• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 PROSEDUR PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL

4.1.3 Instrumen Pengelolaan Lingkungan dan Sosial

Berdasarkan proses penapisan di atas, para pemrakarsa subprogram akan menetapkan instrumen yang tepat untuk merencanakan dan menerapkan langkah-langkah mitigasi untuk dampak lingkungan dan sosial. Berdasarkan prosedur penapisan dan persyaratan yang ditetapkan sebelumnya, potensi instrumen yang tepat untuk menangani masalah sosial tersebut adalah sebagai berikut:

Pengelolaan lingkungan dan sosial. Berdasarkan asesmen, tidak tidak ada kegiatan yang diidentifikasi memerlukan Analisis Dampak Mengenai Lingkungan (“AMDAL”), namun terdapat kegiatan yang mungkin perlu Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pengawasan Lingkungan (“UKL-UPL”). Sesuai dengan peraturan Indonesia, setiap kegiatan yang berpotensi berdampak penting memiliki UKL/UPL dan menyerahkan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan, yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengajukan Persetujuan Kelayakan Lingkungan (Persetujuan Lingkungan). Format dan isi dokumen yang dipersyaratkan diatur dalam PP No. 22/2021 (lihat Lampiran 1). Isi rencana mitigasi dan pemantauan UKL/UPL disesuaikan dengan hasil kajian dampak pada subprogram yang diajukan. Untuk mematuhi ESS Bank Dunia.

52 Sedangkan untuk kegiatan yang tidak mencakup atau hanya mencakup kegiatan konstruksi berskala kecil yang dampaknya tidak signifikan dan tidak memerlukan dokumen UKL-UPL maka memerlukan dokumen Environmental Code of Practices (“ECOPs”) yang selaras dengan dokumen Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (“SPPL”), yang digunakan sebagai acuan bagi pelaksana kegiatan terkait praktek-praktek yang baik dalam pengelolaan lingkungan dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan, pembibitan, dan kegiatan infrastruktur berskala kecil. Tata Cara Pengelolaan Lingkungan (ECOPs/SPPL) disediakan dalam Lampiran 2. Untuk kegiatan yang teridentifikasi memiliki potensi dampak lingkungan yang rendah/kecil, ECOPs/SPPL digunakan sebagai dokumen rencana/instrumen untuk mengelola potensi dampaknya. ECOPs yang dipilih akan spesifik terhadap jenis kegiatan dan dampak yang diidentifikasi dalam penapisan dan sesuai dengan lokasi dan konteks subprogram dan di dokumentasikan.

Pengadaan tanah untuk perbaikan infrastruktur rantai nilai pertanian. Program ICARE akan membiaya kegiatan infrastruktur seperti: (1) rehabilitasi infrastruktur pedesaan seperti jalan lokal dan saluran irigasi tersier; (2) prasarana rantai nilai pertanian seperti fasilitas pengolahan hasil panen, gudang penyimpanan hasil panen, gedung pertemuan, dan lainnya.; dan (3) perbaikan fasilitas seperti laboratorium, Kebun Percobaan dan lainnya. Jika ada pembebasan lahan untuk kegiatan ini diperkirakan hanya berskala kecil hingga menengah sehingga dampak sosial dari kegiatan ini tidak signifikan. Sebagian besar kegiatan rehabilitasi akan dilaksanakan di lahan publik yang ada atau di dalam fasilitas yang ada untuk meminimalkan dampak pada lahan milik pribadi.

Karena lokasi pasti dari infrastruktur yang akan dibangun tidak diketahui sebelum appraisal Program dilakukan, ESMF ini menyediakan suatu Resettlement Policy Framework (“RPF”) memberikan panduan skema atau prosedur yang digunakan untuk pengadaan tanah pada program ICARE.

Dalam hal tanah pemerintah tidak tersedia dan/atau tanah tambahan diperlukan, Program dapat menggunakan tanah pribadi melalui pembeli-penjual yang bersedia (transaksi tanah sukarela – willing buyer willing seller scheme) dan Sumbangan Tanah Secara Sukarela (Voluntary Land Donation/”VLD”).

