• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inklusi Sosial Dalam Konteks Pelaksanaan Undang-Undang Desa

Pengarusutamaan Inklusi Sosial

C. Inklusi Sosial Dalam Konteks Pelaksanaan Undang-Undang Desa

Perjuangan keras dari Kepala Desa Rembes, Bringin, Kabupaten Semarang Ibu Nur Afifah untuk mensejahterakan warganya yang menyandang disabilitas intelektual mulai membuahkan hasil. Setelah memotivasi warga agar peduli dengan penyandang disabilitas yang terwujud dengan terbentuknya Kelompok Swadaya Masyarakat Sinar Kasih sebagai wahana partisipasi masyarakat, kini permohonannya kepada PT PTP Getas untuk memperoleh lahan sebagai sentra kegiatan ekonomi produktif juga di kabulkan. Tanggal 26 Mei 2016 yang lalu, kepala desa Rembes memperoleh panggilan dari Direksi PT PTP Getas dan diputuskan bahwa permohonan lahan untuk Rumah Kreasi Sinar Kasih bagi penyandang disabilitas Desa Rembes di kabulkan.

Dengan tersedianya lahan ini, rencana akan di bangun Rumah Kreasi Sinar Kasih sebagai tempat berbagai kegiatan bimbingan dan sentra kegiatan ekonomi produktif. “Semoga ini menjadi awal yang baik, kebangkitan desa Rembes untuk peduli kepada penyandang disabilitas dan mudah mudahan kita segera dapat membangun Rumah Kreasi yang kita impikan”.

Sebagai titik awal dan dalam rangka mendukung keberlanjutan KSM di masa akan datang, KSM Sinar Kasih merintis kegiatan ekonomi produktif. Saat ini sudah ada dua jenis usaha yang mulai di rintis, yaitu usaha batik dan kerajinan bambu lidi. Di tahun akan datang juga direncanakan akan dilakukan budidaya ikan lele. Terkait produk batik, selain batik ciprat KSM ini juga mengembangkan batik jumput. Walaupun para pendamping hanya memperolah pelatihan batik ciprat, ternyata mereka kreatif dengan mengembangkan batik jumput sendiri[]

C. Inklusi Sosial Dalam Konteks Pelaksanaan Undang-Undang Desa

Kesadaran dan perhatian khusus untuk mendorong partisipasi kelompok marjinal seperti kaum miskin, lansia dan difabel masih rendah bagi banyak pemerintah desa. Alasan yang sering diungkapkan adalah aspirasi kaum marjinal tersebut secara otomatis sudah tercermin dalam usulan-usulan yang dibawa oleh para wakil dan tokoh yang hadir dalam musyawarah desa. Di kasus yang lain, walaupun terdapat kehadiran kaum marjinal dalam musyawarah desa, kehadiran mereka lebih untuk memenuhi daftar absensi saja. Pemerintah desa mengaku sudah memberikan kesempatan kepada mereka untuk bicara dalam forum musyawarah, namun kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan. Dalam hal keterlibatan perempuan, biasanya kelompok perempuan hadir dalam musyawarah desa mewakili lembaga PKK atau perkumpulan keagamaan. Meskipun demikian kualitas keterlibatan mereka masih dinilai kurang dalam proses musyawarah dan wakil perempuan terbatas pada elit-elit desa dan tidak aktif bersuara. DI tempat lain, walaupun terdapat wadah pertemuan rutin perempuan yang terpisah dengan laki-laki, penampungan aspirasi umumnya diwakili kepala keluarga laki-laki

(Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa - Laporan Baseline - the SMERU Research Institute Maret 2016)

Studi Kasus 1: Keterlibatan Perempuan Minim

Jadi, perencanaan pembangunan hanya urusan laki2. Kalau pelaksanaan

baru melibatkan ibu2… kalau di Kalikromo ada perempuan. Di sini juga

mengumpulkan usulan dari warga dusun. Hanya Dusun Kalikromo yang sudah dari awal melibatkan unsur perempuan dari 9 dusun yang ada… (Perempuan biasanya) hanya ikut waktu kegiatan pembangunan. Nanti dibilang wong wedhok (orang perempuan) kok ngeyel (tidak bisa diatur)… Tidak (berani tanya-tanya informasi atau usul pembangunan), karena dominan masalah laki-laki pembangunan itu sih… Kalau ibu-ibu saja (yang bertanya ke kadus), tidak akan digubris karena kurang kuat! (FGD Tata Kelola Desa Perempuan, Kec. Eromoko – Kab. Wonogiri, 13 Oktober 2015).

