• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Aspek Perlindungan Hukum terhadap Anak

3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat prinsip umum perlindungan Anak yang menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, antara lain :57

a. Prinsip Nondiskriminasi

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 2 KHA ayat (1). Adapun yang dimaksud dengan non-diskriminasi adalah penyelenggaraan perlindungan anak yang bebas dari bentuk apapun tanpa memandang etnis, agama, keyakinan politik, dan pendapat-pendapat lain, kebangsaan, jenis kelamin, ekonomi (kekayaan, ketidakkemampuan), keluarga, bahasa dan kelahiran serta kedudukan dari anak dalam status keluarga. Untuk mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk mengambil

57 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010) hal. 41

langkah yang layak (Pasal 2 ayat 1 KHA). Artinya, meski setiap manusia, tidak terkecuali anak, memiliki perbedaan satu sama lain, namun tidak berarti diperbolehkannya perbedaan perlakuan yang didasarkan oleh suku, agama, ras, antar golongan, pendapat, latar belakang orang tua, maupun hal lainnya.

b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of The Child) Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) KHA. Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut ukuran orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran kepentingan anak.

Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.

c. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (The Right to Life, Survival and Development)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 6 KHA ayat (1) dimana dalam prinsip ini terkandung sebuah pesan yang sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti

51

negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.

d. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the views of The Child)

Prinsip ini ada dalam Pasal 12 ayat (1) KHA. Prinsip ini menegaskan bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.

4. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Anak sebagai Korban Tindak Pidana Jaminan terhadap perlindungan atas anak yang menjadi korban perdagangan orang (child trafficking) secara umum telah diamanatkan di dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 b ayat (2) yaitu

“Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak pada Pasal 59 menegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak

yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak korban penculikan, penjualan dan/atau perdagangan.

Dari berbagai peraturan perundang-undangan diatur mengenai beberapa bentuk perlindungan bagi korban tindak pidana. Salah satunya diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 2014 pengganti UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Terdapat bentuk perlindungan hukum diantaranya yaitu:

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

c. memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. dirahasiakan identitasnya;

j. mendapat identitas baru;

k. mendapat tempat kediaman sementara;

l. mendapatkan tempat kediaman baru;

53

m. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

n. mendapat nasihat hukum; dan/atau

o. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.

p. mendapat pendampingan

Upaya hukum perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dibagi atas 3 tahap yaitu perlindungan pada saat terjadinya tindak pidana, tahap persidangan pelaku tindak pidana dan tahap setelah putusan pengadilan.

Adapun uraian 3 tahap tersebut yaitu:58

1. Tahap perlindungan pada saat terjadinya tindak pidana perdagangan orang meliputi ancaman pemidanaan bagi siapa saja yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan (Pasal 78 UU RI No. 35 tahun 2014)

2. Tahap perlindungan pada saat persidangan pelaku tindak pidana perdagangan orang meliputi: (UU RI No. 21 Tahun 2007), yaitu ;

58 Disadur dari Nelsa Fadila, Upaya Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5 Nomor 2, Juli 2016) hal 181-194

a) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas;

b) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup;

c) Pemeriksaan saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya;

d) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa;

e) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman yang dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang

3. Tahap setelah persidangan yaitu pemberian hak untuk mengajukan ke pengadilan berupa hak restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan (Pasal 71 D UU No. 35 Tahun 2014 Jo UU No 23 Tahun 2002 dan Pasal 48 s.d Pasal 50 UU No. 21 Tahun 2007)

Salah satu upaya perlindungan korban dalam kasus perdagangan orang adalah dilihat dalam putusan pengadilan yang memberikan pidana kepada pelaku kejahatan. Asumsinya apabila jumlah ancaman yang dijatuhkan semakin tinggi artinya korban telah mendapatkan perlindungan hukum, karna dengan pemberian pidana yang berat kepada pelaku kejahatan diharapkan

55

tidak terjadi pristiwa serupa, dan korban diharapkan tidak akan merasakan penderitaan kembali dari perbuatan si pelaku tersebut.

