PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
C. Instrumen Hukum yang berkaitan dengan Restitusi
Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas
93 International Organization for Migration Mission in Indonesia, Pedoman untukPenyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Trafiking dan Perlindungan terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, (Jakarta: IOM, 2009) hal.37.
kerugian materiil dan/ atau immaterial yang di derita korban atau ahli warisnya.
Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia sendiri, saat ini ada beberapa perundangan-undangan yang mengatur mengenai Restitusi atau ganti kerugian diantaranya terdapat dalam Undang-Undang. No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tengang Pengadilan HAM dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Kemudian pada tanggal 16 Oktober 2017 Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Pengaturan mengenai ganti rugi terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP, terdapat di dalam Pasal 14 C yang menyatakan : “apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa terhukum dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu”
91
Adapun rumusan-rumusan Pasal yang terdapat di dalam KUHP masih berorieantasi terhadap pelaku, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, sehingga di dalam KUHP juga tidak dirumuskan mengenai adanya jenis pidana restitusi yang dapat bermanfaat bagi korban dan/ atau keluarga korban.
Selanjutnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka dibandingkan perlindungan terhadap korban kejahatan. Didalam KUHAP merumuskan berupa proses pemberian ganti kerugian yang akan diberikan dan diterima oleh korban tindak kejahatan bisa dilakukan lebih cepat, dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata. Hak menuntut ganti atas kerugian yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan yang diatur dalam KUHAP yang sebenarnya lebih dekat dengan sistem ganti kerugian yang bersifat keperdataan dapat dijumpai dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara pidana dapat disebutkan sebagai berikut :94
94 Penggabungan Perkara gugatan ganti kerugian yang dimaksud: Pertama, supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Kedua, hal penggabungan sesuai dengan asas beracara dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Ketiga, orang lain termasuk korban, dapat sesegera mungkin memperoleh ganti
1. Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan KUHAP sendiri bagi proses beracara ( pidana dengan perdata) untuk peradilan di Indonesia.
KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang korban (atau beberapa korban) tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung
2. Penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti kerugian pada perkara pidana, sekaligus adalah sesuai dengan asas keseimbangan yang dimaksud KUHAP.
Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :95
1. Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami oleh orang lain termasuk korban (saksi korban), sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa.
2. Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya terbatas sebesar jumlah kerugian material yang diderita orang lain, termasuk korban tersebut.
3. Bahwa sasaran subjek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa.
ruginya tanpa harus melalui prosedur perkara perdata biasa yang dapat memakan waktu yang lama. (R.
Soeprarmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Guggatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal 86.)
95 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan SidangPengadilan,Banding,Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 81.
93
4. Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajaukan tuntutan pidana (requisitor).
5. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, tuntutan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
6. Perkara pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pada korban.
7. Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui panitera pengadilan negeri, melainkan dapat langsung diajukan dalam sidang pengadilan melalui majelis hakim/hakim.
8. Gugatan ganti kerugian pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP adalah, harus sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan terdakwa dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.
Ganti kerugian juga diatur dalam hukum perdata yaitu Pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi : “Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal-Pasal tersebut diatas semuanya mengatur tentang tuntutan ganti rugi dalam arti perbuatan melanggar hukum. Jika seorang telah melanggar suatu perbuatan melanggar hukum dan telah terbukti suatu kejahatannya maka dirinya dapat dilakukan penuntutan pengganti kerugian”.
Menurut Munir Faudy, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.96
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang-undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal-hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan yaitu : “bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, baik
96 Munir Faudi, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 3
95
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian”.97
Pengaturan mengenai restitusi dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM hanya diatur secara eksplisit di dalam pada Pasal 35 yang berbunyi : “Setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.” Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa : “Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM”. Pada akhir Pasal yakni ayat 3 ketentuan ini disebutkan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi di atur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam peraturan perundangan-undangan ini jelas dikatakan bahwa restitusi hanya dapat diberikan kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat. Ketentuan mengenai Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi dalam UU No. 26 Tahun 2000 ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM yang berat, yang juga dapat diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.
97 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1982), hal. 25-26.
Selanjutnya di dalam Undang-Undang Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ataupsikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibatperdagangan orang.
(3)Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat di titipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
(6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkatbanding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 49
(1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.
(2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yangbersangkutan.
(3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusisebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan olehpengadilan kepada korban atau ahli warisnya.
Pasal 50
97
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.
