukan oleh WWF Merauke khususnya untuk penyusunan KLHS dan RTRW di Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi. Hal ini dilakukan karena menurut mereka alokasi ruang untuk konservasi dan masyarakat sangat kecil jika dibandingkan alokasi ruang untuk budidaya yang sebenarnya sebagai pintu masuk invetasi berbasis sumber daya alam. Di Boven Digoel, WWF berkerja sama dengan USAID dalam program Lestari ikut dalam penyusunan KLHS untuk RTRW kabupaten yang diharapkan adanya alokasi ruang untuk konservasi dan masyarakat adat. Salah satu hal yang diidentifikasi dalam program Lestari salah satunya adalah identifikasi daerah-daerah keramat sesuai adat yang ada di kampung-kampung. Hal yang sama dilakukan juga pada project Lestari di Kabupaten Mappi.

Isu masyarakat adat saat ini menjadi hal penting yang perlu didukung oleh semua pihak. Sampai saat ini belum ada satu regulasi pun di Kabupaten Merauke, Boven Digoel, dan Mappi yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Perkumpulan Silva Papua Lestari yang bekerja di wilayah selatan Papua salah satunya di Kabupaten Boven Digoel tengah mendorong adanya perda tentang masyarakat adat sejak tahun 2016 lalu. Salah satu alasan yakni tentang

172

bagaimana masifnya pengambilan tanah-tanah adat milik masyarakat oleh investasi atas nama pembangunan. Sedangkan masyarakat adat sendiri sebagai pemilik tanah tidak diberi kesempatan secara legal untuk mempertahankan bahkan berunding secara adil dengan para investor yang datang. Selain itu, kondisi hutan di bagian selatan Boven Digoel khususnya yang berbatasan dengan kabupaten Merauke sudah habis untuk perkebunan kelapa sawit.

Di Kabupaten Mappi, Asmat, Yahukimo, PSPL sedang melakukan penelitian antropologi untuk persiapan mendorong adanya perda masyarakat adat pada kabupaten-kabupaten tersebut. PSPL juga sementara mendorong adanya hutan adat pada kabupaten-kabupaten yang didampingi itu. Walaupun, konsep hutan adat sendiri masih banyak didebatkan khususnya tentang wilayah yang diakui serta model pengelolaan yang nanti bisa dilakukan. PSPL merupakan salah satu lembaga yang mendukung adanya hutan adat.

SKP KAMe bersama Pusaka melakukan pendampingan terhadap masyarakat-masyarakat korban perkebunan kelapa sawit salah satunya di distik Elikobel. Selain itu pemetaan partisipatif juga dilakukan sebagai bagian dari rencana pengusulan kampung adat.

Potret Kondisi Hutan Selatan Papua

Dari informasi CSO dan para pegiat lingkungan di Merauke, kabar tentang MIFEE tidak terdengar lagi. Walaupun begitu aktivitas investasi yang masuk melalui program MIFEE masih berjalan sampai sekarang. Aktivitas terakhir yang dilakukan adalah rencana pembukaan sawah seluas 1,2 juta hektar di Distrik Kurik, Merauke. Beberapa komoditas yang dalam rencana awal MIFEE untuk dikembangkan nyatanya tidak berhasil seperti jagung dan sorgum. Terdapat juga informasi terkait rencana pengembangan padi sawah seluas 350.000 hektar di wilayah Kurik oleh Medco Group.

Secara umum luas hutan alam di di bagian selatan Papua sudah banyak dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dimulai dari Merauke (Bupul dan Muting) serta sebagiannya di Boven Digoel (Asiki dan sekitarnya). Hutan-hutan alam ini sudah rusak sejak puluhan tahun lalu saat HPH masuk kemudian berganti dengan izin perkebunan kelapa sawit. Hutan yang masih cukup baik berada di bagian utara Boven Digoel seperti wilayah Kombai dan Korowai. Ini dikarenakan pada wilayah tersebut tidak terdapat perusahaan yang beroperasi/diberi izin.

Kampung Uni, distrik Bomakia menjadi wilayah yang dikunjungi untuk melihat kondisi hutan dan masyarakat yang ada disana. Kampung Uni merupakan bagian dari suku Kombai yang menempati bagian utara kabupaten Boven Digoel. Kampung ini juga adalah wilayah dampingan dari Silva Papua Lestari salah satunya dengan mengadakan pesta ulat sagu. Momentum ini kemudian menjadi media untuk mempertemukan masyarakat adat dan pemerintah. Ada beberapa hal yang

173

disampaikan masyarakat, di antaranya yakni mempercepat pengakuan terhadap hutan adat dan menolak segala macam investasi yang merusak hutan dan wilayah adat.

