• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN RESTITUSI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TESIS OLEH: RINI ANGGREINI NIM: /HK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBERIAN RESTITUSI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG TESIS OLEH: RINI ANGGREINI NIM: /HK"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN RESTITUSI SEBAGAI

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

TESIS

OLEH:

RINI ANGGREINI NIM: 167005138/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

PEMBERIAN RESTITUSI SEBAGAI

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RINI ANGGREINI NIM: 167005138/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

Telah Lulus Diuji Pada Tanggal 12 Juli 2018

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS Anggota : Dr. M. Eka Putra, SH, M.Hum

Dr. Chairul Bariah, SH, MH Dr. Edy Ikhsan, SH, MH Dr. Edy Yunara, SH, MH

(5)

ABSTRAKSI

Salah satu bentuk konflik yang ditemui dalam masyarakat adalah kejahatan perdagangan orang (human trafficking) yang dapat dikategorikan sebagai perbudakan modern. Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang tersebut perlu dilindungi karna Tindak pidana terhadap Anak bukan hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup Anak namun juga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil. Pada dasarnya terdapat bentuk – bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada anak sebagai korban trafficking yang salah satunya adalah pemberian Restitusi.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, bagaimana mekanisme pengajuan restitusi bagi anak sebagai korban tindak pidana, serta bagaimana penerapan restitusi dan apasajakah yang menjadi kendala dalam Penerapan Restitusi Bagi Anak Sebagai Korban Tindak Pidana. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang dibantu dengan penelitian empiris dan Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hak-hak yang dimiliki oleh anak dari berbagai aturan dan instrument hukum yang ada. Pemenuhan hak-hak anak tersebut juga merupakan sebagai upaya perlindungan hukum bagi anak tersebut terlebih jika anak tersebut merupakan korban tindak pidana. Salah satu upaya perlindungan hukum dan hak yang dimiliki oleh anak yang menjadi korban tindak pidana adalah hak untuk memperoleh restitusi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi anak yang menjadi Korban Tindak Pidana mengatur salah satunya mengenai mekanisme Pengajuan Restitusi tersebut. Mekanisme pengajuan restitusi dapat di bagi kedalam dua tahap yaitu diajukan pada tahap penyidikan dan penuntutan. Selain itu permohonan restitusi juga dapat diajukan setelah adanya putusan tetap dari pengadilan. Berbagai hambatan ataupun persoalan hukum masih di temukan di dalam PP No. 43 Tahun 2017 tersebut. Meskipun awalnya dengan terbitnya PP ini diduga mampu mengisi kekosongan hukum terkait mekanisme pengajuan restitusi namun di baliknya masih terdapat beberapa hal yang menjadi kendala di dalam penerapan restitusi itu sendiri. Dalam PP ini tidak mengatur tentang aturan jika pelaku tindak pidana tidak membayarkan restitusi, dalam PP ini juga diatur mengenai berbagai persyaratan yang dianggap dapat memberatkan korban dengan sulitnya proses pengajuan, kemudian tidak adanya aturan mengenai perhitungan ganti kerugian secara riil menjadi kendala-kendala di dalam PP ini untuk memenuhi hak anak sebagai korban tindak pidana dan upaya perlindungan hukum terhadapnya.

Kaca kunci : Restitusi, Perlindungan Hukum, Anak, Korban Tindak Pidana, Tindak Pidana Perdagangan Orang

(6)

ABSTRACT

One of the forms of conflicts encountered in the community is the crime of human trafficking which can be categorized as modern slavery. The majority of the people trafficking women and children in the news coverage it's been revealed as a serious global problem even has become a global business that has provided huge gains against the perpetrator. Children who became victims of the criminal acts of trafficking such person need to be protected because a criminal offence against a child not only cause physical or psychological suffering that affects the growing of cotton and the quality of life of the child but also raises materially disadvantage or immaterial. Basically, there are forms – form or model protection can be given to children as victims of trafficking which one is granting Restitution.

The issue raised in this research is how the efforts of legal protection to children as victims of criminal acts of trafficking people, how the mechanism of filing a restitution for the child as a victim of a criminal offence, as well as what are being constraints in the implementation of Restitution for the children As victims of Crime.

The methods used in the writing of this thesis is the juridical normative research method assisted by empirical research and the nature of research in writing this is descriptive analytic.

The results showed that there are rights that are owned by children of various legal instruments and rules that exist. The fulfillment of the rights of the child is also the protection of the law as an attempt to advance the child if the child is a victim of a criminal offense. One of the efforts of the legal protection and rights that are owned by a son who became a victim of a criminal act is a right to obtain restitution. In the Presidential Regulation Number 43/2017 about the implementation of Restitution for a child as a crime victim set up one about the mechanism of filing the Restitution. Filing a restitution mechanism can be divided into two stages, namely submitted at the stage of investigation and prosecution. In addition, the application for restitution can also be submitted following the verdict of the Court. Various barriers or legal issues are still found in the Presidential Regulation Number 43/

2017. Though initially with the publication of this regulation allegedly was able to fill the vacuum of law related to filing a restitution mechanism however there is still underlying some of the obstacles in the implementation of the restitution itself. In this regulation does not set about the rules if the perpetrator of the crime does not pay restitution, in this regulation is also set on a wide variety of requirements that are considered to be damning the victim with the difficult process of filing, then the absence of rules as regards the calculation of damages in real terms become constraints in the PP is to cater for the rights of the child as a victim of a criminal act and the efforts of protection of the law against him.