(3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
(4) Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Pengaturan mengenai Restitusi juga diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat di dalam Pasal 7 ayat b yang berbunyi sebagai berikut : “Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana”. Dalam Undang-Undang ini dikatakan bahwa korban dapat mengajukan hal tersebut melalui LPSK. Adapun keputusan mengenai restitusi ini nantinya diberikan oleh Pengadilan. Dalam Pasal 7 ayat 3 tersebut juga dikatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kompensasi dan Restitusi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga telah mengatur pemberian restitusi bagi anak korban tindak pidana kejahatan yang terdapat dalam :
Pasal 71D
(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d,huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak
mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban diatur dalam Pasal 20 – Pasal 33. Dalam Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban sebagai bentuk perlindungan atas penderitaan yang telah dialaminya.
Pemberian restitusi dilakukan dengan cara mengajukan permohonan oleh korban, keluarga korban atau kuasanya kepada pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun PP ini sudah tidak berlaku lagi sejak diterbitkannya PP No. 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban dimana aturan mengenai restitusi diatur dalam pasal 19-36.
Pengadilan yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini adalah Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana yang bersangkutan. Permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pengadilan tersebut telah menyatakan bahwa pelaku tindak pidana bersalah.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada Pengadilan Negeri untuk mendapat penetapan. Permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyampaikan permohonan
99
tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum.
Kemudian penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta keputusan dan pertimbangannya untuk mendapat putusan pengadilan.
Selanjutnya pada tanggal 16 Oktober 2017 Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi anak yang menjadi Korban Tindak Pidana merupakan langkah maju dalam memastikan anak mendapatkan perlindungan hukum negara. Para pelaku kejahatan terhadap anak saat ini tidak saja mendapat hukuman penjara dan atau denda, tetapi juga, para pelaku kejahatan terhadap anak diwajibkan untuk membayar restitusi kepada korban dan ahli warisnya dalam bentuk ganti kerugian material dan immaterial. Peraturan Pemerintah ini sendiri terdiri dari 4 (empat) bab dan 23 (dua puluh tiga) Pasal ini berisi mengenai tata cara pengajuan permohonan restitusi hingga mengatur mengenai pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana.
Tabel 1. Daftar Instrumen Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan
1 KUHP Pasal 14 C Pada pidana percobaan, disamping persyaratan umum dapat diterapkan syarat khusus dimana terhukum harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang
ditimbulkan akibat tindak pidana 2 KUHAP Pasal 98-101 Suatu perbuatan yang menjadi
dasar dakwaan di dalam suatu
Pasal 35 Setiap korban dan ahli waris pelanggaran HAM berat berhak
Pasal 48-50 Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli
dapatmengajukan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
101 yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.
Pasal 19-36 Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang pemberian restitusi oleh pelaku tindak pidana kepada korban dan/atau keluarga korban sebagai bentuk perlindungan atas
Semua Pasal Mengatur mengenai tata cara permohonan restitusi hingga pemberian restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana.
D. Mekanisme Pengajuan Restitusi bagi Anak sebagai Korban Tindak Pidana Menurut PP No. 43 Tahun 2017
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana merupakan amanat dari Pasal 71D ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berlakunya PP Nomor 43 Tahun 2017 dilatar belakangi oleh kenyataan bahwa kejahatan terhadap anak tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup anak.
Namun menimbulkan kerugian materil maupun imateriil bagi pihak keluarga.
Oleh karena itu, sangatlah tepat, bila pengertian restitusi diartikan sebagai pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugia nmateril dan atau imateril yang diderita korban atau ahli warisnya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) PP tersebut.
Sebelum terbitnya PP No. 43 Tahun 2017 tersebut, mekanisme Pengajuan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana terkhususnya Tindak Pidana Perdagangan Orang masih mengacu kepada apa yang tertuang di dalam Pasal 48 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Permohonan ganti rugi berupa restitusi dapat diajukan oleh korban melalui dua cara, yaitu sebagai berikut :
a. Korban mengajukan restitusi sejak korban melaporkan kasus pidananya ke kepolisian setempat.
b. Korban dapat memohon restitusi dengan cara mengajukan sendiri gugatan perdata atas kerugian yang dialami ke Pengadilan Negeri setempat.
Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang
103
dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.98 Adapun mekanisme pengajuan restitusi berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO dapat dilihat dalam skema berikut :
Skema 1:99
Mekanisme pengajuan Restitusi berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007
Skema tersebut menjelaskan bahwa korban TPPO melaporkan kasusnya ke kepolisian dan pihak kepolisian pada saat menerima pengaduan dari korban
98 Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
99 Disadur dari Marlina dan Azmiati Zuliah, Opcit, hal 84
atau keluarga wajib memasukan restitusi dalam Berita Acara Pemeriksaann (BAP), Pada saat kasus dilimpahkan ke kejaksaan, maka Penuntut Umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, dan menyampaikan jumlah kerugian yang di derita korban bersamaan dengan tuntutan. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan oleh hakim sekaligus dalam amar putusan di Pengadilan Negeri tentang TPPO. Restitusi juga dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara di putus dan diberikan kepada korban atau keluarga dalam waktu 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap permohonan restitusi juga dapat dilakukan dengan cara korban mengajukan sendiri gugatan restitusi melalui gugatan perdata.100
Selain diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, mekanisme pengajuan restitusi sebelumnya juga terdapat di dalam PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Dalam Pasal 20 ayat (3) disebutkan bahwa permohonan untuk memperoleh restitusi diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermatrai cukup kepada pengadilan melalui LPSK. Selanjutnya dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa LPSK harus memeriksa kelengkapan permohonan restitusi dari korban paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal permohonan restitusi diterima, dan sekaligus memberitahukan kepada korban untuk melengkapi laporannya apabila terdapat kekuranglengkapan dalam
100 Ibid
105
permohonan tersebut. Selanjutnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung dari sejak tanggal permohonan menerima pemberitahuan dari LPSK, pemohon wajib melengkapi laporannya, dan jika tidak dilengkapi maka akan dianggap pemohon mencabut permohonannya. Hasil pemeriksaan permohonan Restitusi tersebut kemudian ditetapkan dengan keputusan LPSK yang disertai dengan pertimbangannya yang di dalamnya terdapat rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan restitusi. Dalam Peraturan Perundang-undangan ini LPSK sangat berperan dalam pemenuhan hak-hak korban, karna dalam mekanisme yang diatur di PP tersebut korban mengajukan haknya langsung melalui LPSK. Dalam PP ini tidak ada disebutkan restitusi diajukan pada tahap penyidikan atau kepolisian akan tetapi hasil keputusan LPSK tersebut nantinya akan disampaikan langsung kepada penuntut umum pada tahap pengadilan. Hal ini berbeda dengan mekanisme yang terdapat di dalam UU No. 21 tahun 2007 dimana korban dapat mengajukan permohonan dalam tahap penyidikan atau pada pihak kepolisian, disamping itu Korban juga dapat mengajukan permohonannya pada tahap penuntutan.
Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2017 mengatur bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi. Namun tidak semua kategori tindak pidana yang dimaksudkan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa anak yang menjadi korban tindak pidana yang dimaksudkan adalah : a) Anak yang berhadapan dengan hukum; b) Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; c) Anak yang menjadi korban pornografi; d) Anak
korban penculikan, penjualan , dan /atau perdagangan; e) Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis; dan f) Anak korban kejahatan seksual. Hal ini juga sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 71 D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP ini juga disebutkan bahwa anak yang mempunyai hak untuk mendapatkan restitusi akibat dari tindak pidana adalah anak yang berusia di bawah 18 tahun yang berhadapan dengan hukum, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, anak korban kekerasan seksual, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual, dan anak korban kekerasan seksual.
Pemberian Restitusi kepada Anak yang menjadi korban tindak pidana harus dilaksanakan secaratepat, tidak salah sasaran, serta tidak disalahgunakan.
Restitusi harus diberikan dan diterima olehAnak yang menjadi korban tindak pidana atau pihak korban sesuai dengan kerugian dan kondisi Anakyang menjadi korban tindak pidana.Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tata cara pengajuan dan pemberian Restitusi kepadaAnak yang menjadi korban tindak pidana, dengan harapan akan memperjelas persyaratan bagi pihakkorban untuk mengajukan permohonan Restitusi yang dilaksanakan sejak kasusnya berada padatahap penyidikan maupun penuntutan. Selain itu, untuk memperjelas
107
penyidik dan penuntut umum agar dapat membantu Anak yang menjadi korban tindak pidana dan pihak korban untuk mendapatkan hakmemperoleh Restitusi.101
Adapun Pokok-Pokok pembahasan dalam PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana adalah sebagai berikut :
1. Bentuk Restitusi
Berdasarkan Pasal 3 PP no. 43 Tahun 2017 ini, bentuk restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dapat berupa :
a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan;
b. Ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana;
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Adapun besaran resitusi yang dibayarkan oleh pelaku akan ditetapkan besarannya oleh pengadilan yang memeriksa. Namun hingga saat ini belum ada ketentuan yang mengatur apakah atas penetapan besarannya restitusi tersebut dapat diajukan banding atau tidak.
2. Prosedur Permohonan Restitusi
Adapun restitusi ini dapat di ajukan oleh pihak korban yang termasuk di dalamnya adalah orang tua atau wali anak yang menjadi korban pidana,
Adapun restitusi ini dapat di ajukan oleh pihak korban yang termasuk di dalamnya adalah orang tua atau wali anak yang menjadi korban pidana,