• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Integrasi Ekonomi

Kata integrasi (integration) dapat diartikan sebagai penggabungan. Menurut Tinbergen dalam Hanie (2006), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua pembatasan-pembatasan (barriers) yang dibuat terhadap bekerjanya perdagangan bebas dan dengan jalan mengintroduksi semua bentuk-bentuk kerjasama dan unifikasi. Integrasi dapat dipakai sebagai alat untuk mengakses pasar yang lebih besar, menstimulasi pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nasional.

Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi mengacu kepada suatu kebijakan komersial atau kebijakan perdagangan yang secara diskriminatif menurunkan atau menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan hanya di antara negara-negara yang saling sepakat untuk membentuk suatu integrasi ekonomi terbatas. Maksudnya, di lingkungan negara-negara yang menjadi anggota, berbagai bentuk hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif sengaja diturunkan atau bahkan dihapuskan sama sekali, sedangkan terhadap negara-negara luar yang bukan merupakan anggota, masing-masing negara-negara anggota masih

berhak untuk menerapkan kebijakan tersendiri, apakah mereka hendak memberlakukan hambatan perdagangan (tarif atau non-tarif) atau tidak.

Salvatore menyebutkan bahwa tingkatan integrasi ekonomi bervariasi mulai dari pengaturan perdagangan preferensial (preferential trade arrangements), yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi pembentukan

kawasan/area perdagangan bebas (free trade area), kemudian menjadi persekutuan pabean (customs union), pasaran bersama (common market), dan pada akhirnya akan menjurus pada penyatuan ekonomi secara menyeluruh (economic union).

Tabel 2.1. Tahapan Integrasi Ekonomi Salvatore

Tahapan Keterangan

Preferential Trade

Arangements

Dibentuk oleh negara-negara yang sepakat menurunkan hambatan-hambatan perdagangan yang berlaku di antara mereka, dan membedakannya dengan yang diberlakukan terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang paling longgar.

Free Trade Area

(FTA)

Bentuk integrasi ekonomi yang lebih tinggi dimana semua hambatan perdagangan tarif maupun non-tarif di antara negara-negara anggota telah dihilangkan sepenuhnya, namun masing-masing negara anggota tersebut masih berhak untuk menentukan sendiri apakah mereka hendak mempertahankan atau menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan yang diterapkannya terhadap negara-negara luar yang bukan anggota.

Customs Union Mewajibkan semua anggota untuk tidak hanya menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan di antara mereka, namun juga menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara-negara luar yang bukan anggota. Jadi, masing-masing negara anggota tidak lagi bebas menentukan kebijakan komersilnya dengan negara-negara lain.

Common Market Pada bentuk integrasi ini, bukan hanya perdagangan

barang saja yang dibebaskan, namun juga arus-arus faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal. Uni Eropa telah mencapai status common market pada akhir tahun 1992.

Economic Union Pada tahap ini, harmonisasi atau penyelarasan

dilakukan lebih jauh, bahkan dengan menyeragamkan kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal dari masing-masing negara anggota. Ini merupakan tipe kerja sama yang paling tinggi.

Sumber : Salvatore, 1997

Perkembangan terbaru yang menarik untuk dianalisis berdasarkan konsep-konsep di atas adalah kecenderungan dibentuknya zona bebas pajak (duty-free

zones) atau zona ekonomi bebas (free economic zones). Ini merupakan sebuah

wilayah kecil yang menjadi bagian dari suatu negara yang sengaja dibebaskan dari berbagai macam pajak untuk memikat investasi asing (di Indonesia contohnya adalah Pulau Batam). Setiap barang modal atau bahan-bahan mentah yang memasuki wilayah tersebut dibebaskan sama sekali dari berbagai tarif atau pungutan. Tujuannya jelas adalah agar perusahaan-perusahaan internasional mau menempatkan fasilitas produksinya di wilayah tersebut yang selanjutnya akan

menciptakan banyak lapangan kerja baru dan memunculkan dampak-dampak positif yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah sekitarnya. Berikut ini dijabarkan teori-teori yang termasuk dalam integrasi ekonomi yang menjadi landasan tentang pembentukan Optimum Currency Areas (OCA). Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :

2.1.1. Teori Optimum Currency Areas (OCA)

Teori tentang Optimum Currency Areas pertama kali dikemukakan oleh Robert A. Mundell dengan papernya yang berjudul A Theory of Optimum

Currency Areas. Menurut Mundell (1961), Optimum Currency Areas (OCA)

mempunyai definisi suatu wilayah geografis yang mempunyai guncangan supply dan demand yanng simetrik dan memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi :

1. Memiliki derajat internal factor mobility yang tinggi dan derajat external

factor mobility yang rendah.

2. Memiliki upah dan harga yang stabil.

3. Mobilitas tenaga kerja yang mudah dalam batasan-batasan nasional (budaya, bahasa, perundang-undangan, kemakmuran, dll) namun mobilitas tersebut tidak mudah apabila melewati/di luar batasan-batasan nasional (national

borders). Spesialisasi dan keterampilan suatu negara juga menjadi faktor

pendukung.