Keywords : Restitution, legal protection, children, victims of Criminal Art, Criminal Art of Human Trafficking

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang selalu Penulis dapatkan, termasuk sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan tesis ini. Shalawat dan salam tak lupa penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan menuntun jalan dari yang gelap hingga menuju jalan yang terang yang disinari oleh iman dan islam. Tesis ini diberi judul “Pemberian Restitusi Sebagai Upaya Perlindungan Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang” yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah gelar Magister dari Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan tesis ini, namun semua itu dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait.

Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Kedua Orang Tua penulis, yakni (Alm) Salahuddin, SH, MH dan Nurmalawaty, SH, M.Hum yang terus mendoakan dan memberi semangat bagi penulis, memberi dukungan materi maupun dukungan moril yang tak terbalaskan serta kasih sayang tulus yang diberikan hingga menjadikan penulis berhasil menyelesaikan tesis ini. Serta kepada Abang Kandung Penulis, yaitu Budi Bahreisy SH, MH yang juga banyak membantu penulis dalam berbagai hal. Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

(8)

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. OK Saidin., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan S.H, M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, S.H, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen penguji dalam ujian tesis ini.

6. Ibu Dr. Mahmul Siregar,S.H, M.Hum., selaku sekretaris Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS selaku dosen pembimbing I Penulis yang memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

8. Bapak Dr. M. Eka Putra SH, M.Hum selaku dosen pembimbing II Penulis yang memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

9. Ibu Dr. Chairul Bariah SH, M.Hum selaku dosen pembimbing III Penulis yang memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

10. Bapak Dr. Edy Yunara SH, MH dan Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, M.Hum selaku dosen penguji penulis yang memberikan masukan dalam perbaikan tesis ini.

(9)

11. Kakanda Azmiati Zuliah, SH, MH selaku Koordinator PUSPA-PKPA (Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) yang telah begitu banyak membantu penulis dan memberikan banyak informasi yang berhubungan dengan penulisan tesis ini.

12. Seluruh keluarga besar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Medan, Bang Haris, Bang Hardi, Kak Zahra, Kak Beti, Gio, Mbak Rahma, Mbak Feby, dan Mas Ipung yang selalu memberikan semangat dan tak pernah lelah mendengar keluh kesah penulis, serta Bang Ramli selaku Kepala Kantor yang selalu memberikan izin untuk mengurus segala keperluan tesis penulis.

13. Sahabat & teman penulis, Liza, Tya, Elvira, Bela, Wanda, Suci, Lia, Rana, Vanny, Ina, serta teruntuk adik-adik KOHATI HmI Koms. FH USU dan BTM Aladdinsyah, SH FH USU, yang selalu memberi dukungan dan semangat.

14. Serta untuk rekan-rekan Stambuk 2016 Magister Hukum USU, terkhususnya Kelas Reguler B, Paralel C dan Jurusan Pidana, semoga kita sukses selalu.

Akhir kata, demikianlah yang dapat disampaikan atas penelitian yang masih terdapat banyak kekurangan dan tidak sempurna ini. Dengan segala kerendahan dan dengan senang hati menerima kritik dan dan saran gunanya membantu perbaikan dan kesempurnaan tesis ini. Wassalam.

Medan, Juli 2018

Penulis

Rini Anggreini

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Rini Anggreini

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/29 September 1994

Alamat : Jl. Setia Budi Psr-III/Bunga Melur VII No. 8 Tj. Sari, Medan Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Nama Ayah : (Alm) Salahuddin, SH, MH

Nama Ibu : Nurmalawaty, SH, MH

Nama Saudara : Budi Bahreisy, SH, MH

E-mail : [email protected]

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN 1. SD Negeri 060884, Tahun 2000-2006 2. SMP Negeri 1 Medan, Tahun 2006-2009 3. SMA Negeri 1 Medan, Tahun 2009-2012

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2012-2016 5. S-2 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2016-2018

III. PENGALAMAN BERORGANISASI

1. 2012-2015, FORSAB (Forum Silaturrahmi Alumni Bakmiss SMA Negeri 1 Medan) 2. 2013-2015, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Koms. FH USU

3. 2014-2015, BTM (Badan Ta’mirul Mushala) Aladdinsyah, SH FH USU 4. 2015-2016, IMADANA (Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana) FH USU 5. 2015-2016, TSA (Tanoto Scholars Association) Medan

6. 2017-sekarang, SMMC (Smansa Medan Moeslim Community)

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...I ABSTRACT ... II KATA PENGANTAR ... III RIWAYAT HIDUP ... VI DAFTAR ISI ... VII DAFTAR TABEL... X DAFTAR SKEMA ... XI BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 16

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat Penelitian ... 16

E. Keaslian Penulisan ... 18

F. Kerangka Penelitian dan landasan Konsepsional ... 18

1. Kerangka Teori... 18

2. Landasan Konsepsional. ... 27

G. Metode Penelitian... 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 28

2. Sumber Bahan Hukum ... 30

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 31

4. Analisis Bahan Hukum ... 31

BAB II : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Anak ... 33

1. Hak-hak Anak Serta Kewajiban Anak ... 33

2. Landasan Filosofis dan Yuridis Perlindungan Anak ... 42

3. Prinsip-prinsip Perlindungan Anak ... 49

4. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Anak sebagai Korban ... 51

B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 59

1. Sejarah Perkembangan TPPO ... 59

2. Landasan Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis TPPO ... 64

3. Modus Operandi TPPO ... 66

4. Faktor-faktor Penyebab terjadinya TPPO ... 71

5. Kerjasama Indonesia dengan Negara lain dalam Penegakan TPPO ... 74

(12)