Dalam mengaplikasikan skema ini beberapa hal yang perlu diperhatikan:

o Perhatian khusus diberikan untuk memastikan bahwa pemilik tanah harus dapat mempertahankan tanahnya apabila menolak untuk menjual atau menyumbangkannya, tanpa ancaman akuisisi wajib, dan harus sepenuhnya diinformasikan tentang pilihan yang tersedia kepada pemilik tanah;

o Uji tuntas sebelumnya (due diligence) akan diperlukan untuk memastikan tidak ada pemindahan orang, selain penjual, yang menempati;

o Tidak ada pihak yang menggunakan dan/atau menuntut hak atas tanah yang bersangkutan; dan

o Tanah di mana ada perselisihan dan/atau di mana ada pendudukan informal atau ilegal oleh selain pemilik tanah tidak akan diproses lebih lanjut.

Pendekatan willing buyer – willing seller (penjual dan pembeli yang bersedia membeli) dan pendekatan VLD hanya akan diterapkan dalam kondisi di bawah ini:

53 o Tanah yang dibutuhkan kecil dan hanya diperbolehkan maksimal mengenai kurang

dari 10% tanah untuk satu pemilik tanah;

o Bukan infrastruktur linear dan spesifik lokasi sehingga alternatif tapak dimungkinkan;

dan

o Tersedia lokasi alternatif yang bisa digunakan untuk Program sehingga bisa dipindahkan ketika transaksi gagal.

Protokol untuk skema pembeli-penjual yang bersedia membeli (willing buyer willing seller) menetapkan pedoman operasional untuk mengkonfirmasi bahwa:

o Harga pasaran tanah fungsional ada di lokasi terkait;

o Transaksi telah terjadi dengan persetujuan pemilik tanah;

o Pemilik menyadari dan mengetahui bahwa dimungkinkan untuk menolak melakukan penjualan, dan tidak akan dikenakan atau tunduk pada akuisisi wajib/pengadaan tanah secara paksa;

o Pemilik dibayar dengan harga yang wajar berdasarkan nilai pasar yang berlaku; dan o Pelaksana Program perlu mendemonstrasikan dan mendokumentasikan proses

konsultasi dan proses jual beli mengikuti prinsip-prinsip utama di atas.

Prinsip yang berlaku untuk sumbangan tanah sukarela memastikan:

o Pemilik tanah yang akan menghibahkan tanahnya tidak tergolong sebagai kelompok rentan/miskin;

o Skema tersebut hanya diperbolehkan untuk sumbangan skala kecil dengan dampak kecil pada pemilik tanah;

o Keputusan tentang tanah dan sumbangan akan dibuat dengan persetujuan, bebas dari paksaan, dan tidak akan terlalu mempengaruhi pemilik tanah;

o Konsultasi penuh dengan pemilik tanah dan orang-orang lain yang terkait dengan tanah tersebut;

o Standar hidup dan mata pencaharian pemilik tanah tidak terpengaruh (yaitu tidak ada individu yang kehilangan lebih dari 10% dari aset produktif mereka);

o Setiap kesepakatan akan dikonfirmasikan melalui catatan tertulis dan diverifikasi oleh pihak ketiga yang independen; dan

o Pelaksana Program untuk mendemonstrasikan dan mendokumentasikan proses konsultasi untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip utama untuk sumbangan tanah secara sukarela dipatuhi sepenuhnya.

Skema Sumbangan Tanah Sukarela disediakan di Lampiran 3 sebagai bagian dari RPF yang dibuat untuk memandu Program menilai risiko terkait dan pelaksanaan skema ini sesuai dengan prinsip yang diberikan. Protokol dan mekanisme Sumbangan Tanah Sukarela ini juga termasuk protokol Persetujuan Pemakaian Lahan (Land Use Agreement Protocol).

Karena kegiatan infrastuktur peningkatan sarana dan prasarana yang akan dilakukan berada di tingkat desa dan dalam skala kecil, resiko atau dampak ekspropriasi atas properti milik masyarakat (expropriation of property), relokasi atau pemindahan fisik (physical displacement)

54 dan isu pembatasan pemakaian lahan (restriction on land use issues) tidak akan ada dan atau akan dihindari.

Terkait kegiatan perbaikan fasilitas dan layanan penelitian dan pengembangan pertanian, tidak ada tanah masyarakat yang akan digunakan untuk membangun fasilitas tersebut karena lahan yang digunakan adalah milik lembaga penelitian yang ditunjuk. Proses uji tuntas (due diligence) perlu dilakukan untuk memastikan bahwa tanah tersebut “clear and clean” tidak ada pihak yang menempati secara illegal. Jika diketahui dari hasil due diligence ada pihak yang menempati, pengelola Program akan menyiapkan dokumen seperti yang digariskan dalam RPF (Lampiran 3) untuk menyediakan kompensasi atau mitigasi yang memenuhi prinsip yang ditetapkan.