(Dicuplik di Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Laporan Baseline - the SMERU Research Institute Maret 2016)

Tingkat partisipasi masyarakat cenderung lebih tinggi apabila pertemuan dan aktifitas diadakan dibawah level desa, yaitu di dusun, RW atau RT. Hal ini karena selain disebabkan oleh akses juga secara kebiasaan forum-forum tingkat tersebut dianggap lebih familiar dan akrab. Artinya bila kegiatan diadakan pada level desa, partisipasi warga akan menciut. Hal yang sama juga terjadi bagi kegiatan pembangunan dimana keterlibatan masyarakat akan lebih tinggi apabila lokasi pembangunan berada di lokasi disekitar tempat tinggal mereka.

Studi Kasus 2: Urunan Warga Marginal untuk Perbaikan Jalan

“Di Desa Kelok Sungai Besar terdapat satu RT, yaitu RT 15, yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan Desa. Untuk sampai ke RT 15, harus melewati jalan perusahaan perkebunan dan wilayah Desa Belanti Jaya, desa bentukan baru yang berasal dari permukiman Transmigrasi. RT yang jumlah warganya kini sekitar 20-an KK ini, menghadapi permasalahan yang sejak dulu belum pernah terselesaikan, yaitu kondisi jalan tanah merah yang merupakan akses keluar masuk wilayah tersebut rusak berat, apalagi saat hujan. Aliran listrik PLN pun belum masuk ke RT ini. Usulan kepada desa sudah sering disampaikan, namun selalu tidak mendapat prioritas.

Kepala Desa bukan tidak menyadari kondisi ini. Namun terbatasnya anggaran dan letak yang terpisah membuat niat untuk memperbaiki jalan masih terkendala. “Beberapa kali Musrenbangdes memang sudah direncanakan, sejak Kades Pak Tar, terus kito. Pak RT boleh buka dokumen perencanaan desa, semuanya ada. Tapi terkendala duitnya ndak ado, yang ngabulkannya ndak ado. Disamping itu kendala yang lain karena jalannya melalui jalan perusahaan perkebunan. Mudah-mudahan dengan adanya UU Desa ini, dutinya sudah lebih 1 milyar, di sini bisa kebagian,” (Wawancara, laki-laki, 37, kepala desa, Kecamatan Mersam - Kabupaten Batanghari, 17 Oktober 2015).

Atas kondisi ini warga RT 15 menyepakati sebuah inisiatif untuk memungut Rp 10/kg hasil produksi sawit tiap KK untuk kas pemeliharaan jalan (iuran ini naik menjadi Rp 20/kg pada tahun 2015). Pada tahun 2014, kas tersebut digunakan untuk perbaikan jalan dengan menghabiskan dana sebesar 26 Juta, dimana biaya paling besar adalah untuk menyewa buldoser dan eskavator. “Memang di sini prioritas dari desa belum ada, semua masih swadaya. Eskavator 1 jam sewanya Rp 500.000, kali 40 jam. Berapa itu? Belum rollingnya, 1 jam sejuta.” (Ketua RT 15, Desa Kelok Sungai Besar). Meski upaya perbaikan telah dilakukan, nyatanya jalan yang ada sekarang masih belum memiliki kualitas yang baik.”