BAB III : MEKANISME PENGAJUAN RESTITUSI BAGI ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA

A. Sejarah Lahirnya Restitusi dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia . 78

B. Asas-asas dalam Pelaksanaan Restitusi ... 86

C. Instrumen Hukum yang Berkaitan dengan Restitusi ... 89

D. Mekanisme Pengajuan Restitusi bagi Anak sebagai Korban Tindak Pidana menurut PP 43 Tahun 2017 ... 101

1. Bentuk Restitusi ... 107

2. Prosedur Permohonan Restitusi ... 107

3. Proses Permohonan Restitusi ... 110

4. Tata Cara Pemberian Restitusi ... 113

BAB III : PENERAPAN RESTITUSI DAN HAMBATAN DALAM PEMBERIAN RESTITUSI PADA ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG A. Contoh Kasus Penerapan Restitusi bagi Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 119

1. Putusan No.302/Pid.Sus/2015/PN.Cbi ... 119

a) Kronologis Kasus... 119

b) Dakwaan Jaksa Penunut Umum ... 121

c) Tuntutan Jaksa Penunut Umum ... 122

d) Putusan Hakim... 123

2. Putusan No.84/Pid.Sus/2016/PT.Pbr... 125

a) Kronologis Kasus... 125

b) Dakwaan Jaksa Penunut Umum ... 130

c) Tuntutan Jaksa Penunut Umum ... 133

d) Putusan Hakim... 135

B. Analisis Kasus pada Putusan No.302/Pid.Sus/2015/PN.Cbi dan Putusan No.84/Pid.Sus/2016/PT.Pbr... 138

C. Hambatan dalam Pemberian Restitusi pada Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ... 146

(13)

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 154 B. Saran ... 156 DAFTAR PUSTAKA

(14)

Daftar Tabel

Tabel I : Daftar Instrumen Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Restitusi ... 100

(15)

Daftar Skema

Skema I : Mekanisme Pengajuan Restitusi Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2007 ... 103 Skema II : Tata cara Pengajuan Restitusi berdasarkan PP No. 43 tahun 2017 ... 112 Skema III : Tata cara Pemberian Restitusi berdasarkan PP No. 43 tahun 2017 ... 114

(16)

PERNYATAAN

PEMBERIAN RESTITUSI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 29 September 2018

Penulis

Rini Anggreini

(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Fungsi hukum dinyatakan adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia.1 Efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum. Hukum menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum dan apabila masyarakat menggunakan hukum sebagai pengendali perilakunya. Hukum diharapkan mampu menjadi pengendali perilaku masyarakat, terlebih lagi diera perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, karena seiring dengan perkembangan teknologi maka disisi lain kejahatan juga ikut berkembang.

Seiring dengan perkembangan jaman, maka berkembang pulalah kemajuan budaya dan teknologi yang diiringi dengan perkembangan prilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat. Perkembangan prilaku tersebut apabila ditinjau dari segi hukum terdapat perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada prilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap prilaku yang sesuai norma (hukum) yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat.

Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan

1 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Yogyakarta:

Citra Aditya Bakti, 1993), hal 1.

(18)

ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat di cap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan.2

Selain kejahatan tersebut, di dalam pergaulan kehidupan masyarakat juga banyak ditemui konflik. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa suatu masyarakat yang tanpa konflik merupakan masyarakat yang mati, atau hanya merupakan masyarakat berdasarkan angan-angan saja.3 Dalam hal terjadi konflik atau peristiwa konkrit berupa pelanggaran hukum, maka hukum itu harus kembali ditegakkan.

Salah satu bentuk konflik yang ditemui dalam masyarakat adalah kejahatan perdagangan orang (human trafficking) yang dapat dikategorikan sebagai

“perbudakan modren”. Perdagangan orang (human trafficking) adalah merupakan persoalan global sangat serius, yang juga merupakan permasalahan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia menekankan bahwa setiap orang dilahirkan memiliki kebebasan, dengan harkat dan martabat yang sederajat, serta berhak atas perlindungan tanpa diskriminasi. Kejahatan ini terjadi karena tidak ada penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Manusia dipandang sebagai barang yang bisa ditentukan harganya tanpa persetujuannya, dibawa, dikumpulkan, dikurung, dan ditempatkan tanpa mempertimbangan kebutuhannya sebagai manusia.4

2 Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) hal 1.

3 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan Di Indonesia, (Jakarta: UI-Press, 1983), hal. 4

4 Candra Muzaffar dkk, Human’s wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat atas HAM, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007) hal. 401.

(19)

3

Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah tindak pidana perdagangan orang menjadi perhatian serius dari beberapa negara termasuk pemerintah Indonesia.