Selain Mundell, Kenen dan McKinnon juga merupakan pelopor teori

Optimum Currency Areas. Kenen dalam Bergman (2000) mengemukakan bahwa

mengekspor barang-barang yang mempunyai diversifikasi yang luas dan struktur yang sama. Kenen menyebutkan bahwa kriteria-kriteria untuk membentuk sebuah

currency area adalah :

1. Mempunyai sedikit guncangan asimetrik.

2. Mempunyai tingkat diversifikasi ekonomi yang tinggi. Hal ini dapat melawan guncangan asimetrik.

Sedangkan McKinnon (1963) mengemukakan bahwa sebuah optimum currency

area dibentuk dari negara-negara yang mempunyai keterbukaan perdagangan

yang tinggi.

Menurut Bayoumi dan Mauro (2001), teori OCA menyebutkan ada tiga kriteria utama yang menjadi syarat pembentukan currency union, yaitu :

1. Pola perdagangan negara-negara dalam kawasan yang hampir sama.

2. Ukuran guncangan, baik guncangan permintaan maupun guncangan penawaran kecil dan korelasi guncangan makroekonomi yang tinggi di antara negara-negara dalam kawasan.

3. Kesamaan pembangunan ekonomi dan sistem keuangan di antara negara-negara dalam kawasan.

Kelompok negara yang memiliki guncangan simetrik cenderung akan memiliki respon kebijakan yang sama pula, sehingga besar peluangnya untuk dapat membentuk common currency area. Selain itu, jika negara-negara yang berada dalam kawasan memiliki guncangan makroekonomi yang kecil maka negara tersebut tidak akan terbebani dengan biaya yang besar untuk melepaskan otonomi kebijakannya untuk membentuk common currency area. Kemudian, jika

keseimbangan awal dari permintaan dan penawaran dapat diperbaiki dengan cepat maka guncangan makroekonomi yang terjadi tidak akan membebani negara tersebut dengan biaya yang besar.

2.1.2. Asian Currency Unit (ACU)

Asian Currency Unit (ACU) merupakan mata uang paralel yang dibentuk

dari sekeranjang mata uang (basket currency) negara anggota di kawasan Asia Timur untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam kawasan (Girardin dan Steinherr, 2008). ACU dijadikan sebagai mata uang untuk transaksi perdagangan dan keuangan di kawasan, sementara transaksi di luar negeri tetap menggunakan mata uang domestik. Dalam hal ini, masing-masing negara anggota tetap memiliki kendali atas mata uang domestik dan kebijakan moneternya.

Eichengreen (2005) berpendapat bahwa pembentukan ACU dapat memelihara integrasi finansial dan moneter di Asia, mempercepat Asian bond

markets, dan menerapkan sistem nilai tukar Asia seperti sistem nilai tukar Eropa.

Proses pembentukan ACU memiliki manfaat dan biaya. Para ahli ekonomi berpandangan bahwa manfaat yang diperoleh dari proses ini lebih besar dibandingkan dengan biayanya. Adapun manfaat dan biaya dari mata uang tunggal atau ACU secara lengkap disajikan dalam Tabel 2.2. berikut ini.

Tabel 2.2. Manfaat dan Biaya Ekonomi Pembentukan Asian Currency Unit

Manfaat Biaya

1. Mengurangi biaya

pertukaran/transaksi dan cadangan devisa serta koordinasi kebijakan yang lebih efektif antara negara anggota.

2. Mencegah persaingan devaluasi. 3. Mengurangi serangan yang

bersifat spekulatif.

4. Meningkatkan efisiensi mikro karena penggunaan uang yang lebih luas.

5. Perbaikan stabilisasi makro dan pertumbuhan karena stabilitas harga dan akses dana yang lebih besar daari integrasi finansial. 6. Memperkecil volatilitas dan

ketidakpastian nilai tukar.

7. Meningkatkan perdagangan dan investasi karena biaya transaksi yang rendah.

8. Memberikan suatu jangkar (anchor) nominal untuk kebijakan moneter.

1. Setiap negara yang tergabung harus menyerahkan kekuasaan dan kewenangan kebijakan moneternya secara individual kepada Bank Sentral bersama untuk merespon masalah ekonomi dalam negerinya.

2. Beberapa kelemahan di tingkat mikro, terutama pada tahap awal integrasi.

3. Terbatasnya pilihan instrumen kebijakan untuk stabilitas ekonomi makro.

4. Permasalahan disiplin, yaitu ada insentif bagi negara anggota untuk melakukan deviasi dari traktat ekonomi bersama.

5. Kehilangan seignorage

(penciptaan uang) untuk negara-negara dengan inflasi tinggi.

Sumber : Eudey, 1998 ; Warjiyo dalam Ariefianto, 2006 ; Lee dan Barro, 2006 ; dan Bean, 1992

Dokumen terkait