(Dicuplik dari Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Laporan Baseline - the SMERU Research Institute Maret 2016)

Dalam penyusunan dokumen RPJM Desa dan RKP Desa, sebagian besar desa yang pernah di kaji oleh SMERU (Sentinel Village 2016) sudah melaksanakan rangkaian musyawarah tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Akan tetapi pertemuan ditingkat RT hanya digunakan untuk penggalian usulan-usulan sebagai masukan penyusunan RPJM Desa. Sedangkan dalam proses RKP Desa, proses penetapan prioritas pembangunan untuk berlangsung elitis dengan melibatkan beberapa orang sebagai tim penyusun dan tidak melibatkan masyarakat. Hal yang serupa juga dijumpai dalam penyusunan APB Desa yang biasanya dikerjakan oleh aparat desa, antara lain Kepala Desa, Kaur Pembangunan, Bendahara Desa, Sekdes dan Kaur Umum. Seringkali penyusunan anggaran tersebut hanya melibatkan segelintir orang yang dianggap pemerintah desa sebagai orang yang kooperatif. Walaupun hal ini tidak menyalahi aturan karena Permendagri No.113 tahun 2015 hanya mensyaratkan bahwa pembahasan dilakukan antara pemerintah desa dengan BPD, tidak ikut sertanya warga masyarakat berpotensi terjadinya kasus penyalahgunaan wewenang. Secara umum, pemerintah desa belum memfasilitasi proses dan pendekatan yang lebih partisipatif.Proses penetapan prioritas ini berdampak pada penundaan atau tidak dilaksanakannya kegiatan pembangunan yang menurut masyarakat dianggap sangat dibutuhkan.

Studi Kasus 3: Rencana Desa Sudah Dikonsepkan dari Atas

“Pelaksanaan kegiatan musrenbangdes di Desa Pinang Merah, Kabupaten Merangin, dilakukan tanpa didahului musdus, namun dengan mengundang seluruh warga desa (sekitar 200an KK). Sayangnya, dari seluruh warga yang diundang, kehadiran peserta musrenbangdes hanya sekitar 30 orang, sudah termasuk pemerintah desa dan BPD. Menurut Kaur Umum desa setempat, warga enggan hadir karena lebih mementingkan kegiatan mendulang emas sebagai tumpuan ekonomi ketimbang berpartisipasi dalam pembangunan desa. Oleh sebab itu, ia mengakui bahwa usulan-usulan kegiatan pembangunan telah dirancang terlebih dahulu oleh Pemerintah Desa untuk didiskusikan pada saat musyawarah.

“Masyarakat kan tidak tau, awam, (jadi) kita lah yang mikirnya. Oh di situ perlu jalan rabat beton, di situ jalan rabat beton. Mana yang perlu, ada anggaran, kasih. Dari masyarakat tidak ada mikir, usul (juga) tidak ada, yang penting makan." (Wawancara, laki-laki, 36, kaur umum, Kecamatan Sungai Manau - Kabupaten Batanghari, 17 November 2015)

Situasi seperti ini diamini oleh salah seorang tokoh masyarakat dari unsur guru yang menyatakan bahwa pemerintah desa tidak secara murni melakukan penggalian gagasan. Menurutnya, ini menjadi faktor lain yang menyebabkan Musrenbangdes tidak dihadiri oleh warga, yaitu selain dianggap tidak punya hasil (usulannya itu-itu saja), juga karena tidak diakomodirnya usulan warga bila bertentangan dengan apa yang telah dirancang oleh Pemerintah Desa. “Kebanyakan warga setuju-setuju saja. Seharusnya kita tahu dulu dananya berapa, diminta usulannya apa, dan kebutuhannya apa. (Tapi yang terjadi) Kades sudah merancang terlebih dahulu (usulan kegiatannya) baru minta pendapat ke masyarakat. Di musyawarah, keputusan (seolah-olah) sudah ada. Ada yang beda pendapat, tapi kalo kades sudah ngomong itu dan sudah banyak yang setuju, pendapatnya jadi tidak diterima. Kalau pun ada perdebatan itu pasti di belakang, kan gak ada hasilnya. Depan setuju-setuju, di belakang (baru bilang) tidak setuju.” (Wawancara, laki-laki, guru, Kecamatan Sungai Manau - Kabupaten Merangin, 20 November 2015).”

(Dicuplik di Studi Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Laporan Baseline - the SMERU Research Institute Maret 2016).