Alasan-alasan tersebut diatas, dilandasi nilai-nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan sejak dini, dengan penindakan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban, diperlukan adanya kerjasama nasional, regional dan universal, serta yang terpenting adalah kebijakan hukum.5

Dalam sejarahnya, Indonesia mengenal trafficking melalui perbudakan yang upaya penghapusannya secara perlahan telah dimulai tahun 1854 dengan diundangkannya Wet No. 2 Tahun 1854 yang diundangkan dalam Staatsblad No. 2 Tahun 1855 tentang Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands-Indie (RR) yang dalam Pasal 169 menentukan “Paling lambat 1 Januari 1860 perbudakan di Hindia Belanda Sudah harus dihapus secara total”. Mengenai ancaman hukuman diatur dalam Pasal 297, 298, Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Upaya yang dilakukan saat itu baru sebatas pada ketentuan tertulis, sementara yang terjadi trafficking masih menjadi pemandangan biasa, khususnya dalam pelaksanaan kerja paksa. 6

5 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal 28

6 www.ajrc-aceh.org/…/traffiking-dalam-pandangan-hak-asasi-manusia diakses pada tanggal 21 Maret 2018 Pukul 08.55 WIB

(20)

Konferensi internasional pertama tentang “trafficking in women” yang diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian 1904, di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional menentang Perdagangan budak berkulit putih (Internasional Convention for the Suppression of the White Slave Trade). Kesepakatan tersebut menentang dipindahkannya perempuan ke luar negeri dengan tujuan pelanggaran kesusilaan.7 Enam tahun kemudian, isi konvensi ini diperluas dengan memasukkan persoalan perdagangan perempuan di dalam negeri. Konvensi ini mewajibkan negara untuk menghukum siapapun, yang membujuk orang lain, baik dengan cara menyeludupkan atau dengan menggunakan kekerasan, paksaan, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan cara lain dalam memaksa, mengupah, menculik atau membujuk perempuan dewasa untuk tujuan pelanggaran kesusilaan.

Kemudian tahun 1949 sidang umum PBB mengadopsi the Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others, yang menggantikan semua traktat yang terdahulu. Menurut konvensi ini, prostitusi dan semua perbuatan jahat yang menyertai perdagangan orang untuk tujuan prostitusi bertentangan dengan harga diri, kepatutan dan kehormatan serta membahayakan kesejahteraan individu, keluarga dan komunitasnya.

7 Sulistyowati Irianto,dkk, Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hal 13

(21)

5

Pada awal perkembangannya perdagangan orang belum merupakan tindak pidana, sehingga tidak ada hukuman yang diberikan pada para pelaku perdagangan orang tersebut. Kemudian, pada masa kemerdekaan perdagangan orang dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Pemerintah Indonesia mengkriminalisasi perdagangan orang dengan Pasal 297 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit mengatur tentang perdagangan orang, dalam Pasal itu dinyatakan memperniagakan perempuan dan memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun. Pasal-Pasal yang sering dipakai sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku human trafficking (perdagangan orang) adalah Pasal 285, Pasal 287-298, Pasal 324, dan Pasal 506 KUHP. Pengaturan dalam KUHP masih membutuhkan penyempurnaan agar dapat menjerat setiap kegiatan atau modus baru perdagangan orang.

Pada tahun 2000 di Italia, PBB pada akhirnya merumuskan sebuah protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak (United Nations Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in two Persons, Especially Woman and Children) yang disebut dengan Protokol Palermo. Protokol ini dirumuskan untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama internasional untuk mencegah dan menanggulangi human trafficking, serta dipromosikan untuk memperbaiki perlindungan bagi korban dan bantuan bagi korban.

Indonesia telah meratifikasi sekian konvensi tentang perdagangan orang khususnya perempuan dan anak. Sebagai wujud komitmen Indonesia dalam menjalankan Konvensi Palermo terlihat dengan dilahirkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2007

(22)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Lahirnya UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang disambut gembira oleh masyarakat di Indonesia dan komunitas Internasional yang peduli dengan masalah perdagangan orang. Lahirnya undang-undang ini diharapkan dapat menjadi sebuah payung hukum dalam memberikan penanganan dan perlindungan terhadp korban tindak pidana perdagangan orang yang selanjutnya disebut TPPO.

Undang-undang ini juga lahir dilandasi pemikiran bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan yang terorganisasi maupun tidak, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara maupun luar negeri; dan bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerjasama.8

Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukkan kualitas dan

8 Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, Penghapusan Perdagangan Orang ( Trafficking in Persons ) di Indonesia Tahun 2004 – 2005, (Jakarta, 2005), hal 16.

(23)

7

kuantitasnya. Setiap tahun diperkirakan 2 (dua) juta manusia diperdagangkan dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak.9

Perdagangan anak merupakan salah satu bentuk tindakan kejahatan yang dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau sebuah lembaga terhadap orang yang usianya belum mencapai 18 tahun, termasuk janian yang masih berada dalam kandungan. Perdagangan anak menurut Office of Drug Control and Crime Prevention (ODCCP) adalah suatu tindakan perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak dibawah umur untuk tujuan eksploitasi dan itu dengan menggunakan ancaman, kekerasan, ataupun pemaksaaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Data UNICEF menyebutkan setiap tahunnya, sekitar 1,2 juta anak di dunia menjadi korban perdagangan anak. Di Indonesia, sebanyak 100.000 anak menjadi korban perdagangan anak setiap tahun, dan dari jumlah tersebut, 400.000 hingga 700.000 diantaranya menjadi korban prostitusi.10

Hasil studi Organisasi Buruh Sedunia (ILO) menunjukkan di dunia sekitar 12,3 juta orang terjebak dalam kerja paksa. Dari jumlah itu, sekitar 9,5 juta berada di Asia.