Dukungan teknis langsung kepada petani seperti adopsi teknologi produksi termasuk pemakaian bibit Unggul hanya akan dilakukan di lahan milik petani/kelompok petani penerima manfaat program. Dokumen tanah terkait dengan uji tuntas atau clear and clean atas status tanah yang akan digunakan dalam pembangunan infrastruktur atau fasilitas desa akan menjadi paket dalam pengiriman proposal matching grant untuk direview oleh PIU/PMU.

Tenaga kerja pada pekerjaan konstruksi fisik. Dampak ke tenaga kerja akan terkait dengan kegiatan konstruksi bagi petani sendiri (community workers) dan pekerja kontraktor (contracted workers). Namun demikian, kegiatan konstruksi hanya berada pada skala kecil hingga menengah sehingga dampak terkait K3 diharapkan kecil atau menengah. Prosedur Pengelolaan Tenaga Kerja (Labor Management Procedure- LMP) disediakan dalam ESMF sebagai panduan mengelola resiko Program terhadap tenaga kerja. Risiko Program terkait kemungkinan kejadian kekerasan berbasis gender (Gender-Based Violence/”GBV”) atau Eksploitasi Seksual dan Pelecehan Seksual (Sexual Exploitation and Abuse/Sexual Harassment/”SEA/SH”) dinilai rendah. Sebagai upaya pencegahan Program tidak menyebabkan kasus baru terjadinya SEA/SH, Kode Etik pencegahan kekerasan berbasis gender (GBV) disiapkan seperti pada Lampiran 4. Pencegahan pekerja anak juga dimasukkan dalam kode etik yang harus ditaati oleh kontraktor dan dimasukkan dalam Prosedur Manajemen Tenaga Kerja (atau Labor Management Plan/”LMP”). Panduan untuk Menyusun LMP dapat dilihat di Lampiran 4 yang akan mencakup ketentuan umum tentang persyaratan kerja pekerja Program yang mengacu kepada undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan nasional selaras dengan persyaratan ketenagakerjaan internasional meliputi usia minimum tenaga kerja, persyaratan kerja dan larangan pekerjaan yang membahayakan Kesehatan dan keselamatan anak. LMP yang dibuat juga harus memastikan adanya saluran penanganan keluhan yang dapat diakses oleh tenaga kerja. Kontraktor yang terlibat dalam pekerjaan konstruksi akan diminta untuk membuat dokumen pengelolaan tenaga kerja, yang juga memasukkan kode etik GBV sebagai bagian dari ESMP kontraktor.

Pengelolaan hama dan penggunaan pestisida. Program perlu memberikan arahan strategis untuk penggunaan pestisida dan herbisida di bawah pelaksanaan program ICARE yang disebut Rencana Pengelolaan Hama Terpadu (“RPHT”) (atau Integrated Pest Management Plan/“PMP”). Rencana tersebut mengacu pada UU No. 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dan berbagai subregulasi yang memandu pengelolaan hama terpadu di Indonesia, serta praktik-praktik global terbaik, yang menetapkan strategi dan tindakan untuk meminimalkan dampak lingkungan, ekonomi dan sosial dari penggunaan pestisida di lokasi program. Dalam penerapan RPHT, melalui penyuluh pertanian, program perlu mengidentifikasi potensi serangan Organisme Penganggu Tanaman (“OPT”) harus mengikuti pendekatan

55 empat langkah. Empat langkah tersebut meliputi: (1) menetapkan Ambang Batas Tindakan (Ambang Ekonomi); (2) melakukan pemantauan dan identifikasi OPT; (3) melakukan tindakan pencegahan (Preventif); dan (4) tindakan Pengendalian OPT. Contoh dokumen PHT dapat dilihat dalam Lampiran 5 dokumen ini.

Akses informasi atau manfaat program yang tidak setara di antara atau dalam kelompok atau korporasi petani. Dominasi oleh elit (elite capture) adalah masalah umum yang kemungkinan bisa terjadi. Petani yang memiliki hubungan politik atau status ekonomi sosial yang lebih baik kemugkinan akan memiliki akses lebih ke Program. Program ICARE didesain untuk mengembangkan sistem produksi pertanian yang inklusif. Isu inklusi tersebut akan diatasi melalui desain Program dengan menentukan kriteria penerima manfaat sehingga petani memiliki akses yang setara ke program, termasuk guna mendapatkan informasi. Kriteria penerima manfaat dikembangkan untuk memberikan peluang yang sama. Kriteria ini akan menjadi bagian dari Manual Operasi Program (Project Operation Manual/POM) untuk memastikan terjadinya inklusi sosial dalam program ICARE. Dalam ICARE dipastikan individu petani bisa ikut serta dalam korporasi petani berdasarkan kemampuannya dan diberikan kesempatan yang sama dalam partisipasi ke Program. Untuk memastikan Program mempromosikan inklusi sosial, aspek-aspek berikut harus diterapkan dengan hati-hati dan konsisten selama Program.