Wilayah Kombai sebenarnya pernah dimasuki oleh perusahaan HPH sekitar tahun 1980-an sampai 1990-an. Terdapat dua perusahaan HPH yang pernah beroperasi di wilayah ini yakni PT Cenderawasih yang mengambil kayu jenis ketapang hutan yang tumbuh hanya di sekitar sungai. Kayu-kayu ini katanya akan di jadikan tripleks walaupun tidak ada informasi yang pasti kayu-kayu tersebut dibawa kemana. Proses ganti rugi dari perusahaan kepada pemilik kayu hanya berupa dengan wajan, kapak atau bahan makanan seperti beras untuk beberapa pohon dalam diameter tertentu. Kayu ditebang dengan menggunakan kapak dan kemudian dihanyutkan melalui sungai setelah itu ditampung di sekitar Kampung Boma selanjutnya akan dimuat dengan kapal besar keluar dari Bomakia. Aktivitas ini hanya sekitar 3 tahun berjalan.

Di bagian selatan Boven Digoel (bagian utara Merauke), hutan alam sudah dibuka menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar. Daerah Bupul, Muting, dan Asiki

Gambar 74 Kondisi tutupan hutan di sekitar Kampung Uni dari udara

174

menjadi wilayah-wilayah yang dikuasai perkebunan kelapa sawit dari group-group besar pengusaha sawit di Indonesia seperti Korindo. Wilayah yang dikunjungi adalah Kampung Bupul Distrik Elikobel. Kampung ini berbatasan langsung dengan konsesi PT Agrinusa Persada Mulia (PT APM) dan Suaka Margasatwa Bupul. PT APM mulai membuka lahan sejak tahun 2012 untuk lahan-lahan yang telah diganti rugi ke marga pemilik tanah. Menurut warga pada areal yang dibuka dulunya adalah tempat berburu, dusun sagu serta beberapa tempat keramat dan juga terdapat aliran sungai yang mengalir ke wilayah permukiman masyarakat. Informasi lain, wilayah yang dibuka merupakan hutan yang belum pernah dimasuki oleh perusahaan HPH dan hanya sebagian kecil saja yang dijadikan kebun masyarakat. Benar-benar masih hutan primer.

Pada saat pembukaan lahan tahun 2012, kayu hasil pembersihan ladang atau hutan

(land clearing) hanya ditumpuk di pinggir antar jalur aliran sawit dan dibiarkan

membusuk begitu saja tanpa pernah digunakan oleh perusahaan. Alasan yang masyarakat tahu yakni tidak adanya izin pengelolaan kayu oleh perusahaan tersebut.

Setelah pembukaan lahan pada tahun 2012, tidak ada lagi aktivitas perluasan areal perusahaan sampai sekitar bulan September 2017, perusahaan kembali membuka hutan di bagian utara dari Kampung Bupul. Lahan-lahan ini juga merupakan hutan alam yang masih baik karena ukuran kayu-kayu hasil tebangannya cukup besar dan dalam jumlah yang banyak. Tak berselang lama, sekitar tiga bulan sejak pembukaan hutan, perusahaan kemudian mulai menanam sawit pada areal yang dibuka tersebut. Dari hasil pembukaan hutan, ada beberapa tumpukan kayu dengan ukuran panjang ±4 meter) yang diberi nomor pada pangkal kayunya. Tidak diketahui pasti akan digunakan untuk apa kayu-kayu tersebut, apakah akan digunakan dalam perusahaan, ditumpuk dan kemudian dikubur atau dibawa keluar.

175

Dari hasil pengamatan lapangan juga didapatkan bahwa ada areal yang dibuka perusahaan berada di luar wilayah konsesi. Pembukaan hutan dilakukan pada 2017 dan seluruhnya sudah ditanami sawit yang kemungkinan berusia sekitar enam bulan. Masyarakat juga tidak pernah tahu bahwa apakah wilayah tersebut merupakan wilayah konsesi atau tidak sehingga sulit untuk mengontrol aktivitas perusahaan. Kemungkinan areal yang dibuka diluar wilayah konsesi sekitar 400 hektar dan langsung berbatasan dengan perkebunan milik masyarakat yang jaraknya cukup dekat dari permukiman.

Wilayah yang berada di luar wilayah konsesi ini adalah milik marga Wonijai yang bermukim di Kampung Bupul. Ada indikasi bahwa pembukaan lahan ini tidak berdasarkan tanah marga yang masuk dalam wilayah konsesi tetapi berdasarkan tanah marga yang telah di ganti rugi. Selain itu, pada satu lokasi dalam wilayah konsesi milik marga Kamijai, perusahaan telah melakukan pembukaan lahan (land

clearing) pada tahun 2017. Padahal, menurut Marga Kamijai lokasi itu tidak pernah

diberikan kepada perusahaan. Proses land clearing dilakukan tanpa sepengetahuan marga dan lokasi tersebut sudah direncanakan untuk ditanami sawit oleh perusahaan. Guna mencegah aktivitas perusahaan pada lahan tersebut, marga Kamijai melakukan pemalangan pada lahan mereka tersebut.

Dampak lingkungan yang sudah dirasakan masyarakat Bupul yakni air sungai menjadi keruh kecoklatan saat pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit serta sebagian masyarakat mulai berhenti mengkonsumsi ikan dari sungai yang mengalir dari dalam kebun sawit tersebut. Mereka takut adanya limbah pupuk dan pestisida yang dibuang dan masuk ke dalam sungai tersebut.

176

Dalam dokumen Bioregion Papua: Hutan dan Manusianya (Halaman 178-184)