Sisanya tersebar, 1,3 juta di Amerika Latin dan Karibia, 660.000 di Sub-Sahara Afrika, 260.000 di Timur Tengah dan Afrika Utara, 360.000 di negara-negara

9 Rachmad Syafaat, Dagang Manusia, cet 1, (Jakarta : Lappera Pustaka Utama, 2003), hal 1

10Soraya A, Rusyidi B, Irfan M, Perlindungan Terhadap Anak Korban Trafficking, ( Bandung : Universitas Padjajaran, 2016) hal 78-83

(24)

industri, dan 210.000 di negara-negara transisi. Sekitar 40-50% anak di bawah 18 tahun.11

Data yang diperoleh Bareskrim Polri, sepanjang tahun 2011 hingga 2017 tercatat ada sebanyak 422 kasus anak korban kejahatan trafficking.12 Sama halnya dengan data yang dihimpun dari IOM (International Organization for Migration) yang mencatat sepanjang tahun 2005 sampai 2017 ada sebanyak 8.876 korban trafficking, dimana 15 persen dari angka tersebut atau sebanyak 1.155 korban menyasar anak-anak.13 Selanjutnya data temuan yang diperoleh oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2016 terdapat 340 kasus anak yang ditangani oleh KPAI. Jumlah paling tinggi adalah anak sebagai korban prostitusi, yaitu sebanyak 112 kasus. Selanjutnya, kasus anak sebagai korban eksploitasi sebanyak 87 kasus. Sedangkan anak sebagai korban perdagangan sebanyak 72 kasus.

Terakhir adalah anak sebagai korban eksploitasi seks komersial sebanyak 69 kasus.

Pada tahun 2017 anak sebagai korban prostitusi masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 83 orang. Selanjutnya adalah anak sebagai korban eksploitasi pekerja sebanyak 76 kasus.14 Dari data-data yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang masih cukup tinggi.

11https://nasional.kompas.com/read/2017/03/29/19382151/menyikapi.perdagangan.manusia diakses pada tanggal 11 Februari 2018 pukul 20:54

12http://www.kpai.go.id/berita/kpai-ada-32-kasus-trafficking-dan-eksploitasi-anak-di- indonesia-pada-awal-2018/ diakses pada tanggal 13 Februari 2018

13 Ibid

14http://www.kpai.go.id/berita/kpai-enam-tahun-terakhir-anak-berhadapan-hukummencapai- angka-9-266-kasus/ diakses pada tanggal 12 Februari 2018 pukul 9:43

(25)

9

Perdagangan orang menimbulkan dampak negatif yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Dari segi fisik, korban tak jarang terjangkit penyakit karena situasi hidup dan dampak dari pekerjaannya misalnya HIV/AIDS yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dari segi psikis, para korban kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Mayoritas para korban mengalami stress dan depresi akibat dari apa yang mereka alami. Sering kali korban mengasingkan diri dari kehidupan sosial bahkan keluarga. Begitu pula jika korban tersebut merupakan anak dibawah umur. Hal tersebut tentunya akan merugikan kehidupannya saat ini dan juga di masa yang akan datang.

Kedudukan korban dalam peradilan pidana sebagai pihak pencari keadilan selama ini terabaikan. Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa peradilan pidana sebagai basis peneyelesaian perkara pidana kurang mengakui eksistensi korban kejahatan selaku pencari keadilan. Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan, dan sebagai sumber informasi, atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.15

15 Kabib Nabawi, Aprillani Arsyad, Meningkatkan Pemahaman Masyarakat terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di Desa Aro Kecamatan Muaro Bulian Kabupaten Batanghari, Jurnal Pengabdian pada Masyarakat, Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016, hal 1.

(26)

Korban kejahatan perlu dilindungi karena : pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang di ekspresikan di dalam struktur kelembagaaan seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya.

Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argumentasi kontrak social dan solidaritas social karena negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi social terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan maka negara harus memerhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik.

Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.16

Menurut Andi Hamzah, dalam perkara tindak pidana korban kejahatan sebenarnya merupakan pihak yang paling menderita. Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sedangkan hak-hak korban diabaikan salah satunya ialah hak ganti kerugian yang merupakan suatu hak yang mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan

16Muladi. Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 1997) hal. 172.

(27)

11

orang lain untuk membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi, Ganti kerugian sebenarnya merupakan ranah hukum perdata, akan tetapi untuk mewujudkan asas peradilaan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan ganti kerugian ini dapat digabungkan dengan pemeriksaan pidana.17

Tindak pidana terhadap Anak bukan hanya menimbulkan penderitaan fisik maupun psikis yang mempengaruhi tumbuh kembang dan kualitas hidup Anak namun juga menimbulkan kerugian materiil maupun immateriil bagi pihak keluarga. Selama ini apabila terjadi tindak pidana terhadap Anak, pihak korban tidak hanya menanggung sendiri kerugian materiil (yang dapat dihitung) dan kerugian immateriil (yang tidak dapat dihitung) antara lain kerugian berupa rasa malu, kehilangan harga diri, rendah diri, dan/atau kecemasan berlebihan yang bersifat traumatik. Kerugian ini seharusnya juga ditanggung oleh pelaku dalam bentuk Restitusi sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami Anak yang menjadi korban tindak pidana maupun pihak korban. 18

Mengenai korban tindak pidana perdagangan anak itu sendiri, perlu diketahui bahwa pada dasarnya terdapat bentuk – bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada anak sebagai korban trafficking yang salah satunya adalah pemberian Restitusi. Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang

17Muhammad Ikhsan, Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Surakarta : Muhammadiyah University Press, 2012), hal. 156

18 Penjelasan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.

(28)

dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.19

Restitusi yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana dimaksudkan selain untuk mengganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana, dan/atau penggantian biaya perawatan medis, dan/ atau psikologis sebagai bentuk tanggung jawab tindak pidana yang dilakukan, juga dimaksudkan untuk meringankan penderitaan dan menegakkan keadilan bagi Anak yang menjadi korban tindak pidana sebagai akibat terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.20

Awal mulanya Pengaturan mengenai Ganti Kerugian ataupun Restitusi terdapat dalam Undang-Undang. No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban. Kemudian pada tanggal 16 Oktober 2017

19 Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

20 Penjelasan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.

(29)

13

Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.