Penerima manfaat dari Program ICARE adalah: (1) petani, yang, a) memiliki akses untuk mengelola lahan (milik sendiri, dengan perjanjian, sewa) yang berlokasi di Kawasan Pertanian terpilih, dan bersedia untuk berpartisipasi di rantai nilai, b) berdomisili di daerah yang sama dengan lahan yang dikelola, di lokasi terpilih Kawasan pertanian di masing-masing Provinsi, c) bersedia berpartisipasi secara aktif program peningkatan kapasitas sebagai bagian dari rantai nilai Kawasan pertanian; (2) kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani yang: a) terdaftar dalam Dinas Pertanian setempat (melampirkan SK Penetapan jika diperlukan); b) menjadi anggota aktif; dan c) mengelola produk pertanian dengan potensi pemasaran yang baik; dan (3) Korporasi Petani yang: a) memiliki Lembaga hukum yang jelas (sebagai koperasi, perseroan terbatas); dan b) menjalankan jenis usaha yang berasal dari petani anggota yang berkelanjutan dari tahun ke tahun.

Kelompok petani yang dapat terlibat dalam program ICARE tidak hanya terbatas pada anggota kelompok tani/korporasi tani yang memiliki tanah/sawah dan modal yang besar tetapi juga mereka yang memiliki modal yang terbatas dan yang minim akses seperti petani yang tidak memiliki tanah sendiri, buruh tani, dan petani dengan tanah terbatas.

Program ICARE perlu memastikan bahwa informasi mengenai program dan subprogram akan disebarkan melalui media dan saluran yang umum dipakai di lokasi seperti aplikasi Whatsapp, Facebook, Twitter, dan juga forum-forum formal dan informal yang ada di tingkat desa, termasuk kebiasan komunikasi petani di lokasi masing-masing. Panduan untuk menghindari elite capture dapat di lihat pada Lampiran 7.

Risiko terekspose COVID-19. Mengingat pandemic COVID-19 yang masih berlangsung, seluruh komponen kegiatan program berpotensi menularkan COVID-19. Karena itu, selama pelaksanaan program ICARE ini adalah perlunya antisipasi Penanganan COVID-19. Prosedur tata cara penanggulangan COVID-19 untuk seluruh komponen kegiatan program disedikan dalam Lampiran 6.

56 Secara ringkas, kebutuhan instrumen perlindungan lingkungan dan sosial (environmental and social safeguard instrument) disajikan dalam Tabel 6 berikut ini:

Tabel 6 Daftar Instrumen Lingkngan dan Sosial.

Instrumen Deskripsi

Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) atau Environmental and Social Management Plan (ESMP) – Lihat Lampiran 1

Tidak ada kegiatan yang diidentifikasi memerlukan AMDAL. Sesuai dengan peraturan Indonesia, setiap kegiatan yang tidak berpotensi memiliki dampak penting harus menyusun UKL/UPL dan/atau menyerahkan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan, (SPPL) yang akan digunakan sebagai dasar untuk mengajukan Persetujuan Lingkungan. Isi rencana mitigasi dan pemantauan UKL/UPL disesuaikan dengan hasil kajian dampak pada subprogram yang diajukan.

Berdasarkan hasil identifikasi risiko kegiatan dan kebutuhan dokumen lingkungan pada Tabel 4, dan untuk mematuhi persyaratan ESS Bank Dunia untuk penyusunan ESMP, maka terdapat tambahan cakupan dan muatan terhadap UKL-UPL yang dapat dilihat pada Lampiran 1.

Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL)/

Environmental Code of Practices (ECOPs) – Lihat Lampiran 2

Untuk kegiatan yang tidak tidak diwajibkan menyusun UKL-UPL karena memiliki potensi dampak lingkungan yang tidak penting, program perlu menyusun dokumen yang selaras dengan SPPL/ECOPs yang digunakan sebagai acuan bagi pelaksana kegiatan terkait praktek-praktek yang baik dalam pengelolaan lingkungan dalam bidang pertanian/peternakan dan kegiatan infrastruktur berkskala kecil. Tata Cara penyusunan SPPL/ECOPs disediakan dalam Lampiran 2.