Pemberian Pidana kepada pelaku kejahatan memang belum bisa memberikan rasa keadilan yang sempurna. Setiap terjadi kejahatan, mulai dari kejahatan ringan sampai dengan kejahatan berat, pastilah korban akan mengalami penderitaan, baik materiil maupun immateriil. Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban.

Menurut Dikdik M. Arief Mansur, dengan mengacu pada beberapa kasus kejahatan yang pernah terjadi, ada beberapa bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut :59

1. Pemberian Kompensasi

Penjelasan Pasal 1 ayat (4) PP nomor 44 tahun 2008 memberikan pengertian kompensasi, yaitu ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Pemberian Restitusi

Restitusi merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa : a.

59 Disadur dari Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Perasada, 2007), hal. 166

Pengembalian harta milik b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. Penggantian biaya tindakan tertentu. Dalam konteks hubungannya dengan pelaku, restitusi merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab sosial dalam diri pelaku. Dalam hal ini, restitusi bukan terletak pada kemanjurannya membantu korban, melainkan berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku atas perbuatan pidana akubat perbuatannya kepada korban. Restitusi merupakan bagian dari bentuk pemulihan hak atas korban atau yang biasa disebut dengan istilah reparasi. Hal ini telah berkembang sejak lama, bahkan ketika hukum belum dikenal adanya hukum HAM internasional.

Hak atas pemulihan ini biasanya diterapkan pada kasus perang antar negara lazimnya bersifat bilateral di mana negara sebagai pelaku diharuskan membayar kerugian perang bagi negara yang diserang. Contoh kasusnya ialah Traktak Versailles (1919) setelah Perang Dunia I yang membuat Jerman dan negara porosnya harus membayar kepada negara-negara lawannya.60 Adapun pembahasan lebih lanjut terkait dengan Restitusi akan di bahas pada bab pembahasan selanjutnya.

3. Konseling

Pada umumnya perlindungan ini diberikan kepada korban sebagai akibat munculnya dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana.

60 http://www.kontras.org/buku/bagian%20II%20priok.pdf, diakses pada tanggal 1 Mei 2018 pukul 18.00 WIB.

57

Pemberian bantuan dalam bentuk konseling sangat cocok diberikan kepada korban kejahatan yang menyisakan trauma berkepanjangan, seperti pada kasus-kasus menyangkut kesusilaan, Umumnya korban menderita secara fisik, mental, dan soial. Selai menderita secara fisik, korban juga mengalami tekanan secara batin misalnya karena merasa dirinya kotor, berdosa, dan tidak punya masa depan lagi. Lebih parah lagi sering kali ditemukan korban perkosaan memperoleh pengecualian dari masyarakat karena dianggap membawa aib bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Memperhatikan kondisi korban seperti diatas, tentunya bentuk pendampingan atau bantuan ( konseling ) yang sifatnya psikis relatif baik cocok diberikan kepada korban dari pada hanya ganti kerugian dalam bentuk uang.

4. Pelayanan / Bantuan Medis

Diberikan kepada korban yang menderita secara medis akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan laporan tertulis (visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti). Keterangan medis ini diperlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang menimpanya ke aparat untuk kepolisian untuk ditindaklanjutinya.

5. Bantuan Hukum

Bantuan hukum merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban kejahatan. Di indonesia bantuan ini bnyak diberikan oleh Lembaga Swdaya Masyarakat (LSM). Misalnya pada kasus Trisakti 1998, kasus Tanjung Priok, dan sebagainya. Penggunaan bantuan hukum yang disediakan oleh pemerintah jarang dipergunakan oleh korban kejahatan karena masih banyak masyarakat yang meragukan kredibilitas bantuan hukum yang disediakan oleh Pemerintah. Pemberian bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik diminta atau tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita kejahatan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan.

6. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban, pemberian informasi ini memegang yang sangat penting dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi inilah diharpkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif.

59