Meskipun sudah ada peraturan terkait yang merumuskan mengenai kewajiban pelaku untuk membayar Restitusi tersebut kepadan korban, pada prakteknya putusan pengadilan dengan memberikan ganti rugi kepada korban trafficking khususnya anak yang menjadi korban jarang dilakukan. Berdasarkan penelusuran penulis dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung, ditemukan bahwa putusan hakim yang mewajibkan pelaku untuk membayar restitusi kepada anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang masih sedikit ditemukan.

Hal senada juga di sampaikan oleh Koordinator PUSPA-PKPA (Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), Azmiati Zuliah, bahwa selama PKPA menangani kasus anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, baru ada satu putusan hakim yang mengabulkan pemberian restitusi kepada korban TPPO yaitu Putusan PN Medan Nomor : 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn.21 Masih langkanya putusan hakim yang memberikan restitusi tersebut dapat terjadi dikarenakan polisi sebagai juru periksa tidak memasukkan restitusi kedalam Berita Acara Pemeriksaan, Jaksa Penuntut Umum tidak memasukkannya dalam dakwaan dan tuntutan, dan kemudian Hakim juga tidak memutus pemberian hak restitusi karena tidak ada dimohonkan oleh Pihak

21 Hasil wawancara penulis dengan Koordinator PUSPA-PKPA (Pusat Layanan Informasi dan Pengaduan Anak Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), Azmiati Zuliah , Pada tanggal 15 April 2018, pukul 17.27 WIB.

(30)

Kejaksaan.22 Hal lain yang menjadi kendala pada saat itu juga dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Mekanisme dan Tata Cara Pengajuan Restitusi Bagi Korban TPPO.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis lebih lanjut pada tahun 2015 terdapat Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No.302/Pid.Sus/2015/PN.Cbi yang mewajibkan kepada Pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Kemudian selanjutnya juga terdapat Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang mengabulkan tuntutan restitusi yang diajukan oleh korban, yaitu Putusan No. 84/Pid.B/2016/PT.Pbr. Adanya putusan-putusan baru mengenai pemberian restitusi ini merupakan langkah yang baik untuk mewujudkan perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana dan untuk menjembatani anak yang menjadi korban tersebut untuk memperoleh hak-haknya sebagaimana semestinya.

Pada tanggal 16 Oktober 2017 Presiden Republik Indonesia telah menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana. Dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) tersebut semakin menguatkan payum hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mengajukan hak yang dimilikinya sebagai korban yakni hak restitusi. Aturan-aturan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah tersebut telah melengkapi mekanisme ganti rugi dan restitusi yang tidak terdapat di dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya dan dapat menutupi celah kosong

22 Marlina dan Azmiati Zuliah, Hak Restitusi terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2015) hal 89

(31)

15

pelaksanaan restitusi atau ganti kerugian bagi korban tindak pidana yang dibebankan kepada pelaku. Lahirnya Peraturan Pemerintah ini juga dianggap dapat melengkapi ketiadaan prosedur pengajuan restitusi yang jelas bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya anak sebagai korban tindak pidana dalam memperoleh hak-haknya sehingga kedepannya hak-hak anak sebagai korban tindak pidana tersebut dapat terpenuhi dengan sebagaimana semestinya. Adapun substansi yang terdapat didalam PP ini telah mengatur mengenai pelaksanaan pemberian hak restitusi bagi anak korban tindak pidana dimulai dari mekanisme pengajuan hak restitusi hingga proses permohonan restitusi, namun dari berbagai sudut pandang pengaturan yang terdapat dalam PP ini masih menimbulkan berbagai hambatan ataupun perosalan.

Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, adapun beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, bagaimana mekanisme pengajuan restitusi bagi anak sebagai korban tindak pidana, serta bagaimana penerapan restiutsi tersebut dan apa yang menjadi kendala dalam Penerapan Restitusi Bagi Anak Sebagai Korban Tindak Pidana. Bertitik tolak dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengkaji dan membahas secara mendalam untuk mendapatkan informasi, data dan kesimpulan mengenai bagaimana penerapan restitusi tersebut khususnya kepada anak sebagai korban tindak pidana. Oleh karenanya penulis akan melakukan penelitian dalam bentuk Karya Ilmiah dengan judul “Pemberian Restitusi Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”.

(32)

B. Rumusan Masalah

Beberapa yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang?

2. Bagaimana mekanisme pengajuan restitusi bagi anak sebagai korban tindak pidana?

3. Bagaimana penerapan restitusi bagi anak sebagai korban dan apa yang menjadi hambatan dalam pemberian restitusi pada anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.

2. Untuk mengetahui mekanisme pengajuan restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana.

3. Untuk mengetahui penerapan restitusi dan hambatan apa saja dalam pemberian restitusi pada anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik secara teoritis maupun secara praktis.