Resettlement Policy Framework (“RPF”) – Lihat Lampiran 3

Program dapat membiayai kegiatan infrastruktur seperti gudang penyimpanan hasil panel, gedung pertemuan, area pembibitan, dan lainnya dan perbaikan fasilitas penelitian milik lembaga penelitian.

Pembebasan lahan untuk kegiatan ini diperkirakan akan ada, tetapi hanya berskala kecil hingga menengah sehingga dampak sosial dari kegiatan ini tidak signifikan. Sebagian besar kegiatan rehabilitasi akan dilaksanakan di lahan publik yang ada atau di dalam fasilitas yang ada untuk meminimalkan dampak pada lahan milik pribadi. Meskipun demikian, untuk antisipasi jika program akan menggunakan lahan baru, ESMF menyediakan RPF jika ada isu terkait pengadaan tanah melalui mekanisme donasi lahan sukarela VLD atau transaksi sukarela (willing buyer – willing seller mechanism), dokumen VLD atau transaksi sukarela perlu dibuat. Jika ada isu okupasi di atas lahan pemerintah, dokumen pengadaan tahan (Land Acquisition and Resettlement Action Plan - LARAP) perlu disiapkan dengan mengacu pada RPF yang disediakan di Lampiran 3.

Rencana Pengelolaan Hama Terpadu (“RPHT” atau Integrated Pest Management Plan/”PMP”) – Lihat Lampiran 5

RPHT bertujuan memberi arahan strategis untuk penggunaan dan pengelolaan pestisida dan herbisida dalam kegiatan program ICARE.

Merujuk UU No. 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Melalui penyuluh pertanian, program perlu mengidentifikasi potensi serangan Organisme Penganggu Tanaman (“OPT”) harus mengikuti pendekatan empat langkah. Contoh dokumen RPHT dapat dilihat dalam Lampiran 5 dokumen ini.

Panduan Pendekatan Kepada Kelompok Petani yang Memiliki Akses Terbatas – Lihat Lampiran 7

Risiko akses informasi atau manfaat program yang tidak setara di antara atau dalam kelompok atau korporasi petani. Terdapat sebagian petani yang memiliki akses terbatas pada sumber-sumber informasi penting terkait program-program pertanian. Mereka adalah petani tanpa tanah atau penggarap, dan buruh tani, termasuk mereka yang bukan tokoh/elit, baik secara sosial dan ekonomi. Mengingat hal ini, kriteria harus dikembangkan untuk memberikan peluang bagi para petani minim akses yang memenuhi kriteria partisipasi dalam kemitraan produktif untuk

57

Instrumen Deskripsi

menerima manfaat dari Program. Program perlu menyusun panduan pendekatan dan kriteria petani minim akses tidak tertinggal dalam Program ICARE ini (lihat panduan yang diusulkan pada Lampiran 7).

Prosedur Pengelolaan Tenaga Kerja (atau Labor Management Procedure/”LMP”) – Lihat Lampiran 4

Terdapat potensi risiko dan dampak terhadap tenaga kerja pada pekerjaan konstruksi fisik. Kegiatan konstruksi (perbaikan dan/atau pembangunan) akan melibatkan kontraktor sebagai pelaksana konstruksi untuk pekerjaan konstruksi pengembangan fasilitas produksi rantai nilai mengenah dan konstruksi pembangunan fasilitas penelitian dan pengembangan pertanian. Sementara pekerjaan konstruksi skala kecil biasanya akan dilakukan oleh masyarakat sendiri. Karena itu kontraktor yang terlibat dalam pekerjaan ICARE perlu menyiapkan LMP, yang dapat dilihat di Lampiran 4, yang akan mencakup ketentuan umum tentang persyaratan kerja pekerja Program yang mengacu kepada undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan nasional selaras dengan persyaratan ketenagakerjaan internasional meliputi usia minimum tenaga kerja, persyaratan kerja dan larangan pekerjaan yang membahayakan Kesehatan dan keselamatan anak, pemenuhan K3 termasuk kode etik GBV (lampiran 4). LMP yang dibuat juga harus memastikan adanya saluran penanganan keluhan yang dapat diakses oleh tenaga kerja.

Kode Etik untuk antispasi pencegahan terjadinya kekerasan berbasis gender – Lihat Lampiran

Dokumen terkait