(33)

17

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada akademisi dan bagi masyarakat umum khususnya dalam pemberian restitusi bagi anak sebagai korban tindak pidana menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Secara Praktis

Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang restitusi dan peraturannya dengan menggunakan PP No. 43 Tahun 2017, yaitu:

a. Untuk pemerintah

Sebagai masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk menangani dan menyelesaikan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang khususnya anak sebagai korban.

b. Untuk aparat penegak hukum

Memberikan sumbangan pemikiran kepada aparat penegak hukum dalam menanggulangi hak-hak korban terutama anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang melalui pemberian restitusi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

c. Untuk masyarakat

Sebagai panduan dan memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat mengenai pemberian restitusi terhadap anak korban tindak pidana perdagangan orang.

(34)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan judul dari tesis-tesis yang ada diperpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Program Studi Magister Ilmu Hukum maupun dilakukan penelusuran di situs-situs resmi perguruan tinggi lainnya, penelitian tentang ”Pemberian Restitusi Sebagai Upaya Perlindungan Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang” ini memiliki keaslian dan tidak dilakukan plagiat dari penelitian pihak lain. Beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu:

1. Azmiati Zuliah, “Pelaksanaan Hak Restitusi terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Tesis)”, Medan:Universitas Sumatera Utara, 2012

2. Boy Amali, “Pemberian Restitusi Kepada Korban atau Ahli Waris dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang” (Tesis), Medan : Universitas Sumatera Utara, 2014

F. Kerangka Teori Dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sebuah tulisan ilmiah kerangka teori adalah hal yang sangat penting, karena dalam kerangka teori tersebut akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan masalah yang sedang diteliti. Kemudian kerangka teori ini digunakan sebagai landasan teori atau dasar pemikiran dalam penelitian yang dilakukan. Karena itu adalah sangat penting bagi seorang peneliti untuk menyusun kerangka teori yang

(35)

19

memuat pokok-pokok pemikiran yang akan menggambarkan dari sudut mana suatu masalah akan disoroti. Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori. Kerangka teori disusun sebagai landasan berpikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti 23

Adapun teori yang digunakan dalam menganalisa permasalahan yang berkaitan dengan penerapan restitusi bagi anak sebagai korban tindak pidana adalah kerangka teori keadilan dan teori perlindungan hukum.

Teori Keadilan Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue para pencari keadilan terhadap problema yang paling sering menjadi diskursus adalah mengenai persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.

Problema demikian sering ditemukan dalam kasus konkrit, seperti dalam suatu proses acara di pengadilan seorang terdakwa terhadap perkara pidana (criminal of justice) atau seorang tergugat terhadap perkara perdata (private of justice) maupun tergugat pada perkara tata usaha negara (administration of justice) atau sebaliknya sebagai penggugat merasa tidak adil terhadap putusan majelis hakim dan sebaliknya majelis hakim merasa dengan keyakinanya putusan itu telah adil karena putusan itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang tertulis dalam bentuk

23 H. Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995) hal. 39-40

(36)

peraturan perundang-undangan. Teori pembuktian berasarkan Undang-Undang Positif (Positif Wettwlijks theorie).24

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.25

Pada abad modern salah seorang yang dianggap memiliki peran penting dalam mengembangkan konsep keadilan adalah John Bordern Rawls. Rawls berpendapat bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan, berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan dasar (basic liberties), dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya distur sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan bertalian dengan jabatan serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.26

Dalam teorinya dikemukakan bahwa ada tiga hal yang merupakan solusi bagi problema keadilan. Pertama prinsip kebebasan yang sama bagi setiap orang (principle of greatest equal liberty), tentang hal ini dirumuskan oleh John Rawls sebagai berikut: Each person is to have an equal right to the most extensive basic

24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta, Sinar Grafika, ,1996) hal. 251.

25 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung : Nuansa dan Nusamedia, 2004) hal 239.

26 Inge Dwisvimiar, Keadilan dalam Perspektif Filsafat Ilmu Hukum, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No. 3, September 2011)

(37)

21

liberty compatible with a semilar liberty of thers. Rumusan ini mengacu pada rumusan Aristoteles tentang kesamaan, oleh karenanya juga kesamaan dalam memperoleh hak dan penggunaannya berdasarkan hukum alam. Rumusan ini inhern dengan pengertian equal yakni sama atau sederajat diantara sesama manusia. Usaha memperbandingkan ini juga secara tidak langsung merupakan pengakuan atau konfirmasi bahwa manusia selalu hidup bersama yang menurut Aristoteles disebut sebagai makhluk sosial, sehingga penentuan hak atau keadilan yang diterapkan adalah keadilan yang memperhatikan lingkungan sosial atau dengan kata lain harus merupakan keadilan sosial.27

Prinsip persamaan ini lebih lanjut dikemukakan oleh W. Friedmann, ia mengemukakan bahwa pertama persamaan dipandang sebagai unsur keadilan, di dalamnya terkandung nilai-nilai universal dan keadilan tersebut pada satu sisi dapat diartikan sama dengan hukum, hal ini dapat dilihat dari istilah “justice” yang berarti hukum, akan tetapi pada sisi lain, keadilan juga merupakan tujuan hukum. Dalam mencapai tujuan tersebut, keadilan dipandang sebagai sikap tidak memihak (impartiality). Sikap inilah yang mengandung gagasan mengenai persamaan (equality) yaitu persamaan perlakukan yang adil terhadap semua orang. Kedua, persamaan merupakan hak, persamaan sebagai hak dapat dilihat dari ketentuan The Universal Declaration Human Rights 1948, maupun dalam International Covenant on Economic, Socialo and Cultural Rights 1966 dan International Covenant on Civil

27 John Rawls, Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (judul asli A Theory of Justice), Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 502.

(38)

and Political Rights 1966. Di dalam ketiga dokumen hak asasi manusia tersebut, dimuat ketentuan yang diawali dengan kata-kata: setiap orang … dst. Demikian pula halnya di dalam Pasal 27 UUD 1945. Pasal ini pada dasarnya menempatkan persamaan dan kebebasan yang meliputi kepentingan dan tujuan dari hak itu ditetapkan dalam suatu hubungan. Mengenai hubungan persamaan dengan kebebasan ini, Friedmann pada pokoknya memandang bahwa kebebasan merupakan suatu alat yang membuka jalan seluas-luasnya bagi pengembangan personalitas, sedang persamaan dimaksudkan untuk memberi kesempatan yang sama terhadap setiap orang dalam mengembangkan personalitasnya.28

Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang didasarkan pada teori ini, yaitu masyarakat yang berada pada posisi yang lemah, baik secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis. Pada dasarnya, teori perlindungan hukum merupakan teori yang berkaitan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Roscou Pound mengemukakan hukum merupakan alat rekayasa sosial (law as tool of sosial engginering).

Kepentingan manusia, adalah suatu tuntutan yang dilindungi dan dipenuhi manusia dalam bidang hukum.29

28 W. Friedmann, ,The State and The Rule of Law in Mix Economy, (London: Steven & Son, 1971), hal. 385 dikutip dari Bahder Johan Nasution dalam Kajian Filosofis tentang Konsep Keadilan dari Pemikiran Klasik sampai Pemikiran Modern, Jurnal Hukum Yustisia Vol 3 No. 2 Mei-Agus 2014

29 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Depok : PR. RajaGrafindo, 2013) hal 259, 266

(39)

23

Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum alam pada abad ke-18 yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, salah satu penganutnya adalah Locke, menurut Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio. Ia juga mengajarkan pada kontrak sosial. Menurutnya manusia yang melakukan kontrak sosial adalah manusia yang tertib dan menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan manusia. Menurut Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia. Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Jika demikian, adanya kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam, baik datang dari dalam maupun dari luar. Begitulah hukum yang dibuat dalam negarapun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi kesejahteraan hidup manusia.30

Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam

30 Bernard L Tanya, Yoan N Simanjuntak, dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013) hal 72-73

(40)

masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.

Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. 31

Perlindungan hukum bila dijelaskan harfiah dapat menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk mengurai sedikit mengenai pengertian- pengertian yang dapat timbul dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu.32

Soetjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut. Selanjutnya

31 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hal.54.

32 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti , 2009). hal. 38

(41)

25

dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.33 Lebih lanjut Soetiono mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.34 Selanjutnya menurut Muchsin, Perlindungan Hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubugan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.35

Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.36 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.37

33 Soetjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1983), hal 121

34Soetiono, Rule of Law Suprmasi Hukum, (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004) hal 3

35Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia (Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003) hal 14

36Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung : Remaja Rusdakarya, 1993), hal 118.

37Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung:

Alumni, 1991), hal 55.

(42)

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.38 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.39

Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.40

Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita.41

38 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal 2

39 Ibid

40 Ibid

41 Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, http://supanto.staff.hukum.uns.ac.id, diakses pada tanggal 07 Januari 2018 pukul 3:16

(43)

27

2. Landasan Konsepsional

Landasan Konsepsional dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh dasar konseptual, bertujuan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman dan arahan yang sama, antara lain:

1. Restitusi

Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/ atau immaterial yang di derita korban atau ahli warisnya.

2. Perlindungan Hukum

Perlindungan Hukum terhadap anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3. Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

4. Korban

Korban adalah anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang

(44)

mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang di rugikan.

5. Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut dapat diancam pidana sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang ada.

6. Perdagangan Orang

Perdagangan Orang adalah suatu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dibantu dengan Penelitian empiris. Penelitian Normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang

(45)

29

dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).42

Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.43

Penelitian ini mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, asas- asas (prinsip-prinsip), kaidah-kaidah yang terdapat dalam perundang-undangan khususnya di Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana serta Putusan Pengadilan. Selain itu dalam penelitian yuridis normatif ini juga dibantu dengan penelitian empiris yakni dilakukannya wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini seperti misalnya Lembaga Perlindungan Anak sebagai sumber informasi, ataupun para aparat penegak hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan atau mendeskripsikan fakta-fakta dengan analitis dan sistematis.44

42 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal 34.

43 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2005), hal 35

44 Ibid, hal 96

Gambar

Tabel 1. Daftar Instrumen Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan  dengan Restitusi

Referensi

Dokumen terkait

(2) Upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana asusila dapat dilakukan dalam bentuk: perlindungan oleh hukum, perlindungan selama dalam

Ketiga, bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perdagangan orang (studi putusan Nomor 149/Pid.Sus/2015/Pn Tembilahan). Jenis penelitian yang

Ketiga, bagaimana perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana perdagangan orang (studi putusan Nomor 149/Pid.Sus/2015/Pn Tembilahan). Jenis penelitian yang

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PUTUSAN NOMOR 149/PID.SUS/2015/TBH). Merupakan bab yang berisi upaya

Ide dasar perlunya perlindungan hukum terhadap anak menjadi korban tindak pidana dan pelaku tindak pidana sehingga perlu dilindungi yaitu: (a) Anak masih

Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak

Analisa Yuridis Normatif Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah hasil karya saya, dan dalam naskah Tugas

Dogie Triyanto, 201110115011, Analisis Yuridis Tentang Hak Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang; (Studi Kasus Perkara Pidana Nomor: